Tetanus
No. ICPC-2
: N72 Tetanus
No. ICD-10
: A35 Other tetanus
Tingkat
Kemampuan : 4A
Masalah
Kesehatan
Tetanus
adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin. Penyakit
ini ditandai dengan spasme tonik persisten, disertai serangan yang jelas dan
keras. Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani. Tetanospasmin menghambat neurotransmiter GABA dan glisin, sehingga
tidak terjadi hambatan aktivitas refleks otot. Spasme otot dapat terjadi lokal (disekitar
infeksi), sefalik (mengenai otot-otot cranial), atau umum atau generalisata
(mengenai otot-otot kranial maupun anggota gerak dan batang tubuh). Spasme
hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang yang mengakibatkan penutupan
rahang (trismus atau lockjaw), serta melibatkan otot otot ekstremitas
dan batang tubuh.
Di
Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus adalah penyalahguna obat yang
menggunakan suntikan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Manifestasi
klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus, sampai kejang
yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
1.
Tetanus lokal
Gejalanya
meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot
disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus
umum.
2.
Tetanus sefalik
Bentuk
tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya
berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial.
Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan
prognosisnya biasanya jelek.
3.
Tetanus umum/generalisata
Gejala
klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan,
kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat
serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar,
suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
4.
Tetanus neonatorum
Tetanus
yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala
yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable,
diikuti oleh kekakuan dan spasme.
Faktor Risiko: -
Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan
Fisik
Dapat
ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat.
1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang
menetap.
2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus
dan disfungsi nervus kranial.
3.
Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher, kekakuan dada
dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang
umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan
sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
4.
Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi tubuh klasik:
trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan
lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan
tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas
bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari
kaki.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak
ada pemeriksaan penunjang yang spesifik.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis
Klinis
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.
Tingkat
keparahan tetanus:
Kriteria
Pattel Joag
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan
kekakuan otot tulang belakang
2. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi
maupun derajat keparahan
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam
5.
Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 400 C), atau aksila
99ºF ( 37,6 ºC ).
Grading
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya
Kriteria 1 atau 2 (tidak ada kematian)
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya
Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari
48 jam (kematian 10%)
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya
masa inkubasi kurang dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4
Kriteria (kematian 60%)
5.
Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum
(kematian 84%).
Derajat
penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s :
1.
Grade 1 (ringan)
Trismus
ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak ada
spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
2.
Grade 2 (sedang)
Trismus
sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun singkat, penyulit
pernafasan sedang dengan takipneu.
3.
Grade 3 (berat)
Trismus
berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan sering, serangan apneu,
disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks,
penyulit pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf
otonom sedang yang terus meningkat.
4.
Grade 4 (sangat berat)
Gejala
pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali menyebabkan “autonomic
storm”.
Diagnosis Banding
Meningoensefalitis,
Poliomielitis, Rabies, Lesi orofaringeal, Tonsilitis berat, Peritonitis, Tetani
(timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat
dalam serum rendah), keracunan Strychnine, reaksi fenotiazine
Komplikasi
1.
Saluran pernapasan
Dapat
terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret,
pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya
trakeostomi.
2.
Kardiovaskuler
Komplikasi
berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3.
Tulang dan otot
Pada
otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada
tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang
terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan
juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
4.
Komplikasi yang lain
Laserasi
lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja,
panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1.
Manajemen luka
Pasien
tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C. tetani harus
mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka yang rentan mengalami
tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel 8.7 Manajemen luka tetanus Luka rentan tetanus
|
Luka
yang tidak rentan tetanus
|
> 6-8
jam
|
< 6
jam
|
Kedalaman
> 1 cm
|
Superfisial
< 1 cm
|
Terkontaminasi
|
Bersih
|
Bentuk
stelat, avulsi, atau hancur (irreguler)
|
Bentuknya
linear, tepi tajam
|
Denervasi,
iskemik
|
Neurovaskular
intak
|
Terinfeksi
(purulen, jaringan nekrotik)
|
Tidak infeksi
|
2.
Rekomendasi manajemen luka traumatik
a.
Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen.
b.
Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan.
c.
TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat
imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan.
d. Jika
riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus
imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu
pemberian TIg
3.
Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi.
4.
Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya-ruangan
redup dan tindakan terhadap penderita.
5.
Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150 gr
protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila
ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral.
6.
Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
7.
Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis.
Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang dalam keadaan
kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan
dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti
pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari
diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang
(tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi
mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan
ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula
dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
8. Anti
Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya diperlukan skin tes
untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000
unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian
antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka.
9. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice:
berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10
hari. Untuk pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO
atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat
mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses
neurologisnya.
10. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika
spektrum luas dapat dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat
diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama
10 hari. Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5
mg/KgBB tiap 6 jam.
11. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml toksoid
intramuskular diberikan 24 jam pertama.
12. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar
terhadap tetanus selesai.
13.
Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Konseling
dan Edukasi
Peran
keluarga pada pasien dengan risiko terjadinya tetanus adalah memotivasi untuk
dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS.
Rencana Tindak Lanjut
1. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar
terhadap tetanus selesai. Pengulangan dilakukan 8 minggu kemudian dengan dosis
yang sama dengan dosis inisial.
2. Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian.
3. Subsequent booster, diberikan 5 tahun berikutnya.
4.
Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat.
Kriteria Rujukan
1. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama.
2. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan.
3.
Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki
dokter spesialis neurologi.
Peralatan
1. Sarana pemeriksaan neurologis
2. Oksigen
3. Infus set
4.
Obat antikonvulsan
Prognosis
Tetanus
dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati
dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik. Tetanus biasanya tidak
terjadi berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C. tetani.
Referensi
1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam Infeksi pada
sistem saraf. Perdossi. 2012. (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012)
2. Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika, S. Penyakit
Infeksi dan Tropis. Dalam: Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih, S.E. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.Ed3. Bandung: FKUP/RSHS. 2005;
209-213. (Azhali, et al., 2005)
4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash, M. Oxbury,
J.Eds. Clinical Neurology. Edinburg: Churchill Livingstone. 1991;
865-871. (Rauscher, 1991)
5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B. Nelson Textbook
of Pediatrics. Vol 1. 17thEd. W.B. Saunders Company. 2004. (Behrman, et
al., 2004)
6. Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri Rejeki, S.Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. (Poowo, et al., t.thn.)
7. WHO News and activities. The Global Eliination of
neonatal tetanus: progress to date. Bull: WHO. 1994; 72: 155-157. (World
Health Organization, 1994)
8.
Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and Physical Agents on the Nervous System.
In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1:
Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia,
2012:1369-1370. (Aminoff & So, 2012)
0 komentar:
Posting Komentar