Dermatofitosis
No. ICPC-2 : S74 Dermatophytosis
No. ICD-10 : B35 Dermatophytosis
B35.0 Tinea barbae and tinea capitis
B35.1 Tinea unguium
B35.2 Tinea manuum
B35.3 Tinea pedis
B35.4 Tinea corporis
B35.5 Tinea imbricate
B35.6 Tinea cruris
B35.8 Other dermatophytoses
Tingkat Kemampuan : 4A
Masalah Kesehatan
Dermatofitosis adalah infeksi jamur dermatofita yang memiliki
sifat mencernakan keratin di jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku. Penularan terjadi melalui
kontak langsung dengan agen penyebab. Sumber penularan dapat berasal dari
manusia (jamur antropofilik), binatang (jamur zoofilik) atau dari tanah (jamur
geofilik).
Klasifikasi dermatofitosis yang praktis adalah berdasarkan
lokasi, yaitu antara lain:
1. Tinea
kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
2. Tinea barbae,
dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
3. Tinea kruris,
pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan perut bagian bawah.
4. Tinea pedis
et manum, pada kaki dan tangan.
5. Tinea
unguium, pada kuku jari tangan dan kaki.
6. Tinea korporis, pada bagian lain yang tidak termasuk
bentuk 5 tinea di atas. Bila terjadi di seluruh tubuh disebut dengan tinea
imbrikata.
Tinea pedis banyak didapatkan pada orang yang dalam kehdupan
sehari-hari banyak memakai sepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk
dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau sering basah. Tinea kruris
merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada sebagian besar infeksi dermatofita, pasien datang dengan
bercak merah bersisik yang gatal. Adanya riwayat kontak dengan orang yang
mengalami dermatofitosis.
Faktor Risiko
1. Lingkungan
yang lembab dan panas
2. Imunodefisiensi
3. Obesitas
4. Diabetes Melitus
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Gambaran umum:
Lesi berbentuk infiltrat eritematosa, berbatas tegas, dengan
bagian tepi yang lebih aktif daripada bagian tengah, dan konfigurasi
polisiklik. Lesi dapat dijumpai di daerah kulit berambut terminal, berambut
velus (glabrosa) dan kuku.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis
dengan KOH, akan ditemukan hifa panjang dan artrospora.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang.
Gambar 11.12 Dermatofitosis
Diagnosis
Banding
Tinea Korporis:
Dermatitis numularis, Pytiriasis rosea, Erythema annulare
centrificum, Granuloma annulare
Tinea Kruris:
Kandidiasis, Dermatitis intertrigo, Eritrasma
Tinea Pedis:
Hiperhidrosis, Dermatitis kontak, Dyshidrotic eczema
Tinea Manum:
Dermatitis kontak iritan, Psoriasis
Tinea Fasialis:
Dermatitis seboroik, Dermatitis kontak
Komplikasi
Jarang ditemukan, dapat berupa infeksi bakterial sekunder.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Higiene diri
harus terjaga, dan pemakaian handuk/pakaian secara bersamaan harus dihindari.
2. Untuk lesi terbatas, diberikan pengobatan topikal, yaitu
dengan:
antifungal topikal seperti krim klotrimazol, mikonazol, atau
terbinafin yang diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2 minggu
kemudian untuk mencegah rekurensi.
3. Untuk
penyakit yang tersebar luas atau resisten terhadap terapi topikal, dilakukan
pengobatan sistemik dengan:
a. Griseofulvin
dapat diberikan dengan dosis 0,5-1 g per hari untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5
g per hari untuk anak-anak atau 10-25 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 2 dosis.
b. Golongan azol, seperti Ketokonazol: 200 mg/hari;
Itrakonazol: 100 mg/hari atau Terbinafin: 250 mg/hari
Pengobatan diberikan selama 10-14 hari pada pagi hari setelah
makan.
Konseling
dan Edukasi
Edukasi mengenai penyebab dan cara penularan penyakit.
Edukasi pasien dan keluarga juga untuk menjaga higienetubuh, namun penyakit ini
bukan merupakan penyakit yang berbahaya.
Kriteria
rujukan
Pasien dirujuk apabila:
1. Penyakit
tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi.
2. Terdapat
imunodefisiensi.
3. Terdapat penyakit penyerta yang menggunakan multifarmaka.
Peralatan
1. Lup
2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan KOH
Prognosis
Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya bonam,
sedangkan pasien dengan imunokompromais, quo ad sanationamnya menjadi dubia
ad bonam.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s
Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar