Dermatitis Kontak Iritan
No. ICPC-2 : S88 Dermatitis
contact/allergic
No. ICD-10 : L24 Irritant
contact dermatitis
Tingkat Kemampuan : 4A
Masalah Kesehatan
Dermatisis kontak iritan (DKI)
adalah reaksi peradangan kulit non-imunologik. Kerusakan kulit terjadi secara
langsung tanpa didahului oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami oleh semua
orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya
dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut,
deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang biasanya
berhubungan dengan pekerjaan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Keluhan di kulit dapat beragam, tergantung
pada sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala akut, sedangkan iritan lemah
memberikan gejala kronis. Gejala yang umum dikeluhkan adalah perasaan gatal dan
timbulnya bercak kemerahan pada daerah yang terkena kontak bahan iritan.
Kadang-kadang diikuti oleh rasa pedih, panas, dan terbakar.
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang
yang terpajan oleh bahan iritan
2. Riwayat kontak dengan bahan
iritan pada waktu tertentu
3. Pasien bekerja sebagai tukang
cuci, juru masak, kuli bangunan, montir, penata rambut
4. Riwayat dermatitis atopik
Hasil Pemeriksaan Fisik dan
Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Tanda yang dapat diobservasi sama
seperti dermatitis pada umumnya, tergantung pada kondisi akut atau kronis.
Selengkapnya dapat dilihat pada bagian klasifikasi.
Faktor Predisposisi
Pekerjaan atau paparan seseorang
terhadap suatu bahan yang bersifat iritan
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Gambar 11.23 Dermatitis kontak
iritan
Klasifikasi
Berdasarkan penyebab dan pengaruh
faktor-faktor tertentu, DKI dibagi menjadi:
1. DKI akut:
a. Bahan iritan kuat, misalnya
larutan asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida (HCl), termasuk luka bakar oleh
bahan kimia.
b. Lesi berupa: eritema, edema,
bula, kadang disertai nekrosis.
c. Tepi kelainan kulit berbatas
tegas dan pada umumnya asimetris.
2. DKI akut lambat:
a. Gejala klinis baru muncul
sekitar 8-24 jam atau lebih setelah kontak.
b. Bahan iritan yang dapat
menyebabkan DKI tipe ini diantaranya adalah podofilin, antralin, tretionin,
etilen oksida, benzalkonium klorida, dan asam hidrofluorat.
c. Kadang-kadang disebabkan oleh
bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata), penderita
baru merasa pedih keesokan harinya, pada awalnya terlihat eritema, dan pada
sore harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
3. DKI kumulatif/ DKI kronis:
a. Penyebabnya adalah kontak
berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisis misalnya gesekan, trauma
minor, kelembaban rendah, panas atau dingin, faktor kimia seperti deterjen,
sabun, pelarut, tanah dan bahkan air).
b. Umumnya predileksi ditemukan
di tanganterutama pada pekerja.
c. Kelainan baru muncul setelah
kontak dengan bahan iritan berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa
bertahun-tahun kemudian sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor
penting.
d. Kulit dapat retak seperti luka
iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak
terus-menerus dengan deterjen. Keluhan penderita
umumnya rasa gatal atau nyeri
karena kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau
skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita.
4. Reaksi iritan:
a. Merupakan dermatitis subklinis
pada seseorang yang terpajan dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan
pekerja logam dalam beberapa bulan pertama, kelainan kulit monomorfik
(efloresensi tunggal) dapat berupa eritema, skuama, vesikel, pustul, dan erosi.
b. Umumnya dapat sembuh sendiri,
namun menimbulkan penebalan kulit, dan kadang-kadang berlanjut menjadi DKI
kumulatif.
5. DKI traumatik:
a. Kelainan kulit berkembang
lambat setelah trauma panas atau laserasi.
b. Gejala seperti dermatitis
numularis (lesi akut dan basah).
c. Penyembuhan lambat, paling
cepat 6 minggu.
d. Lokasi predileksi paling
sering terjadi di tangan.
6. DKI non eritematosa:
Merupakan bentuk subklinis DKI,
ditandai dengan perubahan fungsi sawar stratum korneum, hanya ditandai oleh
skuamasi ringan tanpa disertai kelainan klinis lain.
7. DKI subyektif/ DKI sensori:
Kelainan kulit tidak terlihat,
namun penderita merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah
kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.
Diagnosis Banding
Dermatitis kontak alergi
Komplikasi
Infeksi sekunder.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Keluhan dapat diatasi dengan
pemberian farmakoterapi, berupa:
a. Topikal (2 kali sehari)
Pelembab krim hidrofilik urea
10%.
Kortikosteroid: Desonid krim
0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim
0,025%).
Pada kasus DKI kumulatif dengan
manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan
betametason valerat krim 0,1% atau mometason furoat krim 0,1%).
Pada kasus infeksi sekunder,
perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal.
b. Oral sistemik
Antihistamin hidroksisin 2 x 25
mg per hari selama maksimal 2 minggu, atau
Loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.
2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari
bahan-bahan yang bersifat iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis,
memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab, serta memakai alat
pelindung diri untuk menghindari kontak iritan saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan iritan di rumah saat
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
2. Edukasi untuk menggunakan alat pelindung diri seperti sarung
tangan dan sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
Kriteria Rujukan
1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch test
2. Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan
standar dan sudah menghindari kontak.
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
dermatitis kontak iritan.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam. Pada kasus DKI akut dan bisa
menghindari kontak, prognosisnya adalah bonam (sembuh tanpa komplikasi). Pada
kasus kumulatif dan tidak bisa menghindari kontak, prognosisnya adalah dubia.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s
Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada.
Saunders Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar