Gangguan
Somatoform
No ICPC-2
: P75. Somatization disorder
No ICD-10
: F45 Somatoform disorders
Tingkat
Kemampuan : 4A
Masalah
Kesehatan
Gangguan
somatoform merupakan suatu kelompok kelainan psikiatrik yang manifestasinya
dapat berupa berbagai gejala fisik yang dirasakan signifikan oleh pasien namun
tidak ditemukan penyebabnya secara medis.Tidak ada data yang pasti mengenai
prevalensi gangguan ini di Indonesia.
Satu
penelitian di Jakarta mendapatkan prevalensi gangguan jiwa yang terdeteksi di
Puskesmas sebesar 31,8%. Pada penelitian ini, jenis gangguan yang tersering
adalah neurosis, yaitu sebesar 25,8%, dan di dalamnya termasuk psikosomatik.
Walaupun tidak ada kondisi medis yang serius, gejala-gejala yang dirasakan oleh
pasien dengan gangguan somatoform sangat mengganggu dan berpotensi menimbulkan
distres emosional. Peran dokter di pelayanan kesehatan primer pada kasus
gangguan somatoform sangat penting. Keberhasilan dokter dalam mengeksklusi
kelainan medis, mendiagnosis gangguan somatoform dengan tepat, dan
menatalaksana akan sangat membantu meningkatkan kualitas hidup pasien,
mengurangi rujukan yang tidak perlu, dan menghindarkan pasien dari pemeriksaan
medis yang berlebihan atau merugikan.
Hasil
Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien
biasanya datang dengan keluhan fisik tertentu. Dokter harus mempertimbangkan
diagnosis gangguan somatoform bila terdapat beberapa karakteristik berikut ini:
1.
Keluhan atau gejala fisik berulang,
2.
Dapat disertai dengan permintaan pemeriksaan medis,
3.
Hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya kelainan yang dapat
menjelaskan keluhan tesebut,
4.
Onset dan kelanjutan dari keluhan berhubungan erat dengan peristiwa kehidupan
yang tidak menyenangkan atau konflik-konflik,
5.
Pasien biasanya menolak upaya untuk membahas kemungkinan adanya penyebab
psikologis,
6. Dapat
terlihat perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama pada pasien yang
tidak puas karena tidak berhasil membujuk dokter menerima persepsinya bahwa
keluhan
yang dialami merupakan penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Selain
untuk menegakkan diagnosis, anamnesis dilakukan untuk menggali pemahaman dan
persepsi pasien mengenai kondisi yang dialaminya. Seringkali tujuan ini baru
dapat dicapai setelah beberapa kali pertemuan. Dokter harus mengklarifikasi
keluhan-keluhan pasien hingga dicapai kesamaan persepsi. Selain itu, perlu pula
digali harapan dan keinginan pasien, keyakinan dan ketakutan yang mungkin
pasien miliki, serta stresor psikososial yang mungkin dialami dan menjadi
penyebab gangguan.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Tidak
ada pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang spesifik yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis gangguan somatoform. Pemeriksaan fisis dan penunjang
dilakukan untuk mengeksklusi kelainan organik yang dianggap relevan dengan
keluhan pasien. Pemeriksaan penunjang yang terlalu berlebihan perlu dihindari
agar tidak menambah kekhawatiran pasien.
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Dokter
layanan primer harus memikirkan diagnosis gangguan somatoform bila pada pasien
terdapat keluhan dengan karakteristik sebagaimana yang telah dijelaskan pada
halaman sebelumnya (lihat poin Hasil Anamnesis (Subjective)).
Dalam praktik sehari-hari, dokter dapat menggunakan kuesioner khusus sebagai
alat bantu skrining gangguan somatoform. Salah satu contohnya adalah Patient
Health Questionnaire 15 (PHQ-15). Berikut ini adalah langkah-langkah
pendekatan terhadap keluhan fisik pasien hingga dokter sampai pada kesimpulan
diagnosis gangguan somatoform:
1.
Mengeksklusi kelainan organik
Keluhan
dan gejala fisik yang dialami oleh pasien perlu ditindaklanjuti sesuai dengan
panduan tatalaksana medis terkait, dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang yang relevan.
2.
Mengeksklusi gangguan-gangguan psikiatri yang tergolong dalam kelompok dan blok
yang hirarkinya lebih tinggi.
Penegakkan
diagnosis gangguan psikiatrik dilakukan secara hirarkis. Dalam Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, gangguan somatoform memiliki kode
F45 dan merupakan blok penyakit yang termasuk dalam kelompok F40-F48, yaitu
gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan yang berkaitan dengan
stres. Dengan demikian, pada kasus gangguan somatoform, dokter perlu
mengeksklusi gangguan mental organik (F00-F09), gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan zat psikoaktif (F10-F19), skizofrenia, gangguan skizotipal,
dan gangguan waham (F20-F29), serta gangguan suasana perasaan atau mood atau
afektif (F30-F39). Pada blok F40-F48 sendiri, dokter perlu terlebih dahulu memastikan
ada tidaknya tanda-tanda gangguan ansietas (F40-F41), obsesif kompulsif (F42),
reaksi stres dan gangguan penyesuaian (F43), dan gangguan disosiatif atau
konversi (F44). Gangguan somatoform tidak dapat ditegakkan bila gejala dan
tanda pada pasien memenuhi kriteria diagnostik gangguan di hirarki yang lebih
tinggi.
3.
Mengeksklusi kondisi factitious disorder dan malingering
Pada
kondisi factitious disorder, pasien mengadopsi keluhan-keluhan fisik,
tanpa ia sadari, sebagai upaya memperoleh keuntungan internal, misalnya: untuk
mendapat perhatian lebih dari orang-orang tertentu di sekitarnya. Berbeda
halnya dengan kondisi malingering, di mana pasien sengaja atau
berpura-pura sakit untuk memperoleh keuntungan eksternal, misalnya: agar
terhindar dari tanggung jawab atau kondisi tertentu, atau untuk memperoleh
kompensasi uang tertentu). Pada gangguan somatoform, tidak ada keuntungan yang
coba didapat oleh pasien. Keluhan-keluhan yang disampaikan juga bukan sesuatu
yang disengaja, malahan adanya keluhan-keluhan tersebut dipicu, dipertahankan,
dan diperparah oleh kekhawatiran dan ketakutan tertentu (Oyama et al. 2007).
4.
Menggolongkan ke dalam jenis gangguan somatoform yang spesifik
Blok
gangguan somatoform terdiri atas:
a. F45.0. Gangguan somatisasi
b. F45.1. Gangguan somatoform tak terinci
c. F45.2. Gangguan hipokondrik
d. F45.3. Disfungsi otonomik somatoform
e. F45.4. Gangguan nyeri somatoform menetap
f. F45.5. Gangguan somatoform lainnya
g.
F45.6. Gangguan somatoform yang tidak tergolongkan (YTT)
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Tujuan
dari tatalaksana gangguan somatoform adalah mengelola gejala dan bukan
menyembuhkan, karena pada dasarnya tidak ada kelainan medis yang dialami oleh
pasien. Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar pengelolaan pasien dengan
gangguan somatoform:
1. Dokter harus menerima bahwa pasien memang betul-betul
merasakan gejala pada tubuhnya dan memahami bahwa gejala-gejala tersebut
mengganggu pasien. Dokter perlu melatih diri untuk tidak terlalu prematur
menganggap pasien berpura-pura (malingering) tanpa didukung bukti yang
kuat. Kunci utama tatalaksana gangguan somatoform adalah membangun kemitraan
dengan dan kepercayaan dari pasien.
2.
Bila terdapat kecurigaan adanya gangguan somatoform, dokter perlu mendiskusikan
kemungkinan ini sedini mungkin dengan pasien. Bila diagnosis gangguan
somatoform sudah ditegakkan, dokter perlu mendiskusikannya dengan pasien.
3.
Dokter perlu mengedukasi pasien mengenai gangguan yang dialaminya dengan
berempati dan menghindari konfrontasi. Dokter harus menunjukkan kesungguhan
untuk membantu pasien sebaik-baiknya, tanpa memaksa pasien untuk menerima
pendapat dokter.
4. Pemeriksaan medis dan rujukan ke layanan sekunder yang
tidak perlu harus dihindari. Bila ada gejala baru, dokter perlu berhati-hati
dalam menganjurkan pemeriksaan atau rujukan.
5. Dokter harus memfokuskan penatalaksanaan pada fungsi
pasien sehari-hari, bukan gejala, serta pada pengelolaan gejala, bukan
penyembuhan.
6. Dokter perlu menekankan modifikasi gaya hidup dan reduksi
stres. Keluarga pasien dapat dilibatkan dalam tatalaksana bila memungkinkan dan
diperlukan. Pasien mungkin perlu dibantu untuk mengindentifikasi serta
mengelola stres secara efektif, misalnya dengan relaksasi, breathing control.
Peningkatan aktifitas fisik dapat disarankan untuk mengurangi fatigue dannyeri
muskuloskeletal
7. Bila gangguan somatoform merupakan bagian dari kelainan
psikiatrik lain, dokter harus mengintervensi dengan tepat.
8. Dokter perlu menjadwalkan pertemuan yang reguler sebagai follow-up.
Pertemuan dapat singkat saja, misalnya 1 kali setiap bulan selama 5 – 10 menit,
terutama untuk memberi dukungan dan reassurance. Dokter perlu membatasi
dan menghindari konsultasi via telepon atau kunjungan-kunjungan yang bersifat
mendesak.
9.
Dokter perlu berkolaborasi dengan psikiater bila diperlukan, misalnya saat
penegakan diagnosis yang sulit, menentukan adanya komorbid psikiatrik lain,
atau terkait pengobatan.
Non-medikamentosa
Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan salah satu
tatalaksana yang efektif untuk mengelola gangguan somatoform. Dalam CBT, dokter
memposisikan diri sebagai mitra yang membantu pasien. Tahap awal dari CBT
adalah mengkaji masalah pasien dengan tepat dan membantu pasien
mengidentifikasi hal-hal yang selama ini menimbulkan atau memperparah gejala
fisik yang dialami, misalnya distorsi kognitif, keyakinan yang tidak realistis,
kekhawatiran, atau perilaku tertentu. Tahap selanjutnya adalah membantu pasien
mengidentifikasi dan mencoba alternatif perilaku yang dapat mengurangi atau
mencegah timbulnya gejala-gejala fisik, yang dikenal sebagai behavioral
experiments.
Medikamentosa
Penggunaan
obat harus berdasarkan indikasi yang jelas. Hanya sedikit studi yang
menunjukkan efektifitas yang signifikan dari penggunaan obat-obat untuk
tatalaksana gangguan somatoform. Antidepresan dapat diberikan bila terdapat
gejala-gejala depresi atau ansietas yang mengganggu.
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia
3.
Ad sanationam : Dubia
Sebagian
pasien tidak menunjukkan respon positif atas tatalaksana yang dilakukan dan
gangguan somatoform terus berlanjut bahkan hingga seumur hidup. Kondisi ini
diperkirakan terjadi pada 0,2 – 0,5% anggota populasi. Diagnosis dan
tatalaksana dini dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi hambatan pada
fungsi sosial dan okupasi sehari-hari.
Peralatan
Untuk
keperluan skrining, dapat disediakan lembar PHQ-15 di ruang praktik dokter.
Selain itu, tidak ada peralatan khusus yang diperlukan terkait diagnosis dan
tatalaksana gangguan somatoform.
Referensi
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993. F45
Gangguan Somatoform. In Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, pp. 209–221.
2. Gill, D. & Bass, C., 1997. Somatoform and Dissociative
Disorders: Assessment and Treatment. Advances in Psychiatric Treatment,
3(1), pp.9–16. Available at: http://apt.rcpsych.org/cgi/doi/10.1192/apt.3.1.9
[Accessed May 26, 2014].
3. Hidayat, D. et al., 2010. Penggunaan Metode Dua Menit (
M2M ) dalam Menentukan Prevalensi Gangguan Jiwa di Pelayanan Primer. Majalah
Kedokteran Indonesia, 60(10), pp.448–453.
4. Oyama, O., Paltoo, C. & Greengold, J., 2007.
Somatoform Disorders. American Family Physician, 76, pp.1333–1338.
Available at: www.aafp.org/afp.
5. PHQ Screeners, Physical Symptoms (PHQ-15). Patient
Health Questionnaire (PHQ) Screeners. Available at:
http://www.phqscreeners.com/pdfs/04_PHQ-15/English.pdf [Accessed May 24, 2014].
6. Ravesteijn, H. Van et al., 2009. Detecting
Somatoform Disorders in Primary Care with the PHQ-15. Annals of Family Medicine,
7, pp.232–238. Available at:
http://www.annfammed.org/content/7/3/232.full.pdf+html.
0 komentar:
Posting Komentar