konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Jumat, 14 Oktober 2016

Tetanus

Tetanus

No. ICPC-2 : N72 Tetanus
No. ICD-10 : A35 Other tetanus
Tingkat Kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan
Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin. Penyakit ini ditandai dengan spasme tonik persisten, disertai serangan yang jelas dan keras. Tetanospasmin adalah neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanospasmin menghambat neurotransmiter GABA dan glisin, sehingga tidak terjadi hambatan aktivitas refleks otot. Spasme otot dapat terjadi lokal (disekitar infeksi), sefalik (mengenai otot-otot cranial), atau umum atau generalisata (mengenai otot-otot kranial maupun anggota gerak dan batang tubuh). Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang yang mengakibatkan penutupan rahang (trismus atau lockjaw), serta melibatkan otot otot ekstremitas dan batang tubuh.
Di Amerika Serikat, sekitar 15% kasus tetanus adalah penyalahguna obat yang menggunakan suntikan.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus, sampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
1. Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.

2. Tetanus sefalik
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.

3. Tetanus umum/generalisata
Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.

4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti oleh kekakuan dan spasme.

Faktor Risiko: -


Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat.
1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap.
2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial.
3. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
4. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik.

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.
Tingkat keparahan tetanus:
Kriteria Pattel Joag
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
2. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat keparahan
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 400 C), atau aksila 99ºF ( 37,6 ºC ).

Grading
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak ada kematian)
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian 10%)
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%)
5. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum (kematian 84%).


Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s :

1. Grade 1 (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.

2. Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu.

3. Grade 3 (berat)
Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus meningkat.

4. Grade 4 (sangat berat)
Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali menyebabkan “autonomic storm”.


Diagnosis Banding
Meningoensefalitis, Poliomielitis, Rabies, Lesi orofaringeal, Tonsilitis berat, Peritonitis, Tetani (timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah), keracunan Strychnine, reaksi fenotiazine

Komplikasi
1. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

2. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

3. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.

4. Komplikasi yang lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan

1. Manajemen luka
Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C. tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus dengan kriteria sebagai berikut:


Tabel 8.7 Manajemen luka tetanus Luka rentan tetanus
Luka yang tidak rentan tetanus
> 6-8 jam
< 6 jam
Kedalaman > 1 cm
Superfisial < 1 cm
Terkontaminasi
Bersih
Bentuk stelat, avulsi, atau hancur (irreguler)
Bentuknya linear, tepi tajam
Denervasi, iskemik
Neurovaskular intak
Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)
Tidak infeksi



2. Rekomendasi manajemen luka traumatik
a. Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen.
b. Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan.
c. TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan.
d. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIg
3. Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi.
4. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya-ruangan redup dan tindakan terhadap penderita.
5. Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150 gr protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral.
6. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
7. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis. Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
8. Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya diperlukan skin tes untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka.


9. Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses neurologisnya.
10. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas dapat dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
11. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama.
12. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
13. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Konseling dan Edukasi
Peran keluarga pada pasien dengan risiko terjadinya tetanus adalah memotivasi untuk dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS.

Rencana Tindak Lanjut
1. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Pengulangan dilakukan 8 minggu kemudian dengan dosis yang sama dengan dosis inisial.
2. Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian.
3. Subsequent booster, diberikan 5 tahun berikutnya.
4. Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat.

Kriteria Rujukan
1. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama.
2. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan.
3. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis neurologi.

Peralatan
1. Sarana pemeriksaan neurologis
2. Oksigen
3. Infus set
4. Obat antikonvulsan

Prognosis
Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik. Tetanus biasanya tidak terjadi berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C. tetani.

Referensi
1. Kelompok studi Neuroinfeksi, Tetanus dalam Infeksi pada sistem saraf. Perdossi. 2012. (Kelompok Studi Neuroinfeksi, 2012)
2. Ismanoe, Gatot. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. Hal 1799-1806. (Sudoyo, et al., 2006)
3. Azhali, M.S. Garna, H. Aleh. Ch. Djatnika, S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam: Garna, H. Melinda, H. Rahayuningsih, S.E. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.Ed3. Bandung: FKUP/RSHS. 2005; 209-213. (Azhali, et al., 2005)
4. Rauscher, L.A. Tetanus. Dalam:Swash, M. Oxbury, J.Eds. Clinical Neurology. Edinburg: Churchill Livingstone. 1991; 865-871. (Rauscher, 1991)
5. Behrman, R.E.Kliegman, R.M.Jenson, H.B. Nelson Textbook of Pediatrics. Vol 1. 17thEd. W.B. Saunders Company. 2004. (Behrman, et al., 2004)
6. Poowo, S.S.S. Garna, H. Hadinegoro. Sri Rejeki, S.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis. Ed 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (Poowo, et al., t.thn.)
7. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus: progress to date. Bull: WHO. 1994; 72: 155-157. (World Health Organization, 1994)

8. Aminoff MJ, So YT. Effects of Toxins and Physical Agents on the Nervous System. In Darrof RB et al (Eds). Bradley’s Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and Management. 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2012:1369-1370. (Aminoff & So, 2012) 

0 komentar:

Posting Komentar