konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Tampilkan postingan dengan label Kesehatan Wanita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan Wanita. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Februari 2017

PERDARAHAN PASCA - SALIN 2016, PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN : FREE EBOOK


PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
PERDARAHAN PASCA - SALIN 
2016




Perdarahan pasca-salin (PPS)/ postpartum haemorrhage (PPH) merupakan penyebab terbesar kematian ibu di seluruh dunia. Salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian ibu (AKI) sebesar tiga perempatnya pada tahun 2015. Sayangnya, pada tahun 2012, AKI mengalami kenaikan menjadi 359 per 100.000 penduduk atau meningkat sekitar 57% dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya 228 per 100.000 penduduk.1 Pencapaian target MDGs dapat diraih salah satunya melalui penurunan AKI yang disebabkan oleh PPS. Untuk mendukung target tersebut, dibutuhkan petugas kesehatan yang terlatih dan pedoman berbasis bukti pada keamanan, kualitas, dan kegunaan dari berbagai intervensi yang ada. Dengan demikian dapat dilahirkan suatu kebijakan dan program yang dapat diimplementasikan secara realistis, strategis dan berkesinambungan.


Penyebab PPS yang paling sering adalah uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone), trauma jalan lahir (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan pembekuan darah (thrombin).







Pada praktiknya, jumlah PPS jarang sekali diukur secara objektif dan tidak diketahui secara jelas manfaatnya dalam penatalaksanaan PPS, serta luaran yang dihasilkan. Selain itu, beberapa pasien mungkin saja membutuhkan intervensi yang lebih walaupun jumlah perdarahan yang dialaminya lebih sedikit apabila pasien tersebut berada dalam kondisi anemis.

Saat ini, telah ada rekomendasi mengenai manajemen aktif persalinan kala III sebagai upaya pencegahan PPS, sayangnya, masih belum ada kesepakatan langkah-langkah intervensi, metode yang terbaik, dan syarat-syarat yang diperlukan untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut secara aman. Sebagai contohnya yaitu waktu terbaik pemberian uterotonika setelah persalinan, rekomendasi berbagai jenis dan cara pemberian obat pada keadaan yang berbeda-beda, manfaat melakukan klem dan peregangan tali pusat dini serta makna “dini” pada PPS. Beberapa rekomendasi diperlukan untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas dan hal tersebut harus merupakan langkah-langkah yang dapat dikerjakan secara aman oleh seluruh tenaga kesehatan.





Rabu, 30 November 2016

Cracked Nipple

Cracked Nipple

Nyeri pada puting merupakan masalah yang sering ditemukan pada ibu menyusui dan menjadi salah satu penyebab ibu memilih untuk berhenti menyusui bayinya. Diperkirakan sekitar 80-90% ibu menyusui mengalami nipple pain dan 26% di antaranya mengalami lecet pada puting yang biasa disebut dengan nipple crack. Kerusakan pada puting mungkin terjadi karena trauma pada puting akibat cara menyusui yang salah.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Adanya nyeri pada puting susu dan nyeri bertambah jika menyusui bayi.

Penyebab
Dapat disebabkan oleh teknik menyusui yang salah atau perawatan yang tidak benar pada payudara. Infeksi monilia dapat mengakibatkan lecet.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik didapatkan :
1. Nyeri pada daerah putting susu
2. Lecet pada daerah putting susu


Gambar  Crackecd Nipple

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis.

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik.

Komplikasi
Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi demam dan pembengkakan pada payudara.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
1. Teknik menyusui yang benar
2. Puting harus kering
3. Mengoleskan colostrum atau ASI yang keluar di sekitar puting susu dan membiarkan kering.
4. Mengistiraharkan payudara apabila lecet sangat berat selama 24 jam
5. Lakukan pengompresan dengan kain basah dan hangat selama 5 menit jika terjadi bendungan payudara

Medikamentosa
1. Memberikan tablet Parasetamol tiap 4 – 6 jam untuk menghilangkan nyeri.
2. Pemberian Lanolin dan vitamin E
3. Pengobatan terhadap monilia
  
Konseling dan Edukasi
1. Tetap memberikan semangat pada ibu untuk tetap menyusui jika nyeri berkurang.
2. Jika masih tetap nyeri, sebagian ASI sebaiknya diperah.
3. Tidak melakukan pembersihan puting susu dengan sabun atau zat iritatif lainnya.
4. Menggunakan bra dengan penyangga yang baik.
5. Posisi menyusui harus benar, bayi menyusui sampai ke kalang payudara dan susukan secara bergantian di antara kedua payudara.

Tabel 14.14 Posisi menyusui yang baik
Posisi tubuh yang baik
Posisi menyusui yang tidak benar

1. Posisi muka bayi menghadap ke payudara (Chin to Breast)
2. Perut atau dada bayi menempel pada pertu /dada ibu (Chest to Chest)
3. Seluruh badan Bai menghadap ke badan ibu hungga telinga bayi membentuk garis lurus dengan lengan bayi dan leher bayi
4. Seluruh punggung bayi tersanggah dengan bayi
5. Ada kontak mata antara ibu dengan bayi
6. Pegang belakang bahu, jangan kepala bayi
7. Kepala terletak di lengan bukan di daerah siku


1. Leher bayi terputar dan cenderung ke depan
2. Badan bayi menjauh dari ibu
3. Badan bayi tidak menghadap ke badan ibu
4. Hanya leher dan kepala tersanggah
5. Tidak ada kontak mata anatara ibu dan bayi
6. C – Hold tetap dipertahankan


Kriteria Rujukan
Rujukan diberikan jika terjadi kondisi yang mengakibatkan abses payudara

Prognosis
Ad vitam: Bonam ; Ad functionam: Bonam; Ad sanationam: Bonam

No. ICPC-2 : W.95 Breast disorder in pregnancy other
X.20 Nipple symptom/complaint female
No. ICD-10 : O9212 Cracked nipple associated with the puerperium
O9213 Cracked nipple associated with lactation
Tingkat kemampuan : 4 A


Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 379.

2. Utami, R. Yohmi, E. Buku Bedah ASI IDAI 

Inverted Nipple


Terdapat beberapa bentuk puting susu. Pada beberapa kasus seorang ibu merasa putingnya datar atau terlalu pendek akan menemui kesulitan dalam menyusui bayi. Hal ini bisa berdampak bayi tidak bisa menerima ASI dengan baik dan cukup.
Pada beberapa kasus, putting dapat muncul kembali bila di stimulasi, namun pada kasus-kasus lainnya, retraksi ini menetap.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Kesulitan ibu untuk menyusui bayi
2. Puting susu tertarik
3. Bayi sulit untuk menyusui

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Adanya puting susu yang datar atau tenggelam dan bayi sulit menyusui pada ibu.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan tidak memerlukan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis ini terbagi dalam :
1. Grade 1
a. Puting tampak datar atau masuk ke dalam
b. Puting dapat dikeluarkan dengan mudah dengan tekanan jari pada atau sekitar areola.
c. Terkadang dapat keluar sendiri tanpa manipulasi
d. Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat menyusui dengan biasa.
2. Grade 2
a. Dapat dikeluarkan dengan menekan areola, namun kembali masuk saat tekanan dilepas
b. Terdapat kesulitan menyusui.
c. Terdapat fibrosis derajat sedang.
d. Saluran ASI dapat mengalami retraksi namun pembedahan tidak diperlukan.
e. Pada pemeriksaan histologi ditemukan stromata yang kaya kolagen dan otot polos.
3. Grade 3
a. Puting sulit untuk dikeluarkan pada pemeriksaan fisik dan membutuhkan pembedahan untuk dikeluarkan.
b. Saluran ASI terkonstriksi dan tidak memungkinkan untuk menyusui
c. Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah kebersihan
d. Secara histologis ditemukan atrofi unit lobuler duktus terminal dan fibrosis yang parah

Komplikasi
Risiko yang sering muncul adalah ibu menjadi demam dan pembengkakan pada payudara.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan Non-Medikamentosa
Untuk puting datar/tenggelam (inverted nipple) dapat diatasi setelah bayi lahir, yaitu dengan proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) sebagai langkah awal dan harus terus menyusui agar puting selalu tertarik. Ada dua cara yang dapat digunakan untuk mengatasi puting datar/terbenam, yaitu:
1. Penarikan puting secara manual/dengan tangan. Puting ditarik-tarik dengan lembut beberapa kali hingga menonjol.
2. Menggunakan spuit ukuran 10-20 ml, bergantung pada besar puting. Ujung spuit yang terdapat jarum dipotong dan penarik spuit (spuit puller) dipindahkan ke sisi bekas potongan. Ujung yang tumpul di letakkan di atas puting, kemudian lakukan penarikan beberapa kali hingga puting keluar. Lakukan sehari tiga kali; pagi, siang, dan malam masing-masing 10 kali
3. Jika kedua upaya di atas tidak memberikan hasil, ibu dapat memberikan air susunya dengan cara memerah atau menggunakan pompa payudara.
4. Jika putting masuk sangat dalam, suatu usaha harus dilakukan untuk mengeluarkan putting dengan jari pada beberapa bulan sebelum melahirkan.

Konseling dan Edukasi
1. Menarik-narik puting sejak hamil (nipple conditioning exercises) ataupun penggunaan breast shield dan breast shell. Tehnik ini akan membantu ibu saat masa telah memasuki masa menyusui.
2. Membangkitkan rasa percaya diri ibu dan membantu ibu melanjutkan untuk menyusui bayi. Posisikan bayi agar mulutnya melekat dengan baik sehingga rasa nyeri akan segera berkurang. Tidak perlu mengistirahatkan payudara, tetapi tetaplah menyusu on demand

Kriteria Rujukan: -

Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam


X.20 Nipple symptom/complaint female
Tingkat kemampuan : 4A


Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. 379
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2013.
3. Program Manajemen Laktasi, 2004. Buku Bacaan Manajemen Laktasi. Jakarta.

4. http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/manajemen-laktasi.html. 2014 

Mastitis


Mastitis adalah peradangan payudara yang terjadi biasanya pada masa nifas atau sampai 3 minggu setelah persalinan.
Kejadian mastitis berkisar 2-33% dari ibu menyusui dan lebih kurang 10% kasus mastitis akan berkembang menjadi abses (nanah), dengan gejala yang makin berat.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Nyeri dan bengkak pada daerah payudara, biasa pada salah satu payudara
2. Adanya demam > 38 C
3. Paling sering terjadi di minggu ke 3 - 4 postpartum

Gejala klinis
1. Demam disertai menggigil
2. Dapat disertai demam > 380C
3. Mialgia
4. Nyeri di daerah payudara
5. Sering terjadi di minggu ke–3 dan ke–4 postpartum, namun dapat terjadi kapan saja selama menyusui

Faktor Risiko
1. Primipara
2. Stress 
3. Tehnik menyusui yang tidak benar, sehingga proses pengosongan payudara tidak terjadi dengan baik. (menyusui hanya pada satu posisi)
4. Penghisapan bayi yang kurang kuat, dapat menyebabkan statis dan obstruksi kelenjar payudara.
5. Pemakaian bra yang terlalu ketat
6. Bentuk mulut bayi yang abnormal (ex: cleft lip or palate), dapat menimbulkan trauma pada puting susu.
7. Terdapat luka pada payudara.
8. Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan tanda vital : nadi meningkat (takikardi).
2. Pemeriksaan payudara
a. payudara membengkak
b. lebih teraba hangat
c. kemerahan dengan batas tegas
d. adanya rasa nyeri
e. unilateral
f. dapat pula ditemukan luka pada payudara

Pemeriksaan penunjang : -

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis klinis
Diagnosis klinis dapat di tegakkan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisis.
Berdasarkan tempatnya, mastitis dapat dibedakan menjadi 3 macam, antara lain :
1. Mastitis yang menyebabkan abses dibawah areola mammae.
2. Mastitis ditengah payudara yang menyebabkan abses ditempat itu.
3. Mastitis pada jaringan dibawah dorsal kelenjar-kelenjar yang menyebabkan abses antara payudara dan otot-otot dibawahnya.

Diagnosis Banding:-

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
1. Ibu sebaiknya tirah baring dan mendapat asupan cairan yang lebih banyak.
2. Sampel ASI sebaiknya dikultur dan diuji sensitivitas.
3. Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra yang pas

Medikamentosa
1. Berikan antibiotika
a. Kloksasilin 500 mg per oral per 6 jam selama 10-14 hari
b. ATAU Eritromisin 250 mg per oral 3 x 1 sehari selama 10 hingga 14 hari

2. Analgetik parasetamol 3x500 mg per oral
3. Lakukan evaluasi setelah 3 hari.

Komplikasi:
1. Abses mammae
2. Sepsis

Konseling dan Edukasi
1. Memberikan pengetahuan akan pentingnya ASI dan mendorong ibu untuk tetap menyusui,
2. Menyusui dapat dimulai dengan payudara yang tidak sakit.
3. Pompa payudara dapat di lakukan pada payudara yang sakit jika belum kosong setelah bayi menyusui.
4. Ibu dapat melakukan kompres dingin untuk mengurangi bengkak dan nyeri.
5. Ibu harus menjaga kebersihan diri dan lingkungan untuk menghindari infeksi yang tidak diinginkan.

Peralatan
1. Lampu
2. Kasa steril
3. Sarung tangan steril
4. Bisturi

Kriteria Rujukan
Jika terjadi komplikasi abses mammae dan sepsis.

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam.

No. ICPC-2 : X21 Breast symptom/complaint female other
No. ICD-10 : N61Inflammatory disorders of breast
Tingkat Kemampuan : 4A


Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B. Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.Edisi keempat cetakan ketiga. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010: Hal 380, 652-653(Prawirohardjo, et al., 2010)
2. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013.

Ruptur Perineum Tingkat 1-2


Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang terjadi pada persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita yang melahirkan pervaginam mengalami ruptur perineum spontan, yang 60% - 70% di antaranya membutuhkan penjahitan (Sleep dkk, 1984; McCandlish dkk,1998). Angka morbiditas meningkat seiring dengan peningkatan derajat ruptur.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Gejala Klinis
Perdarahan pervaginam

Etiologi dan Faktor Risiko
Ruptur perineum umumnya terjadi pada persalinan, dimana:
1. Kepala janin terlalu cepat lahir
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
4. Pada persalinan dengan distosia bahu
5. Partus pervaginam dengan tindakan
Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur perineum.
  
Tabel Faktor resiko rupture perineum
Faktor risiko ruptur perineum
Known risk factors
Suggested risk factors
Nulipara
Peningkatan usia
Makrosomia
Etnis
Persalinan dengan instrumen terutama forsep
Status nutrisi
Malpresentasi
Analgesia epidural
Malposisi seperti oksiput posterior

Distosia bahu

Riptur perineum sebelumnya

Lingkar kepala yang lebih besar


Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:
1. Robekan pada perineum,
2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang bersifat merembes,
3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai derajat robekan perineum

Pemeriksaan Penunjang: -

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan.
Klasifikasi ruptur perineum dibagi menjadi 4 derajat:
1. Derajat I

Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum. Biasa tidak perlu dilakukan penjahitan.
2. Derajat II

Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak melibatkan kerusakan otot sfingter ani.
3. Derajat III

Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dengan pembagian sebagai berikut:
IIIa. Robekan < 50% sfingter ani eksterna
IIIb. Robekan > 50% sfingter ani ekterna
IIIc. Robekan juga meliputi sfingter ani interna


Gambar  Ruptur Perineum dan Sfingter Ani


Sfingter ani yang intak (ditunjuk oleh tanda panah A) terlihat lebih jelas pada pemeriksaan rectal touche (B); Robekan parsial sepanjang sfingter ani eksterna (C); Robekan perineum derajat 3b dengan sfingter ani yang intak (Internal anal sphincter/IAS). Sfingter ani eksterna (External anal sphincter/EAS) dijepit oleh forseps Allis. Perhatikan perbedaan warna IAS yang lebih pucat dibandingkan EAS (D).
4. Derajat IV
 Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rektum

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan

Non Medikantosa
1. Menghindari atau mengurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul didahului oleh kepala janin dengan cepat.
2. Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.

Medikamentosa
1. Penatalaksanaan farmakologis
Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan intravena sebelum perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum yang berat).
2. Manajemen Ruptur Perineum:
a. Alat-alat yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan jalan lahir
       Retractor Weislander’s
       Forceps gigi (fine & strong)
       Needle holder (small and large)
       Forceps Allis (4)
       Forceps arteri (6)
       Gunting Mitzembaum
       Gunting pemotong jahitan
       Spekulum Sims
       Retraktor dinding samping dalam vagina
       Forceps pemegang kasa
b. bahan-bahan yang diperlukan untuk perbaikan jalan lahir.
      Tampon
      Kapas besar
      Povidon Iodine
      Lidocain 1% (untuk ruptur perineumderajat I-II)
     Benang catgut / Asam poliglikolik (Dexon, David&Geck Ltd, UK) / Poliglaktin 910 (Vicryl, Ethicon Ltd, Edinburgh, UK)

Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko perdarahan, edema, dan infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk masing-masing derajatnya, antara lain sebagai berikut :

Robekan perineum derajat 1
Robekan tingkat I mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, tidak perlu dilakukan penjahitan.

Penjahitan robekan perineum derajat 2
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Pastikan pasien tidak memiliki alergi terhadap Lignokain atau obat-obatan sejenis
3. Suntikan 10 ml Lignokain 0.5% di bawah mukosa vagina, di bawah kulit perineum dan pada otot-otot perineum. Masukan jarum pads ujung laserasi dorong masuk sepanjang luka mengikuti garis tempat jarum jahitnya akan masuk atau keluar.
4. Tunggu 2 menit. Kemudian area dengan forsep hingga pasien tidak merasakan nyeri.
5. Jahit mukosa vagina secara jelujur dengan benang 2-0, lihat ke dalam luka untuk mengetahui letak ototnya (penting untuk menjahit otot ke otot agar tidak ada rongga di dalamnya).
6. Carilah lapisan subkutis persis dibawah lapisan kulit, lanjutkan dengan jahitan subkutikuler kembali keatas vagina, akhiri dengan simpul mati pada bagian dalam vagina.
7. Potong kedua ujung benang dan hanya sisakan masing-masing 1 cm.
8. Jika robekan cukup luas dan dalam, lakukan colok dubur dan pastikan tidak ada bagian rektum terjahit.

CATATAN: Aspirasi penting untuk meyakinkan suntikan lignokain tidak masuk dalam pembuluh darah. Jika ada darah pada aspirasi, pindahkan jarum ke tempat lain. Aspirasi kembali. Kejang dan kematian dapat terjadi jika lignokain diberikan lewat pembuluh darah (intravena)


Gambar Penjahitan Luka Perineum Tingkat 2

Penjahitan robekan perineum derajat 3
1. Perbaikan robekan harus dilakukan hanya oleh dokter yang sudah dilatih secara formal (atau dalam supervisi) mengenai perbaikan sfingter ani primer.
 Perbaikan harus dilakukan di kamar operasi dengan pencahayaan yang baik, peralatan yang memadai, dan kondisi aseptik.
a. Anestesi umum atau regional (spinal, epidural, kaudal) menjadi analgesik dan pelemas otot yang bermanfaat dalam evaluasi luasnya robekan.
 Luasnya robekan harus dievaluasi melalui pemeriksaan vagina dan rektal yang berhati-hati.
 Jika terdapat kebingungan dalam menentukan derajat trauma maka derajat yang lebih tinggi yang harus dipilih.

Pada kasus yang jarang ditemui, tipe robekan "buttonhole" terisolasi dapat terjadi di rektum tanpa menyebabkan kerusakan sfingter ani.
2. Diperbaiki secara transvaginal menggunakan jahitan interrupted dengan benang Vicryl.
3. Untuk mengurangi risiko fistula rektovaginal persisten, selapis jaringan perlu disisipkan diantara rektum dan vagina. (Dengan aproksimasi fasia rektovaginal).
4. Kolostomi diindikasikan hanya jika terdapat robekan besar yang mencapai dasar pelvis atau terdapat kontaminasi feses pada luka.

Penjahitan robekan perineum derajat 4
1. Epitel ani yang mengalami robekan diperbaiki dengan jahitan interrupted menggunakan benang Vicryl 3/0 dan disimpul di dalam lumen ani.

Perbaikan epitel ani secara subkutikular melalui pendekatan transvaginal juga diketahui memiliki keefektifan yang sama jika simpul terminalnya terikat dengan baik.
2. Otot sfingter diperbaiki dengan 3/0 PDS dyed sutures.
a. Benang monofilamen dipercaya dapat mengurangi risiko infeksi dibandingkan dengan benang braided.
b. Benang monofilamen non-absorbable seperti nilon atau Prolene (polypropylene) dipilih oleh beberapa dokter bedah kolorektal dalam perbaikan sekunder robekan sfingter.
c. Benang non-absorbable dapat menyebabkan abses pada jahitan (terutama pada simpul) dan ujung tajam jahitan dapat menyebabkan ketidaknyamanan.
d. Absorpsi sempurna PDS lebih lama dari Vicryl dan kekuatan tensilnya bertahan lebih lama dari Vicryl.
e. Untuk mengurangi perpindahan jahitan, ujung jahitan harus dipotong pendek dan tertupi oleh muskulus perinei superfisialis.
f. Sebuah RCT menunjukkan tidak ada perbedaan morbiditas terkait jahitan menggunakan benang Vicryl dan PDS pada 6 minggu post partum.
3. Sfingter ani interna harus diidentifikasi dan jika mengalami robekan harus diperbaiki secara terpisah dari sfingter ani eksterna.
a. Sfingter ani interna tampak pucat seperti daging ikan mentah sedangkan sfingter ani eksterna berwarna lebih terang, seperti daging merah.
b. Ujung-ujung otot yang robek dijepit dengan forsep Allis dan perbaikan end-to-end dilakukan dengan jahitan interrupted atau matras menggunakan PDS 3/0.
4. Sfingter ani eksterna harus diidentifikasi dan dijepit dengan forsep Allis karena sfingter ini cenderung mengkerut ketika robek.
       a. Setelah itu, otot dipisahkan dari lemak iskhioanal menggunakan gunting Mitzembaum.
    b. Ujung-ujung robekan sfingter ani eksterna kemudian dijahit menggunakan teknik overlap dengan benang PDS 3/0.
    c. Teknik overlap akan menyebabkan area kontak otot menjadi lebih luas dibandingkan dengan teknik end-to end.
    d. Wanita dengan perbaikan sfingter ani eksterna secara end-to-end diketahui dapat tetap kontinen tetapi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami inkontinensia pada usia yang lebih lanjut.
e. Jika operator tidak familiar dengan teknik overlap atau sfingter ani eksterna hanya robek sebagian (derajat 3a/3b) maka perbaikan end-to-end harus dilakukan menggunakan 2-3 jahitan matras, seperti pada perbaikan sfingter ani interna.
5. Setelah perbaikan sfingter, perineal body perlu direkonstruksi agar dapat mempertahankan sfingter ani yang telah diperbaiki.
a. Perineum yang pendek dapat menyebabkan sfingter ani menjadi lebih rentan terhadap trauma dalam kelahiran per vaginam berikutnya.
b. Kulit vagina harus dijahit dan kulit perineum diaproksimasi dengan jahitan subkutikular menggunakan benang Vicryl 3/0.
6. Pemeriksaan rektovaginal harus dilakukan untuk memastikan perbaikan telah sempurna dan memastikan bahwa seluruh tampon atau kapas telah dikeluarkan.
7. Catatan yang lengkap mengenai temuan dan perbaikan harus dibuat.
Jika tidak terdapat tenaga yang kompeten pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis obstetrik dan ginekologi.

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan suami, mengenai, cara menjaga kebersihan daerah vagina dan sekitarnya setelah dilakukannya penjahitan di daerah perineum, yaitu antara lain:
1. Menjaga perineum selalu bersih dan kering.
2. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineum.
3. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali per hari.
4. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri.

Kriteria Rujukan
Kriteria tindakan pada Fasilitas Pelayanan Primer hanya untuk Luka Perineum Tingkat 1 dan 2. Untuk luka perineum tingkat 3 dan 4 dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder.

Peralatan
1. Lampu
2. Kassa steril
3. Sarung tangan steril
4. Hecting set
5. Benang jahit catgut
6. Laboratorium sederhana pemeriksaan darah rutin dan golongan darah.

Prognosis
Prognosis umumnya bonam.

Tingkat Kemampuan : 4A


Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013.(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)
2. PriyatiniT,Ocviyanti D, Kemal A. IlmuBedahDasarObstetridanGinekologi. Bina Pustaka.2014 (Priyatini, et al., 2014)
3. Cunningham, F.G. Leveno, K.J. Bloom, S.L. Hauth, J.C. Rouse, D.J. Spong, C.Y.Williams Obstectrics. 23rdEd. McGraw-Hill. 2009.(Cunningham, et al., 2009)

4. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1 Jakarta:Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo. 2007: Hal 170-6(Prawirohardjo, et al., 2010).