konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Tampilkan postingan dengan label Laporan Kasus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Laporan Kasus. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Maret 2017

Gangguan Psikiatrik pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik

Gangguan Psikiatrik pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik



Andri
Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana,
Jakarta, Indonesia


ABSTRAK
Pasien penyakit ginjal kronik adalah salah satu kondisi pasien yang paling kompleks dalam praktik consultation-liaison psychiatry (CLP). Hal ini
karena perjalanan penyakit yang panjang dan komplikasi yang sering muncul membuat pasien sering tidak berdaya menghadapi penyakit.
Selain itu penyakit ginjal kronik sendiri sering membawa komplikasi dalam bentuk gejala gangguan jiwa. Tulisan ini mengemukakan tiga kasus
pasien penyakit ginjal kronik dengan komplikasi gangguan jiwa yang paling sering dialami yaitu delirium, depresi dan sindrom disekuilibrium.
Masing-masing kasus mempunyai latar belakang fi siologi dan psikopatologi yang berbeda. Penanganan kasus-kasus gangguan kejiwaan pada
pasien penyakit ginjal kronik disesuaikan dengan kondisi medis umum pasien dan psikopatologinya.
Kata kunci: penyakit ginjal kronik, depresi, delirium, sindrom disekuilibrium


ABSTRACT
Patients with chronic kidney disease is one of the most complex conditions in the practice of consultation-liaison psychiatry (CLP). This is
because the long course of the disease and treatment. It is also related to the complications of the kidney failure that often appear to make patients
helpless dealing with it. One of the complication of kidney failure is mental disorder symptoms. This paper presents three cases of chronic
kidney failure who had psychiatric disorder which were common experienced by chronic kidney failure patients. They were delirium, depression
and dysequilibrium syndrome. Each case has a backgrouond of a diff erent physiology and psychopathology. Handling cases of psychiatric
disorder in patients with chronic kidney failure were adjusted to patient’s general medical condition and psychopathology. Andri. Psychiatric
Disorders in Chronic Kidney Disease.
Key words: chronic kidney disease, depression, delirium, dysequilibrium syndrome


PENDAHULUAN
Pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah
salah satu kondisi pasien yang paling
kompleks dalam praktik consultation-liaison
psychiatry (CLP). Kondisi fi sik yang terganggu
dengan berbagai macam kelainan metabolik
hanyalah sebagian penyebab yang membuat
tata laksana pasien dengan kondisi ini menjadi
lebih kompleks. Selain itu, faktor psikologis pada
pasien dengan kondisi penyakit ginjal kronik
juga sangat terpengaruh. Hal ini disebabkan
selain perjalanan penyakit yang panjang,
ketidakmampuan pasien dan perasaan tidak
nyaman yang diakibatkan karena bergantung
dengan mesin hemodialisis sering menjadi
sumber putus asa yang mengarah kepada
hendaya psikologis lebih lanjut.1
Secara global, terdapat 200 kasus gangguan
ginjal per sejuta penduduk, 8 juta di antara
jumlah populasi yang mengalami gangguan
ginjal berada dalam tahap penyakit ginjal
kronik. Penelitian sebelumnya mengatakan
terdapat hubungan antara mengalami gagal
ginjal dengan timbulnya gangguan psikiatri
pada pasien. Kondisi ini bisa terjadi pada kasus
gagal ginjal akut maupun yang kronik. Kondisi
yang paling sering dihubungkan pada kasus
gagal ginjal pada fase akut adalah delirium.2
ILUSTRASI KASUS
Berbagai kasus terkait kondisi gangguan
kejiwaan pada pasien dengan gangguan ginjal
banyak ditemukan. Di bawah ini terdapat tiga
kasus dengan perbedaan gejala dan keluhan
psikiatriknya.

Ilustrasi Kasus 1
Pasien laki-laki usia 48 tahun dirawat dengan
diagnosis penyakit ginjal kronik dengan
rencana hemodialisis keesokan harinya. Sore
itu pasien tampak gelisah, psikomotor aktif
cenderung agresif, serta tampak kebingungan.
Pasien dikekang dengan ikatan kain
karena sangat gelisah. Pemeriksaaan status
mental mengonfi rmasi adanya gangguan
dalam memusatkan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian. Pasien juga
mengalami kekacauan orientasi waktu,
tempat, dan orang. Diagnosis delirium pada
kondisi medis umum ditegakkan. Pasien
diberi Haloperidol injeksi intravena 2,5
mg. Sejam kemudian, observasi lanjutan
memperlihatkan kondisi pasien sudah lebih
tenang. Hemodialisis dilakukan tetap sesuai
jadwal pada pagi harinya.

Ilustrasi Kasus 2
Pasien laki-laki usia 48 tahun dengan penyakit
ginjal kronik sudah 2 tahun menjalanihemodialisis teratur 2 kali seminggu.
Selama ini pasien tidak pernah melewatkan
hemodialisisnya. Setahun terakhir pasien
sering sulit mengendalikan dietnya, aturan
diet dari dokternya tidak pernah dituruti.
Makanan sumber kaya Kalium(K) seperti
kentang dimakan tanpa pembatasan.
Dia juga terus merokok dan makan sate
kambing kesukaannya sampai beberapa
puluh tusuk sekali makan. Pasien juga tidak
mau mengurangi asupan cairannya padahal
berkemihnya sudah sedikit hanya sekitar 500
ml perhari. Pasien dikonsulkan oleh dokter
penyakit dalam yang merawat. Pemeriksaan
menghasilkan diagnosis Gangguan Depresi.
Pasien mengatakan lebih baik segera mati
daripada merepotkan banyak orang. Pasien
sampai saat ini masih menjalani psikoterapi
dan pengobatan untuk mengurangi
depresinya.

Ilustrasi Kasus 3
Pasien seorang laki-laki usia 56 tahun dengan
kondisi gagal ginjal akut dan baru saja
menjalani hemodialisis yang pertama kali.
Sekitar 2 jam setelah hemodialisis selesai,
pasien mulai bicara kacau, tidak koheren dan
gelisah. Pasien tampak ingin selalu bangun
dari tempat tidurnya karena merasa tidak
betah lama-lama duduk. Psikomotor tampak
agitasi yang jelas. Pemeriksaan laboratorium
saat ini menunjukkan kadar ureum, kreatinin
dan nitrogen urea darah dalam kondisi normal.
Tidak terdapat riwayat kondisi seperti ini di
masa lalu dan tidak ada riwayat gangguan
psikiatri lainnya. Diagnosis saat pasien
diperiksa adalah sindrom disequlibrium.
Untuk sementara pasien diberi lorazepam
0,5mg untuk meredakan agitasinya. Dua
puluh empat jam setelah kondisi terakhir saat
diperiksa, pasien sudah tampak baik kembali,
tidak terdapat gejala sisa.
DISKUSI
KONDISI PSIKIATRIK TERKAIT GAGAL
GINJAL
Delirium
Delirium pada kondisi gagal ginjal dikaitkan
dengan kegagalan ginjal dalam mengeluarkan
metabolit beracun dari dalam tubuh lewat
saluran kemih. Penyebabnya bisa karena
kadar ureum dalam darah yang meningkat
(uremia), anemia dan hiperparatiroidisme.
Kondisi ini juga bisa terjadi seiring dengan
peningkatan jumlah pasien diabetes yang
menerima dialisis akibat kondisi disfungsi
renalnya. Status mental pada kondisi ini akan
berubah dari sulit konsentrasi dan gangguan
intelejensia sampai kebingungan nyata yang
disertai kelesuan.3
Hal paling penting adalah membedakannya
dengan demensia dialisis atau dengan
demensia sebelum kondisi gangguan ginjal
terjadi. Deteksi dini gangguan kognitif
menggunakan Mini Mental State Examination
(MMSE) bisa dilakukan rutin pada pasienpasien
gangguan ginjal apalagi yang berusia
lanjut.3
Biasanya, dengan hemodialisis, kondisi
gangguan kognitifnya akan kembali normal,
namun ada kalanya menetap. Pada kasus
pertama, kondisi delirium terjadi pada
pasien yang belum menjalani hemodialisis.
Penggunaan antipsikotik dosis kecil dan atau
anticemas sering berguna untuk mengatasi
gejala-gejala delirium. Hal yang perlu diingat
pengobatan ini bersifat sementara sampai
gangguan dasarnya diobati.3
Depresi
Depresi adalah kondisi gangguan kejiwaan
yang paling banyak ditemukan pada pasien
gagal ginjal. Prevalensi depresi berat pada
populasi umum adalah sekitar 1,1%-15% pada
laki-laki dan 1,8%-23% pada wanita, namun
pada pasien hemodialisis prevalensinya
sekitar 20%-30% bahkan bisa mencapai 47%.
Hubungan depresi dan mortalitas yang tinggi
juga terdapat pasien-pasien yang menjalani
hemodialisis jangka panjang.4 Kondisi afeksi
yang negatif pada pasien gagal ginjal juga
seringkali bertumpang tindih gejalanya
dengan gejala-gejala pasien gagal ginjal
yang mengalami uremia seperti iritabilitas,
gangguan kognitif, ensefalopati, akibat
pengobatan atau akibat hemodialisis yang
kurang maksimal.5
Pendekatan psikodinamik pada gangguan
depresi adalah suatu kondisi yang
berhubungan dengan hilangnya sesuatu di
dalam diri manusia tersebut. Kondisi ini biasa
terjadi pada pasien dengan gangguan medis
kronik termasuk pasien dengan masalah
ginjal. Persepsi diri akan kehilangan yang
besar dalam kehidupan pasien melebihi
kenyataan kondisi sebenarnya yang mungkin
tidak sebesar persepsi pasien. Walaupun pada
beberapa kondisi berat, kondisi ginjal pasien
yang sebenarnya memang sesuai dengan
persepsi pasien akan sakitnya yang kronik.6
Kondisi gagal ginjal yang biasanya dibarengi
dengan hemodialisis adalah kondisi yang
sangat tidak nyaman. Kenyataan bahwa
pasien gagal ginjal terutama penyakit ginjal
kronik yang tidak bisa lepas dari hemodialisis
sepanjang hidupnya menimbulkan dampak
psikologis yang tidak sedikit. Faktor kehilangan
sesuatu yang sebelumnya ada seperti
kebebasan, pekerjaan dan kemandirian adalah
hal-hal yang sangat dirasakan oleh para pasien
gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Hal
ini bisa menimbulkan gejala-gejala depresi
yang nyata sampai dengan tindakan bunuh
diri. Kepustakaan mencatat bahwa tindakan
bunuh diri pada pasien penyakit ginjal kronik
yang mengalami hemodialisis di Amerika
Serikat bisa mencapai 500 kali lebih banyak
daripada populasi umum. Selain tindakan nyata
melakukan tindakan bunuh diri, sebenarnya
penolakan terhadap kegiatan hemodialisis
yang terjadual dan ketidakpatuhan terhadap
diet rendah potasium adalah salah satu hal
yang bisa dianggap sebagai upaya “halus”
untuk bunuh diri.6
Apa yang terjadi pada pasien pada ilustrasi
kedua adalah kondisi yang menggambarkan
situasi depresi. Ketidakpatuhan akan diet
yang disarankan adalah suatu gejala putus
asa yang merupakan salah satu ciri gejala
depresi. Lebih jauh adanya ide-ide kematian
sering dialami oleh pasien dengan kondisi
depresi berat. Walaupun tidak ada perilaku
membunuh diri yang nyata, ketidakpatuhan
pasien terhadap aturan dokter dan malahan
berkesan melawan aturan tersebut adalah
suatu sikap pasif agresif yang ditunjukkan
pasien.
Sindrom Disekuilibrium
Kondisi sindrom disekuilibrium cukup
sering terjadi pada pasien yang menjalani
hemodialisis. Hal ini biasanya terjadi selama
atau segera setelah proses hemodialisis.
Kondisi ini disebabkan oleh koreksi berlebihan
keadaan azotemia yang menyebabkan
ketidakseimbangan osmotik dan perubahan
pH darah yang cepat, membuat adanya edema
serebral yang menyebabkan timbulnya gejalagejala
klinik seperti sakit kepala, mual, keram
otot, iritabilitas, agitasi, perasaan mengantuk
dan kadang kejang. Gejala psikosis juga bisa
terjadi. Sindrom disekuilibrium biasa terjadi
setelah 3 s.d. 4 jam setelah hemodialisisnamun bisa juga terjadi 8-48 jam setelah
prosedur itu dilakukan.7
Biasanya kondisi ini terjadi pada pasien yang
baru pertama kali menjalani hemodialisis
seperti pada pasien yang diilustrasikan pada
kasus ketiga. Kondisi ini biasanya segera
terjadi setelah hemodialisis namun bisa
segera membaik jika diberi penanganan
tepat. Obat antipsikotik dosis kecil bisa
diberikan untuk mengatasi gejala-gejala
psikotik yang timbul akibat kondisi ini.
Haloperidol sampai saat ini merupakan obat
yang disarankan karena efeknya yang relatif
minimal pada pasien dengan gangguan
ginjal dan dapat digunakan secara aman
pada pasien dengan gagal ginjal sekalipun.
Dosisnya berkisar antara 1-2 mg perhari.
Pengurangan dosis secara empiris dapat
dilakukan untuk mengurangi efek sedasi yang
mungkin timbul. Penggunaan obat-obatan
antipsikotik atipikal, seperti risperidon,
kuetiapin, olanzapin, pada beberapa
laporan kasus dikatakan cukup aman dan
tidak memerlukan penyederhanaan dosis
untuk pasien gagal ginjal yang mengalami
gejala psikotik akibat kondisi sindrom
disekuilibrium atau demensia dialisis.
Tetapi belum ada penelitian sistematik
penggunaan obat antipsikotik atipikal ini
untuk kasus-kasus gejala psikotik, skizofrenia,
delirium, dan demensia pada pasien ginjal.
Efek obat antipsikotik atipikal pada pasien
dengan metabolisme glukosa terganggu
atau dengan komorbiditas diabetes melitus
perlu menjadi bahan pertimbangan. Obat
antipsikotik atipikal, terutama olanzapin,
sering menginduksi atau mencetuskan
terjadinya diabetes.7.8
Demensia Dialisis
Demensia Dialisis juga dikenal dengan
sebutan ensefalopati dialisis adalah sindrom
yang fatal dan progresif. Pada prakteknya hal
ini jarang terjadi, biasanya pada pasien yang
sudah menjalani dialisis paling sedikit satu
tahun. Kondisi ini diawali dengan gangguan
bicara, seperti gagap yang kemudian berlanjut
menjadi disartria, disfasia dan akhirnya tidak
bisa bicara sama sekali. Kondisi ini memberat
sampai berkembang menjadi mioklonus
fokal maupun menyeluruh, kejang fokal atau
umum, perubahan kepribadian, waham dan
halusinasi. Demensia dialisis disebabkan
karena keracunan alumunium yang berasal
dari cairan dialisis dan garam alumunium yang
digunakan untuk mengatur kadar fosfat serum.
Pencegahannya dengan menggunakan bahan
dialisis yang tidak mengandung alumunium.
Pada awalnya kondisi ini dapat kembali baik
namun jika dibiarkan dapat menjadi progresif
sampai dengan 1-15 bulan setelah gejala awal.
Kematian biasanya terjadi dalam rentang 6-12
bulan setelah permulaan gejala.7
PSIKOFARMAKOLOGI PADA PASIEN
DIALISIS
Kebanyakan obat psikotropik yang digunakan
sehari-hari dalam praktek psikiatri medis
selain litium dimetabolisme di hati sehingga
memerlukan penyesuaian dosis pada
pasien-pasien gagal ginjal yang memerlukan
hemodialisis. Pada kenyataannya di dalam
praktik pasien gangguan ginjal seringmengalami efek yang tidak dikehendaki.
Hal ini disebabkan karena perubahan
farmakokinetik obat-obat tersebut.
Perubahan ini berkaitan dengan distribusi
obat tersebut di tubuh, ikatan protein dan
metabolismenya.9
Pengobatan pasien gangguan ginjal yang
mengalami gangguan kejiwaan juga
sangat terbatas pada situasi tertentu.
Obat-obat psikotropika tidak dapat
menggantikan konseling dan psikoterapi
yang terkadang lebih diperlukan pasien
daripada pengobatan saja. Sangat penting
diingat dalam penanganan delirium
pada kondisi apapun adalah mengenali
penyebab deliriumnya. Pengobatan dosis
rendah haloperidol untuk menghilangkan
gejala kegelisahan psikomotor dan gejala
psikosis bisa dilakukan karena haloperidol
didetoksifikasi di hati.9
SIMPULAN
Pasien penyakit ginjal kronik sering
mengalami gangguan psikiatrik terkait
dengan kondisi medis umumnya.
Gangguan psikiatrik seperti delirium,
depresi, kecemasan dan sindrom
disekuilibrium sering dialami oleh pasien
dengan penyakit ginjal kronik. Dokter perlu
memahami fisiologi dan psikopatologi
timbulnya gangguan psikiatrik pada pasien
penyakit ginjal kronik. Kemampuan untuk
mengenali kondisi psikiatrik terkait dengan
kondisi penyakit ginjalnya akan membuat
penanganan dan penatalaksanaan yang
menyeluruh dan lebih baik kepada pasien.


cattatan : tulisan ini di salin langsung dari :

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013



DAFTAR PUSTAKA
1. Blumenfi eld M, Kassab-Tiamson M. Psychosomatic medicine: practical guideline. 2nd edition. Philadelphia.Lippincott Williams&Wilkins.2009.
2. Cohen LM, Tessier EG, Germain MJ, Levy NB. Update on Psychotropic Medication Use in Renal Disease. Psychosomatics 2004; 45:34–48.
3. Levy NB,Cohen LM,Tessier EG. In: Blumenfi eld M, Strain JJ, penyunting. Psychosomatic Medicine. 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 158-74.
4. Chen CK, Tsai YC, Hsu HJ, Wu IW, Sun CY, Chou CC, et al. in Depression and Suicide Risk in Hemodialysis Patients With Chronic Renal Failure. Psychosomatics 2010; 51:528–528.e6.
5. Cukor D, Coplan J, Brown C, Friedman S, Cromwell-Smith A, Peterson RA, Kimmel PL. In Depression and Anxiety in Urban Hemodialysis Patients. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 484-90.
6. Chan R, Brooks R, Erlich J, Chow J, Suranyi M. The Eff ects of Kidney-Disease-Related Loss on Long Term Dialysis Patients’ Depression and Quality of Life: Positive Aff ect as a Mediator. Clin J
Am Soc Nephrol 2009; 4: 160–7.
7. Wyszynski AA. The Patient With Kidney Disease dalam Manual of Psychiatric Care for the Medically Ill. Wyszynski AA, Wyszynski B editors. American Psychiatric Publishing,Washington,2005.
p. 69-86.
8. Blumenfi eld M,Cohen LM, Tessier EG, Germain MJ, Levy NB. Update on Psychotropic Medication Use in Renal Disease. Psychosomatics 2004; 45:34–48.
9. Levenson JL, Owen JA. Renal and Urological Disorder in Clinical Manual of Psychopharmacology in the Medically Ill.



Jumat, 03 Maret 2017

PENATALAKSANAAN ANESTESI UNTUK DRAINASE ABSES OTAK PASIEN DENGAN TETRALOGI OF FALLOT

PENATALAKSANAAN ANESTESI UNTUK DRAINASE ABSES OTAK PASIEN DENGAN TETRALOGI OF FALLOT


ANESTHESIA MANAGEMENT FOR BRAIN ABSCESS DRAINAGE PATIENT WITH TETRALOGY OF FALLOT

Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran,Universitas Padjadjaran,
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Abstract
Tetralogy of Fallot (TOF) was first described in 1888 by a French physician named Etienne-Louis Arthur Fallot. Tetralogy of Fallot (TOF) is one type of cyanotic congenital heart defect most widely found. Tetralogy of Fallot (TOF) has four abnormalities: (1) pulmonary infundibulum stenosis, (2) VSD (Ventricular Septal Defect), (3) overriding aorta, and (4) right ventricular hypertrophy. Patients with congenital cyanotic heart disease (right to left shunt) have a risk of brain abscess. The incidences of cyanotic heart disease is about 12.8-69,4% of all cases of brain abscess and the highest incidence occurs in children.
We reported an 8-years old 16-kg boy with multiple brain abscesses accompanied with cyanotic congenital heart defect Tetralogy of Fallot (TOF) and whom abscess aspiration would be performed. Patients was present with body temperature 39oC, GCS 13, blood pressure 90/50 mmHg, pulse 120 beats/min, SpO2 90% with a simple mask using oxygenation of 6 L/min. Lab results showed Hb 14gr%, hematocrit 41%, platelet count 250.000/mm3, PT /aPTT: 13.2/26.9. Patient was mounted infusion from the emergency ward (ER), given 1 mg intravenous midazolam premedication, induction with propofol, fentanyl, vecuronium, maintenance with oxygen-air anesthesia and sevoflurane. The operation lasted for 1.5 hours, the infusion targeted to normal volume, postoperative care was given in the neurointensive care unit for 3 days.
Pre-surgical fasting plan plays an important role because the patient must remains well hydrated. TOF patients with polycythemia when dehydrated, will increase the viscosity and sludging events. This patient was well hydrated and fasting replacement fluid therapy was given intravenously. Patients should be in a state of calm and relaxed. Patient was given intravenous midazolam premedication. Premedication with intramuscular injections should be avoided, since anxiety and stress may lead to "tet" spell. Heavy premedication should also be avoided because of respiratory depression leading to hypercarbia can increase the Pulmonary Vascular Resistance (PVR) and precipitate increased shunting from right to the left. Cerebral abscess aspiration can not be performed under local anesthesia because it increases the anxiety and the patient's blood pressure. Anesthesia should be performed under general anesthesia.
Management of perioperative TOF patients who will underwent surgery elsewhere (not for TOF) requires deep understanding on TOF pathophysiology and neuro-anesthesia techniques to get a good outcome.
Key words: Anesthesia, Tetralogy of Fallot, Abscess Drainage.

Sumber tulisan : disalin langsung dari :

JNI 2012;1(2):76-80



Abstrak
Tetralogi of Fallot (TOF), pertama kali diperkenalkan pada tahun 1888 oleh seorang dokter dari Prancis yang bernama Etienne-Louis Arthur Fallot. Tetralogi of Fallot (TOF) merupakan salah satu jenis cacat jantung bawaan sianotik yang paling banyak diketemukan. Tetralogi of Fallot (TOF) memiliki empat kelainan yaitu: (1) stenosis infundibulum pulmonari, (2) Ventricular Septal Defect (VSD), (3) overidding aorta, dan (4) hipertrofi ventrikel kanan. Pasien dengan penyakit kongenital jantung sianotik (right to left shunt) memiliki resiko terjadinya abses otak. Penyakit jantung sianotik terhitung sekitar 12.8-69,4% dari semua kasus abses otak dan insidensi tertinggi terjadi pada anak-anak.

Kami melaporkan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, berat badan 16 kg dengan abses otak multiple yang disertai dengan cacat jantung bawaan sianotik Tetralogi of Fallot (TOF) yang akan dilakukan aspirasi abses. Pasien datang dengan suhu tubuh 39oC, GCS 13, Tekanan darah 90/50 mmHg, nadi 120 x/menit, SpO2 90% dengan simple mask 6 L/menit. Hasil lab menunjukan Hb14gr%, Hematokrit 41%, thrombosit 250.000/mm3. PT/aPTT 13,2/26,9. Sudah terpasang infus dari UGD, selanjutnya diberikan premedikasi midazolam 1 mg intravena, induksi dengan propofol, fentanyl, vecuronium, rumatan anestesi dengan oksigen–udara, sevoflurane.Operasi berlangsung selama 1,5 jam, pemberian cairan dengan target normovolume, pascaoperasi dirawat di neurointensive care unit selama 3 hari. Puasa prabedah harus diperhitungkan sebaik-baiknya karena pasien harus tetap terhidrasi dengan baik. Pasien TOF dengan polisitemia, apabila terjadi dehidrasi akan meningkatkan viskositas dan sludging. Pasien ini sudah terhidrasi dengan baik dan cairan pengganti puasa diberikan melalui infus. Pasien harus dalam keadaan tenang dan rileks. Pasien diberikan premedikasi midazolam intravena. Premedikasi dengan suntikan intramuskuler harus dihindari karena kecemasan dan stress dapat menyebabkan “tet” spell. Premedikasi berat juga harus dihindari karena adanya depresi nafas yang menimbulkan hiperkarbia dapat meningkatkan Pulmonary Vascular Resistance (PVR) dan menimbulkan peningkatan shunting dari kanan ke kiri. Aspirasi abses serebri tidak dapat dilakukan dengan anestesi lokal karena akan meningkatkan kecemasan, tekanan darah pasien. Anestesi harus dilakukan dengan anestesi umum.

Pengelolaan perioperatif pasien TOF yang dilakukan operasi ditempat lain (bukan operasi TOFnya) memerlukan pemahaman tentang patofisiologik TOF dan teknik neuroanestesi untuk mendapatkan outcome yang baik. 
Kata kunci: anestesia, drainase abses, tetralogi of fallot. JNI 2012;1(2):76-80



I. Pendahuluan Abses otak adalah pengumpulan dari pus pada intraparenkim. Angka kejadian abses otak ini berkisar 8% di negara berkembang.1 Faktor predisposisi terjadinya abses otak yaitu otitis media/mastoiditis, paranasal sinusitis, infeksi pada gigi, meningitis, cacat jantung bawaan sianotik, endokarditis bakterial, penyakit paru-paru piogenik, defisiensi sel T, ventriculo-peritoneal shunt dan trauma. 1,2 Kelainan jantung sianotik Tetralogi of Fallot (TOF) berkisar 12,8-69,4% yang merupakan penyebab abses otak terbesar dibandingkan dengan faktor predisposisi lainnya.1

TOF pertama kali diperkenalkan oleh seorang ilmuwan Prancis pada tahun 1888 yang bernama Etienne Louis Arthur Fallot. Kelainan kongenital dari jantung dan sistem kardiovaskuler terjadi 7-10 setiap 1000 kelahiran hidup atau 0,7-1%, kelainan jantung kongenital jenis sianotik merupakan salah satu yang terbanyak dari kelainan jantung lainnya, dengan angka kejadian berkisar 5-10%.3-5 Angka kejadian abses otak dengan kelainan TOF berkisar antara 5-18,7%.1,4 TOF memiliki 4 kelainan yaitu 1) defek pada septum ventrikel 2) menghambat aliran darah ventrikel kanan dan atau stenosis arteri atau katup pulmonal 3) overriding aorta 4) hipertropi ventrikel kanan.1,6 TOF yang tidak dilakukan koreksi memiliki angka kematian yang besar yaitu 86-95% sebelum mencapai usia 30-40 tahun. 3,5 Puncak usia untuk dilakukan pengkoreksian TOF adalah usia 6-18 bulan dengan angka kematian kurang dari 1%.5 Pada penderita cacat jantung sianotik TOF didapatkan polisitemia (88%), lekositosit (73%) dan gangguan elektrolit yang bisa terjadi pada pasien yang mendapatkan diuretik. Faktor resiko terjadinya abses otak pada penderita cacat jantung sianotik TOF disebabkan karena hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas. 2,7 Gejala klinik dari abses otak adalah demam (96%), muntah (60%), sakit kepala (45%), dan kejang (45%).1,2,7

Penatalaksanaan abses otak pada abses otak yang kecil dan tidak multipel diberikan terapi antibiotik dengan setiap minggu atau per dua minggu dilakukan CT-scan untuk melihat perkembangan dari abses otak. Apabila setelah dilakukan terapi antibiotik tidak memiliki respon yang baik, maka akan dilakukan aspirasi abses melalui kraniotomi yang diikuti dengan terapi antibiotik selama 6-8 minggu. Pada abses otak yang besar dan terapi antibiotik multipel yang dilakukan adalah dengan melakukan aspirasi abses dan diikuti dengan terapi antibiotik selama 3-6 bulan.6 Pemberian antibiotik seharusnya dihindari apabila belum diketahui jenis bakteri atau adanya hasil kultur, akan tetapi terapi antibiotik dapat diberikan secara empirik. Streptococcus milleri merupakan bakteri paling sering pada abses otak yang disebabkan oleh kelainan jantung sianotik TOF, sedangkan bakteri lainnya adalah staphylococcus dan haemophilus.1,2,7 Antibiotik yang dianjurkan adalah penicillin, choramphenicol dan metronidazole yang dapat diberikan hingga hasil kultur bakteri didapatkan. Angka kesembuhan dari abses otak yang diterapi dengan antibiotik dan aspirasi abses berkisar 90%.1

II.Kasus

Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, berat badan 16 kg dengan abses otak multiple yang disertai dengan cacat jantung bawaan sianotik Tetralogi of Fallot (TOF) akan dilakukan aspirasi abses.
Anamnesa Pasien datang ke emergensi dengan keadaan: GCS 13, tekanan darah sistolik berkisar 90-100 mmHg, tekanan darah diastolik berkisar 50-60 mmHg, nadi 110-120 x/min, suhu tubuh 390C, saturasi oksigen 78-88 % dan posisi pasien head up 30O. Pasien sebelumnya mendapatkan antibiotik selama 2 bulan, tetapi demam dan sakit kepala tidak membaik. Pasien lahir cukup bulan, dengan riwayat kebiruan saat menangis atau minum susu. Pemeriksaan fisik Keadaan umum : Kesadaran : GCS 13 Tekanan Darah: 90/50 mmHg, Laju Nadi: 120 x/menit, Laju Nafas: 20 x/menit, Suhu: 39º C SpO2 84% dengan udara bebas, kemudian diberikan oksigen binasal kanul 3L/menit dan SpO2 menjadi 88%, sedangkan dengan mengunakan simple mask 6 L/menit SpO2 menjadi 90%, BB : 16 kg Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/- Mulut : Buka mulut 3 jari, Mallampati I, bibir kebiruan. Leher : JVP tidak meningkat, Range of Movement (ROM) baik Thoraks : Bentuk dan gerak simetris, Cor : S1, S2 reguler, gallop (-), murmur (+)Pulmo : VBS kiri = kanan, Ronkhi -/-, Wheezing -/- Abdomen : Datar, lembut, hepar/lien tidak teraba, bising usus (+), nyeri tekan (-) Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill < 2‟‟, sianosis (+/+), edema tungkai -/-. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah : Hb 14gr%, Hematokrit 41%, thrombosit 250.000/mm3. PT/aPTT 13,2/26,9. Ro Thorax : gambaran TOF



Pengelolaan anestesi Setibanya di kamar operasi pasien sudah terpasang jalur vena. Pasien dengan keadaan gelisah dan menangis. Setelah dipindahkan ke meja operasi pasien diberikan premedikasi dengan midazolam intravena 1mg, kemudian dilakukan pemasangan oksigen kanul binasal 3L/menit, monitor EKG, tekanan darah dan saturasi oksigen. Didapatkan keadaan pasien dengan tekanan darah 95/62 mmHg, laju nadi 85 x/menit dan SpO2 88 %. Sebelum dilakukannya induksi pasien diberikan cairan kristaloid sebanyak 500 cc. 

Induksi dilakukan dengan menggunakan propofol 15 mg secara titrasi, vecuronium 1,5 mg, fentanil 10 ugr, O2 100% dan sevofluran. Ventilasi dilakukan dengan normoventilasi, kemudian dilakukan intubasi dengan menggunakan pipa endotrakhea no. 6 non kingking. Operasi berlangsung selama 1,5 jam. Jumlah cairan yang diberikan adalah 500 cc kristaloid dan 500 cc koloid. Abses yang didapat berkisar 30-50 cc.





Pascabedah Setelah selesai operasi dilakukan ekstubasi di kamar operasi dan dilakukan observasi selama 3 jam. Analgetik post operatif dengan menggunakan metamizol dan petidin secara drip yang diberikan 10-15 gtt/menit.



Setelah dilakukan observasi selama 3 jam di ruang pemulihan pasien dipindahkan ke Neurosurgical Intensive Care Unit (NCCU) dan menjalani perawatan selama 3 hari dengan menggunakan binasal kanul 3L/menit. Terapi antibiotik tetap diberikan. Selama dirawat di NCCU, GCS pasien 15.





Pasien dipindahkan ke ruangan pada hari ke 4 dan dirawat selama 5 hari dalam keadaan yang stabil. Pasien dipulangkan pada hari ke 6 perawatan dengan terapi antibiotik dilanjutkan.




III. Pembahasan 

Penatalaksanaan anestesi pada pasien ini merupakan gabungan dari pemahaman tentang patofisiologik TOF dan teknik neuroanestesi. Status cairan pada pasien TOF harus diperhatikan karena dapat mengakibatkan peningkatan viskositas darah dan mungkin dapat dilakukan plebotomi pre-operatif pada pasien dengan keadaan polisitemia berat dengan dehidrasi. Keadaan dehidrasi dapat meningkatkan kadar hematokrit sehingga aliran darah ke otak akan melambat, kemungkinan hipotensi saat induksi dapat terjadi yang dapat menyebabkan iskemia serebral. Pada kasus ini rehidrasi cairan dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid 500 ml sebelum dilakukannya induksi.1,2,8,9 

Pada keadaan ketakutan, menangis atau mengedan dapat mengakibatkan „tet spell‟, premedikasi merupakan suatu keputusan yang tepat tetapi memiliki resiko hiperkarbia yang berakibat peningkatan resistensi vaskuler pulmonal sehingga menurunkan aliran darah ke paru-paru dan meningkatkan tekanan intrakranial. Cara pemberian premedikasi juga harus dipikirkan dengan menghindari pemakaian premedikasi secara intramuskuler karena akan menimbulkan rasa sakit dan berakibat „tet spell‟. Pada kasus ini jalur intravena sudah terpasang di UGD sehingga premedikasi dilakukan dengan pemberian midazolam 1 mg intravena, kemudian diberikan oksigen kanul 3L/menit dan pemasangan monitor saturasi oksigen.8,9


Jalan nafas selama operasi harus dalam keadaan bebas, bila terjadinya obstruksi jalan nafas dapat menyebabkan hiperkarbia dan terjadinya peningkatan resistensi vaskuler pulmonal sehingga menimbulkan “tet spell” dan peningkatan tekananintrakranial yang berakhir dengan iskemia serebral. Pada pasien ini dilakukan intubasi dengan menggunakan pipa endotrakhea no. 6 non kingking.8,9 

Penggunaan obat-obatan anestesi harus diperhatikan pengaruhnya terhadap resistensi vaskuler pulmonal dan resistensi vaskuler sistemik. Induksi dilakukan dengan sangat hati-hati. Pada kasus ini dilakukan induksi dengan intravena dan rumatan dengan oksigen 100%, sevofluran, ventilasi dilakukan dengan normoventilasi. 8 

Pengelolaan nyeri post operatif sangat membantu untuk tidak terjadinya ”tet spell”. Pada kasus ini diberikan analgetik post operatif dengan metamizole dan petidin. Pemantauan SpO2 dengan pemberian oksigen tetap dilakukan. Rumatan cairan tetap diberikan untuk mencegah dehidrasi dan peningkatan hematokrit. Cairan yang diberikan selama pasien dirawat adalah cairan kristaloid 120 cc/jam.8


 IV. Simpulan Pengelolaan perioperatif pasien TOF yang dilakukan operasi ditempat lain, dalam hal in operasi otak (bukan operasi TOFnya) memerlukan pemahaman tentang patofisiologik TOF dan teknik neuroanestesi untuk mendapatkan luaran yang baik. 


Daftar Pusaka
1. Moorthy RK, Rajshekhar V. Management of brain abscess: overview. Neurosurg Focus 2008 ; 24 : 1-6.
2. Mehnaz A, Syed AU, Saleem AS, Khalid CN. Clinical features and outcome of cerebral abscess in congenital heart diseases. J Ayub Coll Abbottabad 2006;18: 21-4.
3. Findlow D, Doyle E. Congenital heart diseases in adult. Br J Anaesth 1997; 78: 416-430.
4. Jacob G, Mathews C. Unrepaired tetralogy of fallot presenting with brain abscess. Calicut Medical Journal 2010; 8 : 1-3.
5. Baumgartner H, Bonhoeffer P, De Groot NMS, Haan F, Deanfield JE, Galie N, Gatzoulis MA, Baerwolf CG, et al. ESC Guielines for management of grow-up congenital heart disease (new version 2010). European Heart Journal 2010; 31: 2915-57.
6. Brickner ME, Hillis D, Lange RA. Congenital heart diseases in adult. N Eng J Med 2000: 334-42.
7. Atiq M, Ahmed US. Allana SS, Chishti KN. Brain abscess in children. Indian J Pediatr 2006;73 : 401-4.
8. Davies LK, Knauf DG. Anesthetic management for patients with congenital heart disease. Dalam: Hensley FA, Martin DE, Gravlee GF, eds. A Practical Approach to Cardiac Anesthesia. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008, 374-438.
9. Kass IS. Physiology and metabolism of the brain and spinal cord. Dalam: Cottrell JE, Newfield P, eds. Handbook of Neuroanaesthesia. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 20,l3-22.


CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL

CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL 

SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS

M. Zafrullah Arifin, Subrady Leo SS, Firman Priguna T
Divisi Trauma Departemen Bedah Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung

Abstract
Background and Objective: Head injury in pregnancy can increase the risks of mortality and morbidity, both for the mother and fetus. Common complications are including death, shock, intrauterine bleeding, intrauterine fetal death, fetal trauma, placental abruptio and, uterine rupture. Motor vehicle accident, falls, assault and gun shot wound are the primary cause of injury. Treatment and recognition of this cases are unique, even though the main target are early evaluation and resuscitation of the mother and afterward, the fetus. Tococardiography monitoring, ultrasound, and head CT Scan can be perform with or without craniotomy and caesarean section.
Subject and Method: An observasional study taken from the year of 2008-2012, a serial case report in pregnant women with severe head injury undergoing operation for evacuation of hematoma.
Result: During the last 3 years, three patients had underwent surgery for head injury with two of them underwent a sectio caesarean procedure.
Conclusion: The incidence of head injury in pregnant women is considered very rare and an early multidiciplinary management for head injury in pregnancy can decrease the risk of morbidity and mortality for both the mother and the fetus.
Key Word : Head injury, pregnancy, surgery, outcome
JNI 2012;1(3):149-157
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Cedera kepala pada wanita dengan kehamilan dapat meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janinnya. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain kematian ibu, syok, perdarahan intrauterin, kematian janin intrauterin, trauma janin, abruptio placenta, ruptur uterin. Penyebab tersering dari trauma tersebut antara lain kecelakaan lalulintas, terjatuh dari ketinggian, kekerasan dalam rumah tangga, dan luka tembak. Banyak penilaian dan penanganan yang unik untuk kasus ini, meskipun evaluasi awal dan resusitasi sasaran utama untuk menyelamatkan ibu. Setelah keadaan ibu stabil baru dilakukan evaluasi dan penilaian dari janin. Monitoring tokokardiografi, pemeriksaan ultrasound, CT-Scan kepala dapat dilakukan disertai dengan tindakan kraniotomi dan atau seksio sesarea.
Subjek dan Metode: Penelitian observasional dari tahun 2008-2012, serial kasus, pada wanita hamil yang mengalami cedera kepala berat dan dilakukan operasi untuk evakuasi hematoma.
Hasil: Selama 3 tahun terakhir telah dilakukan tindakan pembedahan untuk penderita cedera kepala dengan kehamilan sebanyak 3 kasus, dua diantaranya disertai dengan seksio sesarea.
Simpulan: Kasus cedera kepala pada wanita dengan kehamilan tergolong jarang dan penanganan dini multidisiplin pada cedera kepala berat pada kehamilan dapat menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin
Kata kunci : Cedera kepala, kehamilan, pembedahan, luaran



sumber tulisan :
di salin ulang dari :       

JNI 2012;1(3):149-157



I. Pendahuluan
Insidensi kejadiaan trauma pada kehamilan yang dilaporkan sekitar 6-7%. Trauma yang terjadi pada masa kehamilan merupakan penyebab utama kematian ibu. Kematian ibu akibat trauma pada kehamilan diperkirakan terjadi pada 10% kasus, sedangkan angka kematian janin didapatkan nilai yang lebih tinggi yaitu 61%. Kematian janin akibat trauma lebih sulit diprediksi. Meskipun telah banyak penelitian yang menyatakan peningkatan angka kematian janin berbanding lurus dengan derajat beratnya trauma yang dialami sang ibu,akan tetapi penelitian-penelitian ini tidak mengungkapkan faktor prediksi kematian janin.1-7 Kemungkinan kehamilan harus dipertimbangkan pada setiap wanita yang berumur antara 10 dan 50 tahun. Kehamilan menyebabkan perubahan fisiologi yang nyata dan perubahan anatomis pada hampir semua organ tubuh. Perubahan struktur dan fungsi ini dapat mempengaruhi evaluasi penderita trauma yang hamil karena perubahan tanda dan gejala yang ditemukan, cara dan respon terhadap resusitasi maupun hasil-hasil pemeriksaan. Kehamilan juga dapat mempengaruhi pola maupun beratnya cedera. Dalam menangani penderita trauma yang hamil, harus selalu diingat ada dua korban, walaupun demikian pengelolaan penderita hamil sama seperti tidak hamil. Harus difahami dengan baik hubungan fisiologis antara ibu dengan janinnya bila ingin memberikan pengobatan terbaik untuk keduanya. Perawatan yang terbaik untuk janin adalah dengan resusitasi optimal terhadap ibu dan penilaian dini terhadap janinnya. Cara evaluasi dan pemantauan harus meliputi ibu maupun anak. 7 Meskipun ringan, cedera kepala yang terjadi pada wanita yang sedang hamil dapat mengancam kehidupan bagi ibu dan janinnya. Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama cedera kepala dan sering disertai dengan cedera lain seperti cedera perut. Pada wanita hamil, hal ini dapat berujung pada kematian akibat dengan cedera kepala berat dan syok perdarahan. Semua trauma terutama cedera kepala berpotensi bahaya pada kehidupan janin berhubungan dengan kelainan sistemik dan otak seperti hipotensi arterial akibat trauma, anoksia atau anemia. Selain itu prosedur diagnosis dan medikasi dapat membahayakan janin. Pengambilan keputusan dalam menyelamatkan nyawa pada lesi dienchephalon membutuhkan kerjasama antara dokter intensivis, dokter bedah saraf, dokter kebidanan dan kandungan, dokter anak dan dokter anestesi terutama pada keadaan koma yang tidak diketahui kapan penderita akan sadar kembali. Kebanyakan mekanisme cedera sama seperti penderita tidak hamil, namun ada perbedaan yang harus diketahui pada penderita hamil. Tujuh belas persen penderita hamil adalah cedera akibat ulah orang lain dan 60% penderita ini mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang berulang.2-7

Beratnya trauma akratnya trauma yang dialami ibu. Semua penderita hamil yang mengalami cedera berat memerlukan terapi di pusat trauma yang mempunyai pelayanan obstetrik karena ada peningkatan angka kematiaan ibu dan anak pada kelompok ini. Delapan puluh persen penderita hamil yang cedera dan datang dalam keadaan syok, akan mengalami kematian bayi walaupun ibunya hidup. Bahkan penderita hamil dengan cedera ringan harus berhati-hati karena dapat mengalami solusio plasenta dan kematian bayi, sehingga perlu dilakukan pemantauan. Trauma langsung pada janin biasanya terjadi pada kehamilan lanjut dan umumnya disertai cedera berat pada ibu. 1-7 II.Subjek dan Metode Dilakukan penelitian observasional serial kasus, dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, pada wanita hamil yang mengalami cedera kepala dan dilakukan operasi evakuasi hematoma di RS Dr. Hasan Sadikin-Bandung III. Hasil Kasus Kasus 1 Wanita 16 tahun yang sebelumnya sehat G1P0A0 datang dengan kehamilan 33-34 minggu karena cedera kepala berat akibat terjatuh saat sedang menjemur pakaiannya dilantai dua. Setelah kejadian penderita sempat sadar dan mengeluh nyeri kepala tanpa disertai keluar cairan jernih atau darah dari hidung, telinga dan mulut. Keluar darah atau cairan jernih dari jalan lahir. Tiga puluh menit kemudian penderita menjadi mengantuk dan sulit untuk dibangunkan, karena keluhannya kemudian dibawa ke rumah sakit Astana Anyar Bandung, karena keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung.an menentukan hasil akhir pada ibu dan anak. Karenanya cara terapi juga tergantung pada be


Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M4VT=7 pupil bulat anisokor diameter mata kanan lebih besar dan reflex cahaya mata kanan menurun di bandingkan mata kiri, disertai dengan anggota gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. Pemeriksaan Focused Assesment with Sonography for Trauma (FAST) tidak dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memungkinkan disertai dengan masalah biaya pada penderita ini. Pada survey sekunder didapatkan hematoma pada daerah temporoparietal kanan. Monitoring tanda vital ibu dan janin didapatkan tanda vital dalam keadaan normal, pemeriksaan laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan pemeriksaan urin didapatkan benda keton. Pemeriksaan rontgen leher dan dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera yang mengancam jiwa (Gambar 1 & 2). Kemudian diputuskan untuk dilakukan burr hole diagnostik dalam anestesi lokal dan bila hasilnya positif direncanakan untuk dilakukan kraniotomi evakuasi dan dari bagian kandungan direncanakan untuk dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan bayi.

Karena hasil burr hole positif kemudian dilakukan kraniotomi evakuasi dalam anestesi umum berbarengan dengan seksio sesarea (Gambar 3 & 4). Saat operasi didapatkan fraktur tulang tengkorak di daerah temporal dekstra, dan perdarahan epidural 50 cc dengan sumber perdarahan laserasi cabang arteri meningia media, duramater putih dan tidak ditemukan laserasi (Gambar 5 & 6). Dari seksio sesarea didapatkan bayi wanita, berat badan 1950 gr, dengan panjang 51 cm, dan nilai Apgar 3 untuk 1 menit, 5 untuk 5 menit, dan 8 untuk 10 menit.


Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan intensif bedah saraf selama 4 hari. Saat masuk setelah operasi GCS E1M4VT dan dengan perawatan yang baik disertai dengan dukungan nutrisi, GCS penderita mengalami perbaikan yang signifikan GCS hari ke 4 E4M6V4: 14 disertai dengan lemah anggota gerak sebelah kiri, mata kanan tetap besar disertai dengan reflex cahaya yang menurun, kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa selama 6 hari dan dipulangkan dengan keadaan perbaikan. Bayinya dirawat di ruang perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang paksa pada hari perawatan ke 3. Saat ini kedua penderita dalam keadaan baik. Kasus 2 Wanita 28 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A0 datang dengan kehamilan 27-28 minggu karena cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di daerah Purwakarta. Setelah kejadian penderita tidak sadar dan tanpa disertai keluar cairan jernih atau darah dari hidung, telinga dan mulut. Tidak ada darah atau cairan jernih keluara dari jalan lahir. Karena keluhannya kemudian dibawa ke rumah sakit Bayu Asih Purwakarta dan karena keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin.

Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E1M4VT=6, pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memung-kinkan. Pada survey sekunder didapatkan hematoma pada daerah temporoparietal kanan. Monitoring tanda vital ibu dan janin didapatkan tanda vital dalam keadaan normal, pemeriksaan laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan lekositosis. Pemeriksaan rontgen leher dan dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera yang mengancam jiwa. Pada pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras ditemukan perdarahan subdural di frontotemporoparietal kiri dengan ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5 mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 30 cc lisis 5 cc, dengan sumber perdarahan ruptur bridging vein, defek tulang 10x12 cm (Gambar 8 & 9)

Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan intensif bedah saraf selama 4 hari, saat masuk setelah operasi GCS E1M4VT dengan perawatan yang baik disertai dengan dukungan nutrisi, GCS penderita mengalami perbaikan yang signifikan GCS hari ke 14 E3M5V4: 12, kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa selama 7 hari dan dipulangkan dengan keadaan E4M6V4: 14, dan perbaikan.

GAMBAR 10

Selama dua minggu di rumah kondisi ibu mengalami perburukan karena terkena infeksi pada paru-parunya (Gambar 10) dan datang kembali pada saat usia kehamilan 33-34 minggu dalam keadaan gagal nafas sehingga kemudian diintubasi dan dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan bayinya, penderita meninggal 6 jam pasca seksio sesarea. Dari seksio sesarea didapatkan bayi laki-laki, berat badan 2100 gr, dengan panjang 50 cm, dan nilai Apgar 3 untuk 1 menit, 5 untuk 5 menit, dan 8 untuk 10 menit. Bayinya dirawat di ruang perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang dalam keadaan perbaikan pada hari perawatan ke 21. Kasus 3 Wanita 26 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A1 datang dengan kehamilan 21-22 minggu karena cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di daerah Moh. Toha Bandung. Setelah kejadian penderita tidak sadar dan disertai keluar cairan jernih atau darah telinga kiri. Ditemukan darah atau cairan jernih keluar dari jalan lahir. Karena keluhannya kemudian di bawa ke rumah sakit Sartika Asih, karena keterbatasan alat kemudian di rujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin.

Gambar. 11
Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan suction dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M5V2=9 pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memungkinkan. Pada survey sekunder didapatkan hematoma pada daerah temporoparietal kiri. Monitoring tanda vital ibu didapatkan tanda vital dalam keadaan normal sedangkan janin sudah meninggal di dalam rahim (Intrauterine fetal death= IUFD). Pemeriksaan laboratorium darah ibu didapatkan adanya anemia dan lekositosis. Pemeriksaan rontgen leher tidak ditemukan garis fraktur, pemeriksaan rontgen dada didapatkan retak tulang clavicula kiri 1/3 tengah. Pada pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras ditemukan perdarahan subdural di frontotemporoparietal kanan dengan ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5 mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 15 cc lisis 15 cc, dengan sumber perdarahan contusio serebri, defek tulang 10x12 cm (Gambar 8 dan 9). Kemudian diputuskan untuk dilakukan kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan dari bagian kandungan tidak ada tindakan karena janin sudah meninggal.










IV. Pembahasan
Cedera hebat pada penderita dengan kehamilan relatif jarang terjadi, akan tetapi, bila terjadi memberikan resiko dua kali lipat dibandingkan cedera tanpa kehamilan berupa ancaman keselamatan ibu dan janinnya. Segala tindakan harus dilakukan untuk mengevaluasi derajat cedera ibu dan melakukan pengobatan secara adekuat. Beberapa kasus telah dilaporkan tentang perawatan intensif pada ibu dengan kehamilan yang belum matang disertai dengan cedera kepala berat, kehamilannnya dipertahankan hingga bayinya cukup mampu untuk hidup diluar kemudian dilakukan terminasi kehamilan. Dari beberapa literatur diketahui hanya 12 kasus dengan penderitacedera berat yang melahirkan bayi dengan kondisi sehat.4,5,6 Cedera otak traumatika atau cedera kepala di dunia hingga saat ini masih merupakan penyebab kematian dan kesakitan pada populasi dibawah 45 tahun.10 Berbagai penelitian eksperimental dan analisis klinis tentang biomekanisme cedera dan kerusakan jaringan telah menambah wawasan mengenai patofisiologi utama kejadian yang bertanggung jawab yang berperan dalam mendefinisikan penyebab atau melakukan strategi baru dalam pengobatanya. Klasifikasi cedera kepala yang banyak digunakan dan berdasarkan patokan klinis adalah klasifikasi menurut Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali diperkenalkan oleh Teasdale dan Jennet tahun 1974.12 Berdasarkan klasifikasi ini pula Valadka dan Narayan pada tahun 1996 mengelompokan cedera kepala menjadi tiga yaitu cedera kepala ringan (CKR) bila GCS 14-15, cedera kepala sedang (CKS) bila nilai GCS 9-13 dan cedera kepala berat (CKB) bila nilai GCS 3-8.11 Klasifikasi lain adalah berdasarkan mekanisme utama yang mana cedera otak traumatika dibagi menjadi 1) kerusakan otak fokal akibat cedera langsung pada otak berupa kontusi, laserasi dan perdarahan intrakranial dan 2) kerusakan otak difus akibat cedera akselerasi dan deselerasi berupa cedera axon difus atau edema otak.10 Luaran pada cedera kepala ditentukan oleh dua mekanisme yang berbeda: a) Kerusakan primer (Primary insult, kerusakan mekanis) yang terjadi saat terjadi cedera. b) kerusakan sekunder (Secondary Insult, kerusakan non-mekanis yang tertunda) merupakan gambaran proses patologis yang dimulai saat cedera disertai dengan gejala klinis yang tertunda. Iskemia serebri dan hipertensi intrakranial merupakan penyebab kerusakan sekunder dan dalam pengobatan jenis cedera ini berespon terhadap pengobatan.10

Pada ketiga kasus yang ditampilkan semuanya merupakan kasus cedera kepala berat yang memiliki penyebab yang berbeda yaitu kasus pertama akibat terjatuh, sedangkan kasus kedua dan ketiga akibat kecelakan lalu lintas. Dari temuan radiologis dan tindakan pembedahan didapatkan untuk kasus 1 adalah perdarahan epidural yang memiliki prognosis baik bila cepat dilakukan tindakan pembedahan dengan mortalitas berkisar 20-55%13 dan pada kasus ini diagnosis ditegakkan dengan melakukan tindakan burr hole. Faktor lain yang berperan pada luaran perdarahan epidural adalah umur penderita yang relatif lebih muda dibandingkan dengan kasus 2 dan 3, dan tidak ditemukannya postur deserebrasi atau hilangnya reflex cahaya pada penderita ini.13 Sedangkan untuk kasus 2 & 3, dari pemeriksaan radiologis didapatkan midline shift > 5mm, kompresi sisterna basal disertai perdarahan subdural merupakan prognosis buruk pada penderita cedera kepala berat yang disertai perdarahan intrakranial, menyebabkan angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-90% (51 % untuk GCS 6 & 7). Selain temuan radiologis diatas penyebab tingginya angka mortalitas perdarahan subdural antara lain pembedahan yang dilakukan >4 jam pascatrauma, mekanisme cedera akibat kecelakaan bermotor tanpa helm, usia lebih dari 65 tahun dan tekanan intrakranial >45 mmHg pascabedah.13 Penyulit lain yang ditemukan pada kasus 2 & 3 adalah pneumonia, dan diduga terkait dengan defek imunitas pada sistem imunitas nonspesifik, makrofag dan fagosit, serta spesifik seluler dan humoral. 

Defek imunitas yang terjadi berupa 
1) penurunan jumlah limfosit dalam sirkulasi, akibat supresi sel limfosit dalam mitogen,
 2) menurunnya kemampuan limfosit B dalam memproduksi immuno-globulin,
 3) menurunnya kemampuan sel-sel fagosit yaitu monosit dan netrofil dalam memusnahkan bakteri atau antigen lain,
 4) Delayed type of hypersensitivity. Kondisi ini berlangsung segera setelah cedera kepala dan mencapai puncaknya pada hari ke sebelas setelah trauma dan akan pulih setelah tiga bulan,14,15,16,17 sehingga pneumonia pada cedera kepala insidensinya mencapai 40 %-60 % 18,19 dan terutama terjadi dalam 3 hari pertama pada masa perawatan.20,21 Keadaan ini menyebabkan perawatannya di ruang rawat intensif menjadi lama dan meningkatkan mortalitas hingga 50 %.22 Di literatur disebutkan umumnya cedera kepala pada wanita hamil hampir selalu disebabkan oleh tindakan kekerasan dan 60% diantaranya merupakan tindak kekerasan dalam rumah tangga berulang 2,3,4,5,6 Ketiga pasien ini dilakukan tindakan kraniektomi untuk cedera kepalanya dengan atau tanpa tindakan seksio sesarea, memberikan resiko kematian dan kesakitan yang tinggi pada ibu dan janin terlepas dari besarnya usia kehamilan yang dialami ibu saat terjadinya cedera kepala. Suatu penelitian yang dilakukan di Negara Bagian Washington di Amerika Serikat didapatkan dari 693 wanita yang dirawat selama kehamilan dan mengalami cedera ringan akibat terjatuh memiliki resiko lebih tinggi mengalami kelahiran sebelum waktunya (preterm), abruptio plasenta, kelahiran dengan induksi untuk ibu dan resiko untuk bayi mengalami fetal distress yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dengan kehamilan yang tidak mengalami kecelakaan sebesar 2 kali lipat.8
Untuk ibu, meningkatnya resiko kelahiran sebelum waktunya, terjadi karena kecelakaan menstimulasi kontraksi rahim, meskipun biomekanisme terjatuh mempengaruhi kontraksi rahim hingga saat inibelum pernah diteliti. Abruptio plasenta terjadi karena terjadi deselerasi tiba-tiba dari rahim yang menyebabkan hilangnya atau lepasnya penempelan plasenta dengan dinding rahim, beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hubungan ketinggian dengan mekanisme abruptio plasenta, tetapi hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena ukuran tinggi saat terjadi kecelakaan ataupun terjatuh tidak diketahui ataupun tidak ditulis dalam laporan unit gawat darurat. Karena umumnya cedera yang terjadi pada ibu hamil tanpa disertai tanda kegawatan janin ataupun ibu berdasarkan monitoring selama di unit gawat darurat.9 Untuk janin terjadinya abruptio placenta menyebab-kan fetal distress dan hipoksia akibat menurunnya aliran darah ke uterus sehingga dapat berakhir dengan kematian janin. Hal ini lah yang menjadi alasan beberapa pusat kesehatan untuk merawat ibu hamil yang mengalami kecelakaan terutama bila usia kehamilan telah memasuki trimester ketiga, atau disertai dengan tanda kegawatan janin, perdarahan dari jalan lahir, atau mekanisme cedera yang hebat. Adapun kematian janin akibat cedera ibu berkisar 3,4 hingga 38 persen akibat abruptio plasenta, kematian ibu, dan syok pada ibu (Tabel 3).





Penanganan multidisiplin disertai dengan diagnostik dini dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu dan janin. Dan terpenting dari semuanya adalah mencegah terjadinya kecelakaan pada ibu hamil. Daftar Pustaka
1. Piastra M, Pietrini D, Massini L, de Luca D, del Lungo LM, de Carolis MD, et al. Severe subdural hemorrhage due to minimal prenatal trauma: case report. J Neurosurg Pediatric 2009; 4 : 543-46
2. Cohen-Gadol AA, Friedman JA, Friedman JD, Tubb RS, Munis JR, Meyer FB. Neurosurgical management of intracranial lesion in the pregnant patient: a 36-year institutional
experience and review of a literature. J Neurosurg 2009; 111:1150-57
3. Muench MV, Canterino JC. Trauma in Pregnancy. Journal Obstet Gynecol Clin North Am 2007; 34: 555-83
4. Weintraub AY, Leron E, Mazor M. The Pathophysiological of Trauma in Pregnancy: A review. The Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine 2006; 19(10): 601-5
5. Subhas CH, Biswas GM. Trauma in Pregnancy: A 5-Year Prospective analysis of Feto-maternal outcome in tertiary centers. Journal Obstetric Gynecologic India 2004; 54(5): 452—55
6. Sim Ki-Bum. Maternal persisten vegetative state with successful fetal outcome. Journal koreanmedical science The korean academy of medical science, 2001; 16: 669—72
7. American College of Surgeons Committee on Trauma. Trauma pada Wanita. Dalam: Advanced Trauma Life Support for doctors student course manual Komisi Trauma IKABI;1997;347-58
8. Schiff M. Pregnancy outcomes following hospitalization for a fall in Washington State from 1987 to 2004. British Journal of Obstetric and Gynecology (BJOG) 2008;115:1648-54
9. Grossman NB. Blunt Trauma in Pregnancy. American Family Physician Journal (AAFP) 2004;70:1303-10
10. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Br J Anaesth 2007;99:4-9
11. Valadka. AB, Narayan RK. Emergency room management of the head injury patient. Dalam: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. The McGraw-Hill Companies, Inc. 1996;119-35
12. Teasdale GM. Mechanism of concussion, contusion and other efect of head injury. Dalam: Youman, eds. Neurological Surgery, 4 th ed. Vol 3. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1996.
13. Greenberg MS. Head Trauma. Dalam: Greenberg MS, eds. Handbook of Neurosurgery. 7th ed. New York: Thieme Medical Publisher; 2010,850-928.
14. Smrcka M, Mrlian A, Klabusay M. Immune system status in the patients after severe brain injury. Bratislava Lekture Lysty 2005;106:144-146
15. Schmidt OI, Infanger M. The Role of neuroinflamation in traumatic brain injury. European Journal of Trauma 2004;3:1-7
16. Newsholme EA. Nutrition of Immune Cells: The Implication of Whole Body Metabolism. Dalam: Ptotein energy interaction. The International Dietary Energy Colsuntancy Group (I/D/E/C/G) 1991,437.
17. Shapiro NI, Karas DJ. Absolute lymphocyte Count as a predictor of CD 4 count. Annual Emergency Medicine 1998, 32: 323-28
18. Piek J, Chesnut RM, Marshall L F, Van Berkum-Clark M, Klauber MR. Extracranial complication of severe head injury. Journal of Neurosurgery 1992;77:901-907
19. Woratyla SP, Morgan AS, Mackay, Bernstein B, Barba C. Factors associated with early onset pneumonia in severly brain – injured patients. J. Conn Med 1995;59:643-47
20. Berrouane Y, Daudenthum I, Riegel B, Emery MN, Martin G., Early onset pneumonia in Neurosurgical intensive care unit patients. J Host Infect 1998;40:275-80
21. Hsien AH, Bishop MJ, Kubilis PS, Newell DW, Pierson DJ. Pneumonia folowing closed head injury. J. Am Rev Respir Dis 1992;146:290-94
22. Rodriquez-Roldan JM, Altuna-Cuesta A, Lopez A, Garcia J, Martinez LJ. Prevention of nosocomial lung infection in ventilated patients: use of an antimicrobial pharyngeal nonabsorbable paste. J. Critical Care Medicine 1990;18:1239-42













































































Sabtu, 25 Februari 2017

Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) Posisi Telungkup pada asien Pediatrik saat Pengangkatan Tumor Infratentorial

Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) Posisi Telungkup pada asien Pediatrik saat Pengangkatan Tumor Infratentorial

M. Dwi Satriyanto, Tatang Bisri
*) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Eka Hospital Pekanbaru Riau.
**) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung


Abstract
Infratentorial tumor is more frequent in children, with sign and symptom of ataxia, cranial nerve
disorder, vomiting, headache, decrease of consciousness level and hydrocephalus. Infratentorial
tumor usually requires surgical removal.
Case report of a 3 year old boy with infratentorial tumor, which depressed the 4th ventricle, undergone
craniotomy tumor removal with prone position. When tumor was removed, massive bleeding occurred
and caused sudden change in hemodynamic and cardiac arrest. The operation and anesthetic agents
were discontinued, followed by Cardio Pulmonary Cerebral Resuscitation (CPCR) in prone position
with resuscitation drugs (i.e adrenalin and sulfas atropin), as well as blood and fluids to replace the
intravascular volume. After approximately 10 minutes of CPCR, hemodynamic was stable. Operation
was continued to close operation wound. Post operation, patient was admitted to ICU and being
treated with mechanical ventilation under sedation with continues propofol and vecuronium. On the 3rd
day, re-operation was conducted to establish the previous operation as planned. The patient was
admitted to the ICU post operatively. During management in ICU, hemodynamic was stable and the
patient woke up on the 4th day with motoric squele on his left body side.
In conducting an infratentorial tumor removal, an anesthesiologist should be aware for the risk of
massive bleeding durante operation which could manipulate hemodynamic. There for special
preparation and tight monitoring are required during the operation. In this case, CPCR can be done in
limited position (prone position).
Keyword: Cardio Pulmonary Cerebral Resuscitation, Infratentorial Tumor, Prone Position

sumber : di tulis ulang dari
JNI 2012; 1 (1):25-31



















Abstrak
Tumor infratentorial merupakan tumor yang paling sering ditemukan pada anak-anak dengan gejala
klinis antara lain ataksia, kelainan saraf kranial, muntah, sakit kepala, penurunan kesadaran, dan
hidrosefalus. Umumnya tumor infratentorial memerlukan tindakan bedah.
Kasus seorang anak laki-laki 3 tahun dengan tumor infratentorial yang mendesak ventrikel IV,
dilakukan tindakan craniotomy tumor removal dengan posisi telungkup. Saat tumor diangkat terjadi
perdarahan dan menyebabkan perubahan hemodinamik sampai henti jantung yang berlangsung
sangat cepat, kemudian operasi dan seluruh obat anestesi dihentikan, dilakukan Resusitasi Jantung
Paru Otak (RJPO) dalam posisi telungkup dengan pemberian obat resusitasi (adrenalin dan sulfas
atropin), dan melakukan pengisian intravaskuler volume (pemberian cairan dan darah), setelah
dilakukan RJPO selama 10 menit hemodinamik kembali stabil. Tindakan operasi dilanjutkan untuk
menutup luka operasi. Post operasi pasien di rawat di ICU dengan ventilasi mekanik (propofol dan
vecuronium kontinu), pada hari ke 3 dilakukan operasi kembali untuk menyempurnakan operasi yang
telah dilakukan. Post operasi pasien dirawat kembali di ICU, selama perawatan hemodinamik stabil,
hari ke 4 pasien sadar dengan sequele motorik pada sisi tubuh sebelah kiri.
Pada operasi pengangkatan tumor infratentorial, salah satu risiko yang dapat terjadi yaitu perdarahan
masif selama operasi yang dapat mempengaruhi hemodinamik. Diperlukan persiapan dan
pengawasan ketat selama operasi. Pada kasus ini, RJPO tetap dapat dilakukan pada posisi yang
terbatas (posisi telungkup).
Kata Kunci: Posisi Telungkup, Resusitasi Jantung Paru Otak, Tumor Infratentorial.


I. Pendahuluan
Tumor infratentorial (dibawah tentorium cerebral)
atau tumor fossa posterior adalah tumor otak yang
berada dalam atau dekat dengan dasar tengkorak di
fossa posterior yang merupakan tempat yang sempit
dalam tengkorak, berisi batang otak dan otak
kecil/serebelum. Batang otang terdiri dari midbrain,
pons, dan medulla oblongata. Serebelum adalah
bagian otak yang bertanggung jawab terhadap
pergerakan seseorang. Jika suatu tumor tumbuh di
daerah ini maka akan menyebabkan penghambatan
aliran cairan spinal dan menyebabkan peningkatan
tekanan kranial dan medula spinalis. Kebanyakan
tumor infratentorial merupakan kanker otak
primer.1-9.

Tumor fossa posterior lebih sering terjadi pada
anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu 54% - 70%,
sedangkan pada dewasa sekitar 15% sampai 20%,
dan sampai saat ini belum dapat diketahui penyebab
dan faktor resiko yang berhubungan dengan tumor
ini. Tumor fossa posterior seperti medulloblastoma,
pineoblastoma, ependymomas, primitive neuroectodermal
tumors (PNETs), dan astrocy-tomas di
cerebellum dan di batang otak, sering terjadi pada
anak-anak.1-9.

Gejala awal dari tumor infratentorial ini seperti
ataxia atau berjalan yang tidak terkoordinasi
dengan baik, mengantuk, sakit kepala, mual
muntah. Gejala juga dapat terjadi karena tumor
merusak/mendesak struktur lokal seperti saraf
kranial, antara lain berupa dilatasi pupil, deviasi
mata, kelemahan saraf wajah, hilangnya
pendengaran, hilangnya sensasi pada bagian dari
wajah, gangguan rasa kecap, sulit berjalan dan
gangguan pada lapang penglihatan.1-9.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada riwayat dan
pemeriksaan fisik yang di ikuti dengan pemeriksaan
radiologi Computed Tomography (CT) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan
dengan MRI merupakan pemeriksaan terbaik untuk
melihat daerah fossa posterior.

Tindakan pembedahan merupakan terapi utama
pada tumor fossa posterior, walau tumor ini
bersifat jinak. Hal ini dikarenakan pertumbuhan
tumor dapat menekan struktur sekitarnya, dan
menimbulkan akibat seperti hidrosefalus dan
penurunan kesadaran. Tidak ada terapi
medikamentosa untuk tumor ini, tetapi pemberian
diuretika dan kortikosteroid sebelum pembedahan
hanya berguna untuk mengurangi edema sekitar
tumor.

Operasi fossa posterior dapat dilaksanakan dengan
suatu posisi tertentu seperti posisi duduk (sitting
position), posisi telungkup (prone position), posisi
lateral decubitus, posisi park bench (semi prone),
posisi terlentang (supine position) dengan berbagai
akibat yang terjadi karena posisi tersebut, seperti
resiko emboli udara vena (Venous Air
Embolism/VAE) dan sumbatan aliran vena jugular.
Pada tindakan pembedahan yang dekat dengan
nucleus di batang otak dapat mengakibatkan
gangguan autonomik yang hebat. Adanya refleks
vagal yang jelas dapat menjadi tanda operasi dekat
nukleus batang otak, dan kadang-kadang dapat
terjadi asistol. Ini sering diikuti dengan suatu
refleks simpatik yang pada keadaan hemodinamik
tertentu dapat menyebabkan bradikardi hebat dan
hipotensi sampai ke takikardi dan hipertensi pada
kondisi selanjutnya. Selain reflek vagal dapat juga
terjadi asistole, hal ini dapat disebabkan karena
tindakan operasi ataupun hipovolume akibat
perdarahanan masif, maka tindakan resusitasi
jantung paru otak (RJPO) harus segera dilakukan
yaitu dengan pengisian kembali volume cairan
intravaskuler, dan tindakan RJPO dapat dilakukan
secara posisi telungkup, dengan memberi ganjal
yang ditempatkan tepat di depan dada pasien.
Tindakan RJPO terlungkup mempunyai beberapa
keuntungan seperti kejadian fraktur iga yang dapat
mencederai jantung jarang terjadi, lidah jatuh ke
depan karena gravitasi sehinggan jalan napas
terbuka secara spontan. 10,11,12.

Teknik anestesi yang baik untuk operasi
pengangkatan tumor infratentorial adalah dengan
mempertahankan Cerebral Prefusion Pressure
(CPP) yang baik, relaksasi otot yang baik,
stabilisasi kardiovaskuler baik (tekanan darah atau
irama), dengan persiapan dan monitoring yang baik
selama perioperatif. Brain protection atau proteksi
otak merupakan serangkaian tindakan yang penting
dan menjadi perhatian setiap anestesiologist, juga
harus selalu dilakukan pada setiap operasi bedah
saraf, yang bertujuan untuk mencegah atau
mengurangi kerusakan sel-sel otak yang
diakibatkan oleh keadaan iskemia. Prinsip proteksi
otak adalah meningkatkan pasokan oksigen,
menurunkan metabolisme otak dan menghentikan
proses yang dimulai akibat adanya iskemia, yaitu
dengan Basic Methodes / metode dasar ; jalan nafas
bebas dan lancar, oksigenasi adekuat, cegah
hiperkarbia, pengendalian tekanan intrakranial,
tekanan darah, tekanan perfusi otak, kejang;
farmakologi; hipotermi; dan kombinasi hipotermia
dengan farmakologi. Proteksi otak harus dilakukan
pada seluruh periode perioperatif. 1-9.

II. KASUS
Seorang anak laki-laki 3 tahun dengan tumor
infratentorial telah dilakukan tindakan craniotomy
tumor removal pada tanggal 18 Februari 2011.
Pasien dirujukan dari rumah sakit lain ke Eka
Hospital Pekanbaru dengan penurunan kesadaran
sejak 2 hari sebelum dirujuk, dari rujukan pasien
langsung dirawat di PICU dan di rencanakan
operasi esok harinya. Tiga minggu sebelumnya
pasien telah dilakukan pemasangan VP-shunt
karena hidrosefalus karena tumor infratentorial.
Sebelum dilakukan operasi pemasangan VP-shunt
pasien mengeluh sakit kepala yang hilang timbul,
mual dan muntah, dan kalau berjalan sempoyongan.

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sakit berat, berat badan 15 kg.
Kesadaran: GCS = E3M4V2. Mata : pupil bulat
isokor, ukuran OD 3mm OS 3mm, Reflek cahaya
kanan dan kiri baik. Respirasi : jalan napas tidak
ada sumbatan/patent, spontan, frekuensi nafas
11kali/menit dan pada auskultasi suara nafas
bronkhovesikuler, ditemukan ronki pada kedua
lapang paru juga lendir di jalan nafas. Sirkulasi :
tekanan darah 112/71 mmHg, laju nadi 95kali/
menit, dan auskultasi bunyi jantung normal tidak
ditemukan murmur. Pada pemeriksaan ekstremitas
atas dan bawah tampak hemiparese kiri, untuk
sensibilitas sulit dinilai.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah didapatkan kadar hemoglobin
10.6g/dL, hematokrit 33.1%, hitung leukosit
10.600/mm3 dan trombosit 387.000/mm3, Na
134mmol/L, Kalium 2 mmol/L, Chlorida 96
mmol/L, Calsium 8.52 mg/dL, Magnesium
1.36mg/dL, Glukosa 100 mg/dL, PT 11.8 detik,
INR 1.03 detik, aPTT 36,5 detik, Analisa Gas
Darah : PH 7.55, PO2 257.1mmHg, PCO2
41.1mmHg, TCO2 36.1mEq/L HCO3 34.9mEq/L
BE 11.4mEq/L, SaO2 99.9%. Secara klinik tidak
didapat kelainan karena langsung ke OK untuk
operasi.

Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan foto thoraks didapatkan kesan jantung
dalam batas normal dan paru bronkopneumoni
dupleks. Kesimpulan hasil MSCt: massa solid,
hipointens (T1 flair) di fossa posterior, ukuran
6,7cm x 4,7cm x 4,8cm dengan permukaan massa
yang iregular. Pada T2 flair tampak edema sekitar
massa. Post kontrast; massa tampak mengalami
penguatan nyata, tidak homogen dengan area
hipointens ditengahnya. Masa berasal dari
hemiserebellum kiri yang meluas ke sekitarnya. Ke
anteromedial massa mendesak ventrikel IV
sehingga menyempit. Deviasi struktur garis tengah
kekanan. Ventrikel lateral kanan dan kiri, Ventrikel
III mulai melebar. Suspek medulo-blastoma.
Status fisik ASA 3 dengan penurunan kesadaran
dan bronkhopneumonia dupleks, hipokalemi,
hiponatremi ringan. Sikap: prinsip setuju untuk
tindakan anestesi, siapkan ijin anestesi, sedia darah
PRC 400cc atau sesuai dari operator, siapkan alat
dan bahan pemasangan Central Venous Catheter
(CVC) serta surat ijin untuk pemasangan CVC
tersebut, Koreksi Kalium 10mEq dalam NaCl 0,9%
100cc habis dalam 5 jam, Post operasi pasien ke
ICU dengan pemasangan ventilator.

Manajemen Anestesia

Pra Anestesi
Direncanakan anestesi umum dengan pemilihan
obat induksi dengan propofol, fentanil, intubasi
difasilitasi pelumpuh otot vecuronium. Rumatan
dengan Isofluran, Oksigen, Air, vecuronium. Cairan
intravena dengan Ringer laktat, NaCl 0,9%, Koloid
dan persiapan packed red cell (PRC). Pemasangan
CVC dilakukan setelah induksi.

Di kamar operasi :
• Pasien tiba di kamar operasi pukul 13.30 wib,
pasien telah terpasang infus dengan cairan RL
pada tangan kanan dengan IV kateter no.24.
Dipasang monitor EKG, non invasif blood
presurre/tensimeter kontinyu, pulse oksimetri,
kateter urin sudah terpasang. Tanda vital awal
tekanan darah 119/72mmHg, laju nadi
80x/mnt, saturasi O2 100% dengan udara
ruangan.
• Dilakukan induksi dengan propofol 30mg,
fentanil 50mcg, fasilitasi intubasi dengan
vecuronium 2mg setelah onsetnya tercapai,
maka dilakukan laringoskopi dan intubasi
dengan pipa endotrakheal non kinking no.4,5
balon pada sudut kanan bibir dengan
kedalaman 15cm. Lalu ETT dihubungkan ke
ventilator dengan modus Pressure Control
Ventilation (PCV). Lalu dipasang mayo dan
difiksasi.
• Mata diberi salep, dan ditutup dengan plester
kertas 3 lapis.
• Dipasang CVC di vena jugularis kiri.
Kemudian dihubungkan dengan transfusi set
serta cairan NaCl 0,9% 500cc.
• Pasien diposisikan telungkup, dengan diberi
ganjalan bantal di depan dada dan pinggul
sehingga perut dapat bebas saat dilakukan
ventilasi kontrol. Kepala diposisikan sedikit
fleksi dan disesuaikan dengan operator, kepala
bertumpu pada donat. Mata diposisikan jangan
sampai tertekan dan ETT jangan sampai
tertekuk.
• Lima menit sebelum pemasangan pin diberikan
fentanyl 20mcg,
• Sebelum dilakukan insisi kulit juga diberikan
fentanyl 20mcg
• Rumatan anestesi dengan Isofluran : 0,8Vol%,
O2 : 0,5L/menit, Air : 0,5L/menit, ventilasi
kontrol dengan vecuronium 1mg/jam dengan
menggunakan syring pump.
• Selama 2 jam, operasi berlangsung baik
dengan hemodinamik dan respirasi stabil.
• Jam 15.45; Saat tumor akan diangkat sedikit
demi sedikit, mulai terjadi perdarahan yang
berlangsung terus menerus hingga 1500mL dan
terjadi perubahan hemodinamik yaitu tekanan
darah mulai menurun, operator diberi tahu
mengenai kondisi pasien dan perdarahan yang
terjadi.
• Jam 16.30 terjadi henti jantung yang
berlangsung sangat cepat, dan pada saat itu
kegiatan operasi dan seluruh obat anestesi di
hentikan, nafas dikontrol secara manual dengan
O2 4L, bersamaan dilakukan RJPO dalam
posisi pasien masih tetap telungkup, diberikan
sulfas atropine total 1mg karena tidak berespon
di tambahkan adrenalin dengan total pemberian
16mg bersamaan itu dilakukan juga pengisian
volume intravaskuler dengan pemberian
kritaloid 2000cc dan koloid (gelofusin) 1000cc
serta Packed Red Cell / PRC atau sel darah
merah 400cc. Setelah dilakukan RJPO selama
10 menit hemodinamik kembali stabil.
Tindakan operasi segera dilanjutkan untuk
menutup luka operasi dengan jahitan situasi.

Post operasi
• pasien di rawat di ICU untuk mengistirahatkan
otak dengan mengontrol pernapasan dengan
ventilasi mekanik modus PCV untuk itu diberi
propofol 20mg/jam dan vecuronium
1mg/30menit, analgetik morfin 40mcg/
kgbb/jam, support diberikan dopamine
10mcg/kgbb/menit. Pemeriksaan laboraturium
darah rutin, AGD, GDS, PT/aPTTdan
elektrolit, kemudian bila dari hasil
laboraturium tidak sesuai rentang nilai normal
dilakukan koreksi.

• Setelah 6 jam vecuronium dihentikan namun
propofol dan morfin tetap diberikan. Ketika
napas sudah mulai ada maka modus ventilator
di ubah menjadi SIMV-PC. Topangan
dopamin diturunkan bertahap sesuai dengan
kondisi hemodinamik.
• Pada hari ke 3 dilakukan operasi wound closer,
untuk menyempurnakan operasi yang telah
dilakukan.
• Post operasi pasien dirawat kembali di ICU,
selama perawatan hemodinamik stabil, hari ke
4 pasien sadar, dengan sequele motorik pada
sisi tubuh sebelah kiri. Pasien dipindahkan ke
ruang HCU dan dirawat selama 5 hari,
kemudian dipindah rawat ke ruang perawatan.
• Diruangan perawatan pasien dirawat selama 8
hari, dan karena alasan finansial pasien pulang
atas permintaan sendiri. Pasien dipulangkan
dengan kondisi saat itu kesadaran kompos
mentis, GCS: E4M6V5, dengan kesan
hemiparese sinistra. Pemeriksaan darah rutin
Hb:12.2g/dL, Lekosit:16500 /μL, Hematokrit:
36.90%, Trombosit: 875000 μL, Na: 136
nmol/L, K:4,7nmol/L, Cl:96 nmol/L.
• Hasil PA : 23/feb/2011 adalah : Histologi
sesuai dengan Mixed germ cell tumor,
dominasi yolk sac tumor dengan fokus
karsinoma embrional

III. Pembahasan
Tumor fossa posterior atau tumor infratentorial
merupakan tumor yang paling sering ditemukan
pada anak-anak. Perkembangan tumor ini dapat
menekan struktur sekitarnya dan menimbulkan
gejala seperti hidrosefalus dan penurunan kesadaran
serta kematian akibat herniasi batang otak.
Pembedahan merupakan terapi utama pada tumor
fossa posterior, walau tumor ini bersifat jinak dan
menjadi tantangan tersendiri bagi anestesiologist,
manajemen anestesi adalah menurunkan tekanan
intrakranial dan melakukan proteksi otak.
































Persiapan anestesi yang baik pada setiap operasi
sangat diperlukan. Persiapan meliputi kondisi
pasien, tehnik anestesi yang akan dilaksanakan
serta persiapan alat yang akan dipakai dengan
tujuan mencegah hal-hal dikhawatirkan terjadi, juga
melakukan tindakan segera bila komplikasi dari
tindakan itu terjadi. Pada kasus ini persiapan yang
dilakukan adalah pemasangan CVC, sebagai akses
mengukur kecukupan volume intravaskuler, juga
sebagai akses pemberian cairan atau darah. Arteri
line tidak dipasang karena tidak memungkinkan
untuk itu, walau diketahui bahwa pemasangan arteri
line ini sangat penting karena dapat mengetahui
perubahan hemodinamik denyut per denyut, untuk
menggantikan itu digunakan monitor hemodinamik
yang non invasif (NIBP) secara kontinyu setiap 2,5
menit.


































Posisi pasien telungkup harus diberi ganjalan bantal
tepat di depan dada dan pinggul sehingga perut
dapat bebas saat dilakukan ventilasi kontrol. Kepala
diposisikan sedikit fleksi dan disesuaikan dengan
operator, kepala bertumpu pada donat namun tetap
harus diperhatikan aliran darah vena jugularis
jangan sampai terjadi sumbatan, bila terjadi maka
akan menimbulkan peningkatan tekanan intra
kranial. Mata diposisikan jangan sampai tertekan,
karena operasi ini memerlukan waktu yang relatif
lama, maka bila hal ini terjadi dapat menimbulkan
kebutaan karena terjadi oklusi dari arteri retina
sentralis dan ischaemic optic neuropathy. Pipa
endotrakheal jangan sampai tertekuk karena bila hal
ini terjadi maka akan terjadi gangguan ventilasi dan
terjadi peningkatan PaCO2 sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, selain itu tehnik
anestesi yang dipakai harus bersifat proteksi otak
yaitu dengan metode dasar: jalan napas yang
terjaga patensinya, ventilasi kendali dan sirkulasi
yang stabil dengan tercapainya normotensi,
normovolum, isoosmolar dan normoglikemi.
Penggunaan obat-obatan yang dapat menekan
CMRO2 dan mencegah peningkatan cerebral blood
flow (CBF) seperti propofol, fentanyl, vekuronium,
isofluran O2 dan Air, tidak menggunakan N2O.
karena tidak terpasangnya termometer selama
operasi berlangsung untuk pengukuran suhu inti
tubuh, maka metode hipotermi ringan (34-35oC)
tidak dapat dilakukan dengan baik.

Pemberian analgetik fentanyl sebelum pemasangan
pin dan insisi kulit bertujuan mencegah terjadinya
lonjakan hemodinamik yang dapat mengganggu
sirkulasi darah otak dan mengurangi peningkatan

tekanan intrakranial yang terjadi.


























Saat tumor diangkat sedikit demi sedikit, mulai
terjadi perdarahan yang berlangsung terus menerus
hingga 1500mL dan terjadi perubahan
hemodinamik yaitu tekanan darah mulai menurun,
saat ini operator diberi tahu mengenai kondisi
pasien dan perdarahan yang terjadi. Ketika terjadi
henti jantung, segala kegiatan operasi dan seluruh
obat anestesi di hentikan, nafas dikontrol secara
manual dengan O2 4L, diikuti dengan tindakan
RJPO dengan posisi tetap telungkup dan pengisian
volume intravaskuler.

Gangguan Kardio-respirasi dapat terjadi karena
adanya penekanan pada batang otak. Perdarahan
yang terjadi pada saat pengangkatan tumor ini dapat
menyebabkan perubahan hemodinamik yang sangat
cepat hingga dapat terjadi henti jantung. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi anestesiologist
Bila hal ini terjadi tindakan RJPO harus segera
dilakukan. Seperti pada kasus ini, henti jantung
terjadi kemungkinan karena penekanan pada daerah
batang otak saat melakukan pengangkatan tumor
atau/dan dapat terjadi karena perdarahan yang
masif yang menimbulkan hipovolume intravaskuler
dengan akibatnya henti jantung.



Tatalaksana resusitasi yang dilakukan pada kasus
ini sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan
AHA13 2010, dengan melakukan pijat jantung paru,
walau dengan posisi telungkup dan pemberian
epineprin serta sulfas atropine, juga melakukan
resusitasi cairan dengan kristaloid, koloid dan
darah, segera sebagai pengganti perdarahan yang
masif dan bersifat akut. Posisi terlentang tidak
dapat dilakukan karena daerah operasi masih
terbuka atau belum dilakukan penutupan kulit,
selain itu kepala pasien masih terfiksasi dengan pin.

IV. Simpulan
Salah satu risiko yang akan terjadi pada operasi
pengangkatan tumor infratentorial, yaitu perdarahan
yang masif selama operasi yang dapat
mempengaruhi hemodinamik, sehingga persiapan
dan pengawasan yang ketat selama operasi sangat
diperlukan. Proteksi otak harus selalu dilakukan
pada setiap operasi bedah saraf. Bila terjadi
perubahan hemodinamik bahkan henti jantung,
tindakan RJPO tetap harus dilakukan walau pasien
masih pada posisi telungkup.
Daftar Pustaka.
1. Bisri T, Wargahadibrata AH, Surahman E.
Neuroanestesi. Edisi-2. Bandung: Saga
Olahcitra; September 1997.
2. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Edisi-2.
Bandung: Saga Olahcitra; Januari 2011
3. Morgan EG, Mikhail MS, Murray MJ.
Anesthesia for Neurosurgery. Dalam: Morgan
EG, Mikhail MS, Murray MJ, editor. Clinical
Anesthesiology, 4th ed. New York: McGraw-
Hill; 2006, 91-116.
4. Duffy C. Anesthesia for Posterior Fossa
Surgery. Dalam: Matta BF, Menon DK. Turner
JM, editor. Textbook of Neuroanaesthesia and
Critical Care. London: Greenwich Medical
Media Ltd ; 2000, 267-80.
5. Culley DJ, Crosby G. Anesthesia for Posterior
Fossa Surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell J,
editor. Handbook of Neuroanesthesia, 4th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007, 133-42.
6. Al-Shatoury HAH , Galhom AA, Engelhard
HH. Posterior Fossa Tumors. From
http:emedicine.medscape.com /article/249495.
7. Craen RA, Pellerin H. Anesthesia for Fossa
Posterior Lesion. Dalam: Gupta AK, Gelb
AW, editor. Essentials of Neuroanesthesia and
Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders
Elsevier Inc; 2008, 119-24.
8. Matta BF, Menon DK. Turner JM. Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care. London:
Greenwich Medical Media Ltd; 2000.
9. Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia and Co-
Existing Disease, 4th edition, Philadelphia:
Churchill livingstone Pennsyslvania; 2002,
145-53.
10. Cave DM, Chair, Gazmuri RJ, Otto CW, Vinay
MN, Cheng Adam. CPR Techniques and
Devices. In Supplement to Circulation. From
http://circ.ahajournals.org /cgi/content/full/
122/18_suppl_3/S720.
11. Yien HW. Is the Upside-down Position Better
in Cardiopulmonary Resuscitation? J Chin Med
Assoc. Taiwan: Elsevier; May 2006, 69 (5):
199-201.
12. Wei J, Tung D, Sue SH, Wu SV, Chuang YC,
Chang CY. Cardiopulmonary Resuscitation in
Prone Position: A Simplified Method for
Outpatients. J Chin Med Assoc. Taiwan:
Elsevier; May 2006, 69 (5): 202-06.
13. Kleinman ME, Chameides L, Schexnayder
SM, Samson RA, Hazinski MF, Atkins DL, et
al. Pediatric Advanced Life Support:2010
American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation
2010;122:S876-S908.