konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Tampilkan postingan dengan label Panduan Praktik Klinis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Panduan Praktik Klinis. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Februari 2017

PENGELOLAAN KEHAMILAN DENGAN PERTUMBUHAN JANIN TERHAMBAT : FREE EBOOK

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
PENGELOLAAN KEHAMILAN DENGAN
PERTUMBUHAN JANIN TERHAMBAT


Bayi kecil masa kehamilan merupakan masalah tersering dengan morbiditas dan mortalitas neonatus terutama di negara berkembang. Bayi kecil masa kehamilan (KMK) disebut juga small for gestational age (SGA) sering disamakan dengan bayi dengan pertumbuhan janin terhambat (PJT) atau intrauterine growth restriction (IUGR). Angka mortalitas PJT meningkat 3-8 kali dibandingkan dengan bayi dengan berat lahir normal. Masalah morbiditas neonatus yang dapat terjadi termasuk terhambat perkembangan neurologis.1


Sekitar dua per tiga PJT berasal dari kelompok kehamilan yang berisiko tinggi, misalnya hipertensi, perdarahan antepartum, penderita penyakit jantung, dan kehamilan multipel sedangkan sepertiga lainnya berasal dari kelompok kehamilan tidak mempunyai risiko.2 Nutrisi maternal juga berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan janin. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
pertumbuhan janin yang paling rentan terhadap kekurangan nutrisi maternal (contohnya, protein dan mikronutrien) adalah selama periode peri-implantasi dan periode perkembangan plasenta yang cepat.3-5


Kesalahan diagnosis KMK seringkali terjadi akibat kesalahan dalam pencatatan hari pertama haid terakhir (HPHT) sehingga usia kehamilan tidak jelas, bayi kecil tapi sehat, cacat bawaan/ kelainan genetik/ kromosom, infeksi intrauterine, dan PJT itu sendiri. Kurang lebih 80-85% bayi KMK adalah bayi kecil yang sehat, 10-15% diantaranya barulah PJT yang sesungguhnya dan sisanya (5-10%) adalah janin dengan kelainan kromosom, cacat bawaan atau infeksi intrauterin.6 7



DI SINI  --->  DOWNLOAD / BACA

Perbedaan definisi yang dipakai, kurva standar, ketinggian tempat tinggal, jenis kelamin dan ras seseorang adalah beberapa hal yang menyebabkan angka kejadian PJT bervariasi, yaitu 3-10%.8 Pada penelitian pendahuluan diempat pusat fetomaternal di Indonesia tahun 2004-2005 didapatkan 571 bayi KMK pada 14.702 persalinan atau rata-rata 4,40%. Paling sedikit di RS Dr. Soetomo Surabaya 2,08% dan paling banyak di RS Dr. Sardjito Yogyakarta 6,44%. Secara klinis PJT dibedakan atas 2 tipe yaitu: tipe I (simetris) dan tipe II (asimetris). Kedua tipe ini mempunyai perbedaan dalam etiologi, terapi, dan prognosisnya.9,10 Cara pemeriksaan klinis untuk mendeteksi PJT (berupa identifikasi faktor risiko dan pengukuran tinggi fundus uteri) seringkali memberikan hasil yang kurang akurat. Hal tersebut dibuktikan oleh Campbell dkk yang mencatat nilai prediksi positif/Positive Predicted Value (PPV) pengukuran tinggi fundus yang rendah, yaitu16% dan nilai prediksi negatif/Negative Predicted Value (NPV) sebesar20%.10,11 Dengan demikian parameter pengukuran tinggi fundus uteri tidak dapat dijadikan patokan untuk mendiagnosis PJT. Janin dianggap PJT jika dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) didapatkan berat janin khususnya lingkar perut atau berat janin serial dibawah angka normal untuk usia kehamilan tertentu, biasanya dibawah persentil 5 atau 10.12,13


Tatalaksana janin KMK dan PJT berfokus waktu terminasi yang tepat. Sejumlah uji surveilans termasuk kardiotokografi (KTG), USG, dan USG Doppler tersedia untuk menilai aktivitas biofisik janin, namun didapatkan beberapa variasi dan kontroversi mengenai uji atau kombinasi surveilans yang seharusnya digunakan sebelum dilakukan terminasi kehamilan. Panduan ini dibuat untuk digunakan dokter spesialis obstetri dan ginekologi dalam melakukan penatalaksanaan janin PJT secara komprehensif dari penegakan diagnosis, surveilans terhadap janin dan waktu serta cara terminasi kehamilan.




DI SINI  --->  DOWNLOAD / BACA



BACA JUGA


BACA DAN DOWNLOAD   BUKU LENGKAP 


PERDARAHAN PASCA - SALIN 2016, PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN : FREE EBOOK


PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN 
PERDARAHAN PASCA - SALIN 
2016




Perdarahan pasca-salin (PPS)/ postpartum haemorrhage (PPH) merupakan penyebab terbesar kematian ibu di seluruh dunia. Salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian ibu (AKI) sebesar tiga perempatnya pada tahun 2015. Sayangnya, pada tahun 2012, AKI mengalami kenaikan menjadi 359 per 100.000 penduduk atau meningkat sekitar 57% dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya 228 per 100.000 penduduk.1 Pencapaian target MDGs dapat diraih salah satunya melalui penurunan AKI yang disebabkan oleh PPS. Untuk mendukung target tersebut, dibutuhkan petugas kesehatan yang terlatih dan pedoman berbasis bukti pada keamanan, kualitas, dan kegunaan dari berbagai intervensi yang ada. Dengan demikian dapat dilahirkan suatu kebijakan dan program yang dapat diimplementasikan secara realistis, strategis dan berkesinambungan.


Penyebab PPS yang paling sering adalah uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone), trauma jalan lahir (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan pembekuan darah (thrombin).







Pada praktiknya, jumlah PPS jarang sekali diukur secara objektif dan tidak diketahui secara jelas manfaatnya dalam penatalaksanaan PPS, serta luaran yang dihasilkan. Selain itu, beberapa pasien mungkin saja membutuhkan intervensi yang lebih walaupun jumlah perdarahan yang dialaminya lebih sedikit apabila pasien tersebut berada dalam kondisi anemis.

Saat ini, telah ada rekomendasi mengenai manajemen aktif persalinan kala III sebagai upaya pencegahan PPS, sayangnya, masih belum ada kesepakatan langkah-langkah intervensi, metode yang terbaik, dan syarat-syarat yang diperlukan untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut secara aman. Sebagai contohnya yaitu waktu terbaik pemberian uterotonika setelah persalinan, rekomendasi berbagai jenis dan cara pemberian obat pada keadaan yang berbeda-beda, manfaat melakukan klem dan peregangan tali pusat dini serta makna “dini” pada PPS. Beberapa rekomendasi diperlukan untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas dan hal tersebut harus merupakan langkah-langkah yang dapat dikerjakan secara aman oleh seluruh tenaga kesehatan.





Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid

Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid

Ari Prayitno





Tujuan:
1. Menjelaskan tatalaksana umum demam tifoid
2. Menjelaskan pilihan antibiotik pada demam tifoid
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu
tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa
pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid
juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit
tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi,
pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi
traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.
Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani
demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian
rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi
yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana
yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid.
Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu
90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah
sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup
untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.
Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak
di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan
pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang.1
Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah
golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau
gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya
resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam
pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance
(MDR). S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali
timbul pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat
ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten
terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi
pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan
untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun
alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi
yang membutuhkan pengobatan parenteral, seperti pada tabel 1 dan tabel 2.2,3
Tabel 1. Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.2,3







Kloramfenikol tergolong obat ‘lama’ yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid pada anak dan sampai sekarang masih digunakan, terutama di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kloramfenikol ditemukan
pertama kali pada tahun 1947, diisolasi dari bakteri Streptomyces venezuelae.
Setelah keberhasilan yang ditunjukkan obat ini dalam dua wabah tifus di
tahun 1948, kloramfenikol menjadi antibiotik pertama yang diproduksi
dalam skala besar. Pada tahun 1950, para ahli menemukan bahwa obat
ini dapat menyebabkan anemia aplastik yang serius dan berpotensi fatal,
sehingga pemakaian obat ini menurun drastis. Karena alasan itulah, dengan
pengecualian untuk daerah di mana biaya dan ketersediaan membuatnya tetap
menjadi terapi utama untuk demam tifoid, kloramfenikol tidak lagi merupakan
obat pilihan untuk infeksi tertentu di beberapa negara maju.4
Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan pertama
kasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini dimasukkan
sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena obat lini
pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan demam
tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan
sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata
hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang
murah. Dibandingkan dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat
menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk pengobatan demam
tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan penurunan demam oleh masing-masing
obat antibiotik pada kasus demam tifoid pada anak. Namun Kloramfenikol
mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia
aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis,
menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome.
Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai
terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.5



Tabel 3. Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam tifoid.6



Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia
masih sangat endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah
pelosok Indonesia dengan higienitas masyarakatnya yang masih sangat
rendah, serta masih sangat terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan yang
benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam tifoid ini, khususnya
di Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan utama, khususnya pada
pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.
Selama kurun waktu 4 tahun (2008 – 2012), jumlah kasus demam tifoid
yang dirawat di RSCM dan mendapat pengobatan kloramfenikol sebanyak 13
orang, dengan hasil membaik pada demam atau hari sakit ke-6 sebanyak 23,1
%. Sedangkan berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan terhadap antibiotik
di RSCM pada tahun 2009-2010, menunjukkan jumlah spesimen dengan hasil
biakan S. typhi yang positif ada 8 spesimen. Dari biakan tersebut, sensitifitas
kloramfenikol menunjukkan lebih dari 75%.
Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat
demam tifoid, walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah
kloramfenikol. Umumnya digunakan pada penderita demam tifoid dengan
lekopenia yang tidak mungkin diberikan kloramfenikol, atau yang resisten
terhadap kloramfenikol. Penambahan asam klavulanat pada amoksisilin
dianggap tidak membawa keuntungan yang signifikan bila dibandingkan
dengan pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan Amoksisilin-
Asam klavulanat tidak diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian
amoksisilin oral selama 14 hari sama efektifnya dengan pemberian ampisilin IV
untuk mengobati demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Bebas
demam akan tercapai setelah 5 hari pengobatan.7
Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan
kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan
amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid yang resisten
terhadap kloramfenikol.
Sefiksim tidak digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan
demam tifoid tanpa komplikasi. Obat ini hanya digunakan pada kasus demam
tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik (MDR), dan
sebagai terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga
lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif
untuk kasus demam tifoid yang MDR juga angka kekambuhan demam tifoidnya
yang rendah.8 Obat ini bekerja dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella
serovar typhimurium dan typhi yang menghuni sel-sel monosit yang berasal
dari sel THP-1.9
Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7
hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun
pada anak dengan waktu penurunan demam yang hampir mirip dengan bila
digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan pertama bila kasus demam
tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon. Dengan pemberian singkat
selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif mengobati demam tifoid yang
tidak komplikasi.10 Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau
sefotaksim diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat
kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang
resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin generasi ini. Bahkan

untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat seftriakson
dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila digunakan sebagai
terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan sefiksim. Pemberian
seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama
7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi
seftriakson dihentikan.11
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon,
termasuk siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin merupakan
obat pilihan yang optimal untuk pengobatan demam tifoid, khususnya pada
dewasa dan anak di beberapa negara. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek
sampingnya yang rendah, membuat obat ini banyak digunakan secara luas di
beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini telah banyak ditemukan
kasus demam tifoid yang resisten terhadap kuinolon.2
Penggunaannya pada anak masih kontroversial, mengingat efek obat ini
yang dapat merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga disebagian
besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai obat demam tifoid,
sementara di sebagian lain hanya digunakan pada kasus-kasus berat atau kasus
yang dicurigai resisten terhadap kloramfenikol. Sedangkan sebagian negara
lainnya menganggap obat ini tetap bisa digunakan dengan mempertimbangkan
rasio keuntungan dan resikonya.
Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau
amoksisilin dengan dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi
probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau trimetropimsulfametoksazol
selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80%.
Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi karier demam tifoid.
Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier demam tifoid,
beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol, siprofloksasin dan
norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak sebaiknya digunakan pada
penderita demam tifoid anak.

Tabel 4. Pengobatan demam tifoid karier.4



Tabel 5. Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam tifoid.11
Tabel 65. Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Tropik Departemen IKA RSCM



Kepustakaan
1. Sánchez-Vargas FM, Abu-El-Haija MA, Gómez-Duarte OG. Salmonella
infections: an update on epidemiology, management, and prevention. Travel
Med Infect Dis 2011;9:263-77.Background document : the diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. [homepage on the Internet]. Switzerland :
Communical disease surveillance and response Vaccines and Biologicals; 2003.
Diunduh pada tanggal 30 Mei 2006 dari : http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/
WHO_V&B_03.07.pdf
2. Bhuta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. Br
Med J 2006;333:78–82.
3. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Wamy AJ. Current trends in the management
of typhoid fever. Med J Armed Forces India 2003; 59:130-5.
4. Chloramphenicol. Wikipedia- The free encyclopedia. [updated 2012 June 4]
Diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Chloramphenicolpada tanggal 30
Mei 2012.
5. Hadinegoro SR. Strategi pengobatan demam tifoid pada anak. Dalam: Akib
AAP, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah lengkap Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Bagian Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2001:105-16.
6. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Demam tifoid. Dalam:
Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit IDAI;
2002:338-346
7. Medina Santillán R, Reyes García G, Herrera Benavente I, Mateos García
E. Efficacy of cefixime in the therapy of typhoid fever. Proc West Pharmacol
2000;43:65-6.
8. Matsumoto Y, Ikemoto A, Wakai Y, Ikeda F, Tawara S, Matsumoto K. Mechanism
of Therapeutic Effectiveness of Cefixime against Typhoid Fever. Antimicrob
Agents Chemother 2001; 45: 2450–2454.
9. Frenck RW Jr, Mansour A, Nakhla I, Sultan Y, Putnam S, Wierzba T, Morsy M,
Knirsch C. Short-course azithromycin for the treatment of uncomplicated typhoid
fever in children and adolescents. Clin Infect Dis 2004;38:951-7.
10. Bhutta ZA, Khan IA, Shadmani M. Failure of short-course ceftriaxone
chemotherapy for multidrug-resistant typhoid fever in children: a randomized
controlled trial in Pakistan. Antimicrob Agents Chemother 2000;44:450-2.








































Demam Tifoid adalah, Demam Tifoid pdf, terapi Demam Tifoid, Demam Tifoid ppt, tatalaksana Demam Tifoid, klasifikasi Demam Tifoid, komplikasi Demam Tifoid, antibiotik Demam Tifoid, konsensus terbaru Demam Tifoid, konsensus Demam Tifoid, Demam Tifoidpada anak, Demam Tifoid pada dewasa, Demam Tifoid adalah pdf, jurnal Demam Tifoid, Demam Tifoid jurnal, demam tipoid pdf, demam tipoid pada anak, demam tipoid adalah, demam tipoid askep, demam tipoid ppt, demam tipoid icd 10, demam tipoid pada bayi, demam tipoid bisa sembuh total, demam tipoid blog dokter, demam tipoid panduan praktik klinis dokter, Demam Tifoid adalah, Demam Tifoid pdf, terapi Demam Tifoid, Demam Tifoid ppt, tatalaksana Demam Tifoid, klasifikasi Demam Tifoid, komplikasi Demam Tifoid, antibiotik Demam Tifoid, konsensus terbaru Demam Tifoid, konsensus Demam Tifoid, Demam Tifoidpada anak, Demam Tifoid pada dewasa, Demam Tifoid adalah pdf, jurnal Demam Tifoid, Demam Tifoid jurnal, demam tipoid pdf, demam tipoid pada anak, demam tipoid adalah, demam tipoid askep, demam tipoid ppt, demam tipoid icd 10, demam tipoid pada bayi, demam tipoid bisa sembuh total, demam tipoid blog dokter, demam tipoid panduan praktik klinis dokter, Demam Tifoid adalah, Demam Tifoid pdf, terapi Demam Tifoid, Demam Tifoid ppt, tatalaksana Demam Tifoid, klasifikasi Demam Tifoid, komplikasi Demam Tifoid, antibiotik Demam Tifoid, konsensus terbaru Demam Tifoid, konsensus Demam Tifoid, Demam Tifoidpada anak, Demam Tifoid pada dewasa, Demam Tifoid adalah pdf, jurnal Demam Tifoid, Demam Tifoid jurnal, 

Sabtu, 01 Oktober 2016

Hordeolum

Hordeolum




sumber : 

Masalah Kesehatan

Hordeolum adalah peradangan supuratif kelenjar kelopak mata. Biasanya merupakan infeksi Staphylococcus pada kelenjar sebasea kelopak. Dikenal dua bentuk hordeolum internum dan eksternum. Hordolum eksternum merupakan infeksi pada kelenjar Zeiss atau Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom yang terletak di dalam tarsus. Hordeolum mudah timbul pada individu yang menderita blefaritis dan konjungtivitis menahun.


Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan  
Pasien datang dengan keluhan kelopak yang bengkak disertai rasa sakit.
Gejala utama hordeolum adalah kelopak yang bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal, merah dan nyeri bila ditekan, serta perasaan tidak nyaman dan sensasi terbakar pada kelopak mata


Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik Oftalmologis
Ditemukan kelopak mata bengkak, merah, dan nyeri pada perabaan. Nanah dapat keluar dari pangkal rambut (hordeolum eksternum). Apabila sudah terjadi abses dapat timbul undulasi.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan


Penegakan diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding
1.     Selulitis preseptal
2.     Kalazion 
3.     Granuloma piogenik

Komplikasi
1.     Selulitis palpebra.
2.     Abses palpebra.


Penatalaksanaan komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan
        Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari selama 15 menit setiap kalinya untuk membantu drainase. Tindakan dilakukan dengan mata tertutup.
        Kelopak mata dibersihkan dengan air bersih atau pun dengan sabun atau sampo yang tidak menimbulkan iritasi, seperti sabun bayi. Hal ini dapat mempercepat proses penyembuhan. Tindakan dilakukan dengan mata tertutup.
        Jangan menekan atau menusuk hordeolum, hal ini dapat menimbulkan infeksi yang lebih serius.
        Hindari pemakaian make-up pada mata, karena kemungkinan hal itu menjadi penyebab infeksi.
        Jangan memakai lensa kontak karena dapat menyebarkan infeksi ke kornea.
        Pemberian terapi topikal dengan Oxytetrasiklin salep mata atau kloramfenikol salep mata setiap 8 jam. Apabila menggunakan kloramfenikol tetes mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam.
        Pemberian terapi oral sistemik dengan eritromisin 500 mg pada dewasa dan anak sesuai dengan berat badan atau dikloksasilin 4 kali sehari selama 3 hari.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Tidak diperlukan

Konseling & Edukasi
Penyakit hordeolum dapat berulang sehingga perlu diberi tahu pasien dan keluarga untuk menjaga higiene dan kebersihan lingkungan

Rencana Tindak Lanjut
Bila dengan pengobatan konservatif  tidak berespon dengan baik, maka prosedur pembedahan mungkin diperlukan untuk membuat drainase pada hordeolum.

Kriteria rujukan 
1.     Bila tidak memberikan respon dengan pengobatan konservatif.
2.     Hordeolum berulang.


Sarana Prasarana
1. Peralatan bedah minor


Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam


No. ICPC II     : F72 Blepharitis / stye / chalazion
No. ICD X       : H00.0 Hordeolum and other deep inflammation of eyelid


Referensi
1.     Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2.     Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. 2009.
3.     Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008.
4.     Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.
5.     Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2013.  



















hordeolum pdf, hordeolum icd 10, hordeolum treatment, hordeolum medscape, hordeolum terapi, hordeolum mata, hordeolum dan kalazion, hordeolum externa, hordeolum ppt, hordeolum pada balita, hordeolum adalah, hordeolum, hordeolum adalah pdf, hordeolum alodokter, hordeolum and chalazion, hordeolum apakah menular, hordeolum antibiotic, what is hordeolum in the eye, difference between a hordeolum and chalazion, what causes a hordeolum, picture of a hordeolum, hordeolum blefharitis, bintitan, bintilen, timbelan, timbilen, bintitan, bintiten, mengobati bintitan, mengobati bintilan, mengobati bintilan, obat timbelen


Buta Senja



Masalah Kesehatan
Buta senja atau rabun senja, disebut juga nyctalopia atau hemarolopia, adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik pada malam hari atau pada keadaan gelap. Kondisi ini lebih merupakan tanda dari suatu kelainan yang mendasari. Hal ini terjadi akibat kelainan pada sel batang retina yang berperan pada penglihatan gelap. Penyebab buta senja adalah defisiensi vitamin A dan retinitis pigmentosa.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Penglihatan menurun pada malam hari atau pada keadaan gelap, sulit beradaptasi pada cahaya yang redup. Pada defisiensi vitamin A, buta senja merupakan keluhan paling awal.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan tanda-tanda lain defisiensi vitamin A:
1. Kekeringan (xerosis) konjungtiva bilateral
2. Terdapat bercak bitot pada konjungtiva
3. Xerosis kornea
4. Ulkus kornea dan sikatriks kornea
5. Kulit tampak xerosis dan bersisik
6. Nekrosis kornea difus atau keratomalasia

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pada defisiensi vitamin A, diberikan vitamin A dosis tinggi.
2. Lubrikasi kornea.
3. Pencegahan terhadap infeksi sekunder dengan tetes mata antibiotik.

Konseling dan Edukasi
1. Memberitahu keluarga bahwa rabun senja disebabkan oleh kelainan mendasar, yaitu defisiensi vitamin A dan retinitis pigmentosa.
2. Pada kasus defisiensi vitamin A, keluarga perlu diedukasi untuk memberikan asupan makanan bergizi seimbang dan suplementasi vitamin A dosis tinggi.

Peralatan
1. Lup
2. Oftalmoskop

Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia Ad bonam
3. Ad sanasionam : Bonam


No. ICPC-2 : F99 Eye/adnexa disease other
No. ICD-10 : H53.6 Night blindness
Tingkat Kemampuan : 4A



Referensi
1. Gerhard, K.L. Oscar, Gabriele. Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. 2nd Ed. New York: Thieme Stuttgart. 2007. (Gerhard, et al., 2007)
2. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006

3. James, Brus. dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Riordan, P.E. Whitcher, J.P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed.17.Jakarta: EGC. 2009.
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Ed. III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000


sumber tulisan ini :  





















buta senja pdf, buta senja tts, buta senja adalah pdf, buta senja terapi, buta senja akibat hipervitaminosis a, buta senja scribd, penyebab buta senja, makalah buta senja, defenisi buta senja, penanganan buta senja, buta senja adalah, rabun senja adalah, rabun senja pdf, rabun senja artinya, arti buta senja, askep buta senja, rabun senja bisa sembuh, rabun senja bahasa inggris, buta senja ciri, rabn senja disebabkan oleh

Jumat, 30 September 2016

Hemoroid Grade 1-2

Hemoroid Grade 1-2

Hemoroid adalah pelebaran vena-vena di dalam pleksus hemoroidalis.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Perdarahan pada waktu defekasi, darah berwarna merah segar. Darah dapat menetes keluar dari anus beberapa saat setelah defekasi.
2. Prolaps suatu massa pada waktu defekasi. Massa ini mula-mula dapat kembali spontan sesudah defekasi, tetapi kemudian harus dimasukkan secara manual dan akhirnya tidak dapat dimasukkan lagi.
3. Pengeluaran lendir.
4. Iritasi didaerah kulit perianal.
5. Gejala-gejela anemia (seperti : pusing, lemah, pucat).


Faktor Risiko
1. Penuaan
2. Lemahnya dinding pembuluh darah
3. Wanita hamil
4. Konstipasi
5. Konsumsi makanan rendah serat
6. Peningkatan tekanan intraabdomen
7. Batuk kronik
8. Sering mengedan
9. Penggunaan toilet yang berlama-lama (misal : duduk dalam waktu yang lama di toilet)

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Periksa tanda-tanda anemia
2. Pemeriksaan status lokalis
a. Inspeksi:
 Hemoroid derajat 1, tidak menunjukkan adanya suatu kelainan di regio anal.
 Hemoroid derajat 2, tidak terdapat benjolan mukosa yang keluar melalui anus, akan tetapi bagian hemoroid yang tertutup kulit dapat terlihat sebagai pembengkakan.
 Hemoroid derajat 3 dan 4 yang besar akan segera dapat dikenali dengan adanya massa yang menonjol dari lubang anus yang bagian luarnya ditutupi kulit dan bagian dalamnya oleh mukosa yang berwarna keunguan atau merah.
b. Palpasi:
 Hemoroid interna pada stadium awal merupaka pelebaran vena yang lunak dan mudah kolaps sehingga tidak dapat dideteksi dengan palpasi.
 Setelah hemoroid berlangsung lama dan telah prolaps, jaringan ikat mukosa mengalami fibrosis sehingga hemoroid dapat diraba ketika jari tangan meraba sekitar rektum bagian bawah
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin, bertujuan untuk mengetahui adanya anemia dan infeksi.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Klasifikasi hemoroid, dibagi menjadi :
1. Hemoroid internal, yang berasal dari bagian proksimal dentate line dan dilapisi mukosa

Hemoroid internal dibagi menjadi 4 grade, yaitu :
a. Grade 1: hemoroid mencapai lumen anal kanal
b. Grade 2: hemoroid mencapai sfingter eksternal dan tampak pada saat pemeriksaan tetapi dapat masuk kembali secara spontan.
c. Grade 3: hemoroid telah keluar dari anal canal dan hanya dapat masuk kembali secara manual oleh pasien.
d. Grade 4: hemoroid selalu keluar dan tidak dapat masuk ke anal kanal meski dimasukkan secara manual
2. Hemoroid eksternal, berasal dari bagian dentate line dan dilapisi oleh epitel mukosa yang telah termodifikasi serta banyak persarafan serabut saraf nyeri somatik.

Diagnosis Banding
Kondiloma Akuminata, Proktitis , Rektal prolaps
Komplikasi
Anemia
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan Hemoroid di layanan primer hanya untuk hemoroid grade 1 dengan terapi konservatif medis dan menghindari obat-obat anti-inflamasi non-steroid, serta makanan pedas atau berlemak.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengurangi rasa nyeri dan konstipasi pada pasien hemoroid.
Konseling dan Edukasi
Melakukan edukasi kepada pasien sebagai upaya pencegahan hemoroid. Pencegahan hemoroid dapat dilakukan dengan cara:
1. Konsumsi serat 25-30 gram perhari. Hal ini bertujuan untuk membuat feses menjadi lebih lembek dan besar, sehingga mengurangi proses mengedan dan tekanan pada vena anus.
2. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari.
3. Mengubah kebiasaan buang air besar. Segerakan ke kamar mandi saat merasa akan buang air besar, jangan ditahan karena akan memperkeras feses. Hindari mengedan

Kriteria Rujukan:
Hemoroid interna grade 2, 3, dan 4 dan hemoroid eksterna memerlukan penatalaksanaan di pelayanan kesehatan sekunder.
Peralatan
Sarung tangan
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam


No. ICPC-2 : D95 Anal fissure/perianal abscess
No. ICD-10 : I84 Haemorrhoids
Tingkat Kemampuan : 4A

Masalah Kesehatan


Referensi
1. Thornton, Scott. Giebel, John. Hemorrhoids. Emedicine. Medscape. Update 12 September 2012. (Thornton & Giebel, 2012)

2. Chong, PS & Bartolo, D.C.C. Hemorrhoids and Fissure in Ano. Gastroenterology Clinics of North America. 2008