konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Tampilkan postingan dengan label Psikiatri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikiatri. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Maret 2017

Gangguan Psikiatrik pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik

Gangguan Psikiatrik pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik



Andri
Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana,
Jakarta, Indonesia


ABSTRAK
Pasien penyakit ginjal kronik adalah salah satu kondisi pasien yang paling kompleks dalam praktik consultation-liaison psychiatry (CLP). Hal ini
karena perjalanan penyakit yang panjang dan komplikasi yang sering muncul membuat pasien sering tidak berdaya menghadapi penyakit.
Selain itu penyakit ginjal kronik sendiri sering membawa komplikasi dalam bentuk gejala gangguan jiwa. Tulisan ini mengemukakan tiga kasus
pasien penyakit ginjal kronik dengan komplikasi gangguan jiwa yang paling sering dialami yaitu delirium, depresi dan sindrom disekuilibrium.
Masing-masing kasus mempunyai latar belakang fi siologi dan psikopatologi yang berbeda. Penanganan kasus-kasus gangguan kejiwaan pada
pasien penyakit ginjal kronik disesuaikan dengan kondisi medis umum pasien dan psikopatologinya.
Kata kunci: penyakit ginjal kronik, depresi, delirium, sindrom disekuilibrium


ABSTRACT
Patients with chronic kidney disease is one of the most complex conditions in the practice of consultation-liaison psychiatry (CLP). This is
because the long course of the disease and treatment. It is also related to the complications of the kidney failure that often appear to make patients
helpless dealing with it. One of the complication of kidney failure is mental disorder symptoms. This paper presents three cases of chronic
kidney failure who had psychiatric disorder which were common experienced by chronic kidney failure patients. They were delirium, depression
and dysequilibrium syndrome. Each case has a backgrouond of a diff erent physiology and psychopathology. Handling cases of psychiatric
disorder in patients with chronic kidney failure were adjusted to patient’s general medical condition and psychopathology. Andri. Psychiatric
Disorders in Chronic Kidney Disease.
Key words: chronic kidney disease, depression, delirium, dysequilibrium syndrome


PENDAHULUAN
Pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah
salah satu kondisi pasien yang paling
kompleks dalam praktik consultation-liaison
psychiatry (CLP). Kondisi fi sik yang terganggu
dengan berbagai macam kelainan metabolik
hanyalah sebagian penyebab yang membuat
tata laksana pasien dengan kondisi ini menjadi
lebih kompleks. Selain itu, faktor psikologis pada
pasien dengan kondisi penyakit ginjal kronik
juga sangat terpengaruh. Hal ini disebabkan
selain perjalanan penyakit yang panjang,
ketidakmampuan pasien dan perasaan tidak
nyaman yang diakibatkan karena bergantung
dengan mesin hemodialisis sering menjadi
sumber putus asa yang mengarah kepada
hendaya psikologis lebih lanjut.1
Secara global, terdapat 200 kasus gangguan
ginjal per sejuta penduduk, 8 juta di antara
jumlah populasi yang mengalami gangguan
ginjal berada dalam tahap penyakit ginjal
kronik. Penelitian sebelumnya mengatakan
terdapat hubungan antara mengalami gagal
ginjal dengan timbulnya gangguan psikiatri
pada pasien. Kondisi ini bisa terjadi pada kasus
gagal ginjal akut maupun yang kronik. Kondisi
yang paling sering dihubungkan pada kasus
gagal ginjal pada fase akut adalah delirium.2
ILUSTRASI KASUS
Berbagai kasus terkait kondisi gangguan
kejiwaan pada pasien dengan gangguan ginjal
banyak ditemukan. Di bawah ini terdapat tiga
kasus dengan perbedaan gejala dan keluhan
psikiatriknya.

Ilustrasi Kasus 1
Pasien laki-laki usia 48 tahun dirawat dengan
diagnosis penyakit ginjal kronik dengan
rencana hemodialisis keesokan harinya. Sore
itu pasien tampak gelisah, psikomotor aktif
cenderung agresif, serta tampak kebingungan.
Pasien dikekang dengan ikatan kain
karena sangat gelisah. Pemeriksaaan status
mental mengonfi rmasi adanya gangguan
dalam memusatkan, mempertahankan
dan mengalihkan perhatian. Pasien juga
mengalami kekacauan orientasi waktu,
tempat, dan orang. Diagnosis delirium pada
kondisi medis umum ditegakkan. Pasien
diberi Haloperidol injeksi intravena 2,5
mg. Sejam kemudian, observasi lanjutan
memperlihatkan kondisi pasien sudah lebih
tenang. Hemodialisis dilakukan tetap sesuai
jadwal pada pagi harinya.

Ilustrasi Kasus 2
Pasien laki-laki usia 48 tahun dengan penyakit
ginjal kronik sudah 2 tahun menjalanihemodialisis teratur 2 kali seminggu.
Selama ini pasien tidak pernah melewatkan
hemodialisisnya. Setahun terakhir pasien
sering sulit mengendalikan dietnya, aturan
diet dari dokternya tidak pernah dituruti.
Makanan sumber kaya Kalium(K) seperti
kentang dimakan tanpa pembatasan.
Dia juga terus merokok dan makan sate
kambing kesukaannya sampai beberapa
puluh tusuk sekali makan. Pasien juga tidak
mau mengurangi asupan cairannya padahal
berkemihnya sudah sedikit hanya sekitar 500
ml perhari. Pasien dikonsulkan oleh dokter
penyakit dalam yang merawat. Pemeriksaan
menghasilkan diagnosis Gangguan Depresi.
Pasien mengatakan lebih baik segera mati
daripada merepotkan banyak orang. Pasien
sampai saat ini masih menjalani psikoterapi
dan pengobatan untuk mengurangi
depresinya.

Ilustrasi Kasus 3
Pasien seorang laki-laki usia 56 tahun dengan
kondisi gagal ginjal akut dan baru saja
menjalani hemodialisis yang pertama kali.
Sekitar 2 jam setelah hemodialisis selesai,
pasien mulai bicara kacau, tidak koheren dan
gelisah. Pasien tampak ingin selalu bangun
dari tempat tidurnya karena merasa tidak
betah lama-lama duduk. Psikomotor tampak
agitasi yang jelas. Pemeriksaan laboratorium
saat ini menunjukkan kadar ureum, kreatinin
dan nitrogen urea darah dalam kondisi normal.
Tidak terdapat riwayat kondisi seperti ini di
masa lalu dan tidak ada riwayat gangguan
psikiatri lainnya. Diagnosis saat pasien
diperiksa adalah sindrom disequlibrium.
Untuk sementara pasien diberi lorazepam
0,5mg untuk meredakan agitasinya. Dua
puluh empat jam setelah kondisi terakhir saat
diperiksa, pasien sudah tampak baik kembali,
tidak terdapat gejala sisa.
DISKUSI
KONDISI PSIKIATRIK TERKAIT GAGAL
GINJAL
Delirium
Delirium pada kondisi gagal ginjal dikaitkan
dengan kegagalan ginjal dalam mengeluarkan
metabolit beracun dari dalam tubuh lewat
saluran kemih. Penyebabnya bisa karena
kadar ureum dalam darah yang meningkat
(uremia), anemia dan hiperparatiroidisme.
Kondisi ini juga bisa terjadi seiring dengan
peningkatan jumlah pasien diabetes yang
menerima dialisis akibat kondisi disfungsi
renalnya. Status mental pada kondisi ini akan
berubah dari sulit konsentrasi dan gangguan
intelejensia sampai kebingungan nyata yang
disertai kelesuan.3
Hal paling penting adalah membedakannya
dengan demensia dialisis atau dengan
demensia sebelum kondisi gangguan ginjal
terjadi. Deteksi dini gangguan kognitif
menggunakan Mini Mental State Examination
(MMSE) bisa dilakukan rutin pada pasienpasien
gangguan ginjal apalagi yang berusia
lanjut.3
Biasanya, dengan hemodialisis, kondisi
gangguan kognitifnya akan kembali normal,
namun ada kalanya menetap. Pada kasus
pertama, kondisi delirium terjadi pada
pasien yang belum menjalani hemodialisis.
Penggunaan antipsikotik dosis kecil dan atau
anticemas sering berguna untuk mengatasi
gejala-gejala delirium. Hal yang perlu diingat
pengobatan ini bersifat sementara sampai
gangguan dasarnya diobati.3
Depresi
Depresi adalah kondisi gangguan kejiwaan
yang paling banyak ditemukan pada pasien
gagal ginjal. Prevalensi depresi berat pada
populasi umum adalah sekitar 1,1%-15% pada
laki-laki dan 1,8%-23% pada wanita, namun
pada pasien hemodialisis prevalensinya
sekitar 20%-30% bahkan bisa mencapai 47%.
Hubungan depresi dan mortalitas yang tinggi
juga terdapat pasien-pasien yang menjalani
hemodialisis jangka panjang.4 Kondisi afeksi
yang negatif pada pasien gagal ginjal juga
seringkali bertumpang tindih gejalanya
dengan gejala-gejala pasien gagal ginjal
yang mengalami uremia seperti iritabilitas,
gangguan kognitif, ensefalopati, akibat
pengobatan atau akibat hemodialisis yang
kurang maksimal.5
Pendekatan psikodinamik pada gangguan
depresi adalah suatu kondisi yang
berhubungan dengan hilangnya sesuatu di
dalam diri manusia tersebut. Kondisi ini biasa
terjadi pada pasien dengan gangguan medis
kronik termasuk pasien dengan masalah
ginjal. Persepsi diri akan kehilangan yang
besar dalam kehidupan pasien melebihi
kenyataan kondisi sebenarnya yang mungkin
tidak sebesar persepsi pasien. Walaupun pada
beberapa kondisi berat, kondisi ginjal pasien
yang sebenarnya memang sesuai dengan
persepsi pasien akan sakitnya yang kronik.6
Kondisi gagal ginjal yang biasanya dibarengi
dengan hemodialisis adalah kondisi yang
sangat tidak nyaman. Kenyataan bahwa
pasien gagal ginjal terutama penyakit ginjal
kronik yang tidak bisa lepas dari hemodialisis
sepanjang hidupnya menimbulkan dampak
psikologis yang tidak sedikit. Faktor kehilangan
sesuatu yang sebelumnya ada seperti
kebebasan, pekerjaan dan kemandirian adalah
hal-hal yang sangat dirasakan oleh para pasien
gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. Hal
ini bisa menimbulkan gejala-gejala depresi
yang nyata sampai dengan tindakan bunuh
diri. Kepustakaan mencatat bahwa tindakan
bunuh diri pada pasien penyakit ginjal kronik
yang mengalami hemodialisis di Amerika
Serikat bisa mencapai 500 kali lebih banyak
daripada populasi umum. Selain tindakan nyata
melakukan tindakan bunuh diri, sebenarnya
penolakan terhadap kegiatan hemodialisis
yang terjadual dan ketidakpatuhan terhadap
diet rendah potasium adalah salah satu hal
yang bisa dianggap sebagai upaya “halus”
untuk bunuh diri.6
Apa yang terjadi pada pasien pada ilustrasi
kedua adalah kondisi yang menggambarkan
situasi depresi. Ketidakpatuhan akan diet
yang disarankan adalah suatu gejala putus
asa yang merupakan salah satu ciri gejala
depresi. Lebih jauh adanya ide-ide kematian
sering dialami oleh pasien dengan kondisi
depresi berat. Walaupun tidak ada perilaku
membunuh diri yang nyata, ketidakpatuhan
pasien terhadap aturan dokter dan malahan
berkesan melawan aturan tersebut adalah
suatu sikap pasif agresif yang ditunjukkan
pasien.
Sindrom Disekuilibrium
Kondisi sindrom disekuilibrium cukup
sering terjadi pada pasien yang menjalani
hemodialisis. Hal ini biasanya terjadi selama
atau segera setelah proses hemodialisis.
Kondisi ini disebabkan oleh koreksi berlebihan
keadaan azotemia yang menyebabkan
ketidakseimbangan osmotik dan perubahan
pH darah yang cepat, membuat adanya edema
serebral yang menyebabkan timbulnya gejalagejala
klinik seperti sakit kepala, mual, keram
otot, iritabilitas, agitasi, perasaan mengantuk
dan kadang kejang. Gejala psikosis juga bisa
terjadi. Sindrom disekuilibrium biasa terjadi
setelah 3 s.d. 4 jam setelah hemodialisisnamun bisa juga terjadi 8-48 jam setelah
prosedur itu dilakukan.7
Biasanya kondisi ini terjadi pada pasien yang
baru pertama kali menjalani hemodialisis
seperti pada pasien yang diilustrasikan pada
kasus ketiga. Kondisi ini biasanya segera
terjadi setelah hemodialisis namun bisa
segera membaik jika diberi penanganan
tepat. Obat antipsikotik dosis kecil bisa
diberikan untuk mengatasi gejala-gejala
psikotik yang timbul akibat kondisi ini.
Haloperidol sampai saat ini merupakan obat
yang disarankan karena efeknya yang relatif
minimal pada pasien dengan gangguan
ginjal dan dapat digunakan secara aman
pada pasien dengan gagal ginjal sekalipun.
Dosisnya berkisar antara 1-2 mg perhari.
Pengurangan dosis secara empiris dapat
dilakukan untuk mengurangi efek sedasi yang
mungkin timbul. Penggunaan obat-obatan
antipsikotik atipikal, seperti risperidon,
kuetiapin, olanzapin, pada beberapa
laporan kasus dikatakan cukup aman dan
tidak memerlukan penyederhanaan dosis
untuk pasien gagal ginjal yang mengalami
gejala psikotik akibat kondisi sindrom
disekuilibrium atau demensia dialisis.
Tetapi belum ada penelitian sistematik
penggunaan obat antipsikotik atipikal ini
untuk kasus-kasus gejala psikotik, skizofrenia,
delirium, dan demensia pada pasien ginjal.
Efek obat antipsikotik atipikal pada pasien
dengan metabolisme glukosa terganggu
atau dengan komorbiditas diabetes melitus
perlu menjadi bahan pertimbangan. Obat
antipsikotik atipikal, terutama olanzapin,
sering menginduksi atau mencetuskan
terjadinya diabetes.7.8
Demensia Dialisis
Demensia Dialisis juga dikenal dengan
sebutan ensefalopati dialisis adalah sindrom
yang fatal dan progresif. Pada prakteknya hal
ini jarang terjadi, biasanya pada pasien yang
sudah menjalani dialisis paling sedikit satu
tahun. Kondisi ini diawali dengan gangguan
bicara, seperti gagap yang kemudian berlanjut
menjadi disartria, disfasia dan akhirnya tidak
bisa bicara sama sekali. Kondisi ini memberat
sampai berkembang menjadi mioklonus
fokal maupun menyeluruh, kejang fokal atau
umum, perubahan kepribadian, waham dan
halusinasi. Demensia dialisis disebabkan
karena keracunan alumunium yang berasal
dari cairan dialisis dan garam alumunium yang
digunakan untuk mengatur kadar fosfat serum.
Pencegahannya dengan menggunakan bahan
dialisis yang tidak mengandung alumunium.
Pada awalnya kondisi ini dapat kembali baik
namun jika dibiarkan dapat menjadi progresif
sampai dengan 1-15 bulan setelah gejala awal.
Kematian biasanya terjadi dalam rentang 6-12
bulan setelah permulaan gejala.7
PSIKOFARMAKOLOGI PADA PASIEN
DIALISIS
Kebanyakan obat psikotropik yang digunakan
sehari-hari dalam praktek psikiatri medis
selain litium dimetabolisme di hati sehingga
memerlukan penyesuaian dosis pada
pasien-pasien gagal ginjal yang memerlukan
hemodialisis. Pada kenyataannya di dalam
praktik pasien gangguan ginjal seringmengalami efek yang tidak dikehendaki.
Hal ini disebabkan karena perubahan
farmakokinetik obat-obat tersebut.
Perubahan ini berkaitan dengan distribusi
obat tersebut di tubuh, ikatan protein dan
metabolismenya.9
Pengobatan pasien gangguan ginjal yang
mengalami gangguan kejiwaan juga
sangat terbatas pada situasi tertentu.
Obat-obat psikotropika tidak dapat
menggantikan konseling dan psikoterapi
yang terkadang lebih diperlukan pasien
daripada pengobatan saja. Sangat penting
diingat dalam penanganan delirium
pada kondisi apapun adalah mengenali
penyebab deliriumnya. Pengobatan dosis
rendah haloperidol untuk menghilangkan
gejala kegelisahan psikomotor dan gejala
psikosis bisa dilakukan karena haloperidol
didetoksifikasi di hati.9
SIMPULAN
Pasien penyakit ginjal kronik sering
mengalami gangguan psikiatrik terkait
dengan kondisi medis umumnya.
Gangguan psikiatrik seperti delirium,
depresi, kecemasan dan sindrom
disekuilibrium sering dialami oleh pasien
dengan penyakit ginjal kronik. Dokter perlu
memahami fisiologi dan psikopatologi
timbulnya gangguan psikiatrik pada pasien
penyakit ginjal kronik. Kemampuan untuk
mengenali kondisi psikiatrik terkait dengan
kondisi penyakit ginjalnya akan membuat
penanganan dan penatalaksanaan yang
menyeluruh dan lebih baik kepada pasien.


cattatan : tulisan ini di salin langsung dari :

CDK-203/ vol. 40 no. 4, th. 2013



DAFTAR PUSTAKA
1. Blumenfi eld M, Kassab-Tiamson M. Psychosomatic medicine: practical guideline. 2nd edition. Philadelphia.Lippincott Williams&Wilkins.2009.
2. Cohen LM, Tessier EG, Germain MJ, Levy NB. Update on Psychotropic Medication Use in Renal Disease. Psychosomatics 2004; 45:34–48.
3. Levy NB,Cohen LM,Tessier EG. In: Blumenfi eld M, Strain JJ, penyunting. Psychosomatic Medicine. 1st ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 158-74.
4. Chen CK, Tsai YC, Hsu HJ, Wu IW, Sun CY, Chou CC, et al. in Depression and Suicide Risk in Hemodialysis Patients With Chronic Renal Failure. Psychosomatics 2010; 51:528–528.e6.
5. Cukor D, Coplan J, Brown C, Friedman S, Cromwell-Smith A, Peterson RA, Kimmel PL. In Depression and Anxiety in Urban Hemodialysis Patients. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 484-90.
6. Chan R, Brooks R, Erlich J, Chow J, Suranyi M. The Eff ects of Kidney-Disease-Related Loss on Long Term Dialysis Patients’ Depression and Quality of Life: Positive Aff ect as a Mediator. Clin J
Am Soc Nephrol 2009; 4: 160–7.
7. Wyszynski AA. The Patient With Kidney Disease dalam Manual of Psychiatric Care for the Medically Ill. Wyszynski AA, Wyszynski B editors. American Psychiatric Publishing,Washington,2005.
p. 69-86.
8. Blumenfi eld M,Cohen LM, Tessier EG, Germain MJ, Levy NB. Update on Psychotropic Medication Use in Renal Disease. Psychosomatics 2004; 45:34–48.
9. Levenson JL, Owen JA. Renal and Urological Disorder in Clinical Manual of Psychopharmacology in the Medically Ill.



Jumat, 14 Oktober 2016

Gangguan Psikotik




Masalah Kesehatan
Gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan atau hendaya berat dalam menilai realita, berupa sindroma (kumpulan gejala), antara lain dimanifestasikan dengan adanya halusinasi dan waham.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien mungkin datang dengan keluhan:
1. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
2. Tidak dapat tidur, tidak mau makan
3. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang, ketakutan
4. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti
5. Mendengar suara orang yang tidak dapat didengar oleh orang lain
6. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai realita
7. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan yang berat, perilaku kacau, perilaku kekerasan
8. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak merawat diri dengan baik

Alo dan Auto Anamnesis tambahan:
Singkirkan adanya kemungkinan penyakit fisik (seperti demam tinggi, kejang, trauma kepala) dan penggunaan zat psikoaktif sebagai penyebab timbulnya keluhan.
Faktor Risiko
1. Adanya faktor biologis yang mempengaruhi, antara lain hiperaktivitas sistem dopaminergik dan faktor genetik.
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur, seperti ciri kepribadian skizoid, paranoid, dependen.
3. Adanya stresor kehidupan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menyingkirkan penyebab organik dari psikotiknya (gangguan mental organik). Selain itu pasien dengan gangguan psikotik juga sering terdapat gangguan fisik yang menyertai karena perawatan diri yang kurang.
Pemeriksaan Penunjang
1. Dilakukan jika dicurigai adanya penyakit fisik yang menyertai untuk menyingkirkan diagnosis banding gangguan mental organik.
2. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut maka pada faskes primer yang mampu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai seperti: darah perifer lengkap, elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal, serta radiologi dan EKG.

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10-PC, yaitu:
1. Halusinasi (terutama halusinasi dengar); merupakan gangguan persepsi (persepsi palsu), tanpa adanya stimulus sensori eksternal. Halusinasi dapat terjadi pada setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar, lihat, cium, raba, dan rasa.
2. Waham (delusi);merupakan gangguan pikiran, yaitu keyakinan yang salah, tidak sesuai dengan realita dan logika, namun tetap dipertahankan dan tidak dapat dikoreksi dengan cara apapun serta tidak sesuai dengan budaya setempat. Contoh: waham kejar, waham kebesaran, waham kendali, waham pengaruh.
3. Perilaku kacau atau aneh
4. Gangguan proses pikir (terlihat dari pembicaraan yang kacau dan tidak dimengerti)
5. Agitatif
6. Isolasi sosial (social withdrawal)
7. Perawatan diri yang buruk

Diagnosis Banding
1. Gangguan Mental Organik (Delirium, Dementia, Psikosis Epileptik)
2. Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat (Napza)
3. Gangguan Afektif Bipolar/ Gangguan Manik
4. Gangguan Depresi (dengan gejala psikotik)

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Intervensi Psikososial
a. Informasi penting bagi pasien dan keluarga
 Agitasi dan perilaku aneh merupakan gejala gangguan mental, yang juga termasuk penyakit medis.
 Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi perjalanan penyakit jangka panjang sulit diprediksi. Pengobatan perlu dilanjutkan meskipun setelah gejala mereda.
 Gejala-gejala dapat hilang timbul. Diperlukan antisipasi dalam menghadapi kekambuhan. Obat merupakan komponen utama dalam pengobatan. Minum obat secara teratur akan mengurangi gejala-gejala dan mencegah kekambuhan.
 Dukungan keluarga penting untuk ketaatberobatan (compliance) dan rehabilitasi.
 Organisasi masyarakat dapat menyediakan dukungan yang berharga untuk pasien dan keluarga.
b. Konseling pasien dan keluarga
 Bicarakan rencana pengobatan dengan anggota keluarga dan minta dukungan mereka. Terangkan bahwa minum obat secara teratur dapat mencegah kekambuhan. Informasikan bahwa obat tidak dapat dikurangi atau dihentikan tiba-tiba tanpa persetujuan dokter. Informasikan juga tentang efek samping yang mungkin timbul dan cara penanggulangannya.
 Dorong pasien untuk melakukan fungsinya dengan seoptimal mungkin di pekerjaan dan aktivitas harian lain.
 Dorong pasien untuk menghargai norma dan harapan masyarakat (berpakaian, berpenampilan dan berperilaku pantas).
 Menjaga keselamatan pasien dan orang yg merawatnya pd fase akut:
- Keluarga atau teman harus menjaga pasien.
- Pastikan kebutuhan dasar terpenuhi (misalnya makan dan minum).
- Jangan sampai mencederai pasien.
 Meminimalisasi stres dan stimulasi:
- Jangan mendebat pikiran psikotik (anda boleh tidak setuju dengan keyakinan pasien, tetapi jangan mencoba untuk membantah bahwa pikiran itu salah). Sedapat mungkin hindari konfrontasi dan kritik.
- Selama masa gejala-gejala menjadi lebih berat, istirahat dan menghindari stres dapat bermanfaat.
 Agitasi yang berbahaya untuk pasien, keluarga dan masyarakat memerlukan rawat inap atau pengamatan ketat di tempat yang aman.

2. Farmakologi
a. Berikan obat antipsikotik: Haloperidol 2-3 x 2-5 mg/hari atau Risperidon 2x 1-3 mg/hari atau Klorpromazin 2-3 x 100-200 mg/hari. Untuk haloperidol dan risperidon dapat digabungkan dengan benzodiazepin (contoh: diazepam 2-3 x 5 mg, lorazepam 1-3 x 1-2 mg) untuk mengurangi agitasi dan memberikan efek sedasi. Benzodiazepin dapat ditappering-off setelah 2-4 minggu. Catatan: klorpromazin memiliki efek samping hipotensi ortostatik.
b. Intervensi sementara untuk gaduh gelisah dapat diberikan injeksi intra muskular haloperidol kerja cepat (short acting) 5 mg, dapat diulangi dalam 30 menit - 1 jam jika belum ada perubahan yang signifikan, dosis maksimal 30 mg/hari. Atau dapat juga dapat diberikan injeksi intra muskular klorpromazin 2-3 x 50 mg. Untuk pemberian haloperidol dapat diberikan tambahan injeksi intra muskular diazepam untuk mengurangi dosis ntipsikotiknya dan menambah efektivitas terapi. Setelah stabil segera rujuk ke RS/RSJ.
c. Untuk pasien psikotik kronis yang tidak taat berobat, dapat dipertimbangkan untuk pemberian injeksi depo (jangka panjang) antipsikotik seperti haloperidol decanoas 50 mg atau fluphenazine decanoas 25 mg. Berikan injeksi I.M ½ ampul terlebih dulu untuk 2 minggu, selanjutnya injeksi 1 ampul untuk 1 bulan. Obat oral jangan diberhentikan dahulu selama 1-2 bulan, sambil dimonitor efek samping, lalu obat oral turunkan perlahan.
d. Jika timbul efek samping ekstrapiramidal seperti tremor, kekakuan, akinesia, dapat diberikan triheksifenidil 2-4 x 2 mg; jika timbul distonia akut berikan injeksi diazepam atau difenhidramin, jika timbul akatisia (gelisah, mondar mandir tidak bisa berhenti bukan akibat gejala) turunkan dosis antipsikotik dan berikan beta-blocker, propranolol 2-3 x 10-20 mg.
3. Kunjungan Rumah (home visit)

Kunjungan rumah dilakukan sesuai indikasi untuk:
a. Memastikan kepatuhan dan kesinambungan pengobatan
b. Melakukan asuhan keperawatan
c. Melakukan pelatihan bagi pelaku rawat

Kriteria Rujukan
1. Pada kasus baru dapat dirujuk untuk konfirmasi diagnostik ke fasyankes sekunder yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa setelah dilakukan penatalaksanaan awal.
2. Kondisi gaduh gelisah yang membutuhkan perawatan inap karena berpotensi membahayakan diri atau orang lain segera dirujuk setelah penatalaksanaan awal.

Peralatan
1. Alat restraint (fiksasi)
2. Alat transportasi untuk merujuk (bila tersedia).

Prognosis
Untuk ad Vitam adalah bonam, ad fungsionam adalah dubia, dan ad sanationam adalah dubia.

No. ICPC-2 : P98Psychosis NOS/other
No. ICD-10 PC : F20 Chronic Psychotic Disorder
Tingkat Kemampuan : 3A

Referensi
1. Kaplan and Sadock.Synopsis of psychiatry. 7thEd. William and Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III.Ed 1. 1993.
3. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe & Huber Publishers.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri. 2012.

Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi

Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi

Masalah Kesehatan
Gangguan yang ditandai oleh adanya gejala-gejala anxietas (kecemasan) dan depresi bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup beratuntuk dapat ditegakannya suatu diagnosis tersendiri. Untuk gejala anxietas, beberapa gejala autonomik h

arus ditemukan, walaupun tidak terusmenerus, di samping rasa cemas atauk hawatir berlebihan.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik seperti: nafas pendek/cepat, berkeringat, gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung berdebar, gangguan lambung, diare, atau bahkan sakit kepala yang disertai dengan rasa cemas/khawatir berlebihan.
Allo dan Auto Anamnesis tambahan:
1. Adanya gejala seperti minat dalam melakukan aktivitas/semangat yang menurun, merasa sedih/ murung, nafsu makan berkurang atau meningkat berlebihan, sulit berkonsentrasi, kepercayaan diri yang menurun, pesimistis.
2. Keluhan biasanya sering terjadi, atau berlangsung lama, dan terdapat stresor kehidupan.
3. Menyingkirkan riwayat penyakit fisik dan penggunaan zat (alkohol, tembakau, stimulan, dan lain-lain)

Faktor Risiko
1. Adanya faktorbiologis yang mempengaruhi, antara lain hiper aktivitas sistem noradrenergik, faktorgenetik.
2. Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti ciri kepribadian dependen, skizoid, anankastik, cemas menghindar.
3. Adanya stres kehidupan.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Respirasi meningkat, tekanan darah dapat meningkat, dan tanda lain sesuai keluhan fisiknya.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium dan penunjang lainnya tidak ditemukan adanya tanda yang bermakna. Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis banding sesuai keluhan fisiknya.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis klinisditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 10, yaitu:adanya gejala-gejala kecemasan dan depresi yang timbul bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup beratuntuk dapat ditegakkannya suatu diagnosis tersendiri.
1. Gejala-gejala kecemasan antara lain:
a. Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi
b. Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang, tidak dapat santai
c. Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, berkeringat berlebihan, sesak nafas, mulut kering,pusing, keluhan lambung, diare.
2. Gejala-gejala depresi antara lain: suasana perasaan sedih/murung, kehilangan minat/kesenangan (menurunnya semangat dalam melakukan aktivitas), mudah, lelah, gangguan tidur, konsentrasi menurun, gangguan pola makan, kepercayaan diri yang berkurang, pesimistis , rasa tidak berguna/rasa bersalah

Diagnosis Banding
Gangguan Cemas (Anxietas) Organik, Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat, Gangguan Depresi, Gangguan Cemas Menyeluruh, Gangguan Panik, Gangguan Somatoform

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non-farmakologi
a. Konseling dan edukasi pada pasien dan keluarga
 Karena gangguan campuran cemas depresi dapat mengganggu produktivitas pasien, keluarga perlu memahami bahwa hal ini bukan karena pasien malas atau tidak mau mengerjakan tugasnya, melainkan karena gejala-gejala penyakitnya itu sendiri, antara lain mudah lelah serta hilang energi. Oleh sebab itu, keluarga perlu memberikan dukungan agar pasien mampu dan dapat mengatasi gejala penyakitnya.
 Gangguan campuran anxietas dan depresi kadang-kadang memerlukan pengobatan yang cukup lama, diperlukan dukungan keluarga untuk memantau agar pasien melaksanakan pengobatan dengan benar, termasuk minum obat setiap hari.
b. Intervensi Psikososial
 Lakukan penentraman (reassurance) dalam komunikasi terapeutik, dorong pasien untuk mengekspresikan pikiran perasaan tentang gejala dan riwayat gejala.
 Beri penjelasan adanya pengaruh antara faktor fisik dan psikologis, termasuk bagaimana faktor perilaku, psikologik dan emosi berpengaruh mengeksaserbasi gejala somatik yang mempunyai dasar fisiologik.
 Bicarakan dan sepakati rencana pengobatandan follow-up, bagaimana menghadapi gejala, dan dorong untuk kembali keaktivitas normal.
 Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas dalam)
 Anjurkan untuk berolah raga teratur atau melakukan aktivitas yang disenangi serta menerapkan perilaku hidup sehat.
 Ajarkan untuk selalu berpikir positif dan manajemen stres dengan baik.

2. Farmakologi:
a. Untuk gejala kecemasan maupun depresinya, diberikan antidepresan dosis rendah, dapat dinaikkan apabila tidak ada perubahan yang signifikan setelah 2-3 minggu: fluoksetin 1x10-20 mg/hari atau sertralin 1x25-50 mg/hariatauamitriptilin 1x12,5-50 mg/hariatau imipramin1-2x10-25 mg/hari. Catatan: amitriptilin dan imipramin tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit jantung, dan pemberian berhati-hati untuk pasien lansia karena efek hipotensi ortostastik (dimulai dengan dosis minimal efektif).
b. Pada pasien dengan gejala kecemasan yang lebih dominan dan atau dengan gejala insomnia dapat diberikan kombinasi fluoksetin atau sertralin dengan antianxietas benzodiazepin. Obat-obatan antianxietas jenis benzodiazepin yaitu: diazepam 1x2-5 mg atau lorazepam 1-2x0,5-1 mgatauklobazam 2x5-10 mgataualprazolam 2x 0,25-0,5mg. Setelah kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin ditappering-off perlahan, sementara antidepresan diteruskan hingga 4-6 bulan sebelum ditappering-off. Hati-hati potensi penyalah gunaan pada alprazolam karenawaktu paruh yang pendek.

Kriteria Rujukan
Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis mengalami gangguan ini, terutama apabila gejala progresif dan makin bertambah berat yang menunjukkan gejala depresi seperti pasien menolak makan, tidak mau merawat diri, ada ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak ada perbaikan yang signifikan dalam 2-3 bulan terapi.

Peralatan
Tidak ada peralatan khusus.

Prognosis
Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah bonam.


No. ICPC-2 : P74Anxiety Disorder (anxiety state)
No. ICD-10 : F41.2 Mixed Anxiety and Depression Disorder


Tingkat Kemampuan : 3A

Referensi
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
3. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental disorders in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe & Huber Publishers. (World Health Organization, t.thn.)

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/ Psikiatri, 2012 





















ansietas adalah, ansietas pdf, ansietas ppt, ansietas adalah anxietas adalah, anxietas pdf, anxietas ppt, anxietas depresi, anti ansietas, askep ansietas, anti anxietas, askep anxietas, apakah anxietas bisa sembuh, apakah ansietas bisa sembuh, ansietas berat adalah, anxietas disorder adalah, anxiety disorder, 

Insomnia


Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam tidur, dapat berupa kesulitan berulang untuk mencapai tidur, atau mempertahankan tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk. Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan lainnya, baik mental (psikiatrik) atau fisik.
Secara umum lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang relevan untuk menjelaskan secara kuat psikopatologi dan atau patofisiologinya.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Sulit masuk tidur, sering terbangun di malam hari atau mempertahankan tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.
Faktor Risiko
1. Adanya gangguan organik (seperti gangguan endokrin, penyakit jantung).
2. Adanya gangguan psikiatrik seperti gangguan psikotik, gangguan depresi, gangguan cemas, dan gangguan akibat zat psikoaktif.

Faktor Predisposisi
1. Sering bekerja di malam hari .
2. Jam kerja tidak stabil.
3. Penggunaan alkohol, cafein atau zat adiktif yang berlebihan.
4. Efek samping obat.
5. Kerusakan otak, seperti: encephalitis, stroke, penyakit Alzheimer

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Pada status generalis, pasien tampak lelah dan mata cekung. Bila terdapat gangguan organik, ditemukan kelainan pada organ.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan.

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis.
Pedoman Diagnosis
1. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur atau kualitas tidur yang buruk
2. Gangguan terjadi minimal tiga kali seminggu selama minimal satu bulan.
3. Adanya preokupasi tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
4. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan.

Diagnosis Banding
Gangguan Psikiatri, Gangguan Medikumum, Gangguan Neurologis, Gangguan Lingkungan, Gangguan Ritmesirkadian.

Komplikasi
Dapat terjadi penyalahgunaan zat.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pasien diberikan penjelasan tentang faktor-faktor risiko yang dimilikinya dan pentingnya untuk memulai pola hidup yang sehat dan mengatasi masalah yang menyebabkan terjadinya insomnia.
2. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan Lorazepam 0,5 – 2 mg atau Diazepam 2-5 mg pada malam hari. Pada orang yang berusia lanjut atau mengalami gangguan medik umum diberikan dosis minimal efektif.

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga agar mereka dapat memahami tentang insomnia dan dapa tmenghindari pemicu terjadinya insomnia.
Kriteria Rujukan
Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak menunjukkan perbaikan, atau apabila terjadi perburukan walaupun belum sampai 2 minggu, pasien dirujuk kefasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis kedokteran jiwa.

Peralatan
Tidak ada Peralatan khusus


No. ICPC-2 : P06 Sleep disturbance
No. ICD-10 : G47.0 Disorders of initiating and maintaining sleep
(insomnias)
Tingkat Kemampuan : 4A


Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam
Referensi
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.

3. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological and Substance Use Disorders in Non-Specialized Health Settings, 2010 

Demensia


Masalah Kesehatan
Demensiamerupakan sindrom akibat penyakit otak yang bersifat kronik progresif, ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif multiple, termasuk daya ingat (memori), daya pikir, daya tangkap (komprehensi), kemampuan belajar, orientasi, kalkulasi, visuospasial, bahasa dan daya nilai. Gangguan kognitif biasanya diikuti dengan deteriorasi dalam kontrolemosi, hubungan sosial dan motivasi.
Pada umumnya terjadi pada usia lanjut, ditemukan pada penyakit Alzhaimer, penyakit serebrovaskular, dan kondisi lain yang secara primer dan sekunder mempengaruhi otak.

Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Keluhan utama adalah gangguan daya ingat, mudah lupa terhadap kejadian yang baru dialami, dan kesulitan mempelajari informasi baru. Diawali dengan sering lupa terhadap kegiatan rutin, lupa terhadap benda-benda kecil, pada akhirnya lupa mengingat nama sendiri atau keluarga.

Faktor Risiko
Usia > 60 tahun (usialanjut).
Riwayat keluarga.
Adanya penyakit Alzheimer, serebrovaskular (hipertensi, penyakitjantung), atau diabetes mellitus.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
PemeriksaanFisik
1. Kesadaran sensorium baik.
2. Penurunan dayaingat yang bersifat kronik dan progresif. Gangguan fungsi otak terutama berupa gangguan fungsi memori dan bahasa, seperti afasia, aphrasia, serta adanya kemunduranf ungsi kognitif eksekutif.
3. Dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya gangguan neurologik atau penyakit sistemik

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan jika ada kecurigaan adanya kondisi medis yang menimbulkan dan memper berat gejala. Dapat dilakukan Mini Mental State Examination (MMSE).

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Pemeriksaan dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kriteria Diagnosis
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu kegiatan harian seseorang
2. Tidak ada gangguan kesadaran
3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit enam bulan

Klasifikasi
2. Demensia Vaskular (Demensia multiinfark)
3. Demensia pada penyakit Pick (Sapi Gila)
4. Demensia pada penyakit Creufield-Jacob
5. Demensia pada penyakit Huntington
6. Demensia pada penyakit Parkinson
7. Demensia pada penyakit HIV/AIDS
8. Demensia tipe Alzheimer prevalensinya paling besar (50-60%), disusul demensia vaskular (20-30%)

Diagnosis Banding
Delirium, Depresi, Gangguan Buatan, Skizofrenia

PenatalaksanaanKomprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Non farmakologi
a. Modifikasi faktor resiko yaitu kontrol penyakit fisik, lakukan aktifitas fisik sederhana seperti senam otak, stimulasi kognitif dengan permintaan, kuis, mengisi teka-tekisilang, bermain catur.
b. Modifikasi lingkungan sekitar agar lebih nyaman dan aman bagi pasien.
c. Rencanakan aktivitas hidup sehari-hari (mandi, makan, dan lain-lain) untuk mengoptimalkan aktivitas independen, meningkatkan fungsi, membantu adaptasi dan mengembangkan keterampilan, serta meminimalisasi kebutuhan akan bantuan.
d. Ajarkan kepada keluarga agar dapat membantu mengenal barang milik pribadinya, mengenal waktu dengan menggunakan jam besar, kalender harian, dapat menyebutkan namanya dan anggota keluarga terdekat, mengenal lingkungan sekitar, beri pujian jika dapat menjawab dengan benar, bicara dengan kalimat sederhana dan jelas (satu atau dua tahap saja), bila perlu gunakan isyarat atau sentuhan lembut.

2. Farmakologi
a. Jangan berikan inhibitor asetilkolinesterase (seperti: donepzil, galantamine dan rivastigmine) atau memantine secara rutin untuk semua kasus demensia. Pertimbangkan pemberiannya hanya pada kondisi yang memungkinkan diagnosis spesifik penyakit Alzheimer ditegakkan dan tersedia dukungan serta supervisi adekuat oleh spesialis serta pemantauan efek samping oleh pelaku rawat.
b. Bila pasien berperilaku agresif, dapat diberikan antipsikotik dosis rendah, seperti Haloperidol 0,5 – 1 mg/hari.

Kriteria Rujukan
1. Pasien dirujuk untuk konfirmasi diagnosis dan penatalaksanaan lanjutan.
2. Apabila pasien menunjukkan gejala agresifitas dan membahayakan dirinya atau orang lain.

Peralatan
Tidak ada Peralatan khusus

Prognosis
Prognosis umumnya ad vitam adalah dubia ad bonam, sedangkan fungsi adalah dubia ad malam. Ad sanationam adalah ad malam.




No. ICPC-2 : P70 Dementia
No. ICD-10 : F03 Unspecified dementia


Tingkat Kemampuan : 3A


Referensi
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, cetakan pertama, 1993. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1993)
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012. (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2012)

3. World Health Organization. MH gap Intervention Guide for Mental, Neurological and Substance Use Disorders in Non-Specialized Health Settings, 2010. (World Health Organization, 2010) 























demensia pdfdemensia  vaskular, demensia  dan alzheimerdemensia  frontotemporal adalah, demensia  lewy body adalah, demensia  adalah, demensia ppt, demensia pada lansia, demensia alzheimer adalah pdf, demensia adalah penyakit, demensia adalah, dementia senile dementia care dementia cause dementia charity