konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Jumat, 30 September 2016

Mata Kering/Dry Eye

Mata Kering/Dry Eye
No. ICPC-2 : F99Eye/adnexa disease, other
No. ICD-10 : H04.1Otherdisorders of lacrimal gland Tingkat Kemampuan : 4A Masalah Kesehatan Mata kering adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya produksi komponen air mata (musin, akueous, dan lipid). Mata kering merupakan salah satu gangguan yang sering pada mata dengan insiden sekitar 10-30% dari populasi dan terutama dialami oleh wanita berusia lebih dari 40 tahun. Penyebab lain adalah meningkatnya evaporasi air mata akibat faktor lingkungan rumah, kantor atau akibat lagoftalmus.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan mata terasa gatal dan seperti berpasir. Keluhan dapat disertai sensasi terbakar, merah, perih dan silau. Pasien seringkali menyadari bahwa gejala terasa makin berat di akhir hari (sore/malam).
Faktor Risiko
1. Usia > 40 tahun
2. Menopause
3. Penyakit sistemik, seperti: sindrom Sjogren, sklerosis sistemik progresif, sarkoidosis, leukemia, limfoma, amiloidosis, dan hemokromatosis
4. Penggunaan lensa kontak
5. Penggunaan komputer dalam waktu lama
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Visus normal
2. Terdapat foamy tears pada konjungtiva forniks
3. Penilaian produksi air mata dengan tes Schirmer menunjukkan hasil <10 mm (nilai normal ≥20 mm).

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Tes Schirmer bila diperlukan

Komplikasi
1. Keratitis
2. Penipisan kornea
3. Infeksi sekunder oleh bakteri
4. Neovaskularisasi kornea

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pemberian air mata buatan, yaitu tetes mata karboksimetilselulosa atau sodium hialuronat.
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Umumnya tidak diperlukan
Konseling & Edukasi
Keluarga dan pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah keadaan menahun dan pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada kasus ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan konjungtiva masih reversibel.
Kriteria Rujukan
Dilakukan rujukan ke spesialis mata jika keluhan tidak berkurang setelah terapi atau timbul komplikasi.
Peralatan
1. Lup
2. Strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41)
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam

Referensi
1. Gondhowiardjo, T. D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami. 1th Ed. Jakarta: CV Ondo. 2006. (Gondhowiardjo & Simanjuntak, 2006)
2. James, Brus.dkk. Lecture Notes Oftalmologi.Jakarta:Erlangga. 2005. (Brus, 2005)
3. Riordan, Paul E. Whitcher, John P. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Ed 17. Jakarta: EGC. 2009. (Riordan & Whitcher, 2009)
4. Sastrawan, D. dkk. Standar Pelayanan Medis Mata.Palembang: Departemen Ilmu Kesehatan Mata RSUP M. Hoesin. 2007. (Sastrawan, 2007)
5. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V.Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008. (Ilyas, 2008)
6. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I.Jakarta: Widya Medika. 2000. (Vaughn, 2000)

7. Sumber Gambar: http://www.thevisioncareinstitute.co.uk/library 

Strongiloidiasis

Strongiloidiasis
No. ICPC II : D96 Worms/other parasites
No. ICD X : B78.9 Strongyloidiasis
Tingkat Kemampuan : 4A
Masalah Kesehatan
Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis, cacing yang biasanya hidup di kawasan tropik dan subtropik. Sekitar 100 juta orang diperkirakan terkena penyakit ini di seluruh dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat berat dan berbahaya pada mereka yang dengan status imun menurun seperti pada pasien HIV/AIDS, transplantasi organ serta pada pasien yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada infestasi ringan Strongyloides pada umumnya tidak menimbulkan gejala khas.
Gejala klinis
1. Rasa gatal pada kulit

2. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan gejala seperti ditusuk-tusuk di daerah epigastrium dan tidak menjalar
3. Mual, muntah
4. Diare dan konstipasi saling bergantian
Faktor Risiko
1. Kurangnya penggunaan jamban.
2. Tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung larva Strongyloides stercoralis.
3. Penggunaan tinja sebagai pupuk.
4. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Timbul kelainan pada kulit “creeping eruption” berupa papul eritema yang menjalar dan tersusun linear atau berkelok-kelok meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per hari. Predileksi penyakit ini terutama pada daerah telapak kaki, bokong, genital dan tangan.
2. Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik: menemukan larva rabditiform dalam tinja segar, atau menemukan cacing dewasa Strongyloides stercoralis.
2. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia, walaupun pada banyak kasus jumlah sel eosinofilia normal.

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.
Diagnosis Banding: -
Komplikasi: -
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:

a. Menggunakan jamban keluarga.
b. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas.
c. Menggunakan alas kaki.
d. Hindari penggunaan pupuk dengan tinja.
2. Farmakologi
a. Pemberian Albendazol menjadi terapi pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, 1-2 x sehari, selama 3 hari, atau

b. Mebendazol 100 mg, 3xsehari, selama 2 atau 4 minggu.
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
1. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban keluarga.
2. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
3. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
4. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun.
5. Menggunakan alas kaki.

Kriteria Rujukan: -
Pasien strongyloidiasis dengan keadaan imunokompromais seperti penderita AIDS
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah dan feses.
Prognosis
Pada umumnya prognosis penyakit ini adalah bonam, karena jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis: a multifaceted diseases. Gastroenetrology & hepatology 2011;7:194-6. (Ganesh & Cruz, 2011)
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.

Taeniasis

Taeniasis 
No. ICPC II : D96 Worms/other parasites 
No. ICD X : B68.9 Taeniasis 
Tingkat Kemampuan : 4A 
Masalah Kesehatan 
Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia saginata, Taenia solium, dan Taenia asiatica) pada manusia. 
Taenia saginata adalah cacing yang sering ditemukan di negara yang penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Infeksi lebih mudah terjadi bila cara memasak daging setengah matang. 
Taenia solium adalah cacing pita yang ditemukan di daging babi. Penyakit ini ditemukan pada orang yang biasa memakan daging babi khususnya yang diolah tidak matang. Ternak babi yang tidak dipelihara kebersihannya, dapat berperan penting dalam penularan cacing Taenia solium. Untuk T. solium terdapat komplikasi berbahaya yakni sistiserkosis. Sistiserkosis adalah kista T.solium yang bisa ditemukan di seluruh organ, namun yang paling berbahaya jika terjadi di otak. 
Hasil Anamnesis (Subjective) 
Keluhan 
Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak khas. Sebagian kasus tidak menunjukkan gejala (asimptomatis). Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus atau toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain: 
1. Rasa tidak enak pada lambung 
2. Mual 
3. Badan lemah 
4. Berat badan menurun 
5. Nafsu makan menurun 
6. Sakit kepala 
7. Konstipasi 
8. Pusing 
9. Pruritus ani 
10. Diare 


Faktor Risiko 
1. Mengkonsumsi daging yang dimasak setengah matang/mentah, dan mengandung larva sistiserkosis. 
2. Higiene yang rendah dalam pengolahan makanan bersumber daging. 
3. Ternak yang tidak dijaga kebersihan kandang dan makanannya. 

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) 
Pemeriksaan Fisik 
1. Pemeriksaan tanda vital. 
2. Pemeriksaan generalis: nyeri ulu hati, ileus juga dapat terjadi jika cacing membuat obstruksi usus. 

Pemeriksaan Penunjang 
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik dengan menemukan telur dalam spesimen tinja segar. 
2. Secara makroskopik dengan menemukan proglotid pada tinja. 
3. Pemeriksaan laboratorium darah tepi: dapat ditemukan eosinofilia, leukositosis, LED meningkat. 

Penegakan Diagnostik (Assessment) 
Diagnosis Klinis 
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 
Diagnosis Banding:- 
Komplikasi: Sistiserkosis 
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) 
Penatalaksanaan 
1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, antara lain: 

a. Mengolah daging sampai matang dan menjaga kebersihan hewan ternak. 
b. Menggunakan jamban keluarga. 
2. Farmakologi: 
a. Pemberian albendazol menjadi terapi pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, 1 x sehari, selama 3 hari berturut-turut, atau 
b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama 2 atau 4 minggu. 

Pengobatan terhadap cacing dewasa dikatakan berhasil bila ditemukan skoleks pada tinja, sedangkan pengobatan sistiserkosis hanya dapat dilakukan dengan melakukan eksisi. 
Konseling dan Edukasi 
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain: 
1. Mengolah daging sampai matang dan menjaga kebersihan hewan ternak 
2. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban keluarga 
Kriteria Rujukan 
Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada sistiserkosis. 
Peralatan 
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah dan feses. 
Prognosis 
Prognosis pada umumnya bonam kecuali jika terdapat komplikasi berupa sistiserkosis yang dapat mengakibatkan kematian. 
Referensi 
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 424 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Kecacingan. 
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1 

Skistosomiasis

Skistosomiasis
No. ICPC II : D96 Worm/outer parasite
No. ICD X : B65.9 Skistosomiasisunspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
Tingkat Kemampuan : 4A
Masalah Kesehatan
Skistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing trematoda dari genus schistosoma (blood fluke). Terdapat tiga spesies cacing trematoda utama yang menjadi penyebab skistosomiasis yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma haematobium dan Schistosoma mansoni. Spesies yang kurang dikenal yaitu Schistosoma mekongi dan Schistosoma intercalatum. Di Indonesia spesies yang paling sering ditemukan adalah Schistosoma japonicum khususnya di daerah lembah Napu dan sekitar danau Lindu di Sulawesi Tengah. Untuk menginfeksi manusia, Schistosoma memerlukan keong sebagai intermediate host. Penularan Schistosoma terjadi melalui serkaria yang berkembang dari host dan menembus kulit pasien dalam air. Skistosomiasis terjadi karena reaksi imunologis terhadap telur cacing yang terperangkap dalam jaringan. Prevalensi Schistosomiasis di lembah Napu dan danau Lindu berkisar 17% hingga 37%.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Pada fase akut, pasien biasanya datang dengan keluhan demam, nyeri kepala, nyeri tungkai, urtikaria, bronkitis, nyeri abdominal. Biasanya terdapat riwayat terpapar dengan air misalnya danau atau sungai 4-8 minggu sebelumnya, yang kemudian berkembang menjadi ruam kemerahan (pruritic rash).
2. Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada letak lesi misalnya:
a. Buang air kecil darah (hematuria), rasa tak nyaman hingga nyeri saat berkemih, disebabkan oleh urinary schistosomiasis biasanya disebabkan oleh S. hematobium.
b. Nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya disebabkan oleh intestinal skistosomiasis, biasanya disebabkan oleh S. mansoni, S. Japonicum juga S. Mekongi.
c. Pembesaran perut, kuning pada kulit dan mata disebabkan oleh hepatosplenic skistosomiasis yang biasanya disebabkan oleh S. Japonicum.

Faktor Risiko:
Orang-orang yang tinggal atau datang berkunjung ke daerah endemik di sekitar lembah Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah dan mempunyai kebiasaan terpajan dengan air, baik di sawah maupun danau di wilayah tersebut
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan:

a. Limfadenopati
b. Hepatosplenomegaly
c. Gatal pada kulit
d. Demam
e. Urtikaria
Buang air besar berdarah (bloody stool)
2. Pada skistosomiasiskronik bisa ditemukan:
a. Hipertensi portal dengan distensi abdomen, hepatosplenomegaly
b. Gagal ginjal dengan anemia dan hipertensi
c. Gagal jantung dengan gagal jantung kanan
d. Intestinal polyposis
e. Ikterus

Pemeriksaan Penunjang
Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan pada sedimen urin.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan juga penemuan telur cacing pada pemeriksaan tinja dan juga sedimen urin.
Diagnosis Banding: -
Komplikasi:
1. Gagal ginjal
2. Gagal jantung

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Pengobatan diberikan dengan dua tujuan yakni untuk menyembuhkan pasien atau meminimalkan morbiditas dan mengurangi penyebaran penyakit.
2. Prazikuantel adalah obat pilihan yang diberikan karena dapat membunuh semua spesies Schistosoma. Walaupun pemberian single terapi sudah bersifat kuratif, namun pengulangan setelah 2 sampai 4 minggu dapat meningkatkan efektifitas pengobatan. Pemberian prazikuantel dengan dosis sebagai berikut:





Rencana Tindak Lanjut
1. Setelah 4 minggu dapat dilakukan pengulangan pengobatan.
2. Pada pasien dengan telur cacing positif dapat dilakukan pemeriksaan ulang setelah satu bulan untuk memantau keberhasilan pengobatan.

Konseling dan Edukasi
1. Hindari berenang atau menyelam di danau atau sungai di daerah endemik skistosomiasis.
2. Minum air yang sudah dimasak untuk menghindari penularan lewat air yang terkontaminasi.

Kriteria Rujukan
Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis) disertai komplikasi.
Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan tinja dan sedimen urin (pada S.haematobium).
Prognosis
Pada skistosomiasis akut, prognosis adalah dubia ad bonam, sedangkan yang kronis, prognosis menjadi dubia ad malam.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Centers for Disease Control and Prevention. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.cdc.gov/parasites/schistosomiasis. (Center for Disease and Control, 2013)
3. World Health Organization. Schistosomiasis. July 25, 2013. http://www.who.int/topics/shcistosomiasis/end (World Health Organization, 2013)
4. Kayser, F.H., Bienz, K.A., Eckert, J., Zinkernagel, R.M. 2005. Schistosoma in Medical Microbiology. Germany. Thieme. Stutgart. (Kayser, et al., 2005)
5. Sudomo, M., Pretty, S. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 35, No. 1. (Sudomo & Pretty, 2007)
6. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1

Askariasis (infeksi cacing gelang)

Askariasis (infeksi cacing gelang)
No. ICPC II : D96 Worms/ other parasites
No. ICD X : B77.9 Ascariaris unspecified
Tingkat Kemampuan : 4A
Masalah Kesehatan
Askariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit Ascaris lumbricoides.
Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60-90%. Diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides.
Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat badan menurun, mual, muntah.
Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan migrasi larva.
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat larva berada diparu. Pada orang yang rentan, terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindroma Loeffler.
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, dan sangat tergantung dari banyaknya cacing yang menginfeksi di usus. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Gejala klinis yang paling menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan selera makan, mencret. Ini biasanya terjadi pada saat proses peradangan pada dinding usus. Pada anak kejadian ini bisa diikuti demam. Komplikasi yang ditakuti (berbahaya) adalah bila cacing dewasa menjalar ketempat lain (migrasi) dan menimbulkan gejala akut. Pada keadaan infeksi yang berat, paling ditakuti bila terjadi muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan komplikasi penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh massa cacing, ataupun apendisitis sebagai akibat masuknya cacing ke dalam lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Vateri ataupun saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati.
Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi dewasa di dalam usus halus, yang mana hasil metabolisme cacing dapat menimbulkan fenomena sensitisasi seperti urtikaria, asma bronkhial, konjungtivitis akut, fotofobia dan terkadang hematuria. Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan Ascaris lumbricoides, tetapi hal ini tidak menggambarkan beratnya penyakit, tetapi lebih banyak menggambarkan proses sensitisasi dan eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi Ascaris lumbricoides.
Faktor Risiko
1. Kebiasaan tidak mencuci tangan.
2. Kurangnya penggunaan jamban.
3. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk.
4. Kebiasaan tidak menutup makanan sehingga dihinggapi lalat yang membawa telur cacing

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda vital
2. Pemeriksaan generalis tubuh: konjungtiva anemis, terdapat tanda-tanda malnutrisi, nyeri abdomen jika terjadi obstruksi.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit ini adalah dengan melakukan pemeriksaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis Askariasis.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.
Diagnosis Banding: jenis kecacingan lainnya
Komplikasi: anemia defisiensi besi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
a. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
b. Menutup makanan
c. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga
d. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
e. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.
2. Farmakologis
a. Pirantel pamoat 10 mg/kg BB/hari, dosis tunggal, atau
b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga hari berturut-turut, atau
c. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet (400 mg) atau 20ml suspensi, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil

Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara masal pada masyarakat. Syarat untuk pengobatan massal antara lain:
1. Obat mudah diterima dimasyarakat
2. Aturan pemakaian sederhana
3. Mempunyai efek samping yang minimal
4. Bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing
5. Harga mudah dijangkau

Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
1. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita.
2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
3. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
4. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
5. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun dan air mengalir.
6. Kondisi rumah dan lingkungan dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab.

Kriteria Rujukan: -
Peralatan
Peralatan laboratorium mikroskopik sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.
Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah bonam, karena jarang menimbulkan kondisi yang berat secara klinis.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Gandahusada, 2000)
2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts from the cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit (WSH), World Health Organization (WHO).

3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1 

Ankilostomiasis (infeksi Cacing Tambang)

Ankilostomiasis (infeksi Cacing Tambang)
No. ICPC II : D96 Worms/other parasites
No. ICD X : B76.0 Ankylostomiasis
B76.1 Necatoriasis
Tingkat Kemampuan : 4A
Masalah Kesehatan
Penyakit cacing tambang adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Di Indonesia infeksi oleh N. americanus lebih sering dijumpai dibandingkan infeksi oleh A.duodenale. Hospes parasit ini adalah manusia, cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis. Diperkirakan sekitar 576 – 740 juta orang di dunia terinfeksi dengan cacing tambang. Di Indonesia insiden tertinggi ditemukan terutama didaerah pedesaan khususnya perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%. Dari suatu penelitian diperoleh bahwa separuh dari anak-anak yang telah terinfeksi sebelum usia 5 tahun, 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi meningkat sampai usia 6-7 tahun dan kemudian stabil.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Migrasi larva
1. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat terikut masuk pada saat larva menembus kulit, menimbulkan rasa gatal pada kulit (ground itch). Creeping eruption (cutaneous larva migrans), umumnya disebabkan larva cacing tambang yang berasal dari hewan seperti kucing ataupun anjing, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan oleh larva Necator americanus ataupun Ancylostoma duodenale.
2. Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi pneumonitis, tetapi tidak sesering oleh larva Ascaris lumbricoides.

Cacing dewasa
Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan melekat pada mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi tergantung pada berat ringannya infeksi; makin berat infeksi manifestasi klinis yang terjadi semakin mencolok seperti :
1. Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare, penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duodenum, jejunum dan ileum.
2. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya dijumpai anemia hipokromik mikrositik.
3. Pada anak, dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang dan berat dengan tingkat kecerdasan anak.

Bila penyakit berlangsung kronis, akan timbul gejala anemia, hipoalbuminemia dan edema. Hemoglobin kurang dari 5 g/dL dihubungkan dengan gagal jantung dan kematian yang tiba-tiba. Patogenesis anemia pada infeksi cacaing tambang tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Kandungan besi dalam makanan
2. Status cadangan besi dalam tubuh pasien
3. Intensitas dan lamanya infeksi

Faktor Risiko
1. Kurangnya penggunaan jamban keluarga
2. Kebiasaan menggunakan tinja sebagai pupuk
3. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah
4. Perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Gejala dan tanda klinis infestasi cacing tambang bergantung pada jenis spesies cacing, jumlah cacing, dan keadaan gizi penderita.
Pemeriksaan Fisik
1. Konjungtiva pucat
2. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva yang menembus kulit, disebut sebagai ground itch.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopik pada tinja segar ditemukan telur atau larva atau cacing dewasa.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Klasifikasi:
1. Nekatoriasis
2. Ankilostomiasis

Diagnosis Banding: -
Komplikasi: anemia, jika menimbulkan perdarahan.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Memberi pengetahuan kepada masyarakat akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
a. Masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga.
b. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
c. Menggunakan alas kaki, terutama saat berkontak dengan tanah

2. Farmakologis
a. Pemberian Pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB, atau
b. Mebendazole 100 mg, 2x sehari, selama 3 hari berturut-turut, atau
c. Albendazole untuk anak di atas 2 tahun 400 mg, dosis tunggal, sedangkan pada anak yang lebih kecil diberikan dengan dosis separuhnya. Tidak diberikan pada wanita hamil. Creeping eruption: tiabendazol topikal selama 1 minggu. Untuk cutaneous laeva migrans pengobatan dengan Albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-turut.
d. Sulfasferosus
Konseling dan Edukasi
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu antara lain:
1. Sebaiknya masing-masing keluarga memiliki jamban keluarga. Sehingga kotoran manusia tidak menimbulkan pencemaran pada tanah disekitar lingkungan tempat tinggal kita.
2. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk.
3. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
4. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
5. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukkan aktifitas dengan menggunakan sabun dan air mengalir.
6. Menggunakan alas kaki saat berkontak dengan tanah.

Kriteria Rujukan: -
Peralatan
1. Peralatan laboratorium mikroskopis sederhana untuk pemeriksaan spesimen tinja.
2. Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin.

Prognosis
Penyakit ini umumnya memiliki prognosis bonam, jarang menimbulkan kondisi klinis yang berat, kecuali terjadi perdarahan dalam waktu yang lama sehingga terjadi anemia.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (Gandahusada, 2000)
2. Written for World Water Day. 2001. Reviewed by staff and experts from the cluster on Communicable Diseases (CDS) and Water, Sanitation and Health unit (WSH), World Health Organization (WHO).
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson’s Tetxbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1. 

Parotitis

Parotitis
No. ICPC-2 : D71. Mumps / D99. Disease digestive system, other
No. ICD-10 : B26. Mumps
Tingkat Kemampuan : 4A
Masalah Kesehatan
Parotitis adalah peradangan pada kelenjar parotis. Parotitis dapat disebabkan oleh infeksi virus, infeksi bakteri, atau kelainan autoimun, dengan derajat kelainan yang bervariasi dari ringan hingga berat. Salah satu infeksi virus pada kelenjar parotis, yaitu parotitis mumps (gondongan) sering ditemui pada layanan primer dan berpotensi menimbulkan epidemi di komunitas. Dokter di pelayanan kesehatan primer dapat berperan menanggulangi parotitis mumps dengan melakukan diagnosis dan tatalaksana yang adekuat serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap imunisasi, khususnya MMR.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Parotitis mumps
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang bawah
b. Bengkak berlangsung tiba-tiba
c. Rasa nyeri pada area yang bengkak
d. Onset akut, biasanya < 7 hari
e. Gejala konstitusional: malaise, anoreksia, demam
f. Biasanya bilateral, namun dapat pula unilateral
2. Parotitis bakterial akut
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang bawah
b. Bengkak berlangsung progresif
c. Onset akut, biasanya < 7 hari
d. Demam
e. Rasa nyeri saat mengunyah
3. Parotitis HIV
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang bawah

b. Tidak disertai rasa nyeri
c. Dapat pula bersifat asimtomatik
4. Parotitis tuberkulosis
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang bawah
b. Onset kronik
c. Tidak disertai rasa nyeri
d. Disertai gejala-gejala tuberkulosis lainnya
5. Parotitis autoimun (Sjogren syndrome)
a. Pembengkakan pada area di depan telinga hingga rahang bawah
b. Onset kronik atau rekurens
c. Tidak disertai rasa nyeri
d. Dapat unilateral atau bilateral
e. Gejala-gejala Sjogren syndrome, misalnya mulut kering, mata kering
f. Penyebab parotitis lain telah disingkirkan
Faktor Risiko
1. Anak berusia 2–12 tahun merupakan kelompok tersering menderita parotitis mumps
2. Belum diimunisasi MMR
3. Pada kasus parotitis mumps, terdapat riwayat adanya penderita yang sama sebelumnya di sekitar pasien
4. Kondisi imunodefisiensi

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum dapat bervariasi dari tampak sakit ringan hingga berat
2. Suhu meningkat pada kasus parotitis infeksi
3. Pada area preaurikuler (lokasi kelenjar parotis), terdapat:
a. Edema
b. Eritema
c. Nyeri tekan (tidak ada pada kasus parotitis HIV, tuberkulosis, dan autoimun)



                                     Edema pada area preaurikuler dan mandibula kanan pada kasus parotitis mumps

4. Pada kasus parotitis bakterial akut, bila dilakukan masase kelanjar parotis dari arah posterior ke anterior, nampak saliva purulen keluar dari duktur parotis.
Pemeriksaan Penunjang
Pada kebanyakan kasus parotitis, pemeriksaan penunjang biasanya tidak diperlukan. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menentukan etiologi pada kasus parotitis bakterial atau parotitis akibat penyakit sistemik tertentu, misalnya HIV, Sjogren syndrome, tuberkulosis.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis parotitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Komplikasi
1. Parotitis mumps dapat menimbulkan komplikasi berupa: Epididimitis, Orkitis, atau atrofi testis (pada laki-laki), Oovaritis (pada perempuan), ketulian, Miokarditis, Tiroiditis, Pankreatitis, Ensefalitis, Neuritis
2. Kerusakan permanen kelenjar parotis yang menyebabkan gangguan fungsi sekresi saliva dan selanjutnya meningkatkan risiko terjadinya infeksi dan karies gigi.
3. Parotitis autoimun berhubungan dengan peningkatan insiden limfoma.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Parotitis mumps
a. Nonmedikamentosa
 Pasien perlu cukup beristirahat
 Hidrasi yang cukup
 Asupan nutrisi yang bergizi
b. Medikamentosa

Pengobatan bersifat simtomatik (antipiretik, analgetik)
2. Parotitis bakterial akut
a. Nonmedikamentosa
 Pasien perlu cukup beristirahat
 Hidrasi yang cukup
 Asupan nutrisi yang bergizi
b. Medikamentosa
 Antibiotik
 Simtomatik (antipiretik, analgetik)
3. Parotitis akibat penyakit sistemik (HIV, tuberkulosis, Sjogren syndrome)

Tidak dijelaskan dalam bagian ini.
Konseling dan Edukasi
1. Penjelasan mengenai diagnosis, penyebab, dan rencana tatalaksana.
2. Penjelasan mengenai pentingnya menjaga kecukupan hidrasi dan higiene oral.
3. Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang adekuat mengenai pentingnya imunisasi MMR untuk mencegah epidemi parotitis mumps.

Kriteria Rujukan
1. Parotitis dengan komplikasi
2. Parotitis akibat kelainan sistemik, seperti HIV, tuberkulosis, dan Sjogren syndrome.

Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam

Peralatan
1. Termometer
2. Kaca mulut

Referensi
Fox, P. C. & Ship, J. A., 2008. Salivary Gland Diseases. Dalam: M. Greenberg, M. Glick & J. A. Ship, penyunt. Burket's Oral Medicine. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 191-222. (Fox & Ship, 2008)

Peritonitis

Peritonitis
No. ICPC-2 : D99 Disease digestive system, other
No. ICD-10 : K65.9 Peritonitis, unspecified
Tingkat Kemampuan : 3B
Masalah Kesehatan
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum. Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin kuat saat penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan.
2. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
3. Mual dan muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasiperitoneum.
4. Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Pasien tampak letargik dan kesakitan
2. Dapat ditemukan demam
3. Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nyeri lepas abdomen


4. Defans muskular
5. Hipertimpani pada perkusi abdomen
6. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma
7. Bising usus menurun atau menghilang
8. Rigiditas abdomen atau sering disebut perut papan
9. Pada colok dubur akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus sfingter ani menurun dan ampula rekti berisi udara.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di layanan primer untuk menghindari keterlambatan dalam melakukan rujukan.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik dari tanda-tanda khas yang ditemukan pada pasien.

Diagnosis Banding: -
Komplikasi
1. Septikemia
2. Syok

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Pasien segera dirujuk setelah penegakan diagnosis dan penatalaksanaan awal seperti berikut:
1. Memperbaiki keadaan umum pasien
2. Pasien puasa
3. Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastrik atau intestinal
4. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
5. Pemberian antibiotik spektrum luas intravena.
6. Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri dihindari untuk tidak menyamarkan gejala

Kriteria Rujukan
Rujuk ke layanan sekunder yang memiliki dokter spesialis bedah.
Peralatan
Nasogastric Tube
Prognosis
Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad malam
Referensi
1. Wim de jong. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2011.
2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2000.
3. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru. 1999. (Rasad, et al., 1999)

4. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih bahasa dr. Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000. (Shrock, 2000 

Apendisitis Akut


Apendisitis akut adalah radangyang timbul secara mendadak pada apendik, merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera dapat menyebabkan perforasi.
Penyebab:
1. Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan apendisitis akut
2. Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba hystolitica dan benda asing lainnya

Hasil Anamnesis(Subjective)
Keluhan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena bersifat somatik.


Gejala Klinis
1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus vagus.
2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
3. Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.
4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum.
5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
1. Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit
2. Kembung bila terjadi perforasi
3. Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.

Palpasi
1. Terdapat nyeri tekan Mc Burney
2. Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)
3. Adanya defans muscular
4. Rovsing sign positif
5. Psoas sign positif
6. Obturator Sign positif

Perkusi
Nyeri ketok (+)
Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Colok dubur
Nyeri tekan pada jam 9-12
Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
1. Nyeri seluruh abdomen
2. Pekak hati hilang
3. Bising usus hilang

Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala sebagai berikut:
1. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
2. Demam tinggi lebih dari 38,5oC
3. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
4. Dehidrasi dan asidosis
5. Distensi
6. Menghilangnya bising usus
7. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
8. Rebound tenderness sign
9. Rovsing sign
10. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah perifer lengkap

a. Pada apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat.
b. Pada anak ditemuka lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%.
c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.
d. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
e. Pengukuran kadar HCG bila dicurigai kehamilan ektopik pada wanita usia subur.

2. Foto polos abdomen
a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu..
b. Padaperadangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps.
c. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara.
d. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.
e. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan.

f. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma.\
g. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (dekubitus), kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik.

Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis akut.

Diagnosis Banding
1. Kolesistitis akut
2. Divertikel Mackelli
3. Enteritis regional
4. Pankreatitis
5. Batu ureter
6. Cystitis
7. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
8. Salpingitis akut

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.
Penatalaksanaan di pelayanan kesehatan primer sebelum dirujuk:
1. Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
2. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui mulut.
3. Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
4. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah.

Komplikasi
1. Perforasi apendiks
2. Peritonitis umum
3. Sepsis


No. ICPC-2 : S87 (Appendicitis)
No. ICD-10 : K.35.9 (Acute appendicitis)
Tingkat Kemampuan : 3B


Kriteria Rujukan
Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.

Peralatan
Labotorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam tetapi bergantung tatalaksana dan kondisi pasien.

Referensi
1. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
2. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. (Seymour, 2000)