konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Tampilkan postingan dengan label Anestesi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anestesi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Juli 2017

Luaran Pasien Cedera Kepala Berat yang Dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi Dekompresi

Luaran Pasien Cedera Kepala Berat yang Dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi Dekompresi di RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Zafrullah Khany Jasa*), Fachrul Jamal*), Imam Hidayat**)
*)Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif ,**)Bagian Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Syiahkuala-RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Kraniotomi evakuasi hematoma dan kraniektomi dekompresi merupakan suatu tindakan definitif terhadap pasien cedera kepala berat. Perlu dilakukan suatu evaluasi untuk mengetahui luaran tindakan pembedahan sebagai informasi dalam memperbaiki dan mengurangi morbiditas dan mortalitas baik di bidang anestesi maupun bedah saraf.

Subjek dan Metode: Penelitian deskriptif ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin terhadap 83 pasien pasien cedera kepala berat yang dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematoma atau kraniektomi dekompresi yang kemudian di rawat di ICU selama tahun 2012. Pasien dilakukan operasi dalam 24 jam setelah masuk rumah sakit dan kemudian dirawat di ICU. Dilakukan pencatatan umur, jenis kelamin dan luaran setelah operasi yaitu perbaikan fungsi motorik dan angka kematian selama rawatan 5 hari di ICU.
Hasil: Pasien yang masuk dalam penelitian dengan jumlah 56 (67%) laki-laki dan 27 (33%) perempuan dengan usia sebagian besar 15-20 tahun 27% usia lebih dari 40 tahun 35%. Terdapat perbaikan fungsi motorik dalam skala penilaian GCS pada pasien setelah operasi terutama pada skala motorik 1 sampai 3 menjadi skala 2 sampai 5 setelah operasi. Angka kematian dalam 5 hari rawatan mencapai 57% (48 pasien) dan pasien yang hidup setelah 5 hari pasca operasi 43% (35 pasien). Sebagian besar kematian terjadi pada perawatan hari ke 2 (25%) dan hari ke 3 (35%).

Simpulan: Tindakan operasi kraniotomi untuk evakuasi hematoma atau kraniektomi dekompresi pada pasien cedera kepala berat dapat memperbaiki fungsi motorik dan angka kematian 57% setelah 5 hari rawatan awal di ICU.

Kata kunci: cedera kepala berat, kranitomi, kraniektomi, luaran

JNI 2014;3 (1): 8‒14


Postoperative Outcome of Patients with Severe Traumatic Brain Injury Undergoing Craniotomy to Evacuate Hematoma or Decompressive Craniectomy at Dr. Zainoel Abidin Hospital Banda Aceh

Abstract
Backgroud and Objective: Craniotomy to evacuate hematoma and decompressive craniectomy is definitive treatment for severe head injury patients. We need to evaluate the outcome after surgery as the basis information for improve management and to reduce mortality and morbidity rate in neuroanesthesia or neurosurgery as well.
Subject and Method: This descriptive research was conducted in Zainoel Abidin Hospital Banda Aceh on 83 severe head injury patients undergoing craniotomy to evacuate hematoma or decompressive craniectomy continued with postoperative care in the intensive care unit in 2012. Age, sex, and outcome motoric function on GCS scale and morbidity were recorded during 5 day care in the ICU.
Results: Eighty three severe head injury patients at Zainoel Abidin Hospital Banda Aceh underwent craniotomy to evacuate hematoma or decompressive craniectomy continued with postoperative care in the ICU in 2012 were included with 56 (67%) male and 27(33%) female, aged 15‒20 y.o (27%) and >40 y.o (35%). Motoric function was improved from 1‒3 to 2‒5 according to GCS scale after the surgery. There were 48 (57%) patients died and 35 (43%) patients survived after undergoing surgery and 5 day tratment in the ICU. Most of death happened on day 2 (25%) and day 3 (35%).
Conclusion: Craniotomy to evacute hematoma or decompressive craniectomy may improve the motoric function with mortality rate 57% during initial 5 day in ICU.
Key words: severe head injury, craniotomy, craniectomy, outcome

Rabu, 24 Mei 2017

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase



Abstrak
Perdarahan intrakranial spontan pada terapi antikoagulan rivaroxaban mulai sering ditemukan, apalagi bila dikombinasi dengan antiplatelet clopidogrel maupun fibrinolitik lumbrokinase merupakan hal yang sering ditemukan pada penderita trombosis. Perdarahan intrakranial spontan terbanyak adalah perdarahan intracerebral. Perdarahan spontan epidural (EDH) akut merupakan hal yang jarang ditemukan, biasanya terjadi karena ada penyakit yang mendasarinya. Penatalaksanaan pada kasus ini berdasarkan patofisiologinya dan melibatkan multidisiplin ilmu lainnya. Seorang laki-laki, 26 tahun berat badan 80 kg yang didiagnosa deep vein thrombosis (DVT) mengalami penurunan kesadaran mendadak, pupil anisokor 4 mm/1mm ketika sedang beraktivitas. Tidak dijumpai riwayat cedera kepala. Setelah diresusitasi didapatkan hasil head CT-scan dengan EDH temporoparietal dextra 50 cc, dilakukan dekompresi craniektomi dan evakuasi EDH. Setelah 10 jam pasca operasi terjadi gejolak hemodinamik dan dilakukan head CT-scan ulang dan didapatkan EDH 80 cc dan minimal perdarahan intracerebral. Dilakukan redo craniektomi. Pasca operasi dirawat di ICU dengan koreksi faktor koagulasi. Pasien kembali komposmentis GCS 15 dengan gejala sisa hemiparese sinistra sementara.
Kata Kunci: terapi kombinasi rivaroxaban, clopidogrel dan lumbrokinase, perdarahan EDH spontan, koreksi faktor koagulasi
JNI 2016;5(2): 94–103


Acute Spontaneus Epidural Hemorrhage due to Combination Therapy Rivaroxaban, Clopidogrel and Lumbrokinase

Abstract
Spontaneous intracranial hemorrhage on anticoagulant therapy rivaroxaban lately often found, especially when combined with clopidogrel antiplatelet or fibrinolytic lumbrokinase is often found in patients with thrombosis. Spontaneous intracranial hemorrhage is most widely occured is intracerebral hemmorrhage. Spontaneous epidural hemorrhage (EDH) acute is a uncommon, usually occur because there is an underlying disease. Treatment on the case based on patophysiology and involves a multidisciplinary peer other sciences. A young man, 26 years old weight 80 kg which was diagnosed with deep vein thrombosis (DVT) awareness of sudden decline, the pupil anisokor 4 mm/1mm while activity. No head trauma history. After resuscitation, head Ct-scan with EDH temporoparietal dextra 50 cc, carried out the evacuation EDH and decompression craniektomi. After 10 hours of post-operative haemodynamic turmoil happened and done a head ct-scan and obtained EDH 80 cc and minimal intracerebral hemorrhage. Do redo craniektomi. Post-operative hospitalized in ICU with correction factor for coagulation. The patient recovers conciousness into composmentis GCS 15 with sequelae hemiparese sinistra temporary.
Key words: combination therapy rivaroxaban, clopidogrel and lumbrokinase, spontaneus EDH acute, treatment coagulation factor
JNI 2016;5(2): 94–103

RR Sinta Irina*), Nazaruddin Umar*), Hasanul Arifin*), Margaritta Rehatta, Siti Chasnak Saleh**)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Sumatera Utara-RSUP H.Adam Malik Medan, **) Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya



I. Pendahuluan
Perdarahan spontan sering terjadi pada pemakaian
obat oral antikoagulan dan antiplatelet seperti
rivaroxaban dan clopidogrel, apalagi dengan
pemakaian kombinasi dua obat tersebut.1 Lokasi
perdarahan sering tidak dapat diduga. Angka
kejadian terjadi perdarahan spontan di saluran
cerna 100-200 per 100.000 kasus.2 Pasien dengan
perdarahan intrakranial akut didapatkan 20%
memakai antikoagulan oral, dan 30% terapi
antiplatelet oral.3 Kasus perdarahan epidural
spontan non trauma sangat jarang ditemukan.
Laporan kasus yang ditemukan sampai dengan
tahun 2010 hanya 19 kasus.4 Penatalaksanaan
anestesi dengan pasien perdarahan intrakranial
akut oleh karena pemakaian antikoagulan dan
antiplatelet memerlukan penanganan perioperatif
menyeluruh sehingga penyebab perdarahan bisa
diatasi segera. Preoperatif dengan resusitasi yang
benar, intraoperatif dan perawatan pascaoperatif
baik akan menghasilkan outcome yang baik
untuk mencegah terjadinya cedera otak sekunder.

II. Kasus
Seorang laki-laki berusia 26 tahun, berat badan
80 kg dengan diagnosis deep vein thrombosis
(DVT) pada kedua tungkai bawah di RSUP H.
Adam Malik Medan tiba-tiba terjadi penurunan
kesadaran ketika sedang beraktivitas lima
belas menit sebeumnya. Pasien mengeluh nyeri
kepala hebat, pusing, mual dan muntah dan
terjadi kejang. Ditemukan lucid interval. Pasien
terjatuh di kamar mandi oleh karena pingsan, dan
sempat sadar 5 menit setelah itu. Tidak dijumpai
adanya riwayat cedera kepala. Segera dilakukan
resusitasi ABCDE neuronestesi dan dilakukan
pemeriksaan head CT-scan didapatkan gambaran
epidural hemorrhage (EDH) temporoparietal
dextra sebesar lebih kurang 50 cc dan midline
shift lebih dari 5 mm. Kemudian dilakukan
kraniektomi evakuasi EDH cito. Beberapa jam
setelah kraniektomi terjadi gejolak hemodinamik
dan segera dilakukan head CT-scan ulang.
Didapatkan gambaran epidural hemorrhage
temporoparietal dextra dan segera dilakukan redo
kraniektomi.

Anamnesa
Pasien mengeluh nyeri pada kedua tungkai bila
beraktivitas sejak 2 minggu terakhir dan memberat
sejak kedua tungkainya membengkak 10 hari
terakhir sebelum terjadi penurunan kesadaran.
Dari bagian Penyakit Dalam pasien didiagnosa
dengan DVT dan vaskulitis vena saphena magna
dextra dan sinistra dan diterapi dengan obat
metilprednisolon 1 mg/kg BB, antikoagulan
rivaroxaban 2x15 mg (sudah dimakan selama 3
hari), fibrinolitik lumbrokinase dan antiplatelet
clopidogrel 75 mg masing-masing baru satu
kali dimakan. Walaupun terasa nyeri pada kedua
tungkai pasien masih bisa beraktivitas seperti
biasa. Penyakit penyerta lainnya disangkal oleh
pasien. Riwayat cedera kepala tidak dijumpai.
Ditengah sedang beraktivitas pasien mengeluh
nyeri kepala hebat secara tiba-tiba, pusing,
mual, muntah dan kejang kemudian penurunan
kesadaran mendadak.

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran awal komposmentis, mengeluh
nyeri kepala hebat, pusing, mual dan muntah
sebanyak 5 kali, tekanan darah 200/100 mmHg,
laju nadi 120 x/menit, berangsur-angsur turun
tekanan darah 180/100 mmHg, dan pada 5 menit
kemudian tekanan darah 160/90 mmHg pasien
kejang dan kesadaran menurun menjadi GCS 9
(E2M5V2). Pupil anisokor 4 mm/1mm. Reflek
cahaya melambat. Kedua tungkai bawah terlihat
bengkak dan adanya banyak petechie. Setelah
terjadi penurunan kesadaran tekanan darah
200/100 mmHg, laju nadi 130 x /menit. Kemudian
dilakukan resusitasi sesuai ABCDE neuroanestesi
dan tekanan darah 130/70 mmHg. Laju nadi
100 x/menit suhu 360C, saturasi oksigen 99%.


Pengelolaan Anestesi
Penatalaksanaan preoperatif dengan melakukan
resusitasi segera ketika terjadi kegawatan
kenaikan tekanan intrakranial secara tibatiba.
Ketika pasien mulai mengeluh sakit
kepala, pusing, mual dan muntah pasien segera
dibaringkan dengan posisi head up 30o dan
diberi oksigen nasal kanul 2 liter per menit dan
dipasang infus. Tekanan darah awal didapatkan
200/100 mmHg dan laju nadi 120 x/menit, dan
berangsur menurun tekanan darah menjadi 180/100 mmHg dan turun kembali menjadi
160/90 mmHg setelah dibaringkan dengan posisi
head up 30o. Setelah sekitar 15 menit kemudian
pasien kejang dan terjadi penurunan kesadaran
secara mendadak menjadi GCS 5 E1M3V1 dan
pupil anisokor 4 mm/1 mm dengan reflek cahaya
lambat. Kemudian dilakukan resusitasi ABCDE
secara neuroanestesi. Intubasi dengan midazolam
5 mg, fentanyl 100 mikrogram, propofol 80 mg
dan rocuronium 50 mg. Setelah intubasi keadaan
hemodinamik stabil tekanan darah 130/90 mm
Hg (heart rate/HR) laju nadi 100 x/menit dan
dilakukan pemeriksaan head CT-scan. Dari hasil
head CT-scan didapatkan EDH temporoparietal
dextra sebanyak lebih kurang 50 cc dengan midline
shift lebih dari 5 mm. Kemudian segera dilakukan
kraniektomi evakuasi EDH. Pasien dimasukkan
ke kamar operasi dengan tetap terintubasi dan
kontrol pernafasan dan sedasi adekuat. Sebelum
dihubungkan dengan mesin anestesi pasien diberi
sedasi kembali dengan propofol 40 mg, fentanyl
50 mikrogram dan rocuronium 15 mg. Rumatan
anestesi dengan oksigen dan udara 4 L/menit
dan anestetika volatil sevofluran 0,5–0,8 vol%,
dikombinasi dengan dexmetomidine 6 cc (0,3 μg/
kg/per jam) dan fentanyl 300 mikrogram dalam
50 cc dijalankan 3 cc per jam (syringe pump) serta
relaksan rocuronium 4 cc per jam (syringe pump).
Hemodinamik selama operasi stabil dengan
tekanan darah sistolik 150–120 mmHg dan
diastolik 100-80 mmHg. Denyut jantung berkisar
antara 100–80 x/menit. etCO2 32–35. Operasi
dekompresi dan evakuasi EDH berlangsung
selama 1 jam 45 menit, total perdarahan kurang
lebih 400 cc dengan diuresis 800 ml per jam.
Total cairan intraoperatif kristaloid 1000 cc, PRC
250 cc, FFP 500 cc, cryo 500 cc.

Setelah selesai operasi pasien dipindahkan ke
ICU dengan perawatan bantuan ventilator modus
kontrol tidal volume 460 ml, RR 15 x/menit,
PEEP 5 dan FiO2 30%; dan disedasi adekuat
dengan dexmetomidine 6 cc/jam (syringe pump),
atracurium 30 mg /jam (syringe pump), fentanyl
300 mikrogram dalam 50 ml diberikan 3 cc/
jam (syringe pump). Selama di ICU pascabedah
dimonitor hemodinamik. Tekanan darah sistolik
170–140 mmHg, diastolik 90–80 mmHg dan HR
80–95 x/menit, etCO2 30–35 mmHg. Pupil isokor
3 mm/3mm dengan reflek cahaya positip. Terapi
medikamentosa di ICU diberikan antibiotik
meropenem 1 gr/8 jam, omeprazole 40 mg/12
jam, phenytoin 100 mg/ 8 jam, transamin 1 gr/8
jam dan obat semax 6 gtt/4 jam. Delapan jam
post operasi terjadi gejolak hemodinamik, HR
meningkat menjadi 130 x/menit, dan tekanan
darah meningkat hingga sistolik 200 mmHg dan
pupil menjadi anisokor 2 mm/1 mm dan otak
terkesan membengkak. Kemudian diputuskan untuk head CT-scan ulang dan didapatkan
EDH temporopariteal dextra sebanyak 80 cc
dan minimal ICH, dan segera dilakukan redo
craniectomy evakuasi EDH.

Pada operasi redo kraniektomi tehnik anestesi
dilakukan sama dengan operasi kraniektomi
sebelumnya. Dipakai kombinasi obat anestesi
intravena dan volatil sevoflurane. Hemodinamik
stabil selama operasi. Tekanan darah sistolik
antara 150–120 mmHg, diastolik 70–60 mmHg.
Pada intraoperatif terjadi rembesan perdarahan
aktif, dan sejawat bedah syaraf memberikan
Cofact (antitrombin III) 1000 IU. Operasi redo
craniectomy berjalan selama 2,5 jam dengan
perdarahan sekitar 700 cc. Total cairan yang
diberikan WB 350 cc, PRC 200 cc, kristaloid
1500 cc. Total diuresis 400 cc.

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase



Pengelolaan Pascaoperasi
Pasien dirawat di ruang perawatan intensif
dengan keadaan masih dalam sedasi adekuat
dan dengan bantuan ventilator modus kontrol
tidal volume 460 ml, RR 15 x/menit, PEEP 5
dan FiO2 30%; dan disedasi adekuat dengan
dexmetomidine 6 cc/jam, atracurium 30 mg /jam,
fentanyl 300 mikrogram dalam 50 ml diberikan
3 cc/jam. Cairan rumatan R Sol diberikan
sebanyak 3000 ml per 24 jam, serta dipantau
balans cairan. Selama di ICU pascabedah
dimonitor hemodinamik. Tekanan darah sistolik
140–120 mmHg, diastolik 70–60 mmHg dan HR
70-60 x/menit. etCO2 30–35 mmHg. Pupil isokor
3 mm/3mm dengan reflek cahaya positip. Suhu
36 0C afebris. Kemudian dilakukan pemeriksaan
laboratorium: Hb 7,70 g/dL, Ht 23,50%, Leukosit
11.000/mm3, trombosit 278.000/mm3, PT 16,7’’ (14,00’’), INR 1,2, APTT 31,5’’(34,0’’), TT
15,6’’(17,4’’). AGDA dengan ventilator modus
kontrol pH 7,500 pCO2 34,0 mmHg pO2 187.0
mmHg bikarbonat (HCO3) 26,5 mmol/L total
CO2 27,5 mmol/L BE 3,5 mmol/L dan saturasi O2
100%.





Perawatan Hari Pertama
Keadaan hemodinamik stabil tekanan darah
rerata sistolik 130–110 mmHg dan diastolik 90–
70 mmHg dan HR 70–60 x/menit, SpO2 99%, dan
suhu 36,5 0C. Keadaan pasien masih dalam sedasi
adekuat dan bantuan ventilator. Dengan diberikan
tambahan Cofact (antitrombin III) 1000 IU per
hari. Dan diberikan transfusi FFP 500 cc dan
PRC 250 cc. Diperiksa secara serial darah rutin,
untuk mendapatkan hematokrit sekitar 35% dan
diperiksa faal hemostasis sampai mencapai nilai
normal. Hasil laboratorium didapatkan Hb 9,60 g/
dL, Ht 28,40%, leukosit 13.420/mm3, trombosit
183.000/mm3, Na 135 mEq/L, K 3,7 mEq/L, Cl
106 mEq/L, protrombin 12,5’’ (13,5’’), INR 0,92,
antitrombin III 130,5% (normal 75–125).

Diperiksa thromboelastography (TEG), agregasi
trombosit dan didapatkan hasil akhirnya normal
aktivitas pembekuan, normal aktivitas fibrinogen,
normal fungsi platelet.

Terapi di perawatan intensif hampir sama
dengan sebelumnya. Analgetik diberikan dengan
paracetamol 1 gr/8 jam, terapi antibiotik diberikan
tambahan mikasin 1 gr/24 jam, dan semax 6
gtt/4 jam. Dari sejawat internist hematologist
diberikan terapi heparinisasi 500 IU per hari
dijalankan secara kontinyu 6 cc per jam, dan dari
sejawat bedah saraf diberikan terapi Cofact 1000
IU. Pasien disedasi dengan bantuan ventilator
selama masa pemulihan faktor pembekuan
darah dan hemoglobin normal. Dilakukan
pemeriksaan ulangan laboratorium kembali, dan
pada pemeriksaan kelima (H-I): Hb 9,90 g/dL, Ht
30,30%, leukosit 14.42 /mm3, Plt 197.000/mm3.
Analisa gas darah dengan ventilator modus
spontan pH 7,310, pCO2 33,0 mmHg, pO2 131.0
mmHg bikarbonat (HCO3) 16,6 mmol/L, total
CO2 17,6 mmol/L BE -8.7 mmol/L dan saturasi
O2 99%. Kadar gula darah ad random 141,80
mg/dL. Na 135 mEq/L, kalium 4,1 mEq/L,
klorida 105 mEq/L. Protrombin time 12,5 detik
INR 0,92. Pada H-1 pasien mulai disapih dari
ventilator secara bertahap dan dikurangi obat
sedasinya, sambil dipastikan semua faktor-faktor
ekstrakranial memenuhi syarat untuk ekstubasi.

Perawatan Hari Kedua
Pasien masih di perawatan intensif. Status
generalisata keadaan umum baik dengan tensi
120/80 mmHg, nadi 65 x/menit, SpO2 99%.
Frekuensi nafas 14–16 x/menit dengan O2 t-piece
5 liter permenit. Status neurologik pasien sudah
sadar penuh GCS 15 pupil isokor 3 mm/3mm, dan
dilakukan ekstubasi dan diberi O2 nasal kanul 2
liter permenit. Laboratorium pada keadaan nafas
spontan nasal kanul 2 liter per menit didapatkan
analisa gas darah pH 7,410, pCO2 33,0 mmHg, pO2
197.0 mmHg, bikarbonat (HCO3) 20,9 mmol/L,
total CO2 21,9 mmol/L, BE -3.3 mmol/L dan
saturasi O2 100%. Asam laktat arteri 0,9 mmol/L,
procalcitonin 0,08 ng/mL. Faal hemostasis masih
terus dipantau dan diperiksa ulang didapatkan
hasil Protrombin Time 12,9 detik (kontrol 14.00
detik); INR 0,92; apTT 41,5 detik (kontrol 34,0
detik); waktu trombin 13,6 (kontrol 16,7 detik).


Perawatan Hari Ketiga
Keadaan umum pasien baik, sadar baik, nafas
spontan dan sudah mulai asupan nutrisi oral.
Pasien dialih rawat ke ruangan rawat inap biasa.
Pascabedah pasien ditemukan adanya hemiparese
sinistra. Hal ini dialami selama kurang lebih
1,5 bulan, dan berangsur membaik dengan
fisiotherapi rutin, dan pasien mengaku masih
mengingat seluruh kejadian sebelum terjadinya
penurunan kesadaran. Di bulan ke-2 pasca
pembedahan kekuatan motorik pasien telah
kembali normal dan sudah dapat mengemudi
mobil manual sendiri dan hidup secara mandiri.
Di bulan ke-4 pasien telah dilakukan kranioplasti.
Pada bulan ke-5 pascabedah didapatkan
penilaian Glasgow Outcome Scale (GOS) skor
5 (interpretasi Good Recovery), dan penilaian
Extended Glasgow Outcome Scale (GOSE) skor
8 (interpretasi Upper Good Recovery) dan pada
penilaian Mini Mental State Exam (MMSE) skor
29 (interpretasi tidak ada gangguan kognitif).
Gejala sisa yang masih ada hingga saat ini (bulan
ke-5 pascabedah) terkadang masih ada klonus
sesekali pada kaki kiri dan tremor halus di tangan
kiri. Pasien masih merasakan kelemahan tangan
kiri bila memegang sesuatu barang dalam jangka
waktu lama lebih dari 30 menit. Namun hingga
saat ini pasien masih melakukan fisioterapi rutin


III. Pembahasan
Angka kejadian perdarahan intrakranial spontan
pada terapi antikoagulan dan antiplatelet oral
sangat tinggi yaitu 70%, dan umumnya 60% nya
adalah perdarahan intracerebral.5 Perdarahan
EDH spontan suatu hal yang tidak umum
dijumpai. Pada kasus ini terjadi perdarahan
EDH spontan non trauma. Dilaporkan hanya
19 kasus ditemukan sampai dengan tahun 2010
adanya perdarahan EDH spontan non trauma.
Berdasarkan penyakit yang mendasarinya kasus
tersebut dibagi menjadi tiga kategori yaitu
pertama karena adanya lokal infeksi pada daerah
kepala seperti sinusitis, infeksi telinga dan hidung.
Infeksi tersebut dapat merusak dinding pembuluh
darah meningen dan membentuk inflamasi, kedua
karena adanya keganasan pada ekstraduramater
sehingga merusak pembuluh darah meningen
itu sendiri, dan ketiga karena adanya kelainan kolagen pembuluh darah misalnya penyakit
systemic lupus erythematosus (SLE) atau pasien
dengan kelainan koagulopati.4

Adanya keluhan dan gejala kenaikan tekanan
intrakranial secara cepat perlu penanganan
resusitasi ABCDE neuroanestesi segera. Tujuan
resusitasi sesegera mungkin dilakukan untuk
menjaga tekanan perfusi otak (cerebral perfusion
pressure/CPP) tetap baik sehingga mencegah
terjadinya cedera otak sekunder.6,7,15 Keadaan
hipoksia, hiperkarbia, hipertensi, hipotensi,
hiperthermia, hiperglikemia, hipoglikemia,
mual, muntah, kejang semuanya harus dicegah
dan diterapi segera karena dapat menyebabkan
cedera otak sekunder. Pada pasien ini awalnya
terjadi gejolak hemodinamik, tekanan darah
meningkat (200/100 mmHg) yang merupakan
kompensasi tubuh dalam mempertahankan CPP.
Setelah diresusitasi pasien diintubasi, posisi head
up 300 dan disedasi maka hemodinamik relatif
normal. Namun penyebab tekanan intrakranial
yang meningkat ini adalah EDH spontan akut
terjadi karena terapi antikoagulan, fibrinolitik dan
antiplatelet yang mempunyai waktu paruh 12–17
jam maka reaksi obat tersebut masih menimbulkan
efek sehingga terjadi perdarahan EDH spontan
kembali pada daerah yang sama dan minimal
intracerebral hemmorrhage. Banyak laporan
kasus menyatakan bahwa adanya komplikasi
perdarahan spontan berulang pada bedah saraf
meningkat dengan adanya terapi antikoagulan
misalnya rivaroxaban.8 Terapi antikoagulan
oral tunggal saja bisa menyebabkan perdarahan
spontan, dan resiko perdarahan meningkat bila
dikombinasi dengan antiplatelet oral walaupun
dalam dosis yang lebih kecil.


Rivaroxaban lebih sensitif terhadap perubahan
pemanjangan masa protrombin (PT) dibanding
dabigartan dan tidak mmpunyai efek pemanjangan
waktu trombin.9 Pemberian kombinasi terapi
rivaroxaban yang merupakan inhibitor faktor Xa
bersama dengan clopidogel akan meningkatkan
resiko perdarahan pada orang yang sehat tanpa
menganggu farmakokinetik dan farmakodinamik
masing-masing obat tersebut.10 Pada intraoperatif
dan postoperatif redo craniotomi diberikan cofact
1000 IU untuk mencegah terjadinya perdarahan
kembali. Cofact yang merupakan prothrombin
complex mempunyai efek menurunkan nilai
INR.11 Pasien juga ditransfusi fresh frozen
plasma dan Cryopresipitate untuk mengatasi
gangguan koagulasi darah. Direkomendasikan
pada Guideline Blood Transfusion untuk
mengatasi perdarahan yang mengancam jiwa
untuk memberikan (prothrombin Complex/PCC)
50–100% faktor prothrombin complex dengan
1–2 ml/ kg BB





Tujuan terapi di ICU untuk pasien dengan
serebral akut adalah untuk memberikan kondisi
yang baik bagi pemulihan otak primer seraya
mencegah setiap kerusakan otak sekunder yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial, hipotensi atau hipertensi, hipoksemia
dan hiperkarbia. 6,12 Pascaoperasi pasien dirawat
di ICU dengan bantuan ventilator, posisi head up
300 dan sedasi adekuat untuk menjamin pasokan
oksigen ke otak dan mencegah terjadinya agitasi
yang bisa menyebabkan tekanan intrakranial
semakin meningkat. Posisi kepala netral dan
head up 15–300 dilakukan sebagai usaha
untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan
memperbaiki drainase vena serebral. Posisi ini
dapat memicu terjadinya hipotensi yang akan
dapat memperburuk perfusi yang sudah terganggu.
Melakukan ventilasi kendali mencegah hipoksia
dan mempertahankan keadaan normokapnea
bertujuan untuk megendalikan sementara aliran
darah otak sehingga dapat menurunkan TIK.

Sedasi adalah suatu bagian penting dari terapi
pasien dengan gangguan serebral, terutama yang
memerlukan ventilasi mekanis. Tujuan utama
sedasi adalah untuk fasilitasi pengobatan intensif,
terutama ventilasi mekanis; untuk kenyamanan
pasien dan mencegah peningkatan tekanan
intrakranial. Sedasi digunakan dexmedetomidine
6 cc/jam (0,3 mikro/kgBB/jam) yang mempunyai
efek menurunkan aliran darah otak dengan
vasokonstriksi otak dan menurunkan metabolisme
otak.11,13 Dexmedetomidine merupakan suatu
superselektif alpha2 adrenergik. Obat tersebut
mempunyai efek sedatif dan analgesia, dan
anesthesia sparing effect, menurunkan kebutuhan
obat anestesi intravena, anestetika inhalasi dan
narkotik analgetik. Dexmedetomidine dapat
menurunkan tekanan darah dan denyut jantung.
Efek sedasi tidak disertai dengan efek depresi
nafas oleh karena itulah dexmedetomidine
sangat berguna untuk sedasi analgesi pascabedah
dan pasien dirawat di ICU. Setelah beberapa
penelitian, dexmedetomidine telah disetujui
di Amerika pada tahun 1999 dan telah
digunakan untuk analgesia dan sedasi di ICU.
Dexmedetomidine juga mempunyai efek proteksi
otak.12 Efek neuroproteksi otak disebabkan
karena menghambat iskemia yang diakibatkan
pelepasan norepinefrin karena dexmedetomidine
menurunkan level norepinefrin saat bangun dari
anestesi. Dexmedetomidine mencegah kematian
sel neuron setelah iskemia fokal dan daerah yang
mengalami iskemik turun 40% dibandingkan dengan plasebo. Dexmedetomidine mempertinggi pembuangan glutamin melalui metabolisme
oksidatif pada astrosit. Alpha 2 agonists
menurunkan konsumsi oksigen perioperatif.19,20
Pada pasien ini analgetik diberikan fentanyl
secara kontinyu 0,2 mikro/kgBB/jam
dikombinasi dengan dexmedetomidine sehingga
menghasilkan sedasi adekuat.11 Analisa gas darah
pasien diperiksa secara berkala untuk mencegah
terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia.13




Pasien ditransfusi dengan PRC dan WB sampai
mencapai Hb sekitar 10 gr/dL. Hemoglobin
dipertahankan sekitar 10 g/dL untuk menjamin
hematokrit minimal 35% oleh karena hematokrit
mempengaruhi aliran darah otak secara nyata.
Nilai hematokrit 35%–50% akan menjamin
pasokan oksigen. Pada nilai yang lebih tinggi
akan menaikkan kapasitas oksigen dengan
kenaikan kekentalan darah dan menurunkan
aliran darah ke otak. Pada hematokrit di bawah
35% akan menurunkan kapasitas pengangkutan
oksigen dan terjadi penurunan kekentalan darah
dan menaikkan aliran darah ke otak.14 Isovolemik
atau hemodilusi hipervolemia (hematokrit
33%) menunjukkan aliran darah otak tanpa
ada gangguan penghantaran oksigen.15 Pasien
diberikan paracetamol 1 gr/8jam sebagai analgetik
dan juga untuk menjaga suhu normal. Suhu juga
dipertahankan tetap normal bahkan lebih baik
di bawah normal. Penurunan temperatur tubuh
akan memperlambat metabolisme serebral. Hal
ini berarti menurunkan aliran darah otak.14 Sejak
pascaoperasi (H–0) pada pasien ini diberikan
juga semax nasal drops 6 gtt/4 jam sebagai
neuroprotektif. Semax (H-Met-Glu-His-Phe-
Pro-Gly-Pro-OH) adalah sintetis analog dari
adrenocorticotropic hormone 4-10 fragmen
(ACTH4-10). Salah satu komponen penting
dalam cedera kepala adalah kematian sel
saraf akibat apoptosis. Peranan semax sebagai
ACTH 4–10Pro8Gly9Pro10 merupakan salah
satu neuroprotektor diketahui menghambat
jalur apoptosis. Semax tersebut mempunyai
efek neuroprotectif dan nootropic sehingga
banyak dipakai di klinis untuk terapi penyakit-penyakit sistem syaraf pusat (stroke iskemik,
dyscirculatory encephalopathy, atrophi nervus
opticus dan lain-lain). Banyak penelitian yang
menyatakan keberhasilan dari pemberian semax
ini.16 Setelah 12 jam pasca operasi redo craniotomi
oleh sejawat internist hematologi diberikan
terapi heparin dengan dosis kecil 500 IU per hari
diberikan secara kontinyu untuk penanganan
DVT dengan monitoring ketat agar tidak terjadi
komplikasi perdarahan pascaoperasi.18


Setelah faktor-faktor yang mengancam telah
teratasi dengan baik maka segera dilakukan
penyapihan dari ventilator. Pada pasien ini faktorfaktor
tersebut adanya ancaman perdarahan
kembali karena terganggunya koagulasi darah.
Pasien dilakukan proses penyapihan pada hari
H-1 post operasi redo craniotomi dan diekstubasi
pada H-II pagi hari setelah pasien sadar baik.
Namun pasien mendapatkan sequele hemiparese
sinistra akibat perdarahan intraserebral minimal
dan bersifat sementara, dan kembali berangsur
pulih dengan resorbsi perdarahan intraserebral
dan fisioterapi rutin juga relatif tidak didapatkan
gangguan kognitif yang dinilai secara GOS,
GOSE, dan MMSE pada bulan ke-5 pasca
pembedahan.


IV. Simpulan
Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan
intrakranial spontan akibat komplikasi terapi
antikoagulan rivaroxaban, lumbrokinase dan
antiplatelet clopidogrel meliputi preoperasi,
intraoperasi dan pascaoperasi. Preoperasi dengan
penanganan resusitasi segera akan mendapatkan
outcome yang baik. Penanganan di ICU juga
dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Good
team, good work.

Daftar Pustaka
1. Mark l, Gary R. Hemmorrhagic complications
of anticoagulant treatment. CHEST
2001,119:1088.
2. Athanios P, Stamatis M. Gastrointestinal
bleeding in patients receiving antiplatelet and
anticoagulant therapy. Hellenic J. Cardiology
2014,55:499.

3. Arne L, Waltrand P. Intracerebral hemorrhage
associated with antithrombotic treatment.
Lancet Neurology 2013 April, 12(4):394.
4. Rajput D, Kamboj R. Is management of
spontaneus intracranial extradural hematoma
in chronic renal failure is different with
traumatic extradural hematoma. Indian
Journal Neurotrauma 2010,7 (1):81–4.
5. Robert G, Bradley S. Oral anticoagulant
and intracranial hemorrhages. Stroke AHA
Journal 1995;26:1471
6. Stutz H, Charchaflieh J. Postoperative
and intensive care including head injury
and multisystem sequelae. Dalam: Cotrell
J, Young W, eds. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2010, 410–12.
7. Murthy T, Bhatia P. Secondary brain injury
prevention and intensive care management.
Indian Journal of Neurotrauma; 2005,2
(1),7–12.
8. Garber S, Sivakumar W. Neurosurgical
complications of direct thrombin inhibitor
catastrophic hemmorrhage after mild
traumatic brain injury in a patient receiving
dabigatran. J. Neurosurgery 2012, 1–4
9. Kaatz, Kaudes PA, Garca DA, Spyropolous
AC, Crowther M, Doukteis JD, et al. Guidance
of the emergent reversal of oral thrombin and
factor Xa inhibitors. Am J Hematology 2012;
87: S 141–2145
10. Dagmar K, Michael B. Effect coadministration
of rivaroxaban and clopidogrel
on bleeding time, pharmacodynamics
and pharmacokinetics, a phase 1 study,
Pharmaceuticals 2012, 5, 279–96
11. Roodhevel F, Ligtenberg. INR reduction
after prothrombin complex concentrate (Cofact)
administration comparison of INR
outcomes in different patient categories at the
emergency department. Internasional Journal
103
of Emergency Medicine 2013, 6:14,1–4.
12. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan
Critical Care: Cedera Otak Traumatik. edisi
1, Bandung: Fakultas Kedokteran Unversitas
Padjadjaran; 2012, 242–53.
13. Layon J, Gabrielli A. Elevated intracranial
pressure. Dalam: Textbook of Neurointensive
Care. Philadelphia: Saunders; 2004, 715–19.
14. Petrozza P, Prough D. Postoperative and
intensive care. Dalam: Cotrell JE, Smith
D, eds. Anesthesia and Neurosurgery.
Philadelphia: Mosby; 2001, 624–41.
15. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi 2,
Bandung: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK Unpad; 2011, 8-9.
16. Kolomin T, Shadrina M. A new generation
of drugs syntetic peptides based on naturally
regulatory peptides. Neuroscience and
Medicine Journal 2013;4: 223–52.
17. Lam A, Winn H. Management of acute head
injury. Dalam: Albin M, eds Textbook of
Neuroanesthesia with Neurosurgical and
Neuroscience Perspectives, USA: McGraw
Hill;1997, 1138–40.
18. Scales D, Cambrin J. Prophylactic
anticoagulati on to prevent venous
thromboembolism in traumatic intracranial
hemmorrhage, a decision analysis. Biomed
Central: Critical Care 2010, 2–10
19. Bloor BC, Ward DS, Belleville JP, Maze
M. Effect of intravenous dexmedetomidine
in humans, hemodynamics changes.
Anesthesiology 1992; 77: 1134–42
20. Villela NR, Nascimento P. Dexmedetomidine
in anesthesioloy. Rev Bras Anesthesiology
2003;53(1):97–1133. Arne L, Waltrand P. Intracerebral hemorrhage
associated with antithrombotic treatment.
Lancet Neurology 2013 April, 12(4):394.
4. Rajput D, Kamboj R. Is management of
spontaneus intracranial extradural hematoma
in chronic renal failure is different with
traumatic extradural hematoma. Indian
Journal Neurotrauma 2010,7 (1):81–4.
5. Robert G, Bradley S. Oral anticoagulant
and intracranial hemorrhages. Stroke AHA
Journal 1995;26:1471
6. Stutz H, Charchaflieh J. Postoperative
and intensive care including head injury
and multisystem sequelae. Dalam: Cotrell
J, Young W, eds. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2010, 410–12.
7. Murthy T, Bhatia P. Secondary brain injury
prevention and intensive care management.
Indian Journal of Neurotrauma; 2005,2
(1),7–12.
8. Garber S, Sivakumar W. Neurosurgical
complications of direct thrombin inhibitor
catastrophic hemmorrhage after mild
traumatic brain injury in a patient receiving
dabigatran. J. Neurosurgery 2012, 1–4
9. Kaatz, Kaudes PA, Garca DA, Spyropolous
AC, Crowther M, Doukteis JD, et al. Guidance
of the emergent reversal of oral thrombin and
factor Xa inhibitors. Am J Hematology 2012;
87: S 141–2145
10. Dagmar K, Michael B. Effect coadministration
of rivaroxaban and clopidogrel
on bleeding time, pharmacodynamics
and pharmacokinetics, a phase 1 study,
Pharmaceuticals 2012, 5, 279–96
11. Roodhevel F, Ligtenberg. INR reduction
after prothrombin complex concentrate (Cofact)
administration comparison of INR
outcomes in different patient categories at the
emergency department. Internasional Journal
103
of Emergency Medicine 2013, 6:14,1–4.
12. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan
Critical Care: Cedera Otak Traumatik. edisi
1, Bandung: Fakultas Kedokteran Unversitas
Padjadjaran; 2012, 242–53.
13. Layon J, Gabrielli A. Elevated intracranial
pressure. Dalam: Textbook of Neurointensive
Care. Philadelphia: Saunders; 2004, 715–19.
14. Petrozza P, Prough D. Postoperative and
intensive care. Dalam: Cotrell JE, Smith
D, eds. Anesthesia and Neurosurgery.
Philadelphia: Mosby; 2001, 624–41.
15. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi 2,
Bandung: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK Unpad; 2011, 8-9.
16. Kolomin T, Shadrina M. A new generation
of drugs syntetic peptides based on naturally
regulatory peptides. Neuroscience and
Medicine Journal 2013;4: 223–52.
17. Lam A, Winn H. Management of acute head
injury. Dalam: Albin M, eds Textbook of
Neuroanesthesia with Neurosurgical and
Neuroscience Perspectives, USA: McGraw
Hill;1997, 1138–40.
18. Scales D, Cambrin J. Prophylactic
anticoagulati on to prevent venous
thromboembolism in traumatic intracranial
hemmorrhage, a decision analysis. Biomed
Central: Critical Care 2010, 2–10
19. Bloor BC, Ward DS, Belleville JP, Maze
M. Effect of intravenous dexmedetomidine
in humans, hemodynamics changes.
Anesthesiology 1992; 77: 1134–42
20. Villela NR, Nascimento P. Dexmedetomidine
in anesthesioloy. Rev Bras Anesthesiology
2003;53(1):97–113

TIVA PADA KRANIOTOMI PENGANGKATAN MENINGIOMA RESIDIF

TIVA PADA KRANIOTOMI PENGANGKATAN MENINGIOMA RESIDIF
TIVA FOR CRAINOTOMY RECIDIVE MENINGIOMA REMOVAL


Abstract
Meningiomas are brain tumors that are very likely to bleed from the meninges and spinal cord tissue, brain tissue does not grow out of. Meningiomas usually grow into that causes pressure on the brain and spinal cord, but also grew out towards the skull, resulting in thickening of the skull. Meningioma not always require immediate treatment. Signs and symptoms of meningioma is usually gradual but sometimes require emergency action. At the beginning of obscure symptoms, depending on the tumor location. Symptoms such as double vision / blurred, headache, hearing loss, loss of memory, seizures, weakness of the arms and legs. In these patients the first surgery 2 years ago as an atypical meningioma (WHO grade II as meningiomas) where growth is slightly more aggressive than grade I and a slightly higher risk of becoming residif. Now repeat surgery.
Case reports: A man aged 68 years, weight 67 kg who complained of dizziness and the same complaint two years ago. On physical examination, GCS 15 (E4M6V5), blood pressure 110/80 mmHg, heart rate 80 times / minute, respiratory rate 16 times / minute, temperature 36.80 C. On examination MSCT Angio circle of Willies / Cerebral, an impression: the size of 49x42x47 mm left ditemporal perifokal accompanied by cerebral edema with midline shift to the right about 12 mm.
Do the management of anesthesia with propofol TIVA, dexmedetomidine, fentanyl, ventilation controls with vecuronium, lasts 10 hours on a meningioma tumor removal surgery a second. In this operation the tumor can not be removed completely due to bleeding. Post-operative care in the ICU with the help of mechanical ventilation and the patient died after being treated for 7 days.
Key words: meningiomas, TIVA, brain protection, craniotomy.
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Meningioma adalah tumor otak yang sangat mudah berdarah yang berasal dari jaringan meningen dan medulla spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Meningioma umumnya tumbuh ke dalam yang menyebabkan tekanan pada otak dan medulla spinalis, tetapi juga tumbuh keluar ke arah tulang tengkorak, sehingga terjadi penebalan tulang tengkorak. Meningioma tidak selalu memerlukan pengobatan segera. Tanda dan gejala meningioma biasanya secara bertahap, tetapi kadang-kadang memerlukan tindakan emergency. Pada permulaan tidak jelas gejalanya, tergantung pada lokasi tumor. Gejala berupa penglihatan double/kabur, sakit kepala, pendengaran berkurang, hilang memori, kejang, lemah pada lengan dan kaki. Pada pasien ini operasi pertama 2 tahun yang lalu sebagai meningioma atipikal (menurut WHO sebagai meningioma derajat II) dimana pertumbuhannya sedikit lebih agresif daripada derajat I dan sedikit lebih tinggi risiko menjadi residif. Sekarang dilakukan operasi ulangan.
Laporan kasus: Seorang laki-laki usia 68 tahun, BB 67 kg yang mengeluh pusing dan sakit kepala, sama dengan 2 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik GCS 15 (E4M6V5), tekanan darah 110/80 mmHg, laju jantung 80 x/menit, laju nafas 16 x/menit, suhu 36,8⁰ C. Pada pemeriksaan MSCT angio circle of Willies/Cerebral, kesan: masa ditemporal kiri ukuran 49x42x47 mm disertai perifokal edema serebri dengan midline shift ke kanan sekitar 12 mm.
Dilakukan penatalaksanaan anestesi dengan TIVA menggunakan propofol, deksmedetomidin, fentanyl, ventilasi kontrol dengan vekuronium, berlangsung 10 jam pada pengangkatan tumor meningioma operasi yang kedua. Pada operasi ini tumor tidak bisa diangkat seluruhnya karena mengalami perdarahan. Post operasi perawatan di ICU dengan bantuan ventilasi mekanik dan pasien meninggal setelah dirawat selama 7 hari.
Kata kunci: meningioma, TIVA, proteksi otak, kraniotomi.



Betty Roosiati *), Dyah Yarlitasari **), Sofyan Harahap ***), Sri Rahardjo ****) *) RS Karya Media I Cibitung Bekasi **) Eka Hospital Tangerang ***) RS Dr. Kariyadi, Universitas Diponegoro-Semarang ****) RS Sardjito, Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta



I. Pendahuluan
Teknik anestesi inhalasi telah diterima secara luas pada tata laksana bedah saraf, namun hal ini dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskular khususnya resistensi pembuluh darah otak, sehingga menyebabkan meningkatnya aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Pada kasus dengan kenaikan tekanan intrakranial, teknik anesthesi inhalasi akan membuat tekanan intrakranial lebih tinggi sehingga menurunkan tekanan perfusi serebral, menaikkan risiko terjadinya iskemik serebral yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak (brain damage).

Teknik Total intravenous anesthesia (TIVA) menggunakan propofol/deksmedetomidin dan obat-obat analgetik (remifentanil atau fentanyl), dapat menurunkan aliran darah otak, penurunan tekanan intrakranial, terpeliharanya tekanan perfusi otak serta penurunan CMRO2 yang dikenal sebagai “Coupling Flow Metabolism” sehingga dapat melindungi jaringan otak dari kerusakan1.

II. Kasus
Laki-laki berusia 68 tahun dengan berat badan 77 kg. Anamnesis: pasien mengeluh pusing dan sakit kepala sama dengan operasi 2 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik: keadaan umum GCS 15 (E4M6V5), pre operasi tekanan intrakranial normal atau sedikit naik, tidak ada tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat misalnya sakit kepala (khas postural headache, pasien bangun pada malam hari), mual, muntah, pandangan kabur, somnolen, edema papil, sampai penurunan kesadaran dan depresi nafas. Tekanan darah 110/80 mmHg, laju jantung 80 x/menit, laju nafas 16 x/menit, suhu 36,8⁰ C. Pasien mendapat injeksi deksametason 4x5mg/hari selama 5 hari.

A. Pemeriksaan penunjang:
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium

No Pemeriksaan Keterangan 1 Hb 15,2 g/dl 2 Ht 47 % 3 Leukosit 9.200 /mm3 4 Eritrosit 6,6 106 /UL 5 APTT(P) 38,3 detik 6 APTT(C) 33 detik 7 Tes fungsi ginjal  Ureum 28 mg/dl  Kreatinin 1,1 mg/dl 8 Tes fungsi hati  AST 26 μ/l  ALT 35 μ/l  Gamma GT 133 μ/l








(Keterangan : Pemeriksaan laboratorium jumlah eritrosit dan gamma GT sedikit lebih tinggi, elektrolit kalsium sedikit lebih rendah, GD 2 jam pp sedikit meninggi, HDL kolesterol rendah).
Foto torak : kardiomegali disertai kongestif pulmonum.
Eko kardiografi : dilatasi atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri, regurgitasi mitral ringan, fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan baik.
MSCT : kesan: masa ditemporal kiri 49x42x47 mm disertai perifokal edema serebri dengan midline shift ke kanan 12 mm.



Gambar 1. MSCT angio circle of Willies/cerebral.


B. Penatalaksanaan anestesi
Koinduksi : midazolam 5 mg, intravena.
Induksi : fentanyl 50 mcg
: propofol 100 mg
Intubasi : ETT nomor 8 (non-kinking) difasilitasi vecuronium 8 mg intravena.
Pemeliharaan anestesi
Ventilator : TV 8 ml/kg BB, RR 12 x/menit, I:E=1:2, PCO2 + 32 mmHg; O2 : air = 1 l/menit : 1 l/menit
Propofol : 2 – 3 mg/kg BB/jam
Vecuronium : 0,06 mg/kg BB/jam
Fentanyl : 1 mcg/kg BB/jam
Dexmedetomidine : 0,1 – 0,2 mcg/kg
BB/jam

Grafik Pantauan Hemodinamik
























Grafik pantauan Hemodinamik: tekanan darah, laju nadi, SpO2 dan MAP.


(Keterangan : Tekanan darah berkisar 110/60-180/100 mmHg. Laju nadi berkisar 50-70 x/menit). Pada awal awal setelah intubasi, tekanan darah meningkat kemungkinan karena dosis obat belum mencukupi.
Operasi berjalan selama 10 jam 20 menit, tumor tidak diangkat seluruhnya karena mengalami perdarahan.
Tabel 2. Jumlah Cairan Masuk dan Keluar










(Keterangan : Cairan yang masuk berupa cairan isotonik, koloid, darah, FFP dan diuretik. Cairan yang keluar dari perdarahan dan urine).

C. Perawatan post operasi (di ICU dengan ventilasi kontrol).
Hari 1 : Hemodinamik labil, tekanan darah 84/46 -142/72 mmHg dengan dopamin, norepinefrin. Hb post operasi 2 g% kemudian diberi Transfusi WB 1000 ml, FFP 356 ml. Hb post transfusi Hb 11g%.
MSCT Head Non Contrast. Kesan: ICH difrontal kiri dan pneumosefalus disertai edema serebri berat. DD: global hipoksik dengan midline shift ke kanan sekitar 16 mm. IVH: disertai hidrosefalus obstruktif. SAH : mengisi fissura interhemisfer. Defek post kraniotomi ditemporal kiri sekitar 7 – 8 cm disertai hematom ekstrakranial disekitarnya.
Hari 2 : Tekanan darah 124/78 – 142/78 mmHg, dopamin, norepinefrin dihentikan, pupil mulai dilatasi, refleks cahaya negatif ( - ).
Hari 3-7 : Pupil makin melebar dan pasien meninggal pada hari ke–7.


III. Pembahasan
Penatalaksanaan anestesi umum:
Pemeriksaan pre operasi: Menentukan strategi anestesi untuk operasi bedah saraf, berdasar pada pengetahuan secara menyeluruh dalam neurologi, bedah saraf dan anestesi. Menilai status pisik pasien keadaan umum pasien dan rencana anestesi (mempersiapkan obat, alat dan teknik anestesi yang akan dipergunakan pada kasus tersebut, pencegahan dan penanganan terhadap risiko maupun komplikasi anestesi-pembedahan yang mungkin terjadi, serta inform consent2 mengingat pasien geriatrik dengan residif meningioma beresiko besar terjadinya perdarahan perioperatif.
Status neurologi pasien: Pemeriksaan minimal meliputi penilaian status mental dibandingkan dengan kemampuan pasien untuk mengikuti perintah, derajat orientasi ada tidaknya gangguan bicara dan glasgow coma scale score. Medikasi yang didapat pasien dan sudah diberikan berapa lama ini penting, karena medikasi dapat mempengaruhi elastisitas intrakranial, perfusi dan cadangan, akibat farmakokinetik dan farmadinamik obat-obat anestesi. Dengan CT scan atau MRI dapat diketahui ukuran dan lokasi dari tumor. Kenaikan tekanan intrakranial dapat diketahui dari gejala-gejala misalnya yaitu sakit kepala (khas postural headache, pasien bangun pada malam hari), mual, muntah, pandangan kabur, somnolen, edema papil, sampai penurunan kesadaran dan depresi nafas. Dengan CT scan dan MRI dapat dilihat adanya midline shift lebih dari 5 mm, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel (pembesaran dalam kasus hidrosefalus) dan edema (adanya daerah hipodensitas)2.
Tulang tengkorak merupakan bagian yang keras, sedangkan rongganya berisi 3 komponen yaitu : jaringan otak (80% /1400ml), darah (10% /150ml) dan cairan serebrospinal (10% /150ml). Dalam keadaan normal komponen komponen ini dalam keseimbangan yang dinamis jika kenaikan volume dari salah satu komponen maka akan dikompensasi dengan penurunan volume komponen yang lain supaya tidak terjadi kenaikan tekanan intrakranial (hipotesis Monro-Kellie) mekanisme kompensasi berupa perpindahan cairan serebrospinalis kearah rongga spinal, peningkatan reabsorbsi cairan serebrospinal, dan kompresi sinusvenosus. Meka-nisme ini akan menurunkan volume cairan intrakranial2.


Gambar 2. Kurva hubungan tekanan intrakranial dan volume.
Derajat 1-2 : fase kompensasi. Bila ada kenaikan volume salah satu komponen maka volume kom-ponen yang lain akan menurun sehingga tekanan intrakranial tetap konstan. Derajat 3-4 : fase dekompensasi. Ketika fase kompensasi terlampaui dengan sedikit kenaikan volume komponen intrakranial akan menyebabkan kenaikan yang tinggi dari tekanan intrakranial. Kemiringan kurva tergantung pada komponen yang volumenya meningkat. Peningkatan volume darah, cairan serebrospinalis atau keduanya maka daya kompresinya kurang bagus dan kemiringannya lebih tajam. Peningkatan volume jaringan otak, misal tumor, kemiringannya kurve lebih landai dan lebih dapat dikompresi2. Kenaikan volume intrakranial menyebabkan hipertensi intrakranial kenaikan tekanan intrakranial dan edema otak. Adanya hipertensi intrakranial perioperatif beresiko terjadinya kenaikan tekanan intrakranial3. Pengobatan pre operasi untuk edema otak dengan steroid, tujuannya mengurangi hipertensi intra-kranial perioperatif dan menurunkan TIK. Pada pasien ini GCS 15, pemeriksaan MSCT; masa ditemporal kiri 49x42x47 mm disertai perifokal edema serebri dengan midline shift 12 mm ke kanan menunjukan adanya kenaikan TIK sesuai kurva tersebut.






Auto regulasi aliran darah otak: untuk tekanan perfusi serebral nilainya antara 50-150mmHg. Aliran darah otak dipelihara pada 50ml/100g/menit (MAP). Ada hubungan linear antara PaCO2 (20-80mmHg), dan aliran darah otak (....PaCO2). hipoksemia akan meningkatkan aliran darah otak dan hiperoksia akan menurunkan aliran darah otak (...PaO2). Jika tekanan arteri tetap konstan, aliran darah otak akan menurun ketika tekanan intrakranial meningkat (-.- ICP)3.
Keadaan umum pasien: Kardiovaskular dan fungsi respirasi penting sebab perfusi otak dan oksigenasi tergantung fungsi kardio-respirasi yang harus optimalkan pada pre operasi. Patologi intra-kranial sendiri akan mengganggu fungsi kardio-vaskular (misal efek dari kenaikan tekanan intra-kranial pada konduksi jantung). Operasi pada meningioma residif, metastasis, dapat menyebab-kan perdarahan yang signifikan, pencetus hipo-volemik, hipotensi, anemia akut yang menurunkan CDO2 (Cerebral Delivery Oxygen).
Proteksi otak dilakukan dengan metode dasar termasuk pengendalian jalan nafas, adekuat oksigenasi, pencegahan hiperkarbia, pengendalian tekanan darah, pengendalian tekanan intrakranial, pemeliharaan tekanan perfusi otak, dan pengen-dalian kejang, serta farmakologik dengan obat-obat yang diperkirakan mempunyai efek proteksi otak (propofol, Deksmedetomidin). Cara lain dengan hipotermi, kombinasi farmakologik dan hipotermi tidak dilakukan. Dilakukan hiperventilasi ringan untuk mengontrol tekanan intrakranial, aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan otak. Kepala ditinggikan atau posisi duduk akan membantu fungsi respirasi dan sistem kardiovaskular3.
Rencana Anestesi: Meningioma dapat tumbuh besar tanpa gejala neurologik (silent area). Ukuran, lokasi, tipe tumor menentukan dalam pemilihan tehnik anestesi bedah saraf. Atipikal tumor meru-pakan 10-20% dari meningioma, terdiri dari proliferasi sel yang tumbuhnya lebih cepat dan kemungkinan untuk tumbuh kembali sesudah pengobatan bahkan sesudah reseksi yang komplit4. Operasi pada meningioma residif, eksisi menye-luruh beresiko terjadinya perdarahan signifikan dari struktur sekitar dan meningiomanya sendiri karena peningkatan vaskularisasi yang meningkatkan aliran darah otak serta menyulitkan pelaksanaan operasi. Kenaikan TIK membutuhkan penurunan maksimal untuk memudahkan operasi.3 Pemilihan tehnik anestesi TIVA bertujuan menurunkan ADO, menurunkan TIK, CMRO2 serta mengurangi perdarahan akibat vasodilatasi.

Penentuan dan teknik anestesi:
Akses vaskular: dengan pertimbangan risiko perdarahan dan emboli udara pada vena, diperlukan untuk monitor hemodinamik dan metabolik, juga infusi zat vasoaktif atau zat lainnya. Antisipasi terhadap perdarahan: persiapan CVP, IV line 2-3 jalur, three way, arteri line, persiapan darah.
Resusitasi cairan: dengan tujuan normovolemia dan normotensi hindari cairan hipoosmolar (misal cairan ringer laktat), cairan yang berisi glukosa untuk mencegah hiperglikemia yang akan memperburuk iskemia serebri.
Ventilasi: Ventilasi kendali dengan tujuan hipokapnia ringan, hiperoksia ringan, dan tekanan intratorakal yang rendah (untuk memperbaiki Cerebral venous return)3.
Persiapan pre operasi:
Premedikasi: Pada pasien tumor serebri tanpa gejala kenaikan tekanan intrakranial (tidak ada shift, dll) dapat diberikan dosis kecil dari benzodiazepine dengan tujuan sedasi tanpa depresi untuk mengurangi kecemasan. Sedasi diperlukan untuk menghindari stres (kenaikan kecepatan metabolisme otak, aliran darah otak), hipertensi (kenaikan aliran darah otak), edema vasogenik dan autoregulasi yang memburuk. Sedasi dalam berisiko terjadinya hiperkapnia, hipoksemia, obstruksi parsial saluran nafas bagian atas, menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Analgesi dan sedasi pasien geriatric (midazolam 0,5-2 mg dan atau fentanyl 50-100 mcg atau sufentanil 5-20 mcg) diberikan dosis kecil, titrasi dan pengawasan dokter anestesi membantu menurunkan tingkat kecemasan dan bila diperlukan bisa diberikan bantuan pernafasan3.
Steroid diberikan sampai pagi hari waktu operasi (metylprednisolon atau deksametason). Pemberian histamin (H2) blockers dan zat gastrik prokinetik diperlukan untuk mengantisipasi penurunan pengo-songan lambung dan sekresi asam yang meningkat oleh karena kenaikan tekanan intrakranial dan terapi steroid, terutama pada pasien dengan kelumpuhan saraf (IX, X) yaitu “Gag Reflex’s” yang menurun. Obat-obatan lain: antikonvulsan, antihipertnesi, dan obat-obat jantung diteruskan pemberiannya walau dapat terjadi interaksi dengan fenytoin. Antikonvulsan terapi dengan fenytoin dosis 15 mg/kg BB diberikan lebih dari 30 menit, ini membantu kontrol hemodinamik pada akhir operasi3.
Mekanisme kortikosteroid pada edema serebri yaitu: inhibisi fosfolipase A2 merupakan enzim dari kaskade asam arakhidonat, stabilisasi membran lisosom dan memperbaiki mikrosirkulasi peritumor. Efek kortikosteroid untuk menurunkan edema serebri berlangsung cepat : penurunan pada permeabel kapiler yang akan terlihat satu jam sesudah dosis single kortikosteroid. Ukuran tumor dapat menurun 15% sesudah pengobatan kortikosteroid. Umumnya digunakan deksametason dan 6 kali lebih kuat dibanding prednison (20 mg deksametason sama dengan 130 mg prednison)5.
Monitoring:
Monitoring hemodinamik untuk menilai CDO2 dan adanya iskemia serebral yang ketat merupakan dasar pada operasi bedah saraf dapat berupa tekanan darah arteri, elektrokardiogram (EKG) untuk mendiagnosis iskemia miokard dan aritmia. Pulse oximetry untuk mendeteksi hipoksia sistemik, ETCO2 untuk memonitor PaCO2 dan membantu deteksi emboli udara pada vena. Monitoring tem-peratur pada esofagus atau vesika urinaria. Pema-sangan kateter urine untuk monitor pengeluaran urine. Bila terjadi emboli udara deteksi paling baik dengan precordial doppler utrasonography, bila bersama dengan transesophageal echocar-diography paling sensitif untuk monitor gelem-bung udara pada sirkulasi vena.
Glukosa darah dimonitor secara reguler karena hiperglikemia akan memperburuk kerusakan saraf selama iskemia. Monitoring elektrolit plasma terutama kalium dan osmolalitas terutama jika menggunakan mannitol. Monitoring hemoglobin dan hematokrit pada perdarahan. Monitoring SjVO2 akan memberikan informasi global tentang adekuasi perfusi serebral dan oksigenasi. Moni-toring EEG memberikan informasi tentang kecepatan metabolisme serebral, iskemia serebral dan dalamnya anestesia3.

Perubahan Fisiologi pada usia lanjut:
Kardiovaskular:
Pada pasien usia lanjut terjadi penurunan respon β adrenergik dan gangguan konduksi berupa bradiaritmi dan hipertensi. Infiltrasi fibrotik me-nyebabkan lambatnya konduksi ektopik atrial dan ventrikular. Curah jantung pada orang tua ter-gantung mekanisme Frank-Starling. Oleh karena itu, hati-hati pada pemberian cairan. Pada jantung orang tua yang non compliant perubahan kecil aliran balik akan menyebabkan perubahan besar pada pengisian ventrikel dan curah jantung. Cardiomegali menggambarkan adanya keterbatasan compliant kardial. Oleh karena adanya gangguan fungsi diastolik dan penurunan compliance vaskular, maka pada orang tua kompensasi terhadap hipovolemik kurang baik. Sama pada transfusi yang berlebihan toleransinya juga kurang baik6.

Ginjal:
Terjadi penurunan aliran darah ginjal dan masa nefron pada geriatric yang meningkatkan risiko gagal ginjal akut post operasi6. Tingkat serum kreatinin tetap stabil disebabkan karena penurunan jaringan otot meskipun terjadi penurunan aliran darah ginjal dan masa nefron. Perburukan dalam mengatur sodium, kemampuan mengonsentrasikan dan kapasitas pengenceran merupakan predisposisi terjadinya dehidrasi dan kelebihan cairan serta terjadinya perubahan nilai plasma elektrolit.
Endokrin
Perubahan endokren dapat terjadi karena proses geriatik serta oleh proses penyakit intrakranial. (misalnya adenoma pituitari atau oleh karena obat-obatan misalnya efek glukokortikoid pada hiper-glikemia dan iskemi serebral). Pada traktus gastrointestinal (misal efek pada mukosa karena steroid, efek pada motilitas oleh karena tekanan intrakranial)3.
Farmakologi:
Pada orang tua lebih sensitif terhadap zat-zat anestesi dan umumnya membutuhkan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek klinik yang sama dan durasi biasanya lebih lama6.
Tabel 3. Pengaruh Anestetika Intravena pada CBF, CMRO2 dan ICP




Sumber : Tatang Bisri. Penanganan neuroanestesia dan critical care: Cedera otak traumatik, hal 90.

Definisi TIVA yaitu teknik anestesi umum baik induksi maupun pemeliharaan, zat-zat anestesi hanya diberikan secara intravena. TIVA menjadi lebih populer pada akhir-akhir ini karena farmakokinetik dan farmakodinamik propofol dan tersedianya opioid sintetik dengan lama kerja pendek, dan juga konsep baru berdasarkan farmakokinetik dan kemajuan teknologi komputer sehingga kontrol anestesi secara intravena mudah digunakan seperti teknik inhalasi7.
Keuntungan TIVA yaitu hemodinamik lebih stabil, dalamnya anestesia juga lebih stabil, lebih dapat diprediksi dan pemulihannya cepat, nausea dan vomitus post operasi menurun, tidak ada polusi di kamar operasi. Tidak toksis terhadap organ, tidak iritasi pada jalan nafas, tidak delirium pada pasca bedah8,9. Laju jantung lebih rendah, menurunkan tingkat stres hormon, memelihara reaktifitas serebro vaskular, melindungi tekanan pada telinga tengah. Pada dosis rendah propofol dapat juga digunakan sebagai sedasi pada pemeriksaan radiologik atau pemeriksaan endoskopi10.

Propofol:
Mekanisme kerja propofol yaitu memfasilitasi inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh GABA. Propofol (2,6 diisopropilfenol) terdiri dari cincin fenol dengan dua grup isopropil yang menempel.




Efek pada serebral:
Pada pasien dengan ICP normal, propofol akan menurunkan CMR 36%, ICP 30% dan CPP 10%. Reaktifitas serebral terhadap CO2 dan autoregulasi dipelihara selama infusi propofol. Sesudah injeksi bolus propofol dapat menurunkan tekanan darah sehingga CPP menurun. Propofol sebagai proteksi otak terbatas pada iskemik ringan. Untuk iskemik sedang dan berat propofol tidak sebaik barbiturat dalam hal proteksi otak1,11.
Propofol akan menurunkan CBF dan ICP. Pada pasien dengan ICP yang meningkat, propofol dapat menyebabkan penurunan CPP sampai kurang dari 50 mmHg jika tidak dibantu dengan perbaikan MAP. Propofol dan tiopental mempunyai sifat yang sama dalam hal proteksi otak selama iskemia fokal. Propofol juga mempunyai sifat anti pruritus. Efek antiemetik (konsentrasi propofol dalam darah 200 ng/ml), maka lebih disukai untuk pasien ambulatori. Pada waktu induksi kadang-kadang disertai dengan fenomena eksitasi misal twicing otot, pergerakan spontan, epistotonus, hikap oleh karena antagonis glisin subkortikal. Walaupun reaksi ini kadang-kadang menyerupai kejang tonik-klonik, propofol lebih menonjol sebagai anti-konvulsan, digunakan untuk terminasi status epileptikus, aman diberikan pada pasien epilepsi. Propofol menurunkan tekanan intraokular11.

Deksmedetomidin:
Mekanisme kerja:
Deksmedetomidin adalah selektif 2 agonis, sedatif lebih selektif terhadap reseptor 2 daripada klonidin. Pada dosis yang lebih tinggi akan hilang selektifitasnya dan stimulasinya pada reseptor  adrenergik11,12.
Penggunaan klinik:
Tergantung dosis deksmedetomidin menyebabkan sedasi ansiolisis dan analgesia dan kurangnya respon simpatik terhadap pembedahan dan stres. Yang utama adalah menurunkan kebutuhan opioid, tidak menyebabkan depresi respirasi secara signifikan, sedasi, tetapi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Digunakan untuk waktu yang pendek (<24 jam) sedasi intravena pada pasien dengan ventilasi mekanik. Pada penghentian sesudah pemakaian lama, potensial menyebabkan fenomena with drawal sama seperti klonidin, manifestasinya dapat terjadi krisis hipertensi. Deksmedetomidin juga digunakan sebagai sedasi untuk tambahan pada anestesi umum11,12.

Efek samping:
Pada prinsipnya efek samping berupa bradikardi, blok jantung dan hipotensi11.

Dosis:
Untuk dosis permulaan 1 μ/kg intravena diberikan lebih dari 10 menit, kecepatan infus untuk pemeliharaan 0,2 – 0,7 μ/kg/jam. Mula kerja cepat, waktu paruh terminal 2 jam. Metabolisme di hepar, metabolit akan dieliminasi lewat urine. Dosis diturunkan pada gangguan fungsi ginjal atau perburukan hepar11.
Interaksi obat:
Hati-hati pada pasien yang memakai vasodilator, obat-obat depresi jantung dan yang menurunkan laju jantung. Diperlukan penurunan obat-obat hipnotik/zat anestesi untuk mencegah hipotensi berat11.
Narkotik:
Efek narkotik pada CBF sulit untuk digolongkan secara akurat karena laporan penelitian eksperi-mental yang bertentangan. Dosis kecil narkotik mempunyai efek kecil pada CBF dan CMRO2, sedangkan dosis besar secara progresif menurunkan CBF dan CMRO2. Autoregulasi dan reaktivitas terhadap CO2 tetap dipertahankan13.

Pada umumnya sedikit sekali efeknya pada CBF dan CMRO2, tetapi opioid sintetis termasuk fentanyl, sufentanil dan alfentanil dapat menyebab-kan kenaikkan ICP pada pasien tumor otak dan cedera kepala13.
Pengaruh pada dinamika CSF terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Pengaruh narkotik pada Laju Pembentukan CSF, Resistensi Reabsorpsi CSF, dan ICP


Sumber : Tatang Bisri. Penanganan neuroanestesia dan critical care: Cedera otak traumatik, hal 93.
Keterangan: Vf = kecepatan pembentukan CSF; Ra = resistensi terhadap absorpsi CSF;ICP = intracranial pressure/tekanan intrakranial 0= tidak ada perubahan, - = menurun, * = efek tergantung dari dosis, ?= tidak tentu.
Pada dosis kecil, fentanyl, alfentanil, dan sufentanil menyebabkan tidak ada perubahan pada Vf dan ada penurunan pada Ra dengan prediksi terjadi penurun-an ICP. Pada dosis tinggi, fentanyl menurunkan Vf, tidak ada perubahan atau ada peningkatan dari Ra dengan prediksi akan menurunkan ICP atau efek-nya pada ICP tidak menentu. Pada dosis besar, alfentanil tidak menimbulkan perubahan pada Vf dan Ra dengan efek pada ICP yang tidak dapat diprediksi. Dosis besar sufentanil tidak menimbul-kan perubahan pada Vf dan tidak ada perubahan atau peningkatan pada Ra, dan diprediksi pengaruh-nya pada ICP tidak berubah atau meningkat13.
Pada kebanyakan keadaan, narkotik tidak menim-bulkan perubahan atau sedikit menurunkan ICP. Akan tetapi, pada keadaan tertentu narkotik dapat meningkatkan ICP, misalnya pemberian bolus sufentanil dapat menimbulkan peningkatan ICP yang selintas tapi besar pada pasien dengan cedera kepala berat. Demikian juga, pemberian bolus sufentanil dan alfentanil meningkatkan tekanan CSF pada pasien dengan tumor supratentorial, hal ini karena autoregulasi yang menimbulkan vaso-dilatasi pembuluh darah serebral akibat penurunan MAP. Jadi, bila narkotik diberikan pada pasien bedah saraf, harus diberikan dengan syarat jangan terjadi penurunan tekanan darah yang tiba-tiba13.
Antagonis narkotik yaitu naloxon, bila diberikan secara titrasi, mempunyai efek yang kecil pada CBF dan ICP. Bila diberikan dengan dosis besar untuk me-reserve efek narkotik, pemberian naloxon dapat menimbulkan hipertensi, aritmia jantung, dan perdarahan intrakranial13.
Penderita usia 68 tahun maka dalam pembiusan harus hati-hati, dimana dosis obat-obat yang digunakan lebih kecil dari dosis normal.

Pre operasi:
Pasien geriatrik, foto torak kardiomegali, kongesti paru. Ekokardiografi menunjukkan hipertrofi, hipertropi eksentrik mengarah pada fungsi jantung yang tidak baik. Adanya kongesti paru mempe-ngaruhi fungsi ventilasi paru. Gangguan fungsi paru dan jantung ini tentunya akan mempengaruhi luaran operasi. Inform consent pada keluarga, menerangkan bahwa ini merupakan operasi meningioma residif dengan resiko besar terjadinya perdarahan. Dipasang IV line 3 jalur dengan jarum no.18, three way untuk pemberian cairan secara cepat. Darah tersedia PC 535 ml, FFP 534 ml. CVP dan arteri line tidak dipersiapkan karena keterba-tasan sarana.
Persiapan optimal yang sudah dilakukan: obat-obat yang akan digunakan untuk TIVA yaitu propofol, fentanyl, deksmedetomidin, vekuronium. Alat-alat: syring pump, serta pemasangan monitoring NIBP, saturasi, stetoskop prekordial.
Durante operasi:
Selama operasai dipergunakan teknik TIVA pada pasien ini yaitu dengan propofol, dexmedetomidine, dan fentanyl, dimana sifat dari propofol yaitu menurunkan aliran darah otak, tekanan intrakranial dan kecepatan metabolisme otak, waktu paruhnya sekitar 2-8 menit sehingga bangunnya cepat. Sedangkan dexmedetomidine sifatnya yaitu sedatif, analgesik dan menurunkan kebutuhan opioid. Fentanyl sifatnya menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral dan tekanan intrakranial. Jadi bila diberikan secara bersamaan akan menghasilkan anestesi yang adekuat dan kondisi operasi yang optimal (misal rendahnya aliran darah otak, laju metabolisme otak, tekanan intrakranial, dan minimal brain bulk), proteksi neurologis dan cepat bangun dari anestesia sehingga dapat lebih cepat dalam pemeriksaan neurologis. Hemodinamik stabil selama 10 jam operasi, (MAP), diakir operasi relative terjadi penurunan TDS, MAP serta peningkatanan laju nadi.
Komplikasi:
Beberapa saat setelah induksi tekanan darah meningkat, kemungkinan karena dosis obat yang belum mencukupi sehingga kemungkinan akan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial, penurunan perfusi otak.
Selama operasi terjadi perdarahan dimulai kurang lebih 5 jam dari awal operasi. Ketika perdarahan mulai meningkat dosis obat-obatan ini diturunkan, deksmedetomidin dihentikan, transfusi dimulai ketika perdarahan lebih dari 500 ml. Persediaan darah PC 535 ml, FFP 534 ml, dengan perkiraan cukup untuk mengatasi perdarahan.
Perdarahan tidak terkontrol, diputuskan untuk mengakiri operasi dengan menutup kembali medan operasi. Pada jam-jam akir operasi menunjukkan gejala yang khas penurunan tekanan darah diikuti dengan kenaikan laju jantung yang merupakan karakteristik hipovolemia pencetus hipoksemia/ iskemia serebri.
Pada keadaan ini sebaiknya dipergunakan CVP, periksa rasio Hb:Ht dan terpasang arteri line untuk penilaian yang lebih akurat sebagai pedoman resusitasi cairan mengingat keterbatasan fungsi jantung dan paru. Pada kasus hipovolemia untuk meningkatkan CDO2 perlu perbaikan volume intravaskular terlebih dahulu sebelum memper-gunakan inotropik.
Post operasi:
Hemodinamik yang tidak stabil dengan kenaikan laju nadi, penurunan MAP dan tekanan darah sistolik menunjukan keadaan hipovolemia yang belum terkoreksi, support dopamine, norepinephrin akan memberi perbaikan ketika status intravaskuler tercukupi dan adanya masalah kontraktilitasnya yang memadai. Nilai Hb post operasi 2 g% (transfusi darah PC 535 ml, FFP 534 ml) dari 15.2 gr% menunjukan perdarahan yang hebat. Pemberian Transfusi WB 1000 ml, FFP 356 ml (Hb post transfusi 11g%) post operasi hanya memper-baiki intravascular volume, tidak langsung mem-perbaiki CDO2 secara maksimal. (Hb transfusi akan mengikat oksigen 24 jam post transfusi). Hal ini yang mendukung dengan Hb 2gr% iskemia otak telah terjadi selama durante operasi. Kejadian iskemia otak durante operasi berlanjut post operasi hari pertama yang ditandai dengan ketidakstabilan hemodinamik serta terapi yang tidak berorientasi dengan optimalisasi CDO2 = CBF x CaO2 .
Penyulit lain dalam memelihara CDO2 (Cerebral delivery oxygen): tetap terjadinya perdarahan sampai akir operasi, pasien tua, keterbatasan fungsi jantung dan paru, pengembalian tulang kepala-penutupan operasi sebelum teratasinya sumber perdarahan mempengaruhi komplient intracranial pencetus edema serebri dan kenaikan tekanan intracranial serta pengaturan ventilasi mekanik yang tidak dilakukan dengan mengacu parameter ventilasi (PaO2 , PaCO2 , pH, AaDO2), dan parameter perfusi (tekanan darah sistolik/diastolik, laju nadi, MAP), kesemuanya tersebut akan mem-perburuk keadaan. Ini terbukti dari pemeriksaan MSCT post operasi; adanya edema berat, perdara-han intraserebral kontralateral serta pneumosefalus, obstruksi hidrosefalus, SAH, serta midline shift 16 mm.

Tidak teratasinya masalah perdarahan, keterbatasan tatalaksana post operasi, keterbatasan sarana monitoring di ICU mempunyai peran terjadinya cedera sekunder mengikuti cedera primer yang terjadi menyebabkan resusitasi otak ataupun proteksi otak dengan basic methode, farmakologi tidak bermanfaat, iskemia otak selama akir operasi berlanjut dengan ditandai adanya dilatasi pupil, refleks cahaya negatif menunjukkan adanya iskemia batang otak awal kematian batang otak pada hari ke-2.
IV. Simpulan
Perubahan fisiologi pada pasien geriatrik umumnya karena kemunduran fungsi organ. Adanya, kardiomegali, kongesti paru pada pasien geriatric tersebut berkaitan dengan keterbatasan ventilasi, perfusi serta CaDO2. yang meningkatkan resiko
Resiko perdarahan pada meningioma sering terjadi. Operasi residif meningioma meningkatkan resiko perdarahan dibanding operasi pertama. Antisipasi terjadinya perdarahan dengan melakukan pema-sangan : IV line 3 jalur, three way. Karena keterbatasan monitoring perioperatif: AGD, CVP, arteri line tidak dilakukan. Dilakukan teknik Total Intra Venous Anestesi, selama operasi menunjukan kestabilan hemodinamik terpeliharanya MAP 90 - 100 mmHg untuk memelihara CPP. Tidak terangkatnya masa tumor serta perdarahan yang tidak terkontrol mendasari diakirinya operasi.
Penanganan post operasi dengan tetap terjadinya perdarahan, brain proteksi resusitasi dalam keterbatasan menyebabkan injury yang terjadi akir operasi berlanjut post operasi dengan ditandainya iskemia batang otak yang berakir dengan kematian.

Daftar Pustaka
1. Cole CD dkk. Total Intravenous Anesthesia: Advantages For Intrakranial Surgery Neurosurgery 2007;61:369-78.
2. Hill L, Gwinnutt C. Cerebral Blood Flow And Interacticranial Preassure.
3. Bruder N, Ravussin PA.Supratentorial masses: Anesthetic considerations. Dalam: Cottrell and Young’s NEUROANESTHESIA 5th ed; Philadelphia: Mosby Ersevier, Inc: 2010,188-96.
4. Colombaris S, Imhoff E, Donald. Meningioma. NOMOS Radiation Oncology 2006.
5. Kaal ECA, Vecht CJ. The management of brain edema in brain tumors. Current Opinion in Oncology 2004;593-9.
6. Kanonidou Z, Karystianou G. Anesthesia for the elderly. Hippokratia 2007;11(4):175-177.
7. Mani V, Morton NS. Overview of Total Intravenous Anesthesia in Children. Pediatric Anesthesia 2009;20:2011-22.
8. Joshi S, Yadau R, Malla G. Initial Experience with Total Intravenous Anesthesia with Proposal for Elective Craniotomy. Nepal Journal of Neuroscience 2007;4:67-9.
9. Lerman J. TIVA, TCI and paediatrics-Where are and where are we going? Pediatric Anesthesia 2009;1-6.
10. McCormack JG. Total Intravenous Anaesthesia in Children. Current Anaesthesia & Critical Care 2008;1-6.
11. Morgan GE, Jr, Mikhail MS, Murray MJ. Nonvolatile Anesthetic Agents. Dalam: Clinical Anesthesiology. 4th ed; New York: The Mc Grow Hill Companies: 2006,192-202.
12. Mani V, Morton NS. Overview of Total Intravenous Anesthesia in Children. Pediatric Anesthesia 2009;1-11.
13. Bisri T. Anestesi Pada Pasien dengan Cedera Kepala Akut. Dalam: Penanganan Neuroanes-tesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Cetakan 1; Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2006,88-94.