konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Rabu, 21 Desember 2016

Syok Kardiogenik Anak


Syok kardiogenik merupakan kegawat-daruratan di bidang kardiovaskuler yang memerlukan penanganan cepat dan tepat.1-4 Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai macam etiologi yang memerlukan penatalaksanaan segera.5-9
Keterlambatan dalam menegakkan diagnosis kegawatan dan kesalahan dalam melakukan terapi dapat berakibat fatal, karena pasien akan jatuh dalam gagal sirkulasi yang berkepanjangan. Pengenalan dini dan penatalaksanaan yang tepat akan memberikan prognosis yang baik.10 Oleh karena itu, semua dokter dan petugas kesehatan harus mampu mengenali keadaan ini dan memberikan tata laksana yang tepat. Tujuan tulisan ini adalah supaya dokter anak mampu mengenali tanda-tanda syok kardiogenik dan menatalaksananya dengan tepat dan cepat.

Syok kardiogenik adalah gangguan fungsi sirkulasi mendadak dan kompleks yang mengakibatkan hipoksia jaringan akibat berkurangnya curah jantung pada keadaan volume intravaskular yang cukup.1-4

Jantung sebagai pompa, berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Jumlah darah yang dipompakan jantung setiap kali jantung kontraksi disebut dengan isi sekuncup, sedangkan jumlah darah yang dipompakan jantung setiap menit adalah curah jantung. Fungsi inilah yang disebut dengan fungsi sistolik. Selain itu, jantung juga mempunyai fungsi diastolik, yaitu kemampuan jantung untuk berelaksasi agar jantung dapat menerima darah dari vena paru atau vena sistemik. Jika terjadi gagal jantung kedua fungsi ini terganggu. Gangguan fungsi sistolik mengakibatkan curah jantung akan menurun yang akan menimbulkan asidosis, aliran darah ke ginjal berkurang, dsb. Akibat gangguan fungsi diastolik, darah dari paru atau sistemik tidak dapat mengalir ke jantung sehingga terjadi bendungan di paru dan sistemik sehingga timbul sesak napas, edema di tungkai, dan tekanan vena jugular yang meningkat.

Kinerja jantung sebagai pompa, ditentukan oleh beberapa faktor yaitu:
preload, afterload, kontraksi, dan laju jantung. Preload adalah beban pada saat diastolik, ini sesuai dengan tekanan pengisian ventrikel. Afterload adalah beban pada saat sistolik, yaitu saat darah dipompakan ke luar ventrikel. Kontraksi adalah kemampuan otot jantung berkontraksi. Terakhir adalah laju jantung yaitu kecepatan atau frekuensi jantung dalam berkontraksi. Gangguan dari salah satu atau lebih kinerja jantung ini akan menyebabkan gagal jantung.
Pada jantung berlaku hukum Starling. Menurut Starling jika tekanan pengisian ditingkatkan, maka isi sekuncup akan bertambah sampai pada suatu titik tertentu, dan jika titik ini dilewati maka peningkatan tekanan pengisian tidak lagi diikuti dengan meningkatnya isi sekuncup. Bahkan kalau tekanan pengisian ditingkatkan lagi, isi sekuncup malah sebaliknya akan berkurang, dan keadaan inilah yang terjadi pada gagal jantung.11

Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan kondisi seperti yang akan dijelaskan di bawah ini, dibagi atas pada bayi baru lahir dan pada bayi dan anak.4-9

Pada bayi baru lahir, syok kardiogenik dapat disebabkan oleh:
1. Penyakit jantung bawaan (PJB) yang mengakibatkan berberkurangnya curah jantung dan hipotensi sistemik: hypoplastic left heart syndrome, stenosis aorta, interrupted aortic arch, koarktasio aorta berat, anomali arteri koroner.
2. Kelainan otot jantung akibat hipoksia dan asidosis berat pada asfiksia intrapartum.


Pada bayi dan anak:
1. Obstruksi ekstrinsik dan intrinsik pada jalan masuk dan jalan keluar jantung: tension pneumothorax, hemoperikardium, pneumoperikardium, efusi perikardium.
2. Kelainan otot jantung: miokarditis (virus, autoimun), kardiomiopati primer atau kardiomiopati sekunder (hipertiroid, kelainan metabolikdefisiensi karnitin), penyakit neuromuskular dan akibat penggunaan obat
kardiotoksik.
3. Kelainan metabolik: hipoglikemia berat, insufisiensi adrenal.
4. Kelainan irama jantung: takikardia supraventrikel, takikardia ventrikel,
fibrilasi ventrikel, blok AV komplit, long QT syndrome.
5. Pasca operasi jantung

Diagnosis
Manifestasi klinis syok kardiogenik timbul akibat gangguan fungsi sistolik dan
diastolik. Gangguan fungsi sistolik mengakibatkan curah jantung menurun,
sedangkan akibat gangguan fungsi diastolik mengakibatkan bendungan di paru
atau sistemik. Akibat berkurangnya curah jantung tubuh akan melakukan
kompensasi dengan cara takikardia, vasokonstriksi, retensi cairan dan garam,
dan melepaskan hormon-hormon tertentu. Kompensasi ini jika berlangsung terus
menerus justru akan memperburuk keadaan jantung yang sebelumnya sudah
terganggu. Secara klinis anak tampak pucat, lemas, badan dingin, takikardia,
hipotensi, berkurangnya perfusi perifer, akral dingin, asidosis dan oliguria serta
penurunan kesadaran. Manifestasi klinis di atas sebetulnya hampir sama dengan
manifestasi klinis syok pada umumnya.Pada pemeriksaan auskultasi jantung bisa
ditemukan murmur jika kelainan dasarnya adalah penyakit jantung bawaan.
Pada pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit mungkin ditemukan
ada kelainan. Pada foto Rontgen dada, dapat ditemukan kardiomegali,
demikian juga pada EKG mungkin ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan
ekokardiografi dapat dipastikan jenis kelainan jantungnya dan fungsi ventrikel.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang,
dan dipastikan dengan pemeriksaan ekokardiografi.

Diagnosis banding
Syok kardiogenik perlu dibedakan dengan jenis syok yang lain yaitu syok
hipovolemik dan syok septik. Ketiga jenis syok ini mungkin mempunyai gejala
klinis yang hampir sama namun berbeda dalam hal, patofisiologi, pemeriksaan
laboratorium, dan tata laksananya.
Pada syok hipovolemik pasien tampak pucat, lemas, kulit dingin,
takikardia, oliguria, dan kolaps pembuluh darah. Pada pemeriksaan
laboratorium dijumpai hematokrit yang meningkat. Jenis syok ini disebabkan
karena kehilangan volume darah, dan tata laksana utamanya adalah dengan
pemberian cairan.
Pada syok kardiogenik gejala klinis hampir mirip dengan syok hipovolemik
yaitu anak tampak pucat, lemas, kulit dingin, aritmia, oliguria dan kolaps
pembuluh darah. Pada pemeriksaan jantung mungkin ditemukan adanya
kelainan pada EKG, foto Rontgen torak ataupun ekokardiografi. Secara
patofisiologi, syok kardiogenik terjadi akibat berkurangnya curah jantung.
Tata laksana adalah pemberian inotropik, diuretik, vasodilator ataupun antiaritmia
untuk memperbaiki kinerja jantung.
Pada syok septik gejala klinis agak sedikit berbeda dengan kedua jenis
syok di atas, yaitu anak panas, menggigil, kulit hangat, takikardia, oliguria,
kolaps, kesadaran menurun. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah
kultur darah dan terapinya meliputi pemberian antibiotika bahkan terkadang
mungkin perlu steroid atau ekspansi cairan.

Tata laksana
Penatalaksanaan syok kardiogenik ditujukan untuk meningkatkan curah
jantung dengan cara memperbaiki kinerja jantung yaitu mengurangi
preload, mengurangi afterload, meningkatkan kontraktilitas miokardium, dan
menurunkan laju jantung. Dalam melakukan manipulasi pada kinerja jantung
di atas, idealnya dipasang kateter Swan-Ganz sehingga curah jantung, tekanan
pengisian ventrikel, tekanan atrium kanan dan tekanan baji pulmonal dapat
diukur secara obyektif. Namun pada bayi dan anak pemasangannya kateter
ini relatif sulit sehingga jarang dikerjakan.12-13

Penatalaksanaan secara umum
Tata laksana syok kardiogenik secara umum meliputi:
• Pemasangan infus untuk memberikan bolus cairan 10 mL/kg untuk mengisi
pembuluh darah yang kolaps.
• Koreksi keseimbangan asam-basa dan elektrolit
• Pemasangan kateter vena sentral untuk mengukur tekanan vena sentral

Penatalaksanaan secara spesifik
1. Pemberian obat-obatan
Sesuai dengan kinerja jantung yang terganggu, obat-obatan untuk
meningkatkan curah jantung dapat berupa obat-obatan inotropik, diuretik,
dan obat-obatan vasodilator.14 Masing-masing obat dalam kelompok di atas
akan dibahas lebih lanjut dibawah ini.

INOTROPIK

Dopamin dan dobutamin
Dopamin dan dobutamin merupakan obat inotropik yang diberikan secara
parenteral. Kedua obat di atas mempunyai awitan kerja yang cepat dan lama
kerja yang singkat sehingga lebih disukai dibanding digoksin untuk menangani
gagal jantung akut dan berat apalagi jika disertai gangguan fungsi ginjal.
Dopamin maupun dobutamin bersifat simpatomimetik sehingga
meningkatkan curah jantung, tekanan darah, dan denyut jantung. Dopamin
mempunyai efek vasodilatasi renal yang bermanfaat untuk mempertahankan
fungsi ginjal pada penderita gagal jantung. Pada dosis tinggi, dopamin dapat
menimbulkan takikardia dan bahkan vasokonstriksi. Efek vasodilatasi renal
tidak dimiliki oleh dobutamin namun dobutamin relatif tidak menimbulkan
takikardia seperti dopamin. Atas dasar ini penggunaan gabungan dobutamin
dan dopamin dosis rendah memberi hasil yang cukup baik. Dobutamin juga
dapat meningkatkan aliran darah koroner. Dosis dopamin (IV drip) biasanya
5-10 mg/kgBB/menit. Pada dosis 2-5 mg/kgBB/menit, dopamin menimbulkan
vasodilatasi ginjal, pada dosis 5-8 mg/kgBB/menit bersifat inotropik, pada
dosis >8 mg/kgBB/menit dapat menyebabkan takikardia, pada dosis >10 mg/
kgBB/menit menyebabkan vasokonstriksi ringan, dan pada dosis 15-20 mg/
kgBB/menit menyebabkan vasokonstriksi. Dosis dobutamin (IV drip) yang
direkomendasikan adalah 5-8 mg/kgBB/menit.

Digoksin
Digoksin merupakan preparat digitalis yang cukup sering digunakan untuk
mengobati gagal jantung pada anak. Pada kasus gagal jantung, digoksin diberikan
untuk meningkatkan kontraksi miokardium. Pemberian digoksin merupakan
kontraindikasi pada beberapa keadaan diantaranya kardiomiopati hipertrofik, blok
jantung komplit atau tamponade jantung. Digoksin harus diberikan secara hatihati
karena sempitnya rentang keamanannya antara dosis efektif dan dosis toksik.
Dosis pada anak relatif lebih besar dibanding pada dewasa jika dilihat dari ukuran
tubuh. Dosis tinggi dibutuhkan pada takikardi supraventikular karena tujuannya
adalah menghambat konduksi atrioventrikular (AV). Sebelum pemberian digoksin
harus dilakukan pemeriksaan EKG terlebih dahulu terutama untuk melihat irama
jantung dan interval PR. Perubahan irama jantung dan pemanjangan interval
PR merupakan salah satu tanda intoksikasi digitalis. Toksisitas digoksin terbaik
dideteksi dengan EKG dan bukan dari kadar digoksin dalam darah. Analisis
gas darah dan kadar elektrolit juga sebaiknya diperiksa terutama kalium karena
toksisitas digoksin meningkat pada kondisi hipokalemia dan alkalosis, sehingga
pemberian digoksin harus hati-hati saat digunakan bersamaan dengan diuretik
yang dapat menimbulkan hipokalemia seperti furosemid.

Tabel Dosis oral digoksin untuk gagal jantung


Digoksin dapat diberikan secara intravena dengan dosis 75% dosis oral.
Pemberian intravena harus dilakukan secara perlahan selama 5-10 menit,
jika terlalu cepat dapat terjadi vasokonstriksi arteriol sistemik dan koroner.
Pemberian intramuskular tidak dianjurkan karena absorpsinya kurang baik,
di samping juga menimbulkan rasa nyeri dan iritasi pada tempat suntikan.
Digitalisasi cepat diberikan dengan cara pemberian awal setengah dosis
digitalisasi total kemudian dilanjutkan dengan seperempat dosis digitalisasi total
setelah 8 jam, kemudian sisanya diberikan setelah 8 jam lagi. Dosis rumatan
diberikan 12 jam setelah dosis digitalisasi total selesai. Dosis rumatan diberikan
dalam dua dosis terbagi per hari pada usia di bawah 10 tahun, sedangkan pada
usia di atas 10 tahun dapat diberi sebagai dosis tunggal per hari. Pada kasus
gagal jantung yang ringan, tidak diperlukan pemberian dosis digitalisasi, tetapi
dapat langsung diberikan dosis rumatan.

Milrinion
Milrinon termasuk dalam penghambat fosfodiestrase-3 (phosphodiestrase 3/
PDE-3) yang bekerja dengan cara menghambat hidrolisis 3’5’ siklik adenosin
monofosfat (cyclic AMP) intraselular. Dengan meningkatnya cAMP di dalam
sel akan meningkatkan vasodilatasi perifer dan koroner, meningkatkan
kontraktilitas miokardium, dan meningkatkan fungsi relaksasi miokardium.
Pemberian obat ini diawali dengan bolus 75 μg/kg diikuti pemberian
perinfus kontinu dengan dosis 0,5 μg/kg/menit sampai 0,75 μg/kg/menit. Kerja
obat milrinon selain sebagai inotropik, juga sebagai vasodilator sehingga dapat
memperbaiki aliran darah ke paru. Efek samping milrinon adalah hipotensi.
Untuk mencegah hipotensi saat pemberian bolus dapat disertai dengan
pemberian cairan yang cukup.

DIURETIK
Furosemid
Furosemid adalah golongan diuretik kuat yang bekerja di ansa henle tubulus
ginjal. Furosemid biasanya dipakai pada anak dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari.
Dapat diberikan secara oral atau intravena dengan dosis yang sama. Penderita
gagal jantung sering mengalami perbaikan setelah pemberian dosis tunggal
furosemid meskipun belum dilakukan digitalisasi. Furosemid menghambat
reabsorpsi air dan natrium di ginjal sehingga mengurangi beban volume sirkulasi
sehingga mengurangi preload jantung. Furosemid sering digunakan bersamaan
dengan digoksin dan vasodilator seperti kaptopril. Efek samping furosemid
adalah hipokalemia sehingga pada pemberian furosemid, kadar elektrolit harus
dimonitor secara rutin. Pemberian preparat kalium terutama pada pemberian
furosemid lama dosis tinggi seringkali diperlukan untuk mencegah terjadinya
hipokalemia.

Antagonis aldosteron
Pada penderita gagal jantung, kadar serum aldosteron meningkat secara
bermakna. Aldosteron menyebabkan cairan yang sudah disekresi di ansa henle
akan direabsorpsi kembali di tubulus distal. Pemberian spironolakton, suatu
diuretik inhibitor aldosteron akan mengefektifkan kerja furosemid dengan jalan
mencegah reabsorpsi cairan di tubulus distal. Di samping itu, spironolakton
bersifat menahan kalium sehingga jika digunakan bersamaan dengan furosemid,
deplesi kalium akan dicegah. Berbeda dengan furosemid, spironolakton hanya
dapat diberikan per oral. Diuretik sebaiknya tidak diberikan secara berlebihan
karena preload yang berkurang secara berlebihan, selanjutnya akan mengurangi
curah jantung dan aliran darah ke ginjal yang pada akhirnya akan memicu
respons neurohumoral yang menyebabkan retensi cairan.


VASODILATOR
Pada penderita gagal jantung, sebagai mekanisme kompensasi terhadap penurunan
curah jantung maka terjadi vasokonstriksi pembuluh darah yang disebabkan
oleh peningkatan tonus simpatik, katekolamin dan juga aktivitas sistem reninangiotensin.
Vasokonstriksi yang berlangsung lama merugikan ventrikel karena
akan menambah beban kerja ventrikel dan memperburuk kondisi gagal jantung.
Pada keadaan ini vasodilator merupakan pilihan yang tepat. Obat ini mengurangi
afterload dengan cara mengurangi resistensi vaskuler perifer melalui vasodilatasi
arteri atau bahkan vasodilatasi vena. Obat ini meningkatkan isi sekuncup tanpa
meningkatkan kontraktilitas sehingga tidak menambah konsumsi oksigen pada
otot jantung. Obat ini terutama sangat bermanfaat untuk anak dengan gagal
jantung akibat kardiomiopati atau penderita dengan insufisiensi mitral atau aorta
yang berat atau pasca-bedah jantung dan sering digunakan bersama dengan
digitalis dan diuretik. Penggunaan vasodilator pada penderita PJB dengan pirau
kiri ke kanan yang besar (defek septum atrium, duktus arteriosus persisten) juga
dilaporkan bahwa hasilnya baik.
Hingga kini, ACE-inhibitor, masih merupakan obat pilihan untuk penyakit
kardiovaskuler, terutama untuk memperbaiki fungsi dan anatomi pembuluh darah
arteri, meregresi tunika media dan berperan pada remodelling kardiovaskuler.
Remodelling adalah adanya perubahan intrinsik bentuk dan besar jantung serta
struktur mikro di dalamnya, sebagai respons terhadap beban tekanan atau
volume. Dalam menjalankan fungsinya, endotel pembuluh darah menunjukkan
sifat dualistik. Sifat ini secara simultan mengekspresikan dan melepaskan zat-zat
vasodilator dan vasokonstriktor, faktor yang menyebabkan proliferasi dan mencegah
proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah secara seimbang. Keseimbangan antara
sistem antagonis ini dapat mengontrol secara optimal fungsi dinding pembuluh
darah. Zat vasokonstriktor terdiri dari angiotensin II, endotelin-1, prostaglandin
tromboksan A-2, dan superoksida, sedangkan vasodilator yang menonjol adalah
prostaglandin prostasiklin dan nitrit oksida. Ketidakseimbangan antara vasodilator
dan vasokonstriktor menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Pada kondisi
ini, pembuluh darah lebih cenderung mengalami vasokonstriksi dan sel-sel otot
polosnya cenderung mengalami hipertrofi.
ACE-inhibitor mempunyai kerja ganda yang cukup efektif, yaitu secara
simultan mencegah sintesis angiotensin II dan degradasi bradikinin. Angiotensin
II menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan bradikinin akan meningkatkan sintesis
dan penglepasan nitrit oksida, dan prostasiklin. Melalui aktivitas antitropik
bradikin dan penurunan sintesis angiotensin II, ACE-inhibitor dapat meregresi
remodelling miokardium.
Kaptopril merupakan obat golongan ACE-inhibitor yang paling sering
digunakan dengan dosis 0,3-6,0 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis, dimulai
dengan dosis rendah. Pemberian harus dilakukan 1 jam sebelum atau 2 jam
setelah makan mengingat absorpsinya terganggu oleh makanan. Pemberian
jangka panjang dapat mengakibatkan defisiensi Zinc yang menimbulkan
penurunan rasa pada lidah sehingga perlu dilakukan suplementasi Zinc.
Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang mengakibatkan dilatasi arteri
dengan menghambat produksi angiotensin II. Dilaporkan bahwa kaptopril juga
mempunyai efek venodilatasi. Efek samping kaptopril adalah hipotensi (dapat
menurunkan tekanan darah dalam 15 menit), retensi kalium (menguntungkan
jika diberikan bersama furosemid), edema dan batuk. Pada penderita yang
hipovolemik atau kadar natriumnya rendah, pemberian kaptopril dapat
mengakibatkan hipotensi berat.

Lain-lain
Penggunaan obat-obat golongan beta-blocker pada anak dengan gagal jantung
belakangan ini mulai dikenal luas misalnya metoprolol maupun carvedilol yang
dikatakan memberi hasil yang cukup baik. Generasi terbaru nebivolol sedang
diteliti penggunaannya pada anak. Saat ini pengalaman penggunaan betablocker
pada anak baru terbatas pada seri kasus dengan jumlah yang terbatas.
Diperkirakan penggunaan beta-blocker pada anak dengan gagal jantung akan
lebih meningkat seiring dengan lebih banyaknya penelitian tentang obatobatan
ini. Pada penderita gagal jantung diastolik akibat adanya restriksi aliran
masuk ke jantung, misalnya kardiomiopati restriktif paling bagus diatasi dengan
beta-blocker dan diuretik dosis rendah.


2. Intervensi non-bedah
Dengan kemajuan di bidang kardiologi, penyakit jantung bawaan tertentu
dapat ditata laksana tanpa pembedahan. Teknik ini sudah dapat digunakan
untuk menatalaksana duktus arteriosus paten, defek septum atrial, defek
septum ventrikel, atau penyempitan katup atau pembuluh darah. Tindakan
ini dapat juga bersifat sementara/paliatif seperti tindakan balloon atrial
septostomi (BAS) untuk memperbaiki percampuran pada tingkat atrium atau
pemasangan stent pada pasien dengan duktus arteriosus paten dengan duct
dependent circulation.11


3. Terapi bedah
Terapi bedah dikerjakan pada penyakit jantung bawaan yang tidak berespons
terhadap terapi medikamentosa. Terapi bedah dapat bersifat sementara atau
paliatif ataupun bersifat definitif atau korektif yaitu memperbaiki kelainan
anatomik yang ada. Berkat adanya kemajuan di bidang pembedahan dan
perawatan pasien pasca-bedah di ICU, banyak neonatus dengan PJB kompleks
yang berhasil diselamatkan.5,11


Prognosis
Prognosis ditentukan oleh kelainan dasar yang mendasari timbulnya syok
kardiogenik. Jika disebabkan oleh penyakit jantung bawaan umumnya
memerlukan tindakan bedah. Pada kondisi yang disebabkan oleh penyakit
jantung bawaan kompleks seperti hypoplastic left heart syndrome , prognosis
tidak bagus.5,10


Simpulan
Syok kardiogenik perlu dibedakan dari syok hipovolemik dan syok septik
karena mempunyai tanda atau gejala, patofisiologi, dan tata laksana yang
berbeda. Setiap dokter atau petugas kesehatan seyogyanya mampu menegakkan
diagnosis dan metatalaksana syok kardiogenik secara cepat dan tepat. Prognosis
ditentukan oleh kelainan yang mendasari timbulnya syok kardiogenik. Jika
penyebab dasarnya adalah penyakit jantung bawaan maka kelainan ini mungkin
memerlukan tindakan operasi.

Daftar pustaka
1. Cho CS, Rothrock SG. Circulatory emergencies: shock. Dalam: Baren JM,
Rothrock SG, Brennan JA, Brown L, penyunting. Pediatric emergency medicine.
Philadelphia: Elsevier; 2008.h.78-93.
2. Bell LM. Shock. Dalam: Fleishe GR, Ludwig S, Henretig FM, penyunting.
Textbook of pediatric emergency medicine. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2006.h.51-62.
3. Perkin RM, Levin DL. Shock in the pediatric patient. Part I. Pediatrics.
1982;101:163-9.
4. Fisher JD, Nelson DG, Beyersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of shock
in the pediatric emergency department. Pediatr Emerg Care. 2010;26:622-5.
5. Nir A, Rein AJJT, Driscoll DJ. Heart disease in the child and cardiogenic shock.
Dalam: Hasdai D, Berger PB, Battler A, Holmes DR, penyunting. Cardiogenic
shock: diagnosis and treatment. Totowa: Humana Press Inc; 2002. h.2433-69.
6. Lees MH, King DH. Cardiogenic shock in the neonate. Pediatr Rev. 1988;9:258-
66.
7. harnidharka VR, Lieh-Lai M, Sarnaik A, Clapp S. A child with cardiogenic shock
and supraventricular tachycardia presenting in normal sinus rhythm. Pediatr
Emerg Care. 1996;12:420-1.
8. Fuse S, Tomita H, Ohara T, Iida K, Takamuro M. Severely damaged aortic
valve and cardiogenic shock in an infant with Kawasaki disease. Pediatr Intern.
2003;45:110-3.
9. Zaki SA, Dolas A. Refractory cardiogenic shock in an infant with congenital
hypothyroidism. Indian J Crit Care Med. 2012;16:151-3.
10. Tuite PK. Recognition and management of shock in the pediatric patient. Critre
Nurs Q. 1997;20:52-61.
11. Park MK. Pediatric cardiology for practitioner. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby;
2008. h. 558-74.
12. Jatene MB, Miana LA, Pessoa AJ, Riso A, Azeka E, Tanamati C, et. al. Pediatric
heart transplantation in refractory cardiogenic shock: a critical analysis of
feasibility, applicability and results. Arq Bras Cardiol. 2008;90:329-33.
13. Hetzer R, Potapov EV, Alexi-Meskishvili V, Weng Y, Miera O, Berger F, et. al.
Single center experience with treatment of cardiogenic shock in children by
pediatric ventricular assist devices. J Thorac Cardiovasc Surg. 2011;141;616-23.
14. Suyatna FD. Rational use of drugs in pediatric cardiology. Dalam: Putra ST, Djer
MM, Roeslani RD, Endyarni B, Yuniar I, penyunting. Management of pediatric
heart disease for practitioner: from early detection to intervention. Naskah
lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM ke LVII 2009 Nopember 8-9. Jakarta: Departemen IKA
FKUI-RSCM; 2009. h. 115-40.



Penulis Artikel :
Mulyadi M. Djer

Tujuan:
1. Mampu mengenali tanda dan gejala syok kardiogenik
2. Mampu membedakan syok kardiogenik dengan syok hipovolemik
ataupun syok septik
3. Mampu menatalaksana syok kardiogenik

sumber artikel :

Minggu, 18 Desember 2016

PEDOMAN TATALAKSANA HIPERTENSI PADA PENYAKIT KARDIOVASKULAR - PERKI-2015


Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di
Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang
sangat umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas kesehatan. Pedoman
Praktis klinis ini disusun untuk memudahkan para tenaga kesehatan di
Indonesia dalam menangani hipertensi terutama yang berkaitan dengan
kelainan jantung dan pembuluh darah.

DAFTAR ISI
Kata Pengantar Ketua Pengurus Pusat PERKI ...................................... iv
I. Pendahuluan ............................................................................... 1
II. Definisi dan Klasifikasi Hipertensi .............................................. 1
III. Penentuan Faktor Risiko Kardiovaskular pada Hipertensi ....... 1
IV. Evaluasi Awal dan Diagnosis Penyakit Hipertensi .................... 2
V. Tatalaksana Hipertensi ............................................................... 3
a. Non Farmakologis ............................................................... 3
b. Terapi Farmakologis ............................................................ 5
VI. Tatalaksana HIpertensi pada Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah ................................................................... 6
a. Penyakit jantung koroner : .................................................. 7
i. Angina Pektoris Stabil .................................................. 7
ii. Angina Pectoris tidak stabil / Infark Miokard
tanpa elevasi segmen ST ............................................. 10
iii. Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST ........ 11
b. Gagal Jantung...................................................................... 13
c. Fibrilasi Atrial ....................................................................... 13
d. Hipertrofi Ventrikel Kiri ........................................................ 14
e. Penyakit Arteri perifer .......................................................... 15
VII. Daftar pustaka ............................................................................. 16



PENDAHULUAN

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di
Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang
sangat umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas kesehatan. Pedoman
Praktis klinis ini disusun untuk memudahkan para tenaga kesehatan di
Indonesia dalam menangani hipertensi terutama yang berkaitan dengan
kelainan jantung dan pembuluh darah.

DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun luar
negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila
memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah
sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan
diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi
pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana
hipertensi (disadur dari A Statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension2013)


PENENTUAN RISIKO KARDIOVASKULAR
 Menggunakan perhitungan estimasi risiko kardiovaskular yang
     formal (ESC 2013), untuk mengetahui prognosis .
 Selalu mencari faktor risiko metabolic ( diabetes, ganguan tiroid
    dan lainnya) pada pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa
    penyakit jantung dan pembuluh darah


DIAGNOSIS
Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan
pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau
tatalaksana yang akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi
dariCanadian Hypertension Education Program. The Canadian
Recommendation for The Management of Hypertension 2014


TATALAKSANA HIPERTENSI      <---- Klick Disini

Jumat, 16 Desember 2016

1 JUTA DUKUNGAN PENUH 
UNTUK TIMNAS INDONESIA 
SHARE  & LIKE ,,,,
BUKTIKAN KAMU PENDUKUNG
TIMNAS INDONESIA
KLICK

Senin, 05 Desember 2016

“Obat Herbal untuk Aterosklerosis: Bagaimana Menyikapinya?”


Salah satu tantangan besar bagi dunia medis tanah air adalah kenyataan tingginya animo masyarakat untuk pergi ke pengobatan komplementer (=alternatif).

Artikel ini adalah artikel yang di terbitkan oleh Jurnal Kardiologi Indonesia (Vol. 33, No. 1 • Januari - Maret 2012). Di dalam blog ini saya bagikan kembali dengan harapan informasi ini lebih menyebar ke masyarakat luas dan meningkatkan informasi ke masyarakat demi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat indonesia.

Sebagai kardiolog, tidak jarang kita bertemu pasien yang menolak tindakan operasi atau pemasangan stent, dan memilih untuk pergi ke pengobatan komplementer. Fenomena ini tidak hanya ditemui di negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di banyak negara maju. Perancis merupakan salah satu negara maju dengan jumlah warganya yang commenggunakan jasa pengobatan komplementer paling besar (75%), disusul Inggris (UK) (50%) dan Kanada (42%).1 Di Amerika, menurut laporan National Center for Health Statistics, pada tahun 2007, setiap 4 dari 10 orang dewasa adalah konsumen pengobatan komplementer. Yang menarik, jumlah warga kulit putih yang menggunakan jenis terapi ini lebih banyak (43,1%) dibanding warga keturunan Asia (39,9%) dan warga kulit hitam (25,5%). Proporsi terbanyak masih dipegang orang Indian (50,3%). Laporan ini juga menunjukkan bahwa jenis pengobatan komplementer yang paling banyak digunakan adalah pengobatan herbal.2

Penelitian Yurista dkk dalam Jurnal Kardiologi Indonesia edisi ini berusaha menggali manfaat salah satu bahan herbal (ekstrak kulit manggis)pada proses aterosklerosis melalui khasiatnya dalam menghambat proses inflamasi. Kandungan xanthone pada kulit manggis diduga berperan sebagai anti-oksidan yang mampu menghambat aktivitas NF-κB, yang selanjutnya menurunkan beberapa penanda (biomarker) inflamasi sepertiTNF-α, IL-1, IL-6, dan ICAM-1. Penelitian ini layak mendapat apresiasi atas usahanya mencari pembenaran ilmiah dari sebuah pengobatan komplementer.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah penemuan semacam ini dapat dijadikan justifikasi untuk menggunakan ekstrak kulit manggis sebagai terapi penyakit jantung koroner (yang notabene adalah sebuah proses aterosklerosis)? Tentu tidak. Diperlukan beberapa level bukti lagi untuk sampai pada kesimpulan bahwa suatu obat baru dapatdiaplikasikan dalam praktek klinik, baik bukti di tingkat riset translasional maupun klinis. Walaupun Yurista dkk berhasil menyingkap salah satu mekanisme molekular yang terjadi dengan pemberian ekstrak kulit manggis, penelitian mereka belum menjawab dua pertanyaan kunci yang menjadi patokan untuk menilai apakah sebuah intervensi medis (dalam hal ini obat herbal) dapat digunakan dalam praktek klinik, yaitu 1) apakah obat ini dapat memperbaiki kondisi pasien (efficacy) dan 2) bagaimana keamanan obat ini bila diberikan kepada pasien (safety)?

Masalah fundamental lain dalam penelitian obat herbal adalah apakah ekstrak suatu bahan herbal yang berasal dari sumber dan metoda ekstraksi yang berbeda (misalnya ekstraksi secara hidrofilik vs lipofilik) akan memberikan efek yang sebanding dan ekivalen?3 Poin ini penting untuk menilai penelitian mengenai obat herbal sekaligus menjadi catatan lain terhadap penelitian Yurista dkk ini. Dalam metodologinya mereka tidak menguraikan spesifikasi ekstrak kulit manggis yang digunakan, baik sumbernya maupun metoda ekstraksinya. Reproducibility suatu paper (yaitu metoda yang ditulis dapat diulang oleh peneliti lain dengan hasil yang sama) merupakan parameter penting suatu paper ilmiah. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila dalam penelitian selanjutnya mereka menguraikan metodologi secara lengkap.

Penelusuran literatur menunjukkan bahwa jumlah uji klinik mengenai obat herbal cukup banyak, terutama dari negara maju. Paper-paper tersebut umumnya memberikan penjelasan cukup rinci mengenai preparasi obat tersebut mulai dari bahan mentah sampai metoda ekstraksinya. Meskipun demikian, sebagian besar uji klinik dan systematic review mengenai obat herbal baru sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan obat tersebut cukup menjanjikan, dan sangat jarang yang sampai pada kesimpulan bahwa obat tersebut direkomendasikan dalam praktek klinik4. Tentu menjadi semakin sulit untuk mengambil suatu kesimpulan apabila obat herbal yang digunakan tidak mempunyai sumber bahan dan metoda preparasi yang standar.

Kelemahan lain obat herbal adalah komposisi bahan dan metoda ekstraksinya biasanya tidak dilindungi oleh paten. Hal ini menurunkan minat perusahaan obat untuk berinvestasi dengan melakukan uji klinik skala besar.4 Kelemahan ini diperberat dengan kenyataan bahwa sebagian besar perusahaan obat herbal adalah perusahaan yang relatif kecil, baik dari segi sumber daya maupun keahlian.

Sebagai catatan akhir, sebenarnya terdapat perbedaaan yang mendasar dalam starting point antara obat farmasi dengan obat herbal. Obat farmasi adalah eksplanasi (senyawa yang sudah diketahui mekanisme aksinya) yang mencari aplikasi (klinis); sedangkan obat herbal adalah aplikasi (biasanya sudah dimanfaatkan dulu) yang memerlukan eksplanasi.Randomized controlled trial adalah metodologi riset yang diakui sebagai standar baku untuk uji klinik obat farmasi, tetapi apakah metoda ini juga tepat digunakan sebagai standar uji klinik obat herbal, masih menjadi pertanyaan besar bagi peneliti pengobatan herbal dan pengobatan komplementer pada umumnya. Sekaligus, menjadi pekerjaan rumah kita bersama.

Daftar Pustaka
1. Murcott T. The Whole Story: Alternative Medicine on Trial. New York: MacMillan; 2005.
2. Barnes PM, Bloom B, Nahin RL. Complementary and alternative medicine use among adults and children: United States, 2007. Natl Health Stat Report 2008:1-23.
3. Berman JD, Straus SE. Implementing a research agenda for complementary and alternative medicine. Annu Rev Med 2004;55:239-254.
4. Linde K, ter Riet G, Hondras M, Vickers A, Saller R, Melchart D. Systematic reviews of complementary therapies - an annotated bibliography. Part 2: herbal medicine. BMC Complement Altern Med 2001;1:5.

Sumber tulisan ini adalah : Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 33, No. 1 • Januari - Maret 2012, “Obat Herbal untuk Aterosklerosis: Bagaimana Menyikapinya?”, oleh : Sunu Budhi Raharjo.

Kamis, 01 Desember 2016

Demam Rematik Akut

Demam rematik akut (DRA) merupakan penyakit reaksi autoimun lambat terhadap Streptococcus grup A (SGA) Manifestasi klinis pada penderita ditentukan oleh kerentanan genetik penderita, virulensi organisme, dan lingkungan. Demam rematik akut yang tidak diterapi dengan baik akan menimbulkan gejala sisa pada jantung yang dikenal sebagai penyakit jantung rematik (PJR).
DRA dan PJR terjadi sebagian besar di negara yang sedang berkembang, lingkungan padat, sosial ekonomi rendah, keadaan malnutrisi, dan fasilitas kesehatan terbatas. Insidens puncak terjadi pada usia 8 tahun (rentang usia 6 – 15 tahun).

Diagnosis
Kriteria Jones (revisi) untuk pedoman dalam diagnosis reumatik (1992)
Manifestasi mayor
Manifestasi minor
Karditis
Poliartritis
Khorea
Eritema marginatum
Nodul subkutan
PLUS
Klinis
Artralgia
Demam
Laboratorium
Peningkatan reaktan fase akut (laju endap darah, C-reactive protein)
Pemanjangan interval PR pada EKG
Bukti infeksi streptokokus grup A sebelumnya
Kultur usap tenggorok atau rapid streptococcal antigen test positif
Titer antibodi streptokokus di atas nilai normal atau meningkat

Dasar diagnosis
·         Highly probable (sangat mungkin)--
·         2 mayor --atau 1 mayor + 2 minor
·         Disertai --bukti infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A
·         ASTO --↑ atau kultur positif Doubtful diagnosis (meragukan)
·         2 mayor--
·         1 mayor + 2 minor
·         Tidak terdapat bukti infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A--
·         Exception (perkecualian): diagnosis DRA dapat ditegakkan bila hanya ditemukan--
·         Korea saja atau--
·         Karditis indolen saja Pada tahun 2003, WHO mengeluarkan rekomendasi untuk --melanjutkan penggunaan kriteria Jones yang diperbaharui (tahun 1992) untuk demam rematik serangan pertama dan serangan rekuren DR pada pasien yang diketahui tidak mengalami PJR. Untuk serangan rekuren DR pada pasien yang sudah mengalami penyakit jantung rematik, WHO merekomendasikan penggunaan minimal dua kriteria minor dengan disertai bukti infeksi SGA sebelumnya. Kriteria diagnostik PJR ditujukan untuk pasien yang datang pertama kali dengan mitral stenosis murni atau kombinasi stenosis mitral dan insufisiensi mitral dan/atau penyakit katup aorta. Untuk chorea rematik tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau bukti infeksi SGA sebelumnya (WHO, 2004).
Kriteria DR menurut WHO tahun 2002-2003 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel . Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk diagnosis demamrematik dan penyakit jantung rematik (berdasarkan revisi kriteria Jones)
Kategori diagnostik
Kriteria
Demam rematik serangan pertama
Dua mayor atau satu mayor dan dua minor ditambah dengan bukti infeksi SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren tanpa PJR
Dua mayor atau satu mayor dan dua minor ditambah dengan bukti infeksi SGA sebelumnya
Demam rematik serangan rekuren dengan PJR
Dua minor ditambah dengan bukti infeksi SGA sebelumnya
Korea rematik
Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau bukti infeksi SGA
PJR (stenosis mitral murni atau kombinasi dengan insufisiensi mitral dan/atau gangguan katup aorta)
Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk mendiagnosis sebagai PJR
Sumber: WHO, 2004
Tata laksana
Tirah baring
Lama dan tingkat tirah baring tergantung sifat dan keparahan serangan (Tabel 2. panduan aktivitas pada DRA).
Tabel . Panduan aktivitas pada DRA
Aktivitas
Artritis
Karditis minimal
Karditis sedang
Karditis berat
Tirah barin
1-2 minggu
2-4 minggu
4-6 minggu
2-4 bulan/selama masih terdapat gagal jantung kongestif
Aktivitas dalam rumah
1-2 minggu
2-3 minggu
4-6 minggu
2-3 bulan
Aktivitas di luar rumah
2 minggu
2-4 minggu
1-3 bulan
2-3 bulan
Aktivitas penuh
Setelah 6-10 minggu
Setelah 6-10 minggu
Setelah 3-6 bulan
bervariasi

Pemusnahan streptokok dan pencegahan
Rekomendasi untuk pencegahan streptokok dari tonsil dan faring sama dengan rekomendasi yang dianjurkan untuk pengobatan faringitis streptokok, yaitu:
Ø  Benzantin penicillin G --
·         Dosis 0,6-1,2 juta U i.m. --
·         Juga berfungsi sebagai pencegahan dosis pertama--
Ø  Jika alergi terhadap benzantin penisilin G --
·         Eritromisin 40mg/kgbb/hari dibagi 2-4 dosis selama 10 hari--
·         Alternatif lain: penisilin V 4 X 250 mg p.o. selama 10 hari--

Pengobatan antinyeri dan antiradang
Antiinflamasi asetosal diberikan pada karditis ringan sampai sedang, sedangkan prednison hanya diberikan pada karditis berat.
·         Karditis minimal: tidak jelas ditemukan kardiomegali--
·         Karditis sedang: kardiomegali ringan--
·         Karditis berat: jelasterdapat kardiomegali disertai tanda gagal jantung
Tabel Panduan obat anti inflamasi
                                               Artritis
Karditis ringan
Karditis sedang
Karditis berat
Prednison
-
-
2-4 minggu
2-6 minggu
Aspirin
1-2 minggu
2-4 minggu
6-8 minggu
2-4 bulan

Dosis: Prednison : 2 mg/kgbb/haridibagi 4 dosis
Aspirin :100 mg/kgbb/hari, dibagi 4-6 dosis
Dosis prednison di tappering off pada minggu terakhir pemberian dan mulai diberikan aspirin
Setelah minggu ke-2 dosis aspirin diturunkan menjadi 60 mg/kgbb/hari

Pencegahan
Sesudah pengobatan DRA selama 10 hari dilanjutkan dengan pencegahan sekunder. Cara pencegahan sekunder yang diajukan oleh The American Heart Association dan WHO, yaitu mencegah infeksi streptokokus.

Pencegahan primer
Penisilin oral untuk eradikasi Streptococcus beta hemolyticus group A selama 10 hari atau benzathine penicillin G 0.6-1.2 juta unit IM

Pencegahan sekunder
Benzantin penisilin G 600.000 U IM untuk berat badan<27 kg (60 pound), 1,2 juta U untuk berat badan >27 kg (60 pound) setiap 4 minggu/28 hari
Pilihan lain:--
Penisilin V p.o.125–250mg 2 kali sehari Sulfadiazin 1 g p.o. sekali sehari Eritromisin --250 mg p.o. 2 kali sehari Diberikan pada demam reumatik akut, termasuk korea tanpa penyakit jantung reumatik.

Lama pencegahan adalah sebagai berikut:
Kategori pasien
Durasi
Demam rematik tanpa karditis
Sedikitnya sampai 5 tahun setelah serangan terakhir atau hingga usia 18 tahun
Demam rematik dengan karditis tanpa bukti adanya penyakit jantung residual/kelainan katup.
Sedikitnya sampai 10 tahun setelah serangan terakhir atau hingga usia 25 tahun, dipilih jangka waktu yang terlama
Demam reumatik akut dengan karditis dan penyakit jantung residual (kelainan katup persisten)
Sedikitnya 10 tahun sejak episode terakhir atau sedikitnya hingga usia 40 tahun, dan kadang-kadang seumur hidup
Setelah operasi katup
Seumur hidup

Kepustakaan
1.      Flyer DC. Rheumatic fever. Dalam: Keane JF, Lock JE, Flyer DC. Nadas’ pediatric cardiology. Edisi ke-2. 1. Philadelphia: Elsevier; 2006. h. 387-400.
2.      Mishra TK. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease: current scenario. JIACM. 2007;8(4):324-2. 30.
3.      WHO. Rhematic fever and rheumatic heart disease.-report of a WHO expert Consultation [Online]. 3. [Diunduhtanggal 15 Juni 2009]. Diunduhdari: http://www.who.int/cardiovaskular_diseases/resources/trs 923/en/index.html.
4.      Vijayalakshmi IB, Vishnuprabhu RO, Chitra N, Rajasri R, Anuradha TV. The efficacy of echocardiographic 4. criterions for the diagnosis of carditis in acute rheumatic fever. Cardiol Young. 2008;18:586-92.
5.      Gerber MA. Group A streptococcus. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook 5. of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2008. h. 1135-44.
6.      Gerber MA, Baltimore CRS, Eaton CB, Gewitz M, Rowley AH, Shulman ST, Taubert KA. Prevention 6. of Rheumatic Fever and Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis: A Scientific Statement From the American Heart Association Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease Committee of the Council on Cardiovascular Disease in the Young, the Interdisciplinary Council on Functional Genomics and Translational Biology, and the Interdisciplinary Council on Quality of Care and Outcomes Research. Circulation. 2009;119:1541-51.

7.      Dajani A, Taubert K, Ferrieri P et al. Treatment of acute streptococcal pharyngitis and prevention of 7. rheumatic fever: a statement for health professionals. Pediatrics 1995;96:758-764