konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Kamis, 01 Desember 2016

Artritis Reumatoid Juvenil

Artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik yang paling sering ditemukan pada anak. Artritis reumatoid juvenil didefinisikan sebagai adanya tanda objektif artritis pada sedikitnya satu sendi yang berlangsung lebih dari 6 minggu pada anak usia kurang dari 16 tahun dan jenis artritis lain pada anak telah disingkirkan. Adapun artritis didefinisikan sebagai pembengkakan pada sendi atau ditemukannya dua atau lebih tanda berikut: keterbatasan gerak, nyeri tekan, nyeri saat bergerak, atau sendi teraba hangat.
Patogenesis ARJ didasari oleh mekanisme kompleks imun. Banyak sekali faktor etiologi yang dapat menyebabkan gejala klinis ARJ seperti infeksi, autoimun, trauma, stres serta faktor imunogenetik. Penyakit ARJ umumnya mudah mengalami remisi, sehingga pengobatan ditujukan untuk mencegah komplikasi dan timbulnya kecacatan terutama yang mengenai sendi.

Diagnosis
Anamnesis
  • - Inflamasi sendi: gerakan sendi terbatas, nyeri bila digerakan dan teraba panas.
  • - Gejala yang sering pada anak kecil adalah kekakuan sendi pada pagi hari.
  • - Ekspresi nyeri pada anak lebih kecil bisa berupa perubahan postur tubuh.
  • - Pada awitan sistemik ditemukan demam tinggi intermiten selama 2 minggu atau lebih.
  • - Gejala umum lain adalah tidak nafsu makan, berat badan menurun, dan pada gejala yang berat bisa terjadi gangguan tidur di malam hari karena nyeri.

Pemeriksaan fisis
  • Sendi teraba hangat, biasanya tidak terlihat eritem
  •  Pembengkakan atau efusi sendi
  • Gerakan sendi terbatas
  • Tipe awitan poliartritis: artritis lebih dari 4 sendi, biasanya mengenai sendi–sendi jari dan simetris, dapat juga mengenai sendi lutut, pergelangan kaki, dan siku.
  • Tipe awitan oligoartritis: tanda artritis ditemukan pada 4 sendi atau kurang, sendi besar lebih sering terkena dan biasanya di daerah tungkai.
  • Tipe awitan sistemik: suhu tubuh >390C, tanda artritis, biasanya disertai kelainan sistemik lain seperti ruam reumatoid serta kelainan viseral (hepatosplenomegali, serositis, limfadenopati).

Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ARJ dapat ditegakkan secara klinis, beberapa pemeriksaan imunologik tertentu dapat menyokong diagnosis. Perlu diingat bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk ARJ.
  • Pemeriksaan darah tepi: anemia ringan/sedang, Hb 7-10g/dl. Leukositosis dengan predominasi netrofil. Trombositosis pada tipe sistemik berat atau poliartritis sering dipakai sebagai tanda reaktivasi ARJ.
  • Petanda aktivitas penyakit antara lain adalah LED dan CRP yang biasanya meningkat sesuai aktivitas penyakit.
  • Pemeriksaan C3 dan komponen hemolitik meningkat pada ARJ aktif.
  • Faktor reumatoid jarang ditemukan pada ARJ, tetapi bila positif biasanya dihubungkan dengan ARJ tipe poliartritis, anak lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau kondisi fungsional lebih buruk.
  • Pemeriksaan ANA positif terutama pada tipe oligoartritis dengan komplikasi uveitis, lebih sering pada anak perempuan.
  • Pencitraan dilakukan untuk memeriksa kerusakan sendi yang terjadi. Kelainan radiologis pada sendi: pembengkakkan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kadang-kadang dapat ditemukan formasi tulang baru periosteal. Pada tingkat lebih lanjut (lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Kelainan tulang juga dapat dideteksi dengan skintigrafi dan radio imaging.

Tata laksana
Tujuan penatalaksanaan artritis kronik adalah: meredakan nyeri, mengembalikan fungsi, mencegah deformitas, dan mengontrol inflamasi. Tujuan jangka panjang adalah meminimalisasi efek samping pengobatan, meningkatkan proses tumbuh kembang, rehabilitasi dan edukasi.

Medikamentosa
Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif.
- Obat anti inflamasi non steroid (AINS)
o Asam asetil salisilat: dosis 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3-4 kali pemberian; diberikan 1-2 tahun sampai gejala klinis menghilang
o Naproksen: dosis 10-15mg/kgBB dibagi dua; diberikan untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada anak yang tidak responsif terhadap asam asetilsalisilat atau sebagai pengobatan inisial.
o Analgetik lain: asetaminofen dapat bermanfaat mengontrol nyeri dan demam terutama pada penyakit sistemik namun tidak boleh diberikan jangka panjang karena menimbulkan kelainan ginjal.
- Obat antireumatik kerja lambat seperti hidroksiklorokuin, preparat emas (oral atau suntikan), penisilamin dan sulfasalazin. Obat ini hanya diberikan untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukkan perbaikan dengan AINS. Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan pada anak besar, dosis awal 6-7mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.
- Kortikosteroid jika terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk suntikan intra-artikular. Untuk sistemik berat yang tidak terkontrol diberikan prednison 0,25-1mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimum 40 mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan perlahan dan kemudian dihentikan. Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak berespons dengan AINS atau sebagai terapi suportif untuk sendi yang sudah mengalami inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga dapat diberikan pada poliartritis bila satu atau beberapa sendi tidak berespons dengan AINS. Triamsinolon heksasetonid merupakan pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar.
- Kombinasi AINS dengan steroid pulse therapy dapat digunakan untuk artritis onset sistemik. Metilprednisolon dengan dosis 15-30 mg/kgBB/pulse. Protokol yang diberikan adalah single pulse dengan jarak 1 bulan dengan pulse berikutnya, atau 3 pulse diberikan berurutan dalam 3 hari dalam 1 bulan, atau 3 pulse diberikan secara berselang dalam 1 bulan. Selama pemberian terapi ini harus dilakukan monitoring kardiovaskular dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
- Imunosupresan diberikan dalam protokol eksperimental untuk keadaan berat yang mengancam kehidupan walaupun beberapa pusat reumatologi sudah memakainya dalam protokol baku. Obat yang dipakai adalah azathioprin, siklofosfamid, klorambusil dan metotreksat. Yang paling sering digunakan adalah metotreksat yang diindikasikan untuk poliartritis berat atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan AINS, hidroksiklorokuin atau garam emas. Dosis inisial 5mg/m2/minggu; bila respons tidak adekuat setelah 8 minggu, dosis dapat dinaikkan menjadi 10mg/m2/minggu. Lama pengobatan 6 bulan dianggap adekuat.

Bedah
Tindakan bedah diperlukan untuk koreksi kecacatan sendi.

Suportif
Edukasi pasien dan keluarga: pengenalan dan tata laksana dini merupakan hal penting untuk mencegah deformitas yang lebih luas. Pengertian tentang penyakit ARJ pada keluarga dan lingkungan sangat diperlukan untuk mencegah gangguan emosi pada pasien.
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya)
- Rehabilitasi medik untuk mencegah kekakuan dan kecacatan sendi
- Ahli ortopedi
- Konsultasi berkala ke spesialis mata (3 bulan sekali) untuk deteksi dini uveitis
- Psikiater untuk pencegahan atau pengobatan gangguan emosi akibat kronisitas penyakit
- Konsultasi ke subbagian lain bila ada keterlibatan organ lain
Pemantauan
− Pemantauan terapi mencakup pemantauan efek samping (misalnya, gangguan gastrointestinal pada terapi asam salisilat) dan efektivitas pengobatan. Pemantauan aktivitas penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium (LED, CRP).
− Pemantauan tumbuh kembang: pemantauan perkembangan fisik dan mental dilakukan setiap bulan untuk deteksi dini gangguan tumbuh kembang akibat pengobatan maupun penyakitnya sendiri.
Kepustakaan
Sack KE, Fyle KH. Rheumatic disease. Dalam: Parslow Tg, Stites DP, Ter AI, Imboden JB, penyunting. 1. Medical immunology. Edisi ke-9. Philadelphia: Appleton & Lange; 2001. h. 370-79
Scackker JG, Szer I. Rheumatic disorders. Dalam: Steihm ER, penyunting. Immunologic disorders in 2. infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 1989. h. 439-74

Ashman RF. Rheumatic Disease. Lawlor GJ, Fisscher TJ, penyunting. Dalam: Manual of allergy and 3. immunology: diagnosis and therapy. Boston: Little Brown; 1981. h. 205-14

0 komentar:

Posting Komentar