konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Rabu, 24 Mei 2017

Urtikaria


Masalah Kesehatan
Urtikaria adalah reaksi vaskular pada kulit akibat bermacam-macam sebab. Sinonim penyakit ini adalah biduran, kaligata, hives, nettle rash. Ditandai oleh edema setempat yang timbul mendadak dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Dapat disertai dengan angioedema. Penyakit ini sering dijumpai pada semua usia, orang dewasa lebih banyak terkena dibandingkan dengan usia muda. Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk. Gatal sedang-berat di kulit yang disertai bentol-bentol di daerah wajah, tangan, kaki, atau
hampir di seluruh tubuh. Keluhan dapat juga disertai rasa panas seperti terbakar atau tertusuk. Kadang-kadang terdapat keluhan sesak napas, nyeri perut, muntah-muntah, nyeri kepala, dan berdebar-debar (gejala angioedema).
Gambar 11.33 Urtikaria
Faktor Risiko
1. Riwayat atopi pada diri dan keluarga.
2. Riwayat alergi.
3. Riwayat trauma fisik pada aktifitas.
4. Riwayat gigitan/sengatan serangga.
5. Konsumsi obat-obatan (NSAID, antibiotik – tersering penisilin, diuretik, imunisasi, injeksi, hormon, pencahar, dan sebagainya).
6. Konsumsi makanan (telur, udang, ikan, kacang, dan sebagainya).
7. Riwayat infeksi dan infestasi parasit.
8. Penyakit autoimun dan kolagen.
9. Usia rata-rata adalah 35 tahun.
10. Riwayat trauma faktor fisik (panas, dingin, sinar matahari, sinar UV, radiasi).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Lesi kulit yang didapatkan:
1. Ruam atau patch eritema.
2. Berbatas tegas.
3. Bagian tengah tampak pucat.
4. Bentuk papul dengan ukuran bervariasi, mulai dari papular hingga plakat.
5. Kadang-kadang disertai demografisme, berupa edema linier di kulit yang terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30menit.
6. Pada lokasi tekanan dapat timbul lesi urtika.
7. Tanda lain dapat berupa lesi bekas garukan.

Pemeriksaan fisik perlu dilengkapi dengan pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan gigi, THT, dan sebagainya untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.

Tempat predileksi
Bisa terbatas di lokasi tertentu, namun dapat generalisata bahkan sampai terjadi angioedema pada wajah atau bagian ekstremitas.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah (eosinofil), urin dan feses rutin (memastikan adanya fokus infeksi tersembunyi).
2. Uji gores (scratch test) untuk melihat dermografisme.
3. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu per satu.
4. Tes fisik: tes dengan es (ice cube test), tes dengan air hangat

Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Klasifikasi
1. Berdasarkan waktu berlangsungnya serangan, urtikaria dibedakan atas urtikaria akut (< 6 minggu atau selama 4 minggu terus menerus) dan kronis (> 6 minggu).
2. Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menjadi urtikaria papular (papul), gutata (tetesan air) dan girata (besar-besar).
3. Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan yang terkena, urtikaria dibedakan menjadi urtikaria lokal (akibat gigitan serangga atau kontak), generalisata (umumnya disebabkan oleh obat atau makanan) dan angioedema.
4. Berdasarkan penyebab dan mekanisme terjadinya, urtikaria dapat dibedakan menjadi:
a. Urtikaria imunologik, yang dibagi lagi menjadi:
 Keterlibatan IgE  reaksi hipersensitifitas tipe I (Coombs and Gell) yaitu pada atopi dan adanya antigen spesifik.
 Keikutsertaan komplemen  reaksi hipersensitifitas tipe II dan III (Coombs and Gell), dan genetik.
 Urtikaria kontak  reaksi hipersensitifitas tipe 4 (Coombs and Gell).
b. Urtikaria non-imunologik (obat golongan opiat, NSAID, aspirin serta trauma fisik).
c. Urtikaria idiopatik (tidak jelas penyebab dan mekanismenya).

Diagnosis Banding
Purpura anafilaktoid (purpura Henoch-Schonlein), Pitiriasis rosea (lesi awal berbentuk eritema), Eritema multiforme (lesi urtika, umumnya terdapat pada ekstremitas bawah).
Komplikasi
Angioedema dapat disertai obstruksi jalan napas.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Prinsip penatalaksanaan
Tata laksana pada layanan primer dilakukan dengan first-line therapy, yaitu memberikan edukasi pasien tentang penyakit urtikaria (penyebab dan prognosis) dan terapi farmakologis sederhana.
Urtikaria akut
Atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi obstruksi saluran napas. Penanganan dapat dilakukan di Unit Gawat Darurat bersama-sama dengan/atau dikonsultasikan ke dokter spesialis THT.
Bila disertai obstruksi saluran napas, diindikasikan pemberian epinefrin subkutan yang dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid prednison 60-80 mg/hari selama 3 hari, dosis diturunkan 5-10 mg/hari.
Urtikaria kronik
1. Pasien menghindari penyebab yang dapat menimbulkan urtikaria, seperti:
a. Kondisi yang terlalu panas, stres, alkohol, dan agen fisik.
b. Penggunaan antibiotik penisilin, aspirin, NSAID, dan ACE inhibitor.
c. Agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
2. Pemberian farmakoterapi dengan:
a. Antihistamin oral nonsedatif, misalnya loratadin 1 x 10 mg per hari selama 1 minggu.
b. Bila tidak berhasil dikombinasi dengan Hidroksisin 3 x 25 mg atau Difenhidramin 4 x 25-50 mg per hari selama 1 minggu.
c. Apabila urtikaria karena dingin, diberikan Siproheptadin 3 x 4 mg per hari lebih efektif selama 1 minggu terus menerus.
d. Antipruritus topikal: cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2% selama 1 minggu terus menerus.
e. Apabila terjadi angioedema atau urtikaria generalisata, dapat diberikan Prednison oral 60-80 mg mg per hari dalam 3 kali pemberian selama 3 hari dan dosis diturunkan 5-10 mg per hari.

Konseling dan Edukasi
Pasien dan keluarga diberitahu mengenai:
1. Prinsip pengobatan adalah identifikasi dan eliminasi faktor penyebab urtikaria.
2. Penyebab urtikaria perlu menjadi perhatian setiap anggota keluarga.
3. Pasien dapat sembuh sempurna.

Kriteria Rujukan
1. Rujukan ke dokter spesialis bila ditemukan fokus infeksi.
2. Jika urtikaria berlangsung kronik dan rekuren.
3. Jika pengobatan first-line therapy gagal.
4. Jika kondisi memburuk, yang ditandai dengan makin bertambahnya patch eritema, timbul bula, atau bahkan disertai sesak
Peralatan
1. Tabung dan masker oksigen
2. Alat resusitasi
3. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah, urin dan feses rutin.


No. ICPC-2 : S98 Urticaria
No. ICD-10 : L50 Urticaria
L50.9Urticaria, unspecified
Tingkat Kemampuan:
Urtikaria akut : 4A
Urtikaria kronis : 3A


Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam dengan tetap menghindari faktor pencetus.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.

Trauma Kimia Mata


Trauma kimia mata adalah salah satu kasus kedaruratan mata, umumnya terjadi karena masuknya zat-zat kimia ke jaringan mata dan adneksa di sekitarnya. Keadaan ini memerlukan penanganan cepat dan segera oleh karena dapat mengakibatkan kerusakan berat pada jaringan mata dan menyebabkan kebutaan. Zat kimia penyebab dapat bersifat asam atau basa. Trauma basa terjadi dua kali lebih sering dibandingkan trauma asam dan umumnya menyebabkan kerusakan yang lebih berat pada mata. Selain itu, beratnya kerusakan akibat trauma kimia juga ditentukan oleh besarnya area yang terkena zat kimia serta lamanya pajanan.

Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Mata merah, bengkak dan iritasi
2. Rasa sakit pada mata
3. Penglihatan buram
4. Sulit membuka mata
5. Rasa mengganjal pada mata

Faktor Risiko
Pajanan terhadap zat kimia yang sering menjadi penyebab trauma antara lain detergen, desinfektan, pelarut kimia, cairan pembersih rumah tangga, pupuk, pestisida, dan cairan aki. Anamnesis perlu dilakukan untuk mengetahui zat kimia penyebab trauma, lama kontak dengan zat kimia, tempat dan kronologis kejadian, adanya kemungkinan kejadian kecelakaan di tempat kerja atau tindak kriminal, serta penanganan yang sudah dilakukan sebelumnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Dengan bantuan senter dan lup, dapat ditemukan kelainan berikut ini:
1. Hiperemia konjungtiva
2. Defek epitel kornea dan konjungtiva
3. Iskemia limbus kornea
4. Kekeruhan kornea dan lensa

Pemeriksaan visus menunjukkan ada penurunan ketajaman penglihatan. Bila tersedia, dapat dilakukan tes dengan kertas lakmus untuk mengetahui zat kimia penyebab
1. Bila kertas lakmus terwarnai merah, maka zat penyebab bersifat asam
2. Bila kertas lakmus terwarnai biru, maka zat penyebab bersifat basa

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Komplikasi
1. Simblefaron
2. Hipotoni bola mata
3. Ptisis bulbi
4. Entropion
5. Katarak
6. Neovaskularisasi kornea

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Segera lakukan irigasi mata yang terkena zat kimia dengan cairan mengalir sebanyak mungkin dan nilai kembali dengan kertas lakmus. Irigasi terus dilakukan hingga tidak terjadi pewarnaan pada kertas lakmus.
2. Lakukan eversi pada kelopak mata selama irigasi dan singkirkan debris yang mungkin terdapat pada permukaan bola mata atau pada forniks.
3. Setelah irigasi selesai dilakukan, nilai tajam penglihatan, kemudian rujuk segera ke dokter spesialis mata di fasilitas sekunder atau tersier.

Konseling & Edukasi
Anjuran untuk menggunakan pelindung (kacamata / goggle, sarung tangan, atau masker) pada saat kontak dengan bahan kimia
Kriteria Rujukan
Setelah penanganan awal dengan irigasi, rujuk pasien ke dokter spesialis mata untuk tatalaksana lanjut
Peralatan
1. Lup
2. Senter
3. Lidi kapas
4. Kertas lakmus (jika memungkinkan)
5. Cairan fisiologis untuk irigasi

Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Dubia
3. Ad sanationam : Dubia

No. ICPC-2 : F79 Injury eye other
No. ICD-10 : T26Burn and corrosion confined to eye and adnexa
Tingkat Kemampuan : 3A
Masalah Kesehatan

Referensi
1. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
2. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Ed 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000.

3. Ehlers JP, Shah CP, editors. The Wills Eye Manual-office and emergency room diagnosis and treatment of eye disease. 5th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008. (Ehlers & Shah, 2008 

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase



Abstrak
Perdarahan intrakranial spontan pada terapi antikoagulan rivaroxaban mulai sering ditemukan, apalagi bila dikombinasi dengan antiplatelet clopidogrel maupun fibrinolitik lumbrokinase merupakan hal yang sering ditemukan pada penderita trombosis. Perdarahan intrakranial spontan terbanyak adalah perdarahan intracerebral. Perdarahan spontan epidural (EDH) akut merupakan hal yang jarang ditemukan, biasanya terjadi karena ada penyakit yang mendasarinya. Penatalaksanaan pada kasus ini berdasarkan patofisiologinya dan melibatkan multidisiplin ilmu lainnya. Seorang laki-laki, 26 tahun berat badan 80 kg yang didiagnosa deep vein thrombosis (DVT) mengalami penurunan kesadaran mendadak, pupil anisokor 4 mm/1mm ketika sedang beraktivitas. Tidak dijumpai riwayat cedera kepala. Setelah diresusitasi didapatkan hasil head CT-scan dengan EDH temporoparietal dextra 50 cc, dilakukan dekompresi craniektomi dan evakuasi EDH. Setelah 10 jam pasca operasi terjadi gejolak hemodinamik dan dilakukan head CT-scan ulang dan didapatkan EDH 80 cc dan minimal perdarahan intracerebral. Dilakukan redo craniektomi. Pasca operasi dirawat di ICU dengan koreksi faktor koagulasi. Pasien kembali komposmentis GCS 15 dengan gejala sisa hemiparese sinistra sementara.
Kata Kunci: terapi kombinasi rivaroxaban, clopidogrel dan lumbrokinase, perdarahan EDH spontan, koreksi faktor koagulasi
JNI 2016;5(2): 94–103


Acute Spontaneus Epidural Hemorrhage due to Combination Therapy Rivaroxaban, Clopidogrel and Lumbrokinase

Abstract
Spontaneous intracranial hemorrhage on anticoagulant therapy rivaroxaban lately often found, especially when combined with clopidogrel antiplatelet or fibrinolytic lumbrokinase is often found in patients with thrombosis. Spontaneous intracranial hemorrhage is most widely occured is intracerebral hemmorrhage. Spontaneous epidural hemorrhage (EDH) acute is a uncommon, usually occur because there is an underlying disease. Treatment on the case based on patophysiology and involves a multidisciplinary peer other sciences. A young man, 26 years old weight 80 kg which was diagnosed with deep vein thrombosis (DVT) awareness of sudden decline, the pupil anisokor 4 mm/1mm while activity. No head trauma history. After resuscitation, head Ct-scan with EDH temporoparietal dextra 50 cc, carried out the evacuation EDH and decompression craniektomi. After 10 hours of post-operative haemodynamic turmoil happened and done a head ct-scan and obtained EDH 80 cc and minimal intracerebral hemorrhage. Do redo craniektomi. Post-operative hospitalized in ICU with correction factor for coagulation. The patient recovers conciousness into composmentis GCS 15 with sequelae hemiparese sinistra temporary.
Key words: combination therapy rivaroxaban, clopidogrel and lumbrokinase, spontaneus EDH acute, treatment coagulation factor
JNI 2016;5(2): 94–103

RR Sinta Irina*), Nazaruddin Umar*), Hasanul Arifin*), Margaritta Rehatta, Siti Chasnak Saleh**)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Sumatera Utara-RSUP H.Adam Malik Medan, **) Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya



I. Pendahuluan
Perdarahan spontan sering terjadi pada pemakaian
obat oral antikoagulan dan antiplatelet seperti
rivaroxaban dan clopidogrel, apalagi dengan
pemakaian kombinasi dua obat tersebut.1 Lokasi
perdarahan sering tidak dapat diduga. Angka
kejadian terjadi perdarahan spontan di saluran
cerna 100-200 per 100.000 kasus.2 Pasien dengan
perdarahan intrakranial akut didapatkan 20%
memakai antikoagulan oral, dan 30% terapi
antiplatelet oral.3 Kasus perdarahan epidural
spontan non trauma sangat jarang ditemukan.
Laporan kasus yang ditemukan sampai dengan
tahun 2010 hanya 19 kasus.4 Penatalaksanaan
anestesi dengan pasien perdarahan intrakranial
akut oleh karena pemakaian antikoagulan dan
antiplatelet memerlukan penanganan perioperatif
menyeluruh sehingga penyebab perdarahan bisa
diatasi segera. Preoperatif dengan resusitasi yang
benar, intraoperatif dan perawatan pascaoperatif
baik akan menghasilkan outcome yang baik
untuk mencegah terjadinya cedera otak sekunder.

II. Kasus
Seorang laki-laki berusia 26 tahun, berat badan
80 kg dengan diagnosis deep vein thrombosis
(DVT) pada kedua tungkai bawah di RSUP H.
Adam Malik Medan tiba-tiba terjadi penurunan
kesadaran ketika sedang beraktivitas lima
belas menit sebeumnya. Pasien mengeluh nyeri
kepala hebat, pusing, mual dan muntah dan
terjadi kejang. Ditemukan lucid interval. Pasien
terjatuh di kamar mandi oleh karena pingsan, dan
sempat sadar 5 menit setelah itu. Tidak dijumpai
adanya riwayat cedera kepala. Segera dilakukan
resusitasi ABCDE neuronestesi dan dilakukan
pemeriksaan head CT-scan didapatkan gambaran
epidural hemorrhage (EDH) temporoparietal
dextra sebesar lebih kurang 50 cc dan midline
shift lebih dari 5 mm. Kemudian dilakukan
kraniektomi evakuasi EDH cito. Beberapa jam
setelah kraniektomi terjadi gejolak hemodinamik
dan segera dilakukan head CT-scan ulang.
Didapatkan gambaran epidural hemorrhage
temporoparietal dextra dan segera dilakukan redo
kraniektomi.

Anamnesa
Pasien mengeluh nyeri pada kedua tungkai bila
beraktivitas sejak 2 minggu terakhir dan memberat
sejak kedua tungkainya membengkak 10 hari
terakhir sebelum terjadi penurunan kesadaran.
Dari bagian Penyakit Dalam pasien didiagnosa
dengan DVT dan vaskulitis vena saphena magna
dextra dan sinistra dan diterapi dengan obat
metilprednisolon 1 mg/kg BB, antikoagulan
rivaroxaban 2x15 mg (sudah dimakan selama 3
hari), fibrinolitik lumbrokinase dan antiplatelet
clopidogrel 75 mg masing-masing baru satu
kali dimakan. Walaupun terasa nyeri pada kedua
tungkai pasien masih bisa beraktivitas seperti
biasa. Penyakit penyerta lainnya disangkal oleh
pasien. Riwayat cedera kepala tidak dijumpai.
Ditengah sedang beraktivitas pasien mengeluh
nyeri kepala hebat secara tiba-tiba, pusing,
mual, muntah dan kejang kemudian penurunan
kesadaran mendadak.

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran awal komposmentis, mengeluh
nyeri kepala hebat, pusing, mual dan muntah
sebanyak 5 kali, tekanan darah 200/100 mmHg,
laju nadi 120 x/menit, berangsur-angsur turun
tekanan darah 180/100 mmHg, dan pada 5 menit
kemudian tekanan darah 160/90 mmHg pasien
kejang dan kesadaran menurun menjadi GCS 9
(E2M5V2). Pupil anisokor 4 mm/1mm. Reflek
cahaya melambat. Kedua tungkai bawah terlihat
bengkak dan adanya banyak petechie. Setelah
terjadi penurunan kesadaran tekanan darah
200/100 mmHg, laju nadi 130 x /menit. Kemudian
dilakukan resusitasi sesuai ABCDE neuroanestesi
dan tekanan darah 130/70 mmHg. Laju nadi
100 x/menit suhu 360C, saturasi oksigen 99%.


Pengelolaan Anestesi
Penatalaksanaan preoperatif dengan melakukan
resusitasi segera ketika terjadi kegawatan
kenaikan tekanan intrakranial secara tibatiba.
Ketika pasien mulai mengeluh sakit
kepala, pusing, mual dan muntah pasien segera
dibaringkan dengan posisi head up 30o dan
diberi oksigen nasal kanul 2 liter per menit dan
dipasang infus. Tekanan darah awal didapatkan
200/100 mmHg dan laju nadi 120 x/menit, dan
berangsur menurun tekanan darah menjadi 180/100 mmHg dan turun kembali menjadi
160/90 mmHg setelah dibaringkan dengan posisi
head up 30o. Setelah sekitar 15 menit kemudian
pasien kejang dan terjadi penurunan kesadaran
secara mendadak menjadi GCS 5 E1M3V1 dan
pupil anisokor 4 mm/1 mm dengan reflek cahaya
lambat. Kemudian dilakukan resusitasi ABCDE
secara neuroanestesi. Intubasi dengan midazolam
5 mg, fentanyl 100 mikrogram, propofol 80 mg
dan rocuronium 50 mg. Setelah intubasi keadaan
hemodinamik stabil tekanan darah 130/90 mm
Hg (heart rate/HR) laju nadi 100 x/menit dan
dilakukan pemeriksaan head CT-scan. Dari hasil
head CT-scan didapatkan EDH temporoparietal
dextra sebanyak lebih kurang 50 cc dengan midline
shift lebih dari 5 mm. Kemudian segera dilakukan
kraniektomi evakuasi EDH. Pasien dimasukkan
ke kamar operasi dengan tetap terintubasi dan
kontrol pernafasan dan sedasi adekuat. Sebelum
dihubungkan dengan mesin anestesi pasien diberi
sedasi kembali dengan propofol 40 mg, fentanyl
50 mikrogram dan rocuronium 15 mg. Rumatan
anestesi dengan oksigen dan udara 4 L/menit
dan anestetika volatil sevofluran 0,5–0,8 vol%,
dikombinasi dengan dexmetomidine 6 cc (0,3 μg/
kg/per jam) dan fentanyl 300 mikrogram dalam
50 cc dijalankan 3 cc per jam (syringe pump) serta
relaksan rocuronium 4 cc per jam (syringe pump).
Hemodinamik selama operasi stabil dengan
tekanan darah sistolik 150–120 mmHg dan
diastolik 100-80 mmHg. Denyut jantung berkisar
antara 100–80 x/menit. etCO2 32–35. Operasi
dekompresi dan evakuasi EDH berlangsung
selama 1 jam 45 menit, total perdarahan kurang
lebih 400 cc dengan diuresis 800 ml per jam.
Total cairan intraoperatif kristaloid 1000 cc, PRC
250 cc, FFP 500 cc, cryo 500 cc.

Setelah selesai operasi pasien dipindahkan ke
ICU dengan perawatan bantuan ventilator modus
kontrol tidal volume 460 ml, RR 15 x/menit,
PEEP 5 dan FiO2 30%; dan disedasi adekuat
dengan dexmetomidine 6 cc/jam (syringe pump),
atracurium 30 mg /jam (syringe pump), fentanyl
300 mikrogram dalam 50 ml diberikan 3 cc/
jam (syringe pump). Selama di ICU pascabedah
dimonitor hemodinamik. Tekanan darah sistolik
170–140 mmHg, diastolik 90–80 mmHg dan HR
80–95 x/menit, etCO2 30–35 mmHg. Pupil isokor
3 mm/3mm dengan reflek cahaya positip. Terapi
medikamentosa di ICU diberikan antibiotik
meropenem 1 gr/8 jam, omeprazole 40 mg/12
jam, phenytoin 100 mg/ 8 jam, transamin 1 gr/8
jam dan obat semax 6 gtt/4 jam. Delapan jam
post operasi terjadi gejolak hemodinamik, HR
meningkat menjadi 130 x/menit, dan tekanan
darah meningkat hingga sistolik 200 mmHg dan
pupil menjadi anisokor 2 mm/1 mm dan otak
terkesan membengkak. Kemudian diputuskan untuk head CT-scan ulang dan didapatkan
EDH temporopariteal dextra sebanyak 80 cc
dan minimal ICH, dan segera dilakukan redo
craniectomy evakuasi EDH.

Pada operasi redo kraniektomi tehnik anestesi
dilakukan sama dengan operasi kraniektomi
sebelumnya. Dipakai kombinasi obat anestesi
intravena dan volatil sevoflurane. Hemodinamik
stabil selama operasi. Tekanan darah sistolik
antara 150–120 mmHg, diastolik 70–60 mmHg.
Pada intraoperatif terjadi rembesan perdarahan
aktif, dan sejawat bedah syaraf memberikan
Cofact (antitrombin III) 1000 IU. Operasi redo
craniectomy berjalan selama 2,5 jam dengan
perdarahan sekitar 700 cc. Total cairan yang
diberikan WB 350 cc, PRC 200 cc, kristaloid
1500 cc. Total diuresis 400 cc.

Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi
Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase



Pengelolaan Pascaoperasi
Pasien dirawat di ruang perawatan intensif
dengan keadaan masih dalam sedasi adekuat
dan dengan bantuan ventilator modus kontrol
tidal volume 460 ml, RR 15 x/menit, PEEP 5
dan FiO2 30%; dan disedasi adekuat dengan
dexmetomidine 6 cc/jam, atracurium 30 mg /jam,
fentanyl 300 mikrogram dalam 50 ml diberikan
3 cc/jam. Cairan rumatan R Sol diberikan
sebanyak 3000 ml per 24 jam, serta dipantau
balans cairan. Selama di ICU pascabedah
dimonitor hemodinamik. Tekanan darah sistolik
140–120 mmHg, diastolik 70–60 mmHg dan HR
70-60 x/menit. etCO2 30–35 mmHg. Pupil isokor
3 mm/3mm dengan reflek cahaya positip. Suhu
36 0C afebris. Kemudian dilakukan pemeriksaan
laboratorium: Hb 7,70 g/dL, Ht 23,50%, Leukosit
11.000/mm3, trombosit 278.000/mm3, PT 16,7’’ (14,00’’), INR 1,2, APTT 31,5’’(34,0’’), TT
15,6’’(17,4’’). AGDA dengan ventilator modus
kontrol pH 7,500 pCO2 34,0 mmHg pO2 187.0
mmHg bikarbonat (HCO3) 26,5 mmol/L total
CO2 27,5 mmol/L BE 3,5 mmol/L dan saturasi O2
100%.





Perawatan Hari Pertama
Keadaan hemodinamik stabil tekanan darah
rerata sistolik 130–110 mmHg dan diastolik 90–
70 mmHg dan HR 70–60 x/menit, SpO2 99%, dan
suhu 36,5 0C. Keadaan pasien masih dalam sedasi
adekuat dan bantuan ventilator. Dengan diberikan
tambahan Cofact (antitrombin III) 1000 IU per
hari. Dan diberikan transfusi FFP 500 cc dan
PRC 250 cc. Diperiksa secara serial darah rutin,
untuk mendapatkan hematokrit sekitar 35% dan
diperiksa faal hemostasis sampai mencapai nilai
normal. Hasil laboratorium didapatkan Hb 9,60 g/
dL, Ht 28,40%, leukosit 13.420/mm3, trombosit
183.000/mm3, Na 135 mEq/L, K 3,7 mEq/L, Cl
106 mEq/L, protrombin 12,5’’ (13,5’’), INR 0,92,
antitrombin III 130,5% (normal 75–125).

Diperiksa thromboelastography (TEG), agregasi
trombosit dan didapatkan hasil akhirnya normal
aktivitas pembekuan, normal aktivitas fibrinogen,
normal fungsi platelet.

Terapi di perawatan intensif hampir sama
dengan sebelumnya. Analgetik diberikan dengan
paracetamol 1 gr/8 jam, terapi antibiotik diberikan
tambahan mikasin 1 gr/24 jam, dan semax 6
gtt/4 jam. Dari sejawat internist hematologist
diberikan terapi heparinisasi 500 IU per hari
dijalankan secara kontinyu 6 cc per jam, dan dari
sejawat bedah saraf diberikan terapi Cofact 1000
IU. Pasien disedasi dengan bantuan ventilator
selama masa pemulihan faktor pembekuan
darah dan hemoglobin normal. Dilakukan
pemeriksaan ulangan laboratorium kembali, dan
pada pemeriksaan kelima (H-I): Hb 9,90 g/dL, Ht
30,30%, leukosit 14.42 /mm3, Plt 197.000/mm3.
Analisa gas darah dengan ventilator modus
spontan pH 7,310, pCO2 33,0 mmHg, pO2 131.0
mmHg bikarbonat (HCO3) 16,6 mmol/L, total
CO2 17,6 mmol/L BE -8.7 mmol/L dan saturasi
O2 99%. Kadar gula darah ad random 141,80
mg/dL. Na 135 mEq/L, kalium 4,1 mEq/L,
klorida 105 mEq/L. Protrombin time 12,5 detik
INR 0,92. Pada H-1 pasien mulai disapih dari
ventilator secara bertahap dan dikurangi obat
sedasinya, sambil dipastikan semua faktor-faktor
ekstrakranial memenuhi syarat untuk ekstubasi.

Perawatan Hari Kedua
Pasien masih di perawatan intensif. Status
generalisata keadaan umum baik dengan tensi
120/80 mmHg, nadi 65 x/menit, SpO2 99%.
Frekuensi nafas 14–16 x/menit dengan O2 t-piece
5 liter permenit. Status neurologik pasien sudah
sadar penuh GCS 15 pupil isokor 3 mm/3mm, dan
dilakukan ekstubasi dan diberi O2 nasal kanul 2
liter permenit. Laboratorium pada keadaan nafas
spontan nasal kanul 2 liter per menit didapatkan
analisa gas darah pH 7,410, pCO2 33,0 mmHg, pO2
197.0 mmHg, bikarbonat (HCO3) 20,9 mmol/L,
total CO2 21,9 mmol/L, BE -3.3 mmol/L dan
saturasi O2 100%. Asam laktat arteri 0,9 mmol/L,
procalcitonin 0,08 ng/mL. Faal hemostasis masih
terus dipantau dan diperiksa ulang didapatkan
hasil Protrombin Time 12,9 detik (kontrol 14.00
detik); INR 0,92; apTT 41,5 detik (kontrol 34,0
detik); waktu trombin 13,6 (kontrol 16,7 detik).


Perawatan Hari Ketiga
Keadaan umum pasien baik, sadar baik, nafas
spontan dan sudah mulai asupan nutrisi oral.
Pasien dialih rawat ke ruangan rawat inap biasa.
Pascabedah pasien ditemukan adanya hemiparese
sinistra. Hal ini dialami selama kurang lebih
1,5 bulan, dan berangsur membaik dengan
fisiotherapi rutin, dan pasien mengaku masih
mengingat seluruh kejadian sebelum terjadinya
penurunan kesadaran. Di bulan ke-2 pasca
pembedahan kekuatan motorik pasien telah
kembali normal dan sudah dapat mengemudi
mobil manual sendiri dan hidup secara mandiri.
Di bulan ke-4 pasien telah dilakukan kranioplasti.
Pada bulan ke-5 pascabedah didapatkan
penilaian Glasgow Outcome Scale (GOS) skor
5 (interpretasi Good Recovery), dan penilaian
Extended Glasgow Outcome Scale (GOSE) skor
8 (interpretasi Upper Good Recovery) dan pada
penilaian Mini Mental State Exam (MMSE) skor
29 (interpretasi tidak ada gangguan kognitif).
Gejala sisa yang masih ada hingga saat ini (bulan
ke-5 pascabedah) terkadang masih ada klonus
sesekali pada kaki kiri dan tremor halus di tangan
kiri. Pasien masih merasakan kelemahan tangan
kiri bila memegang sesuatu barang dalam jangka
waktu lama lebih dari 30 menit. Namun hingga
saat ini pasien masih melakukan fisioterapi rutin


III. Pembahasan
Angka kejadian perdarahan intrakranial spontan
pada terapi antikoagulan dan antiplatelet oral
sangat tinggi yaitu 70%, dan umumnya 60% nya
adalah perdarahan intracerebral.5 Perdarahan
EDH spontan suatu hal yang tidak umum
dijumpai. Pada kasus ini terjadi perdarahan
EDH spontan non trauma. Dilaporkan hanya
19 kasus ditemukan sampai dengan tahun 2010
adanya perdarahan EDH spontan non trauma.
Berdasarkan penyakit yang mendasarinya kasus
tersebut dibagi menjadi tiga kategori yaitu
pertama karena adanya lokal infeksi pada daerah
kepala seperti sinusitis, infeksi telinga dan hidung.
Infeksi tersebut dapat merusak dinding pembuluh
darah meningen dan membentuk inflamasi, kedua
karena adanya keganasan pada ekstraduramater
sehingga merusak pembuluh darah meningen
itu sendiri, dan ketiga karena adanya kelainan kolagen pembuluh darah misalnya penyakit
systemic lupus erythematosus (SLE) atau pasien
dengan kelainan koagulopati.4

Adanya keluhan dan gejala kenaikan tekanan
intrakranial secara cepat perlu penanganan
resusitasi ABCDE neuroanestesi segera. Tujuan
resusitasi sesegera mungkin dilakukan untuk
menjaga tekanan perfusi otak (cerebral perfusion
pressure/CPP) tetap baik sehingga mencegah
terjadinya cedera otak sekunder.6,7,15 Keadaan
hipoksia, hiperkarbia, hipertensi, hipotensi,
hiperthermia, hiperglikemia, hipoglikemia,
mual, muntah, kejang semuanya harus dicegah
dan diterapi segera karena dapat menyebabkan
cedera otak sekunder. Pada pasien ini awalnya
terjadi gejolak hemodinamik, tekanan darah
meningkat (200/100 mmHg) yang merupakan
kompensasi tubuh dalam mempertahankan CPP.
Setelah diresusitasi pasien diintubasi, posisi head
up 300 dan disedasi maka hemodinamik relatif
normal. Namun penyebab tekanan intrakranial
yang meningkat ini adalah EDH spontan akut
terjadi karena terapi antikoagulan, fibrinolitik dan
antiplatelet yang mempunyai waktu paruh 12–17
jam maka reaksi obat tersebut masih menimbulkan
efek sehingga terjadi perdarahan EDH spontan
kembali pada daerah yang sama dan minimal
intracerebral hemmorrhage. Banyak laporan
kasus menyatakan bahwa adanya komplikasi
perdarahan spontan berulang pada bedah saraf
meningkat dengan adanya terapi antikoagulan
misalnya rivaroxaban.8 Terapi antikoagulan
oral tunggal saja bisa menyebabkan perdarahan
spontan, dan resiko perdarahan meningkat bila
dikombinasi dengan antiplatelet oral walaupun
dalam dosis yang lebih kecil.


Rivaroxaban lebih sensitif terhadap perubahan
pemanjangan masa protrombin (PT) dibanding
dabigartan dan tidak mmpunyai efek pemanjangan
waktu trombin.9 Pemberian kombinasi terapi
rivaroxaban yang merupakan inhibitor faktor Xa
bersama dengan clopidogel akan meningkatkan
resiko perdarahan pada orang yang sehat tanpa
menganggu farmakokinetik dan farmakodinamik
masing-masing obat tersebut.10 Pada intraoperatif
dan postoperatif redo craniotomi diberikan cofact
1000 IU untuk mencegah terjadinya perdarahan
kembali. Cofact yang merupakan prothrombin
complex mempunyai efek menurunkan nilai
INR.11 Pasien juga ditransfusi fresh frozen
plasma dan Cryopresipitate untuk mengatasi
gangguan koagulasi darah. Direkomendasikan
pada Guideline Blood Transfusion untuk
mengatasi perdarahan yang mengancam jiwa
untuk memberikan (prothrombin Complex/PCC)
50–100% faktor prothrombin complex dengan
1–2 ml/ kg BB





Tujuan terapi di ICU untuk pasien dengan
serebral akut adalah untuk memberikan kondisi
yang baik bagi pemulihan otak primer seraya
mencegah setiap kerusakan otak sekunder yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial, hipotensi atau hipertensi, hipoksemia
dan hiperkarbia. 6,12 Pascaoperasi pasien dirawat
di ICU dengan bantuan ventilator, posisi head up
300 dan sedasi adekuat untuk menjamin pasokan
oksigen ke otak dan mencegah terjadinya agitasi
yang bisa menyebabkan tekanan intrakranial
semakin meningkat. Posisi kepala netral dan
head up 15–300 dilakukan sebagai usaha
untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan
memperbaiki drainase vena serebral. Posisi ini
dapat memicu terjadinya hipotensi yang akan
dapat memperburuk perfusi yang sudah terganggu.
Melakukan ventilasi kendali mencegah hipoksia
dan mempertahankan keadaan normokapnea
bertujuan untuk megendalikan sementara aliran
darah otak sehingga dapat menurunkan TIK.

Sedasi adalah suatu bagian penting dari terapi
pasien dengan gangguan serebral, terutama yang
memerlukan ventilasi mekanis. Tujuan utama
sedasi adalah untuk fasilitasi pengobatan intensif,
terutama ventilasi mekanis; untuk kenyamanan
pasien dan mencegah peningkatan tekanan
intrakranial. Sedasi digunakan dexmedetomidine
6 cc/jam (0,3 mikro/kgBB/jam) yang mempunyai
efek menurunkan aliran darah otak dengan
vasokonstriksi otak dan menurunkan metabolisme
otak.11,13 Dexmedetomidine merupakan suatu
superselektif alpha2 adrenergik. Obat tersebut
mempunyai efek sedatif dan analgesia, dan
anesthesia sparing effect, menurunkan kebutuhan
obat anestesi intravena, anestetika inhalasi dan
narkotik analgetik. Dexmedetomidine dapat
menurunkan tekanan darah dan denyut jantung.
Efek sedasi tidak disertai dengan efek depresi
nafas oleh karena itulah dexmedetomidine
sangat berguna untuk sedasi analgesi pascabedah
dan pasien dirawat di ICU. Setelah beberapa
penelitian, dexmedetomidine telah disetujui
di Amerika pada tahun 1999 dan telah
digunakan untuk analgesia dan sedasi di ICU.
Dexmedetomidine juga mempunyai efek proteksi
otak.12 Efek neuroproteksi otak disebabkan
karena menghambat iskemia yang diakibatkan
pelepasan norepinefrin karena dexmedetomidine
menurunkan level norepinefrin saat bangun dari
anestesi. Dexmedetomidine mencegah kematian
sel neuron setelah iskemia fokal dan daerah yang
mengalami iskemik turun 40% dibandingkan dengan plasebo. Dexmedetomidine mempertinggi pembuangan glutamin melalui metabolisme
oksidatif pada astrosit. Alpha 2 agonists
menurunkan konsumsi oksigen perioperatif.19,20
Pada pasien ini analgetik diberikan fentanyl
secara kontinyu 0,2 mikro/kgBB/jam
dikombinasi dengan dexmedetomidine sehingga
menghasilkan sedasi adekuat.11 Analisa gas darah
pasien diperiksa secara berkala untuk mencegah
terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia.13




Pasien ditransfusi dengan PRC dan WB sampai
mencapai Hb sekitar 10 gr/dL. Hemoglobin
dipertahankan sekitar 10 g/dL untuk menjamin
hematokrit minimal 35% oleh karena hematokrit
mempengaruhi aliran darah otak secara nyata.
Nilai hematokrit 35%–50% akan menjamin
pasokan oksigen. Pada nilai yang lebih tinggi
akan menaikkan kapasitas oksigen dengan
kenaikan kekentalan darah dan menurunkan
aliran darah ke otak. Pada hematokrit di bawah
35% akan menurunkan kapasitas pengangkutan
oksigen dan terjadi penurunan kekentalan darah
dan menaikkan aliran darah ke otak.14 Isovolemik
atau hemodilusi hipervolemia (hematokrit
33%) menunjukkan aliran darah otak tanpa
ada gangguan penghantaran oksigen.15 Pasien
diberikan paracetamol 1 gr/8jam sebagai analgetik
dan juga untuk menjaga suhu normal. Suhu juga
dipertahankan tetap normal bahkan lebih baik
di bawah normal. Penurunan temperatur tubuh
akan memperlambat metabolisme serebral. Hal
ini berarti menurunkan aliran darah otak.14 Sejak
pascaoperasi (H–0) pada pasien ini diberikan
juga semax nasal drops 6 gtt/4 jam sebagai
neuroprotektif. Semax (H-Met-Glu-His-Phe-
Pro-Gly-Pro-OH) adalah sintetis analog dari
adrenocorticotropic hormone 4-10 fragmen
(ACTH4-10). Salah satu komponen penting
dalam cedera kepala adalah kematian sel
saraf akibat apoptosis. Peranan semax sebagai
ACTH 4–10Pro8Gly9Pro10 merupakan salah
satu neuroprotektor diketahui menghambat
jalur apoptosis. Semax tersebut mempunyai
efek neuroprotectif dan nootropic sehingga
banyak dipakai di klinis untuk terapi penyakit-penyakit sistem syaraf pusat (stroke iskemik,
dyscirculatory encephalopathy, atrophi nervus
opticus dan lain-lain). Banyak penelitian yang
menyatakan keberhasilan dari pemberian semax
ini.16 Setelah 12 jam pasca operasi redo craniotomi
oleh sejawat internist hematologi diberikan
terapi heparin dengan dosis kecil 500 IU per hari
diberikan secara kontinyu untuk penanganan
DVT dengan monitoring ketat agar tidak terjadi
komplikasi perdarahan pascaoperasi.18


Setelah faktor-faktor yang mengancam telah
teratasi dengan baik maka segera dilakukan
penyapihan dari ventilator. Pada pasien ini faktorfaktor
tersebut adanya ancaman perdarahan
kembali karena terganggunya koagulasi darah.
Pasien dilakukan proses penyapihan pada hari
H-1 post operasi redo craniotomi dan diekstubasi
pada H-II pagi hari setelah pasien sadar baik.
Namun pasien mendapatkan sequele hemiparese
sinistra akibat perdarahan intraserebral minimal
dan bersifat sementara, dan kembali berangsur
pulih dengan resorbsi perdarahan intraserebral
dan fisioterapi rutin juga relatif tidak didapatkan
gangguan kognitif yang dinilai secara GOS,
GOSE, dan MMSE pada bulan ke-5 pasca
pembedahan.


IV. Simpulan
Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan
intrakranial spontan akibat komplikasi terapi
antikoagulan rivaroxaban, lumbrokinase dan
antiplatelet clopidogrel meliputi preoperasi,
intraoperasi dan pascaoperasi. Preoperasi dengan
penanganan resusitasi segera akan mendapatkan
outcome yang baik. Penanganan di ICU juga
dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Good
team, good work.

Daftar Pustaka
1. Mark l, Gary R. Hemmorrhagic complications
of anticoagulant treatment. CHEST
2001,119:1088.
2. Athanios P, Stamatis M. Gastrointestinal
bleeding in patients receiving antiplatelet and
anticoagulant therapy. Hellenic J. Cardiology
2014,55:499.

3. Arne L, Waltrand P. Intracerebral hemorrhage
associated with antithrombotic treatment.
Lancet Neurology 2013 April, 12(4):394.
4. Rajput D, Kamboj R. Is management of
spontaneus intracranial extradural hematoma
in chronic renal failure is different with
traumatic extradural hematoma. Indian
Journal Neurotrauma 2010,7 (1):81–4.
5. Robert G, Bradley S. Oral anticoagulant
and intracranial hemorrhages. Stroke AHA
Journal 1995;26:1471
6. Stutz H, Charchaflieh J. Postoperative
and intensive care including head injury
and multisystem sequelae. Dalam: Cotrell
J, Young W, eds. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2010, 410–12.
7. Murthy T, Bhatia P. Secondary brain injury
prevention and intensive care management.
Indian Journal of Neurotrauma; 2005,2
(1),7–12.
8. Garber S, Sivakumar W. Neurosurgical
complications of direct thrombin inhibitor
catastrophic hemmorrhage after mild
traumatic brain injury in a patient receiving
dabigatran. J. Neurosurgery 2012, 1–4
9. Kaatz, Kaudes PA, Garca DA, Spyropolous
AC, Crowther M, Doukteis JD, et al. Guidance
of the emergent reversal of oral thrombin and
factor Xa inhibitors. Am J Hematology 2012;
87: S 141–2145
10. Dagmar K, Michael B. Effect coadministration
of rivaroxaban and clopidogrel
on bleeding time, pharmacodynamics
and pharmacokinetics, a phase 1 study,
Pharmaceuticals 2012, 5, 279–96
11. Roodhevel F, Ligtenberg. INR reduction
after prothrombin complex concentrate (Cofact)
administration comparison of INR
outcomes in different patient categories at the
emergency department. Internasional Journal
103
of Emergency Medicine 2013, 6:14,1–4.
12. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan
Critical Care: Cedera Otak Traumatik. edisi
1, Bandung: Fakultas Kedokteran Unversitas
Padjadjaran; 2012, 242–53.
13. Layon J, Gabrielli A. Elevated intracranial
pressure. Dalam: Textbook of Neurointensive
Care. Philadelphia: Saunders; 2004, 715–19.
14. Petrozza P, Prough D. Postoperative and
intensive care. Dalam: Cotrell JE, Smith
D, eds. Anesthesia and Neurosurgery.
Philadelphia: Mosby; 2001, 624–41.
15. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi 2,
Bandung: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK Unpad; 2011, 8-9.
16. Kolomin T, Shadrina M. A new generation
of drugs syntetic peptides based on naturally
regulatory peptides. Neuroscience and
Medicine Journal 2013;4: 223–52.
17. Lam A, Winn H. Management of acute head
injury. Dalam: Albin M, eds Textbook of
Neuroanesthesia with Neurosurgical and
Neuroscience Perspectives, USA: McGraw
Hill;1997, 1138–40.
18. Scales D, Cambrin J. Prophylactic
anticoagulati on to prevent venous
thromboembolism in traumatic intracranial
hemmorrhage, a decision analysis. Biomed
Central: Critical Care 2010, 2–10
19. Bloor BC, Ward DS, Belleville JP, Maze
M. Effect of intravenous dexmedetomidine
in humans, hemodynamics changes.
Anesthesiology 1992; 77: 1134–42
20. Villela NR, Nascimento P. Dexmedetomidine
in anesthesioloy. Rev Bras Anesthesiology
2003;53(1):97–1133. Arne L, Waltrand P. Intracerebral hemorrhage
associated with antithrombotic treatment.
Lancet Neurology 2013 April, 12(4):394.
4. Rajput D, Kamboj R. Is management of
spontaneus intracranial extradural hematoma
in chronic renal failure is different with
traumatic extradural hematoma. Indian
Journal Neurotrauma 2010,7 (1):81–4.
5. Robert G, Bradley S. Oral anticoagulant
and intracranial hemorrhages. Stroke AHA
Journal 1995;26:1471
6. Stutz H, Charchaflieh J. Postoperative
and intensive care including head injury
and multisystem sequelae. Dalam: Cotrell
J, Young W, eds. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2010, 410–12.
7. Murthy T, Bhatia P. Secondary brain injury
prevention and intensive care management.
Indian Journal of Neurotrauma; 2005,2
(1),7–12.
8. Garber S, Sivakumar W. Neurosurgical
complications of direct thrombin inhibitor
catastrophic hemmorrhage after mild
traumatic brain injury in a patient receiving
dabigatran. J. Neurosurgery 2012, 1–4
9. Kaatz, Kaudes PA, Garca DA, Spyropolous
AC, Crowther M, Doukteis JD, et al. Guidance
of the emergent reversal of oral thrombin and
factor Xa inhibitors. Am J Hematology 2012;
87: S 141–2145
10. Dagmar K, Michael B. Effect coadministration
of rivaroxaban and clopidogrel
on bleeding time, pharmacodynamics
and pharmacokinetics, a phase 1 study,
Pharmaceuticals 2012, 5, 279–96
11. Roodhevel F, Ligtenberg. INR reduction
after prothrombin complex concentrate (Cofact)
administration comparison of INR
outcomes in different patient categories at the
emergency department. Internasional Journal
103
of Emergency Medicine 2013, 6:14,1–4.
12. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan
Critical Care: Cedera Otak Traumatik. edisi
1, Bandung: Fakultas Kedokteran Unversitas
Padjadjaran; 2012, 242–53.
13. Layon J, Gabrielli A. Elevated intracranial
pressure. Dalam: Textbook of Neurointensive
Care. Philadelphia: Saunders; 2004, 715–19.
14. Petrozza P, Prough D. Postoperative and
intensive care. Dalam: Cotrell JE, Smith
D, eds. Anesthesia and Neurosurgery.
Philadelphia: Mosby; 2001, 624–41.
15. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi 2,
Bandung: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK Unpad; 2011, 8-9.
16. Kolomin T, Shadrina M. A new generation
of drugs syntetic peptides based on naturally
regulatory peptides. Neuroscience and
Medicine Journal 2013;4: 223–52.
17. Lam A, Winn H. Management of acute head
injury. Dalam: Albin M, eds Textbook of
Neuroanesthesia with Neurosurgical and
Neuroscience Perspectives, USA: McGraw
Hill;1997, 1138–40.
18. Scales D, Cambrin J. Prophylactic
anticoagulati on to prevent venous
thromboembolism in traumatic intracranial
hemmorrhage, a decision analysis. Biomed
Central: Critical Care 2010, 2–10
19. Bloor BC, Ward DS, Belleville JP, Maze
M. Effect of intravenous dexmedetomidine
in humans, hemodynamics changes.
Anesthesiology 1992; 77: 1134–42
20. Villela NR, Nascimento P. Dexmedetomidine
in anesthesioloy. Rev Bras Anesthesiology
2003;53(1):97–113