konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Rabu, 24 Mei 2017

TIVA PADA KRANIOTOMI PENGANGKATAN MENINGIOMA RESIDIF

TIVA PADA KRANIOTOMI PENGANGKATAN MENINGIOMA RESIDIF
TIVA FOR CRAINOTOMY RECIDIVE MENINGIOMA REMOVAL


Abstract
Meningiomas are brain tumors that are very likely to bleed from the meninges and spinal cord tissue, brain tissue does not grow out of. Meningiomas usually grow into that causes pressure on the brain and spinal cord, but also grew out towards the skull, resulting in thickening of the skull. Meningioma not always require immediate treatment. Signs and symptoms of meningioma is usually gradual but sometimes require emergency action. At the beginning of obscure symptoms, depending on the tumor location. Symptoms such as double vision / blurred, headache, hearing loss, loss of memory, seizures, weakness of the arms and legs. In these patients the first surgery 2 years ago as an atypical meningioma (WHO grade II as meningiomas) where growth is slightly more aggressive than grade I and a slightly higher risk of becoming residif. Now repeat surgery.
Case reports: A man aged 68 years, weight 67 kg who complained of dizziness and the same complaint two years ago. On physical examination, GCS 15 (E4M6V5), blood pressure 110/80 mmHg, heart rate 80 times / minute, respiratory rate 16 times / minute, temperature 36.80 C. On examination MSCT Angio circle of Willies / Cerebral, an impression: the size of 49x42x47 mm left ditemporal perifokal accompanied by cerebral edema with midline shift to the right about 12 mm.
Do the management of anesthesia with propofol TIVA, dexmedetomidine, fentanyl, ventilation controls with vecuronium, lasts 10 hours on a meningioma tumor removal surgery a second. In this operation the tumor can not be removed completely due to bleeding. Post-operative care in the ICU with the help of mechanical ventilation and the patient died after being treated for 7 days.
Key words: meningiomas, TIVA, brain protection, craniotomy.
JNI 2012;1(4):
Abstrak
Meningioma adalah tumor otak yang sangat mudah berdarah yang berasal dari jaringan meningen dan medulla spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Meningioma umumnya tumbuh ke dalam yang menyebabkan tekanan pada otak dan medulla spinalis, tetapi juga tumbuh keluar ke arah tulang tengkorak, sehingga terjadi penebalan tulang tengkorak. Meningioma tidak selalu memerlukan pengobatan segera. Tanda dan gejala meningioma biasanya secara bertahap, tetapi kadang-kadang memerlukan tindakan emergency. Pada permulaan tidak jelas gejalanya, tergantung pada lokasi tumor. Gejala berupa penglihatan double/kabur, sakit kepala, pendengaran berkurang, hilang memori, kejang, lemah pada lengan dan kaki. Pada pasien ini operasi pertama 2 tahun yang lalu sebagai meningioma atipikal (menurut WHO sebagai meningioma derajat II) dimana pertumbuhannya sedikit lebih agresif daripada derajat I dan sedikit lebih tinggi risiko menjadi residif. Sekarang dilakukan operasi ulangan.
Laporan kasus: Seorang laki-laki usia 68 tahun, BB 67 kg yang mengeluh pusing dan sakit kepala, sama dengan 2 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik GCS 15 (E4M6V5), tekanan darah 110/80 mmHg, laju jantung 80 x/menit, laju nafas 16 x/menit, suhu 36,8⁰ C. Pada pemeriksaan MSCT angio circle of Willies/Cerebral, kesan: masa ditemporal kiri ukuran 49x42x47 mm disertai perifokal edema serebri dengan midline shift ke kanan sekitar 12 mm.
Dilakukan penatalaksanaan anestesi dengan TIVA menggunakan propofol, deksmedetomidin, fentanyl, ventilasi kontrol dengan vekuronium, berlangsung 10 jam pada pengangkatan tumor meningioma operasi yang kedua. Pada operasi ini tumor tidak bisa diangkat seluruhnya karena mengalami perdarahan. Post operasi perawatan di ICU dengan bantuan ventilasi mekanik dan pasien meninggal setelah dirawat selama 7 hari.
Kata kunci: meningioma, TIVA, proteksi otak, kraniotomi.



Betty Roosiati *), Dyah Yarlitasari **), Sofyan Harahap ***), Sri Rahardjo ****) *) RS Karya Media I Cibitung Bekasi **) Eka Hospital Tangerang ***) RS Dr. Kariyadi, Universitas Diponegoro-Semarang ****) RS Sardjito, Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta



I. Pendahuluan
Teknik anestesi inhalasi telah diterima secara luas pada tata laksana bedah saraf, namun hal ini dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskular khususnya resistensi pembuluh darah otak, sehingga menyebabkan meningkatnya aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Pada kasus dengan kenaikan tekanan intrakranial, teknik anesthesi inhalasi akan membuat tekanan intrakranial lebih tinggi sehingga menurunkan tekanan perfusi serebral, menaikkan risiko terjadinya iskemik serebral yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak (brain damage).

Teknik Total intravenous anesthesia (TIVA) menggunakan propofol/deksmedetomidin dan obat-obat analgetik (remifentanil atau fentanyl), dapat menurunkan aliran darah otak, penurunan tekanan intrakranial, terpeliharanya tekanan perfusi otak serta penurunan CMRO2 yang dikenal sebagai “Coupling Flow Metabolism” sehingga dapat melindungi jaringan otak dari kerusakan1.

II. Kasus
Laki-laki berusia 68 tahun dengan berat badan 77 kg. Anamnesis: pasien mengeluh pusing dan sakit kepala sama dengan operasi 2 tahun yang lalu. Pemeriksaan fisik: keadaan umum GCS 15 (E4M6V5), pre operasi tekanan intrakranial normal atau sedikit naik, tidak ada tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat misalnya sakit kepala (khas postural headache, pasien bangun pada malam hari), mual, muntah, pandangan kabur, somnolen, edema papil, sampai penurunan kesadaran dan depresi nafas. Tekanan darah 110/80 mmHg, laju jantung 80 x/menit, laju nafas 16 x/menit, suhu 36,8⁰ C. Pasien mendapat injeksi deksametason 4x5mg/hari selama 5 hari.

A. Pemeriksaan penunjang:
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium

No Pemeriksaan Keterangan 1 Hb 15,2 g/dl 2 Ht 47 % 3 Leukosit 9.200 /mm3 4 Eritrosit 6,6 106 /UL 5 APTT(P) 38,3 detik 6 APTT(C) 33 detik 7 Tes fungsi ginjal  Ureum 28 mg/dl  Kreatinin 1,1 mg/dl 8 Tes fungsi hati  AST 26 μ/l  ALT 35 μ/l  Gamma GT 133 μ/l








(Keterangan : Pemeriksaan laboratorium jumlah eritrosit dan gamma GT sedikit lebih tinggi, elektrolit kalsium sedikit lebih rendah, GD 2 jam pp sedikit meninggi, HDL kolesterol rendah).
Foto torak : kardiomegali disertai kongestif pulmonum.
Eko kardiografi : dilatasi atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri, regurgitasi mitral ringan, fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan baik.
MSCT : kesan: masa ditemporal kiri 49x42x47 mm disertai perifokal edema serebri dengan midline shift ke kanan 12 mm.



Gambar 1. MSCT angio circle of Willies/cerebral.


B. Penatalaksanaan anestesi
Koinduksi : midazolam 5 mg, intravena.
Induksi : fentanyl 50 mcg
: propofol 100 mg
Intubasi : ETT nomor 8 (non-kinking) difasilitasi vecuronium 8 mg intravena.
Pemeliharaan anestesi
Ventilator : TV 8 ml/kg BB, RR 12 x/menit, I:E=1:2, PCO2 + 32 mmHg; O2 : air = 1 l/menit : 1 l/menit
Propofol : 2 – 3 mg/kg BB/jam
Vecuronium : 0,06 mg/kg BB/jam
Fentanyl : 1 mcg/kg BB/jam
Dexmedetomidine : 0,1 – 0,2 mcg/kg
BB/jam

Grafik Pantauan Hemodinamik
























Grafik pantauan Hemodinamik: tekanan darah, laju nadi, SpO2 dan MAP.


(Keterangan : Tekanan darah berkisar 110/60-180/100 mmHg. Laju nadi berkisar 50-70 x/menit). Pada awal awal setelah intubasi, tekanan darah meningkat kemungkinan karena dosis obat belum mencukupi.
Operasi berjalan selama 10 jam 20 menit, tumor tidak diangkat seluruhnya karena mengalami perdarahan.
Tabel 2. Jumlah Cairan Masuk dan Keluar










(Keterangan : Cairan yang masuk berupa cairan isotonik, koloid, darah, FFP dan diuretik. Cairan yang keluar dari perdarahan dan urine).

C. Perawatan post operasi (di ICU dengan ventilasi kontrol).
Hari 1 : Hemodinamik labil, tekanan darah 84/46 -142/72 mmHg dengan dopamin, norepinefrin. Hb post operasi 2 g% kemudian diberi Transfusi WB 1000 ml, FFP 356 ml. Hb post transfusi Hb 11g%.
MSCT Head Non Contrast. Kesan: ICH difrontal kiri dan pneumosefalus disertai edema serebri berat. DD: global hipoksik dengan midline shift ke kanan sekitar 16 mm. IVH: disertai hidrosefalus obstruktif. SAH : mengisi fissura interhemisfer. Defek post kraniotomi ditemporal kiri sekitar 7 – 8 cm disertai hematom ekstrakranial disekitarnya.
Hari 2 : Tekanan darah 124/78 – 142/78 mmHg, dopamin, norepinefrin dihentikan, pupil mulai dilatasi, refleks cahaya negatif ( - ).
Hari 3-7 : Pupil makin melebar dan pasien meninggal pada hari ke–7.


III. Pembahasan
Penatalaksanaan anestesi umum:
Pemeriksaan pre operasi: Menentukan strategi anestesi untuk operasi bedah saraf, berdasar pada pengetahuan secara menyeluruh dalam neurologi, bedah saraf dan anestesi. Menilai status pisik pasien keadaan umum pasien dan rencana anestesi (mempersiapkan obat, alat dan teknik anestesi yang akan dipergunakan pada kasus tersebut, pencegahan dan penanganan terhadap risiko maupun komplikasi anestesi-pembedahan yang mungkin terjadi, serta inform consent2 mengingat pasien geriatrik dengan residif meningioma beresiko besar terjadinya perdarahan perioperatif.
Status neurologi pasien: Pemeriksaan minimal meliputi penilaian status mental dibandingkan dengan kemampuan pasien untuk mengikuti perintah, derajat orientasi ada tidaknya gangguan bicara dan glasgow coma scale score. Medikasi yang didapat pasien dan sudah diberikan berapa lama ini penting, karena medikasi dapat mempengaruhi elastisitas intrakranial, perfusi dan cadangan, akibat farmakokinetik dan farmadinamik obat-obat anestesi. Dengan CT scan atau MRI dapat diketahui ukuran dan lokasi dari tumor. Kenaikan tekanan intrakranial dapat diketahui dari gejala-gejala misalnya yaitu sakit kepala (khas postural headache, pasien bangun pada malam hari), mual, muntah, pandangan kabur, somnolen, edema papil, sampai penurunan kesadaran dan depresi nafas. Dengan CT scan dan MRI dapat dilihat adanya midline shift lebih dari 5 mm, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel (pembesaran dalam kasus hidrosefalus) dan edema (adanya daerah hipodensitas)2.
Tulang tengkorak merupakan bagian yang keras, sedangkan rongganya berisi 3 komponen yaitu : jaringan otak (80% /1400ml), darah (10% /150ml) dan cairan serebrospinal (10% /150ml). Dalam keadaan normal komponen komponen ini dalam keseimbangan yang dinamis jika kenaikan volume dari salah satu komponen maka akan dikompensasi dengan penurunan volume komponen yang lain supaya tidak terjadi kenaikan tekanan intrakranial (hipotesis Monro-Kellie) mekanisme kompensasi berupa perpindahan cairan serebrospinalis kearah rongga spinal, peningkatan reabsorbsi cairan serebrospinal, dan kompresi sinusvenosus. Meka-nisme ini akan menurunkan volume cairan intrakranial2.


Gambar 2. Kurva hubungan tekanan intrakranial dan volume.
Derajat 1-2 : fase kompensasi. Bila ada kenaikan volume salah satu komponen maka volume kom-ponen yang lain akan menurun sehingga tekanan intrakranial tetap konstan. Derajat 3-4 : fase dekompensasi. Ketika fase kompensasi terlampaui dengan sedikit kenaikan volume komponen intrakranial akan menyebabkan kenaikan yang tinggi dari tekanan intrakranial. Kemiringan kurva tergantung pada komponen yang volumenya meningkat. Peningkatan volume darah, cairan serebrospinalis atau keduanya maka daya kompresinya kurang bagus dan kemiringannya lebih tajam. Peningkatan volume jaringan otak, misal tumor, kemiringannya kurve lebih landai dan lebih dapat dikompresi2. Kenaikan volume intrakranial menyebabkan hipertensi intrakranial kenaikan tekanan intrakranial dan edema otak. Adanya hipertensi intrakranial perioperatif beresiko terjadinya kenaikan tekanan intrakranial3. Pengobatan pre operasi untuk edema otak dengan steroid, tujuannya mengurangi hipertensi intra-kranial perioperatif dan menurunkan TIK. Pada pasien ini GCS 15, pemeriksaan MSCT; masa ditemporal kiri 49x42x47 mm disertai perifokal edema serebri dengan midline shift 12 mm ke kanan menunjukan adanya kenaikan TIK sesuai kurva tersebut.






Auto regulasi aliran darah otak: untuk tekanan perfusi serebral nilainya antara 50-150mmHg. Aliran darah otak dipelihara pada 50ml/100g/menit (MAP). Ada hubungan linear antara PaCO2 (20-80mmHg), dan aliran darah otak (....PaCO2). hipoksemia akan meningkatkan aliran darah otak dan hiperoksia akan menurunkan aliran darah otak (...PaO2). Jika tekanan arteri tetap konstan, aliran darah otak akan menurun ketika tekanan intrakranial meningkat (-.- ICP)3.
Keadaan umum pasien: Kardiovaskular dan fungsi respirasi penting sebab perfusi otak dan oksigenasi tergantung fungsi kardio-respirasi yang harus optimalkan pada pre operasi. Patologi intra-kranial sendiri akan mengganggu fungsi kardio-vaskular (misal efek dari kenaikan tekanan intra-kranial pada konduksi jantung). Operasi pada meningioma residif, metastasis, dapat menyebab-kan perdarahan yang signifikan, pencetus hipo-volemik, hipotensi, anemia akut yang menurunkan CDO2 (Cerebral Delivery Oxygen).
Proteksi otak dilakukan dengan metode dasar termasuk pengendalian jalan nafas, adekuat oksigenasi, pencegahan hiperkarbia, pengendalian tekanan darah, pengendalian tekanan intrakranial, pemeliharaan tekanan perfusi otak, dan pengen-dalian kejang, serta farmakologik dengan obat-obat yang diperkirakan mempunyai efek proteksi otak (propofol, Deksmedetomidin). Cara lain dengan hipotermi, kombinasi farmakologik dan hipotermi tidak dilakukan. Dilakukan hiperventilasi ringan untuk mengontrol tekanan intrakranial, aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan otak. Kepala ditinggikan atau posisi duduk akan membantu fungsi respirasi dan sistem kardiovaskular3.
Rencana Anestesi: Meningioma dapat tumbuh besar tanpa gejala neurologik (silent area). Ukuran, lokasi, tipe tumor menentukan dalam pemilihan tehnik anestesi bedah saraf. Atipikal tumor meru-pakan 10-20% dari meningioma, terdiri dari proliferasi sel yang tumbuhnya lebih cepat dan kemungkinan untuk tumbuh kembali sesudah pengobatan bahkan sesudah reseksi yang komplit4. Operasi pada meningioma residif, eksisi menye-luruh beresiko terjadinya perdarahan signifikan dari struktur sekitar dan meningiomanya sendiri karena peningkatan vaskularisasi yang meningkatkan aliran darah otak serta menyulitkan pelaksanaan operasi. Kenaikan TIK membutuhkan penurunan maksimal untuk memudahkan operasi.3 Pemilihan tehnik anestesi TIVA bertujuan menurunkan ADO, menurunkan TIK, CMRO2 serta mengurangi perdarahan akibat vasodilatasi.

Penentuan dan teknik anestesi:
Akses vaskular: dengan pertimbangan risiko perdarahan dan emboli udara pada vena, diperlukan untuk monitor hemodinamik dan metabolik, juga infusi zat vasoaktif atau zat lainnya. Antisipasi terhadap perdarahan: persiapan CVP, IV line 2-3 jalur, three way, arteri line, persiapan darah.
Resusitasi cairan: dengan tujuan normovolemia dan normotensi hindari cairan hipoosmolar (misal cairan ringer laktat), cairan yang berisi glukosa untuk mencegah hiperglikemia yang akan memperburuk iskemia serebri.
Ventilasi: Ventilasi kendali dengan tujuan hipokapnia ringan, hiperoksia ringan, dan tekanan intratorakal yang rendah (untuk memperbaiki Cerebral venous return)3.
Persiapan pre operasi:
Premedikasi: Pada pasien tumor serebri tanpa gejala kenaikan tekanan intrakranial (tidak ada shift, dll) dapat diberikan dosis kecil dari benzodiazepine dengan tujuan sedasi tanpa depresi untuk mengurangi kecemasan. Sedasi diperlukan untuk menghindari stres (kenaikan kecepatan metabolisme otak, aliran darah otak), hipertensi (kenaikan aliran darah otak), edema vasogenik dan autoregulasi yang memburuk. Sedasi dalam berisiko terjadinya hiperkapnia, hipoksemia, obstruksi parsial saluran nafas bagian atas, menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Analgesi dan sedasi pasien geriatric (midazolam 0,5-2 mg dan atau fentanyl 50-100 mcg atau sufentanil 5-20 mcg) diberikan dosis kecil, titrasi dan pengawasan dokter anestesi membantu menurunkan tingkat kecemasan dan bila diperlukan bisa diberikan bantuan pernafasan3.
Steroid diberikan sampai pagi hari waktu operasi (metylprednisolon atau deksametason). Pemberian histamin (H2) blockers dan zat gastrik prokinetik diperlukan untuk mengantisipasi penurunan pengo-songan lambung dan sekresi asam yang meningkat oleh karena kenaikan tekanan intrakranial dan terapi steroid, terutama pada pasien dengan kelumpuhan saraf (IX, X) yaitu “Gag Reflex’s” yang menurun. Obat-obatan lain: antikonvulsan, antihipertnesi, dan obat-obat jantung diteruskan pemberiannya walau dapat terjadi interaksi dengan fenytoin. Antikonvulsan terapi dengan fenytoin dosis 15 mg/kg BB diberikan lebih dari 30 menit, ini membantu kontrol hemodinamik pada akhir operasi3.
Mekanisme kortikosteroid pada edema serebri yaitu: inhibisi fosfolipase A2 merupakan enzim dari kaskade asam arakhidonat, stabilisasi membran lisosom dan memperbaiki mikrosirkulasi peritumor. Efek kortikosteroid untuk menurunkan edema serebri berlangsung cepat : penurunan pada permeabel kapiler yang akan terlihat satu jam sesudah dosis single kortikosteroid. Ukuran tumor dapat menurun 15% sesudah pengobatan kortikosteroid. Umumnya digunakan deksametason dan 6 kali lebih kuat dibanding prednison (20 mg deksametason sama dengan 130 mg prednison)5.
Monitoring:
Monitoring hemodinamik untuk menilai CDO2 dan adanya iskemia serebral yang ketat merupakan dasar pada operasi bedah saraf dapat berupa tekanan darah arteri, elektrokardiogram (EKG) untuk mendiagnosis iskemia miokard dan aritmia. Pulse oximetry untuk mendeteksi hipoksia sistemik, ETCO2 untuk memonitor PaCO2 dan membantu deteksi emboli udara pada vena. Monitoring tem-peratur pada esofagus atau vesika urinaria. Pema-sangan kateter urine untuk monitor pengeluaran urine. Bila terjadi emboli udara deteksi paling baik dengan precordial doppler utrasonography, bila bersama dengan transesophageal echocar-diography paling sensitif untuk monitor gelem-bung udara pada sirkulasi vena.
Glukosa darah dimonitor secara reguler karena hiperglikemia akan memperburuk kerusakan saraf selama iskemia. Monitoring elektrolit plasma terutama kalium dan osmolalitas terutama jika menggunakan mannitol. Monitoring hemoglobin dan hematokrit pada perdarahan. Monitoring SjVO2 akan memberikan informasi global tentang adekuasi perfusi serebral dan oksigenasi. Moni-toring EEG memberikan informasi tentang kecepatan metabolisme serebral, iskemia serebral dan dalamnya anestesia3.

Perubahan Fisiologi pada usia lanjut:
Kardiovaskular:
Pada pasien usia lanjut terjadi penurunan respon β adrenergik dan gangguan konduksi berupa bradiaritmi dan hipertensi. Infiltrasi fibrotik me-nyebabkan lambatnya konduksi ektopik atrial dan ventrikular. Curah jantung pada orang tua ter-gantung mekanisme Frank-Starling. Oleh karena itu, hati-hati pada pemberian cairan. Pada jantung orang tua yang non compliant perubahan kecil aliran balik akan menyebabkan perubahan besar pada pengisian ventrikel dan curah jantung. Cardiomegali menggambarkan adanya keterbatasan compliant kardial. Oleh karena adanya gangguan fungsi diastolik dan penurunan compliance vaskular, maka pada orang tua kompensasi terhadap hipovolemik kurang baik. Sama pada transfusi yang berlebihan toleransinya juga kurang baik6.

Ginjal:
Terjadi penurunan aliran darah ginjal dan masa nefron pada geriatric yang meningkatkan risiko gagal ginjal akut post operasi6. Tingkat serum kreatinin tetap stabil disebabkan karena penurunan jaringan otot meskipun terjadi penurunan aliran darah ginjal dan masa nefron. Perburukan dalam mengatur sodium, kemampuan mengonsentrasikan dan kapasitas pengenceran merupakan predisposisi terjadinya dehidrasi dan kelebihan cairan serta terjadinya perubahan nilai plasma elektrolit.
Endokrin
Perubahan endokren dapat terjadi karena proses geriatik serta oleh proses penyakit intrakranial. (misalnya adenoma pituitari atau oleh karena obat-obatan misalnya efek glukokortikoid pada hiper-glikemia dan iskemi serebral). Pada traktus gastrointestinal (misal efek pada mukosa karena steroid, efek pada motilitas oleh karena tekanan intrakranial)3.
Farmakologi:
Pada orang tua lebih sensitif terhadap zat-zat anestesi dan umumnya membutuhkan dosis yang lebih kecil untuk mendapatkan efek klinik yang sama dan durasi biasanya lebih lama6.
Tabel 3. Pengaruh Anestetika Intravena pada CBF, CMRO2 dan ICP




Sumber : Tatang Bisri. Penanganan neuroanestesia dan critical care: Cedera otak traumatik, hal 90.

Definisi TIVA yaitu teknik anestesi umum baik induksi maupun pemeliharaan, zat-zat anestesi hanya diberikan secara intravena. TIVA menjadi lebih populer pada akhir-akhir ini karena farmakokinetik dan farmakodinamik propofol dan tersedianya opioid sintetik dengan lama kerja pendek, dan juga konsep baru berdasarkan farmakokinetik dan kemajuan teknologi komputer sehingga kontrol anestesi secara intravena mudah digunakan seperti teknik inhalasi7.
Keuntungan TIVA yaitu hemodinamik lebih stabil, dalamnya anestesia juga lebih stabil, lebih dapat diprediksi dan pemulihannya cepat, nausea dan vomitus post operasi menurun, tidak ada polusi di kamar operasi. Tidak toksis terhadap organ, tidak iritasi pada jalan nafas, tidak delirium pada pasca bedah8,9. Laju jantung lebih rendah, menurunkan tingkat stres hormon, memelihara reaktifitas serebro vaskular, melindungi tekanan pada telinga tengah. Pada dosis rendah propofol dapat juga digunakan sebagai sedasi pada pemeriksaan radiologik atau pemeriksaan endoskopi10.

Propofol:
Mekanisme kerja propofol yaitu memfasilitasi inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh GABA. Propofol (2,6 diisopropilfenol) terdiri dari cincin fenol dengan dua grup isopropil yang menempel.




Efek pada serebral:
Pada pasien dengan ICP normal, propofol akan menurunkan CMR 36%, ICP 30% dan CPP 10%. Reaktifitas serebral terhadap CO2 dan autoregulasi dipelihara selama infusi propofol. Sesudah injeksi bolus propofol dapat menurunkan tekanan darah sehingga CPP menurun. Propofol sebagai proteksi otak terbatas pada iskemik ringan. Untuk iskemik sedang dan berat propofol tidak sebaik barbiturat dalam hal proteksi otak1,11.
Propofol akan menurunkan CBF dan ICP. Pada pasien dengan ICP yang meningkat, propofol dapat menyebabkan penurunan CPP sampai kurang dari 50 mmHg jika tidak dibantu dengan perbaikan MAP. Propofol dan tiopental mempunyai sifat yang sama dalam hal proteksi otak selama iskemia fokal. Propofol juga mempunyai sifat anti pruritus. Efek antiemetik (konsentrasi propofol dalam darah 200 ng/ml), maka lebih disukai untuk pasien ambulatori. Pada waktu induksi kadang-kadang disertai dengan fenomena eksitasi misal twicing otot, pergerakan spontan, epistotonus, hikap oleh karena antagonis glisin subkortikal. Walaupun reaksi ini kadang-kadang menyerupai kejang tonik-klonik, propofol lebih menonjol sebagai anti-konvulsan, digunakan untuk terminasi status epileptikus, aman diberikan pada pasien epilepsi. Propofol menurunkan tekanan intraokular11.

Deksmedetomidin:
Mekanisme kerja:
Deksmedetomidin adalah selektif 2 agonis, sedatif lebih selektif terhadap reseptor 2 daripada klonidin. Pada dosis yang lebih tinggi akan hilang selektifitasnya dan stimulasinya pada reseptor  adrenergik11,12.
Penggunaan klinik:
Tergantung dosis deksmedetomidin menyebabkan sedasi ansiolisis dan analgesia dan kurangnya respon simpatik terhadap pembedahan dan stres. Yang utama adalah menurunkan kebutuhan opioid, tidak menyebabkan depresi respirasi secara signifikan, sedasi, tetapi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Digunakan untuk waktu yang pendek (<24 jam) sedasi intravena pada pasien dengan ventilasi mekanik. Pada penghentian sesudah pemakaian lama, potensial menyebabkan fenomena with drawal sama seperti klonidin, manifestasinya dapat terjadi krisis hipertensi. Deksmedetomidin juga digunakan sebagai sedasi untuk tambahan pada anestesi umum11,12.

Efek samping:
Pada prinsipnya efek samping berupa bradikardi, blok jantung dan hipotensi11.

Dosis:
Untuk dosis permulaan 1 μ/kg intravena diberikan lebih dari 10 menit, kecepatan infus untuk pemeliharaan 0,2 – 0,7 μ/kg/jam. Mula kerja cepat, waktu paruh terminal 2 jam. Metabolisme di hepar, metabolit akan dieliminasi lewat urine. Dosis diturunkan pada gangguan fungsi ginjal atau perburukan hepar11.
Interaksi obat:
Hati-hati pada pasien yang memakai vasodilator, obat-obat depresi jantung dan yang menurunkan laju jantung. Diperlukan penurunan obat-obat hipnotik/zat anestesi untuk mencegah hipotensi berat11.
Narkotik:
Efek narkotik pada CBF sulit untuk digolongkan secara akurat karena laporan penelitian eksperi-mental yang bertentangan. Dosis kecil narkotik mempunyai efek kecil pada CBF dan CMRO2, sedangkan dosis besar secara progresif menurunkan CBF dan CMRO2. Autoregulasi dan reaktivitas terhadap CO2 tetap dipertahankan13.

Pada umumnya sedikit sekali efeknya pada CBF dan CMRO2, tetapi opioid sintetis termasuk fentanyl, sufentanil dan alfentanil dapat menyebab-kan kenaikkan ICP pada pasien tumor otak dan cedera kepala13.
Pengaruh pada dinamika CSF terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. Pengaruh narkotik pada Laju Pembentukan CSF, Resistensi Reabsorpsi CSF, dan ICP


Sumber : Tatang Bisri. Penanganan neuroanestesia dan critical care: Cedera otak traumatik, hal 93.
Keterangan: Vf = kecepatan pembentukan CSF; Ra = resistensi terhadap absorpsi CSF;ICP = intracranial pressure/tekanan intrakranial 0= tidak ada perubahan, - = menurun, * = efek tergantung dari dosis, ?= tidak tentu.
Pada dosis kecil, fentanyl, alfentanil, dan sufentanil menyebabkan tidak ada perubahan pada Vf dan ada penurunan pada Ra dengan prediksi terjadi penurun-an ICP. Pada dosis tinggi, fentanyl menurunkan Vf, tidak ada perubahan atau ada peningkatan dari Ra dengan prediksi akan menurunkan ICP atau efek-nya pada ICP tidak menentu. Pada dosis besar, alfentanil tidak menimbulkan perubahan pada Vf dan Ra dengan efek pada ICP yang tidak dapat diprediksi. Dosis besar sufentanil tidak menimbul-kan perubahan pada Vf dan tidak ada perubahan atau peningkatan pada Ra, dan diprediksi pengaruh-nya pada ICP tidak berubah atau meningkat13.
Pada kebanyakan keadaan, narkotik tidak menim-bulkan perubahan atau sedikit menurunkan ICP. Akan tetapi, pada keadaan tertentu narkotik dapat meningkatkan ICP, misalnya pemberian bolus sufentanil dapat menimbulkan peningkatan ICP yang selintas tapi besar pada pasien dengan cedera kepala berat. Demikian juga, pemberian bolus sufentanil dan alfentanil meningkatkan tekanan CSF pada pasien dengan tumor supratentorial, hal ini karena autoregulasi yang menimbulkan vaso-dilatasi pembuluh darah serebral akibat penurunan MAP. Jadi, bila narkotik diberikan pada pasien bedah saraf, harus diberikan dengan syarat jangan terjadi penurunan tekanan darah yang tiba-tiba13.
Antagonis narkotik yaitu naloxon, bila diberikan secara titrasi, mempunyai efek yang kecil pada CBF dan ICP. Bila diberikan dengan dosis besar untuk me-reserve efek narkotik, pemberian naloxon dapat menimbulkan hipertensi, aritmia jantung, dan perdarahan intrakranial13.
Penderita usia 68 tahun maka dalam pembiusan harus hati-hati, dimana dosis obat-obat yang digunakan lebih kecil dari dosis normal.

Pre operasi:
Pasien geriatrik, foto torak kardiomegali, kongesti paru. Ekokardiografi menunjukkan hipertrofi, hipertropi eksentrik mengarah pada fungsi jantung yang tidak baik. Adanya kongesti paru mempe-ngaruhi fungsi ventilasi paru. Gangguan fungsi paru dan jantung ini tentunya akan mempengaruhi luaran operasi. Inform consent pada keluarga, menerangkan bahwa ini merupakan operasi meningioma residif dengan resiko besar terjadinya perdarahan. Dipasang IV line 3 jalur dengan jarum no.18, three way untuk pemberian cairan secara cepat. Darah tersedia PC 535 ml, FFP 534 ml. CVP dan arteri line tidak dipersiapkan karena keterba-tasan sarana.
Persiapan optimal yang sudah dilakukan: obat-obat yang akan digunakan untuk TIVA yaitu propofol, fentanyl, deksmedetomidin, vekuronium. Alat-alat: syring pump, serta pemasangan monitoring NIBP, saturasi, stetoskop prekordial.
Durante operasi:
Selama operasai dipergunakan teknik TIVA pada pasien ini yaitu dengan propofol, dexmedetomidine, dan fentanyl, dimana sifat dari propofol yaitu menurunkan aliran darah otak, tekanan intrakranial dan kecepatan metabolisme otak, waktu paruhnya sekitar 2-8 menit sehingga bangunnya cepat. Sedangkan dexmedetomidine sifatnya yaitu sedatif, analgesik dan menurunkan kebutuhan opioid. Fentanyl sifatnya menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral dan tekanan intrakranial. Jadi bila diberikan secara bersamaan akan menghasilkan anestesi yang adekuat dan kondisi operasi yang optimal (misal rendahnya aliran darah otak, laju metabolisme otak, tekanan intrakranial, dan minimal brain bulk), proteksi neurologis dan cepat bangun dari anestesia sehingga dapat lebih cepat dalam pemeriksaan neurologis. Hemodinamik stabil selama 10 jam operasi, (MAP), diakir operasi relative terjadi penurunan TDS, MAP serta peningkatanan laju nadi.
Komplikasi:
Beberapa saat setelah induksi tekanan darah meningkat, kemungkinan karena dosis obat yang belum mencukupi sehingga kemungkinan akan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial, penurunan perfusi otak.
Selama operasi terjadi perdarahan dimulai kurang lebih 5 jam dari awal operasi. Ketika perdarahan mulai meningkat dosis obat-obatan ini diturunkan, deksmedetomidin dihentikan, transfusi dimulai ketika perdarahan lebih dari 500 ml. Persediaan darah PC 535 ml, FFP 534 ml, dengan perkiraan cukup untuk mengatasi perdarahan.
Perdarahan tidak terkontrol, diputuskan untuk mengakiri operasi dengan menutup kembali medan operasi. Pada jam-jam akir operasi menunjukkan gejala yang khas penurunan tekanan darah diikuti dengan kenaikan laju jantung yang merupakan karakteristik hipovolemia pencetus hipoksemia/ iskemia serebri.
Pada keadaan ini sebaiknya dipergunakan CVP, periksa rasio Hb:Ht dan terpasang arteri line untuk penilaian yang lebih akurat sebagai pedoman resusitasi cairan mengingat keterbatasan fungsi jantung dan paru. Pada kasus hipovolemia untuk meningkatkan CDO2 perlu perbaikan volume intravaskular terlebih dahulu sebelum memper-gunakan inotropik.
Post operasi:
Hemodinamik yang tidak stabil dengan kenaikan laju nadi, penurunan MAP dan tekanan darah sistolik menunjukan keadaan hipovolemia yang belum terkoreksi, support dopamine, norepinephrin akan memberi perbaikan ketika status intravaskuler tercukupi dan adanya masalah kontraktilitasnya yang memadai. Nilai Hb post operasi 2 g% (transfusi darah PC 535 ml, FFP 534 ml) dari 15.2 gr% menunjukan perdarahan yang hebat. Pemberian Transfusi WB 1000 ml, FFP 356 ml (Hb post transfusi 11g%) post operasi hanya memper-baiki intravascular volume, tidak langsung mem-perbaiki CDO2 secara maksimal. (Hb transfusi akan mengikat oksigen 24 jam post transfusi). Hal ini yang mendukung dengan Hb 2gr% iskemia otak telah terjadi selama durante operasi. Kejadian iskemia otak durante operasi berlanjut post operasi hari pertama yang ditandai dengan ketidakstabilan hemodinamik serta terapi yang tidak berorientasi dengan optimalisasi CDO2 = CBF x CaO2 .
Penyulit lain dalam memelihara CDO2 (Cerebral delivery oxygen): tetap terjadinya perdarahan sampai akir operasi, pasien tua, keterbatasan fungsi jantung dan paru, pengembalian tulang kepala-penutupan operasi sebelum teratasinya sumber perdarahan mempengaruhi komplient intracranial pencetus edema serebri dan kenaikan tekanan intracranial serta pengaturan ventilasi mekanik yang tidak dilakukan dengan mengacu parameter ventilasi (PaO2 , PaCO2 , pH, AaDO2), dan parameter perfusi (tekanan darah sistolik/diastolik, laju nadi, MAP), kesemuanya tersebut akan mem-perburuk keadaan. Ini terbukti dari pemeriksaan MSCT post operasi; adanya edema berat, perdara-han intraserebral kontralateral serta pneumosefalus, obstruksi hidrosefalus, SAH, serta midline shift 16 mm.

Tidak teratasinya masalah perdarahan, keterbatasan tatalaksana post operasi, keterbatasan sarana monitoring di ICU mempunyai peran terjadinya cedera sekunder mengikuti cedera primer yang terjadi menyebabkan resusitasi otak ataupun proteksi otak dengan basic methode, farmakologi tidak bermanfaat, iskemia otak selama akir operasi berlanjut dengan ditandai adanya dilatasi pupil, refleks cahaya negatif menunjukkan adanya iskemia batang otak awal kematian batang otak pada hari ke-2.
IV. Simpulan
Perubahan fisiologi pada pasien geriatrik umumnya karena kemunduran fungsi organ. Adanya, kardiomegali, kongesti paru pada pasien geriatric tersebut berkaitan dengan keterbatasan ventilasi, perfusi serta CaDO2. yang meningkatkan resiko
Resiko perdarahan pada meningioma sering terjadi. Operasi residif meningioma meningkatkan resiko perdarahan dibanding operasi pertama. Antisipasi terjadinya perdarahan dengan melakukan pema-sangan : IV line 3 jalur, three way. Karena keterbatasan monitoring perioperatif: AGD, CVP, arteri line tidak dilakukan. Dilakukan teknik Total Intra Venous Anestesi, selama operasi menunjukan kestabilan hemodinamik terpeliharanya MAP 90 - 100 mmHg untuk memelihara CPP. Tidak terangkatnya masa tumor serta perdarahan yang tidak terkontrol mendasari diakirinya operasi.
Penanganan post operasi dengan tetap terjadinya perdarahan, brain proteksi resusitasi dalam keterbatasan menyebabkan injury yang terjadi akir operasi berlanjut post operasi dengan ditandainya iskemia batang otak yang berakir dengan kematian.

Daftar Pustaka
1. Cole CD dkk. Total Intravenous Anesthesia: Advantages For Intrakranial Surgery Neurosurgery 2007;61:369-78.
2. Hill L, Gwinnutt C. Cerebral Blood Flow And Interacticranial Preassure.
3. Bruder N, Ravussin PA.Supratentorial masses: Anesthetic considerations. Dalam: Cottrell and Young’s NEUROANESTHESIA 5th ed; Philadelphia: Mosby Ersevier, Inc: 2010,188-96.
4. Colombaris S, Imhoff E, Donald. Meningioma. NOMOS Radiation Oncology 2006.
5. Kaal ECA, Vecht CJ. The management of brain edema in brain tumors. Current Opinion in Oncology 2004;593-9.
6. Kanonidou Z, Karystianou G. Anesthesia for the elderly. Hippokratia 2007;11(4):175-177.
7. Mani V, Morton NS. Overview of Total Intravenous Anesthesia in Children. Pediatric Anesthesia 2009;20:2011-22.
8. Joshi S, Yadau R, Malla G. Initial Experience with Total Intravenous Anesthesia with Proposal for Elective Craniotomy. Nepal Journal of Neuroscience 2007;4:67-9.
9. Lerman J. TIVA, TCI and paediatrics-Where are and where are we going? Pediatric Anesthesia 2009;1-6.
10. McCormack JG. Total Intravenous Anaesthesia in Children. Current Anaesthesia & Critical Care 2008;1-6.
11. Morgan GE, Jr, Mikhail MS, Murray MJ. Nonvolatile Anesthetic Agents. Dalam: Clinical Anesthesiology. 4th ed; New York: The Mc Grow Hill Companies: 2006,192-202.
12. Mani V, Morton NS. Overview of Total Intravenous Anesthesia in Children. Pediatric Anesthesia 2009;1-11.
13. Bisri T. Anestesi Pada Pasien dengan Cedera Kepala Akut. Dalam: Penanganan Neuroanes-tesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Cetakan 1; Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2006,88-94.


0 komentar:

Posting Komentar