konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Tampilkan postingan dengan label Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Anak. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Juli 2017

STOMATITIS (SARIAWAN) PADA ANAK

STOMATITIS sering dikenal sebagai sariawan. Sariawan merupakan suatu kelainan selaput lendir mulut, yang ditandai adanya bercak luka berwarna putih pada dinding mulut, bibir atas, dan lidah. Sariawan memang bukan penyakit yang serius atau bahkan mengancam jiwa, tetapi kondisi ini sangat mengganggu. Walaupun ukurannya kecil dan letaknya tersembunyi di rongga mulut, sariawan bisa menimbulkan rasa nyeri hebat, sehingga membuat susah untuk makan dan berbicara.
Pada anak- anak,selain tidak mau makan, sariawan akan menyebabkan rewel sehingga akhirnya berat badan sulit naik atau penurunan berat badan. Stomatitis dapat terjadi pada mukosa mulut di daerah bibir atau pipi bagian dalam. Dapat terjadi pada lipatan gusi dengan daging pipi/bibir. Dapat juga terjadi pada langit-langit, di bawah lidah, permukaan lidah, bahkan terjadi pada tonsil (amandel).
Di dalam rongga mulut banyak terdapat bakteri dan jamur yang bisa menyebabkan sariawan. Faktor lain yang menyebabkan sariawan, antara lain kesalahan menggosok gigi. Apabila jika menggosoknya tidak benar dan tidak hati-hati. Selain itu, bisa disebabkan tergigit atau terjatuh. Penyebab stomatitis, antara lain infeksi. Yang sering adalah infeksi virus, misalnya Herpes simplex, cacar air, dan penyakit kaki tangan mulut (hand foot and mouth disease). Rasa perih dapat muncul 24 hingga 48 jam, yang bertahan hingga 3 hingga 4 hari. Kemudian baru tumbuh lembaran fibrin putih sehingga nyeri berkurang dan sembuh dalam 7-10 hari. Berikut ini beberapa jenis sariawan:

1. Stomatitis aphtousa. Sariawan yang paling banyak terjadi pada bayi dan anak, dan terjadi pasca trauma tergigit atau tergores sikat gigi.
2. Oral thrush (kandidiasis mulut. Disebabkan jamur Candida albicans, sering pada anak dengan daya tahan turun dan sering minum antibiotik jangka  lama (>7 hari), serta kebersihan mulut yang buruk.
3. Stomatitis herpetic. Stomatitis herpetic disebabkan virus Herpes simplex. Sariawan di tenggorokan terjadi jika ada virus yang mewabah dan daya tahan tubuh si kecil rendah.
4. Sariawan terkait penyakit hand, foot and mouth disease.Luka sariawan biasanya banyak dan sangat nyeri, timbul bersamaan dengan lesi kulit di  telapak tangan dan kaki.
Jika muncul gejala sariawan seperti itu, segera bawa ke dokter atau tenaga kesehatan untuk mendapatkan pengobatan.
Bagi bayi dan anak yang sudah makan, cara mencegah sariawan antara lain makan dengan tenang agar bibir atau lidah tidak tergigit. Minimal 2 kali sehari membersihkan mulut dengan sikat gigi dan benang gigi. Bila bersikat gigi, jangan terburu-buru serta ganti sikat gigi bila sudah tidak baik. Pastikan gigi dan mulut selalu terawat, berkumur dengan antiseptik jika ada gangguan sariawan, serta hindari stress. Perbanyak pula sayuran dan buah-buahan karena banyak mengandung vitamin C,B 2, B5, dan asam folat yang sangat bermanfaat mencegah sariawan.
Saat sariawan, bagi anak bisa dibebaskan dari makan nasi, pilih bubur bayi bergizi untuk sementara sehingga anak tidak mengunyah. Asupan susu/jus buah bisa diberikan dalam porsi lebih banyak daripada biasanya. Berikan suplementasi zinc, vitamin B kompleks, vitamin C, dan zat besi. Es krim bisa diberikan karena efek dingin cukup meredakan rasa perih dan mengandung nutrisi juga.
Suapi si kecil dengan perlahan-lahan dan sabar. Gunakan gelas minum karena dot bayi biasanya menyentuh sariawannya. Pada anak yang lebih besar, kumur air garam bisa sebagai antiseptik ampuh setara dengan obat kumur untuk membunuh kuman.
Penulis: MM DEAH Hapsari
Ikatan Dokter Anak Indonesia


sumber :
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/stomatitis-sariawan-pada-anak

Senin, 05 Juni 2017

sindrom metabolik : konsensus sindrom metabolik IDAI 2014

Sindrom metabolik merupakan sekumpulan gejala yang meliputi obesitas abdominal, dislipidemia, hiperglikemia, dan hipertensi. Prevalensi obesitas, komponen sindrom metabolik, telah meningkat tajam dalam beberapa dekade terakhir secara global, dari 4,2% di tahun 1990 menjadi 6,7% di tahun 2010 dan diperkirakan akan mencapai 9,1% di tahun 2020. Komorbiditas lain, seperti: dislipidemia, hipertensi, dan resistensi insulin juga sudah ditemukan pada anak sehingga menyebabkan kekhawatiran timbulnya epidemi penyakit kardiovaskular di masa mendatang. Hal tersebut menyebabkan deteksi dini dan tata laksana yang tepat sindrom metabolik pada anak dan remaja menjadi prioritas dalam sistem pelayanan kesehatan.


Hingga saat ini, persepsi mengenai sindrom metabolik pada anak dan remaja masih beragam. Oleh karena itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sebagai organisasi profesi dokter spesialis anak satu-satunya di Indonesia merasa perlu mengeluarkan konsensus mengenai diagnosis, tata laksana, pencegahan, dan pemantauan sindrom metabolik. Konsensus ini bertujuan agar semua pihak terkait, khususnya praktisi kesehatan anak, mempunyai persepsi yang sama sehingga deteksi dini dan tata laksana sindrom metabolik yang tepat dapat tercapai.







daftar isi konsensus:
A. Pendahuan
1. Epidemiologi
2. Faktor risiko
3. Patofisiologi
B. Definisi dan Kriteria Diagnosis
C. Tata laksana
1. Gaya hidup sehat (healthy lifestyle) yang terdiri dari
nutrisi dan aktivitas fisik
2. Farmakoterapi
a. Statin
b. Tata laksana hipertensi
c. Metformin
D. Prognosis
E. Pencegahan
F. Pemantauan
Kepustakaan

Rabu, 08 Maret 2017

BAKTERI PENYEBAB SEPSIS NEONATORUM DAN POLA KEPEKAANNYA TERHADAP ANTIBIOTIKA

BAKTERI PENYEBAB SEPSIS NEONATORUM DAN POLA KEPEKAANNYA TERHADAP ANTIBIOTIKA


Ety Apriliana1), Prambudi Rukmono2), Devi Nurlia Erdian3), Fira Tania4
1)Bagian Mikrobiologi FK Unila,
2) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unila,
3)Pendidikan Dokter FK Unila
Jl Sumantri Brojonegoro No 1 Gedung Meneng Bandar Lampung, 35145


ABSTRACT
Septicemia in neonates refers to generalized bacterial infection documented by positive
blood culture in the fist four weeks of life and is one of the four leading causes of
neonatal mortality and morbidity. It might be possible to reduce these factors by early
diagnosis and proper management. Aim: To isolate and identify the bacterial etiologic
agents responsible for neonatal sepsis and to determine the susceptibility pattern of
isolate in Abdoel Moeloek Hospital Bandar Lampung. Materials And Methods: Twenty
four blood samples were collected and processed from patients clinically suspected
septicemia in neonates accordance with standard protocols. The antibiotic susceptibility
of the isolates was done by Kirby-Bauer’s disc diffusion method. Results: Blood culture
reports was positive in.79% cases. Gram-negative septicemia was encountered in 62%
of the culture-postive cases. Klebsiella and Pseudomonas species were the predominant
pathogens. Maximum resistance among organisms was seen in Penicillin (94,7%).
Imipenem were found to be good alternatif drugs. Conclusion: Gram-negative organism
(Klebsiella and Pseudomonas sp) are the leading cause of neonatal sepsis in this study
and most of them resistent to multiple antibiotics.
Keywords : Antimicrobial resistance, antibiotics, neonatal septicemia


PENDAHULUAN
Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang
pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization
(WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas
neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran
hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang (Depkes, 2007).
Dimana angka kejadian sepsis neonatorum di negara berkembang cukup tinggi (1,8–
18/1000 kelahiran hidup), sedangkan di negara maju (1–5/1000 kelahiran). (Gerdes,
2005). Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000

kelahiran hidup (Depkes, 2007).

Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2002
bahwa angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per tahun,
dengan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate) sebesar 48/1000 kelahiran hidup.
Di RSUP Dr. Kariadi Semarang angka kejadian infeksi pada neonatus pada tahun 2004
adalah sebesar 33,1% dengan angka kematian 20,3%, di RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta tahun 2005 sekitar 13,68% terjadi infeksi dari seluruh kelahiran hidupdengan
angka kematian mencapai 14,18% (Rohsiswatmo, 2004). Sedangkan di RSUD dr H
Abdul Moeloek Lampung, angka kejadian infeksi pada tahun 2009 adalah sebesar
30,1% dengan angka kematian 40%.
Pemeriksaan kultur merupakan baku emas dalam penegakan diagnosis pasti
sepsis neonatorum. Penderita yang diduga sepsis harus dilakukan kultur, dengan
spesimen dapat berupa darah, urin, atau cairan serebrospinal. Sepsis merupakan keadaan
kedaruratan dimana keterlambatan pengobatan dapat menyebabkan kematian. Sehingga
kultur harus dilanjutkan dengan uji sensitivitas antibiotika sehingga terapi antibiotika
yang diberikan tepat sesuai dengan pola kepekaan antibiotik pada bakteri penyebab
sepsis pada penderita. Penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk,
mengingat semakin tingginya tingkat resistensi dan toksisitasnya. Selain itu, perawatan
di Rumah Sakit menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan
risiko infeksi nosokomial (Depkes, 2007).


METODE
Sampel darah vena perifer berasal dari penderita dengan diagnosis klinis sepsis
neonatorum di Unit Perinatologi Rumah Sakit Abdul Muluk Bandar Lampung pada
bulan November-Desember 2011. Diagnosis klinis sepsis neonatorum dilakukan oleh
dokter spesialis anak. Penderita sepsis neonatorum dengan kelainan kongenital berat
tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Dua mililiter darah vena diambil secara
aseptik dari fossa cubiti anterior dan kemudian diinokulasi pada media kultur bakteri.
Identifikasi bakteri dilakukan berdasarkan serangkaian pemeriksaan, meliputi
kultur pada media spesifik untuk mengisolasi bakteri penyebab, dilanjutkan dengan
pewarnaan Gram dan uji biokimia (uji gula-gula, TSI, SIM, Simon’s Citrate, katalase,
koagulase, DNA-ase). Pola kepekaan terhadap antibiotika diketahui dengan
pemeriksaan uji sensitivitas antibiotika dengan metode difusi cakram Kirby Bauer. Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan kultur bakteri pada media agar Muller
Hinton. Disc antibiotik yang digunakan terdiri dari penisilin, ampisilin, sefotaksim,
gentamisin, amikasin, seftazidim, vankomisin, dan imipenem. Interpretasi hasil uji
sensitivitas dibandingkan dengan standar zona hambat antibiotik dari Clinical
Laboratory Standards Institute (CLSI) tahun 2010. Hasil pengukuran diameter zona
hambat diinterpretasikan dalam Resisten (R), Intermediet (I) dan Sensitif (S). Setiap
antibiotik memiliki karakteristik yang berbeda dan efek yang berbeda pula terhadap
bakteri. Hal ini pula yang menyebabkan diameter zona hambat yang dihasilkan pada
bakteri berbeda.

HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Penderita
Setelah dilakukan penelitian di Rumah Sakit Abdul Moeloek di Unit Perinatologi
pada bulan November-Desember 2011, didapatkan 24 sampel yang terdiri atas pasien
laki-laki 62% dan pasien perempuan 38%, dengan rentang usia 1-4 hari sebanyak 21%
dan di atas usia 4 hari sebesar 79%.
2. Identifikasi Bakteri
Setelah dilakukan kultur pada 24 sampel penderita didapatkan hasil 5 (21%) sampel
steril, 4 (17%) isolat bakteri Gram positif, dan 15 (62%) isolat bakteri Gram negatif.
Berdasarkan hasil kultur, pewarnaan Gram dan uji biokimia didapatkan spesies bakteri
seperti pada Tabel 1, dengan spesie terbanyak adalah Pseudomonas sp. (25%), dan
Klebsiella sp. (25%).
Tabel 1. Hasil Identifikasi Isolat Bakteri Penyebab Sepsis Neonatorum di Unit
Perinatologi RSAM berdasarkan Kultur dan Uji Biokimia



3. Pola Resistensi Isolat Bakteri Terhadap Antibiotik
Seluruh isolat yang didapatkan dari penderita sepsis neonatorum dilakukan uji
sensitivitas terhadap antibiotik. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik lini pertama
dan lini kedua pada penatalaksanaan sepsis neonatorum. Hasil pemeriksaan dapat dilihat
pada Tabel 2, dimana pola resistensi terhadap antibiotika pada satu siolat bakteri
berbeda dengan isolat lainnya.
Sedangkan apabila pola resistensi terhadap antibiotika dilihat dari jenis
antibiotikanya, maka hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1, dimana antibiotika penisilin
memperlihatkan angka resistensi tertinggi, dimana hampir semua bakteri (94,7%)
resisten terhadap Penisilin sedangkan Imipenem memiliki sensitivitas paling tinggi
(73,7%).
Tabel 2. Hasil Uji Sensitivitas Terhadap Antibiotik Pada Bakteri Penyebab Sepsis

Neonatorum di Unit Perinatologi RSAM.



PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti, didapatkan 21% neonatus yang
usianya berkisar antara 1-4 hari dan 79% neonatus yang berusia di atas 4 hari. Usia
neonatus pada kasus sepsis neonatorum dapat memberikan informasi mengenai
kemungkinan asal mikroorganisme penyebab. Pada neonatus di bawah 4 tahun,
penyebab umumnya berasal dari bakteri yang terdapat di jalan lahir dan bakteri yang
menginfeksi ibu selama kehamilan. Selain itu, ada beberapa faktor resiko yang dapat
mempengaruhi kejadian sepsis pada neonatus dengan usia di bawah 4 hari, antara lain
usia kandungan, berat lahir bayi, apgar score, asfiksia, ketuban pecah dini lebih dari 12
jam, dan kelahiran prematur (Nasution, 2008).
Usia kandungan, terutama kurang dari 37 minggu, mempengaruhi kejadian
sepsis dikarenakan bahwa transpor pasif imunoglobulin dimulai pada usia gestasi 8-12
minggu melewati plasenta, masuk sirkulasi fetal pada usia kehamilan 30-40 minggu,
sehingga bayi yang lahir pada usia gestasi < 37 minggu (preterm) mempunyai
kekebalan tubuh yang masih imatur dalam melawan infeksi sehingga mudah terjadi
infeksi atau sepsis (Latif, 2003). Sedangkan pada bayi dengan berat lahir rendah
mempunyai aktivitas sistem komplemen, monosit-makrofag, aktivitas kemotaksis
bakterisid dan presentasi antigen oleh sel sebagai respon inflamasi jaringan masih
belum sempurna, sehingga mempunyai risiko tinggi untuk terinfeksi (Nasution, 2008).
Pada sepsis neonatorum awitan lambat (usia neonatus lebih dari 4 hari), bakteri
penyebab biasanya berasal dari lingkungan luar atau rumah sakit. Selain itu, kurangnya
kepatuhan tenaga medis dalam mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa bayi,
lokasi tempat mencuci tangan terlalu jauh dari posisi tempat tidur bayi, kapasitas pasien
rawat inap yang terlalu banyak, jumlah tenaga medis yang banyak dan sering masuk
keluar ruang perawatan neonatus risiko tinggi (Nasution, 2008), penggunaan alat dan
tindakan invasif seperti pemberian nutrisi parenteral, pemasangan kateter perkutaneus,
atau pemasangan ventilasi mekanik dapat menyebabkan transmisi bakteri terutama ke
neonatus yang rentang terinfeksi (Távora, 2008).
Pada penelitian ini didapatkan bakteri Gram negatif lebih banyak didapatkan
pada penderita sepsis neonatorum, dimana Pseudomonas sp dan Klebsiella sp
merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai penyebab sepsis neonatorum.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kayange (2010) yang mendapatkan Klebsiella sp sebagai penyebab terbanyak sepsis neonatorum. Penelitian
yang dilakukan oleh Altayeb (2011) juga mendapatkan Klebsiella sp, Enterobacter sp
dan Escherichia coli sebagai bakteri Gram negatif penyebab sepsis neonatorum.
Klebsiella sp merupakan bakteri Gram negatif yang dapat menyebabkan
berbagai infeksi di rumah sakit, seperti pneumonia, sepsis, infeksi luka operasi dan juga
meningitis. Klebsiella sp umumnya ditemukan di saluran pernafasan dan juga feses
manusia. Di termpat pelayanan kesehatan, Klebsiella sp dapat menginfeksi pasien yang
sedang mendapatkan perawatan, terutama pasien yang menggunakan alat-alat seperti
ventilator dan selang infus (Brooks, 2007).
Pseudomonas sp merupakan salah satu bakteri pathogen nosokomial dan dapat
tumbuh subur pada lingkungan yang basah. Pseudomonas sp sering dijumpai pada
daerah lembab di kulit dan dapat membentuk koloni pada saluran pernafasan bagian atas
pada pasien yang dirawat di rumah sakit, juga pada alat-alat yang sering digunakan di
rumah sakit seperti kateter ataupun selang infus. Neonatus sangat rentan terhadap
infeksi, sehingga mudah untuk tertular melalui alat-alat tersebut (Brooks, 2007).
Pola resistensi beberapa antibiotika yang digunakan pada penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 1. Pada Gambar 1 dapat terlihat bahwa antibiotika
yang memiliki sensitivitas paling tinggi yaitu imipenem, dimana 73,7% isolat sensitif
terhadap imipenem. Sedangkan antibiotika dengan angka resistensi paling tinggi adalah
penisilin, dimana 94,7% isolat resisten terhadap penisilin. Pola resistensi antibiotik
golongan beta laktam seperti ampisilin 84,2%, seftazidim 68,2%, dan sefotaksim 52,6%.
Sedangkan untuk golongan non beta laktam seperti vankomisin memiliki pola resistensi
sebesar 78,9%. Untuk golongan aminoglikosida seperti gentamisin dengan pola
resistensi sebesar 68,4% dan amikasin 52,6%.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, imipenem merupakan antibiotik yang
paling sensitif yaitu sebesar 26,3% dalam mengeliminasi bakteri penyebab sepsis
neonatorum di bagian Perinatologi RSAM. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Isaacs pada tahun 2005, bahwa resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul kirakira
sekitar 20%. Imipenem masih termasuk antibiotik golongan beta laktam dari grup
karbapenem dan merupakan satu-satunya obat grup karbapenem yang tersedia saat ini.
Imipenem merupakan antibiotik beta laktam berspektrum paling luas yang ada saat ini
(Mycek et al, 2001). Tidak hanya itu, Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) yang merupakan enzim yang dapat menghidrolisis penisilin, sefalosforin generasi I, II,
III dan aztreonam, tetapi tidak terjadi pada imipenem (Winarto, 2009 dan Emily 2005).
Sehingga tidak heran apabila antibiotik ini memiliki sensitivitas tinggi terhadap bakteri
Gram negatif maupun Gram positif.



Meskipun pola resistensi pada imipenem rendah, data tersebut membuktikan
bahwa saat ini sudah mulai terjadi penurunan kepekaan pada antibiotik golongan
karbapenem. Hal ini dapat dilihat di negara berkembang, yang melaporkan bahwa
multiresisten yang terjadi pada bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama
Klebsiella sp. dan Enterobacter sp. Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp.
(termasuk terhadap karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan
berbagai angka prevalensi di tiap negara (Deorari, 2005). Munculnya starain resisten
terhadap imipenem berkaitan dengan penggunaanya yang berlebihan. Sebenarnya
karbapenem tidak boleh digunakan secara luas. Karbapenem digunakan dilaboratorium
untuk menginduksi organisme pembawa gen beta laktamase yang terekspresi agar
mengekspresikan gen dan memproduksi beta laktamase. Jadi penggunaan imipenem
dan meropenem secara berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi
beta laktamase (Isaacs, 2000).

Antibiotik penisilin dari golongan beta laktam merupakan antibiotik dengan
tingkat resistensi paling tinggi yaitu sebesar 94,7%. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Utami pada tahun 2010 di bagian Bedah RSAM pada luka post
operasi, dilaporkan kepekaan pada penisilin mencapai 92,5%. Di bagian Perinatologi
RSAM sendiri, penisilin sudah tidak digunakan lagi karena resistensinya yang sangat
tinggi terhadap bakteri. Namun untuk mengatasi resistensi pada penisilin, dalam
penggunaanya pada pasien sepsis penisilin dikombinasi dengan aminoglikosida
umumnya terbukti efektif terhadap organisme penyebab (Rodrigo, 2002).
Didapatkannya resistensi terhadap berbagai antibiotik pada isolat penderita
sepsis mengindikasikan diperlukannya pemeriksaan kultur secara rutin pada penderita
sepsis neonatorum dan harus dilanjutkan dengan uji sensitivitas terhadap antibiotik
sehingga terapi antibiotik yang diberikan tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Aletayeb SMH, Khosravi AD, Dehdastian M, Kompani F, Mortazavi SM, Aramesh
MR. 2011. Identification pf bacterial agents and antimicrobial susceptibility of
neonatal sepsis: A 54-month study in a tertiary hospital. African Journal of
Microbiology Research. Vol 5(5) pp. 528-531
Andini, Sari. 2010. Pola Resistensi Isolat Bakteri Pada Luka Post Operasi Seksio
Sesarea di Bagian Obstetri Ginekologi RSUD dr. H Abdul Moeloek di Bandar
Lampung (skripsi). Bandar Lampung : FK Unila
Brooks GF. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. EGC,
Jakarta.
Deorari A. 2005. Neonatal Sepsis Update. Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, Alam
A, penyunting. Proceedings book 13th National Congress of Child Health
KONIKA XIII, Bandung : Hasan Sadikin General Hospital ;.h.61-9.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Penatalaksanaan Sepsis
Neonatorum. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Emily P. Hyle, Adam D. Lipworth, Theoklis E. Zaotis, Nachamkin. Irvin, Neil O.
Fishman, Warren B. Bilker, et al. 2005. Risk Factor for Increasing Multidrug
Resistance among Extended-Spectrum β-Lactamase-producing Escherichia coli and
Klebsiella Species. Chicago Journal.
Isaacs D. 2000. Rationing antibiotics use in neonatal units. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2000; 82: F1-2.
Mycek, Mary J., Richard A Harvey., Pamela C Champe. 2001. Farmakologi Ulasan
Bergambar Edisi 2. Widya Medika, Jakarta. hlm. 475.



Minggu, 05 Maret 2017

Pemantauan Susunan Saraf Pusat di Pediatric Intensive Care Unit

Pemantauan Susunan Saraf Pusat di Pediatric Intensive Care Unit


Setyabudhy, Saptadi Yuliarto


Pemantauan susunan saraf pusat (SSP) penting dilakukan pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) yang mengalami atau berisiko mengalami gangguan neurologi untuk mendeteksi secara dini terjadinya
hipoksia/iskemia SSP. Pemantauan SSP yang ideal harus dapat mendeteksi setiap perubahan status neurologis sebelum terjadi kerusakan SSP yang ireversibel. Tekanan intrakranial (TIK) dan evoked potentials (EP) adalah parameter yang berkorelasi baik dengan fungsi serebral dan telah digunakan secara luas. Tata laksana pasien dengan gangguan neurologi akut didasarkan pada patofisiologi dari perfusi serebral, oksigenasi serebral, dan fungsi serebral.


Tujuan utama pemantauan SSP pada pasien dengan kondisi neurologis kritis adalah:
(1) deteksi dini perburukan neurologis sebelum terjadinya kerusakan SSP yang ireversibel; 
(2) memberikan tata laksana secara individual; 
(3) pemantauan respons terapi; 
(4) menghindari kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki; dan 
(5) meningkatkan luaran neurologis pada pasien yang sembuh dari cedera neurologi akut. Pencitraan neurologis (CTScan, MRI) berperan penting dalam tata laksana pasien, namun pemeriksaan ini mengharuskan pasien meninggalkan ruang perawatan intensif. Pemantauan SSP dapat membantu membuat keputusan akan perlu tidaknya dilakukan pencitraan neurologis. Saat ini tersedia berbagai modalitas untuk memantau fungsi SSP di ruang perawatan intensif, baik yang invasif maupun noninvasif. Pada bahasan ini, akan dibahas beberapa teknik pemantauan SSP yang umum digunakan.

Beberapa moda litas pemantauan neuro logis di PICU
Elektroensefalogram (EEG)
Elektroensefalogram merekam aktivitas otak berupa sinyal elektrik melalui kulit kepala. Sinyal elektrik yang terekam dalam EEG tersebut berasal dari neuron-neuron otak terutama yang terletak pada korteks, sehingga
EEG mencerminkan gambaran topografi korteks. EEG sangat sensitif sebagai indikator disfungsi serebral dan berkaitan dengan metabolisme serebral. Terdapat 4 manfaat EEG untuk perawatan di PICU yaitu: (1) membantu menegakkan diagnosis; (2) panduan terapi; (3) pemantauan kondisi susunan saraf pusat; dan (4) memperkirakan prognosis.


Sebagai alat bantu diagnostik, EEG berperan terutama pada pasien yang mengalami ensefalopati atau koma. EEG dapat membedakan antara koma yang sesungguhnya, koma psikogenik, atau kondisi yang menyerupai
koma akibat locked-in syndrome. Pada dua kondisi terakhir, EEG akan menunjukkan pola normal awake pattern. EEG juga bermanfaat dalam menentukan keparahan dan penyebab ensefalopati toksik-metabolik. Pola-pola tertentu dalam EEG mengindikasikan etiologi spesifik. Pola excessive fast activity merupakan gambaran yang sering disebabkan overdosis obat sedatifhipnosis, sedangkan gelombang trifasik dapat ditemukan pada disfungsi hepatik, gagal ginjal, dan anoksia. Ensefalitis herpes simpleks (EHS) memiliki gambaran EEG yang khas yaitu periodicsharp waves pada lobus temporalis, sehingga dapat membantu menegakkan diagnosis pada awal perjalanan penyakit. Pemeriksaan EEG harus segera dilakukan pada pasien yang diduga menderita EHS. Pemeriksaan EEG juga sangat bermanfaat untuk mendeteksi status epileptikus non-konvulsif, terutama apabila penyebabnya tidak jelas dan tidak ada tanda klinis yang menunjukkan aktivitas kejang. Pemantauan EEG dapat membantu menghindari under treatment dan over treatment pada status epileptikus.
Under treatment dapat menyebabkan asidosis metabolik, rabdomiolisis dan kematian neuron, sedangkan over treatment lebih sering terjadi dan dapat mengakibatkan gagal nafas iatrogenik dan kolaps kardiovaskular. Seringkali pasien yang sakit kritis menunjukkan gerakan involunter yang menyerupai kejang, seperti tremor, mioklonus, spasme dan posturing. Pemeriksaan EEG membantu membedakan gerakan-gerakan tersebut dengan status epileptikus.


Pemantauan terhadap fungsi kardiovaskular dan respirasi di ICU dilakukan secara ketat menggunakan berbagai kateter, transduser, dan monitor digital. Tujuannya adalah untuk meningkatkan deteksi dini terhadap terjadinya perburukan kondisi. Namun, pemantauan SSP hanya dilakukan secara berkala dan subyektif, yang umumnya dikerjakan oleh perawat. Hal ini seringkali tidak cukup akurat dan cepat. Sebagai contoh, apabila telah ditemukan dilatasi pupil unilateral maka upaya intervensi sudah terlambat. Kesulitan pemantauan klinis diperberat pada pasien yang mendapatkan sedasi atau mengalami paralisisis neuromuskular.

Elektroensefalogram sangat bermanfaat dalam memonitor SSP pada pasien yang secara klinis sulit dinilai dan memiliki kemampuan mendeteksi cedera SSP pada stadium dini. Pemeriksaan EEG sensitif untuk mendeteksi iskemia dan hipoksia, dapat mendeteksi disfungsi neuron pada tahap yang reversibel, sekaligus menentukan lokasi jejas SSP. Kematian sel terjadi bila aliran darah serebral (cerebral blood flow, CBF) turun di bawah 12 mL/100g/min, sedangkan EEG telah menunjukkan abnormalitas bila CBF turun menjadi 20-25 mL/100 g/menit. Kemampuan EEG mendeteksi penurunan CBF sebelum terjadi kematian sel sangat bermanfaat pada tindakan tertentu, misalnya operasi bedah jantung dan karotis.
Pada keadaan tersebut, EEG dapat memberikan peringatan kepada dokter bedah atau anestesi akan terjadinya perubahan perfusi serebral. Penggunaan serupa dapat diterapkan pada pasien yang dirawat di ICU dengan kondisi iskemia intrakranial atau perdarahan intrakranial dimana CBF rentan mengalami gangguan.


Penggunaan EEG kontinu 24 jam atau video-EEG monitoring semakin banyak dipertimbangkan di ICU untuk berbagai indikasi klinis, misalnya untuk pemantauan status epileptikus (SE) dan koma akibat pemberian terapi (therapeutically induced coma) pada pasien SE refrakter dan cedera otak akibat trauma. Demikian juga telah terbukti bahwa EEG kontinu 24 jam sangat bermanfaat dalam pemantauan terhadap pasien yang berisiko mengalami kejang subklinis, SE nonkonvulsif persisten, ensefalopati metabolik, dan kondisi neurologis yang membatasi kemampuan pasien untuk memberikan respon (misalnya trauma batang otak, sindrom neuropati perifer berat).


Pemeriksaan EEG kontinu 24 jam dengan rekaman video lebih bermanfaat dibandingkan pemeriksaan EEG rutin. Prognosis pasien yang menderita ensefalopati hipoksik iskemik juga dapat diperkirakan dengan pemeriksaan tersebut. Pemantauan EEG kontinu 24 jam atau serial dapat pula digunakan untuk konfirmasi kematian otak.

Tekanan Intrakranial (TIK)
Peningkatan TIK merupakan penyebab kematian terbanyak pada kasus bedah saraf dan trauma kepala berat. Peningkatan TIK yang menyertai cedera otak akibat trauma biasanya diikuti dengan cedera sekunder akibat penurunan perfusi serebral. Intervensi yang ditujukan untuk mengendalikan kenaikan tekanan intrakranialmenghasilkan perbaikan luaran neurologis dan peningkatan angka kesintasan. Tujuan utama pemantauan dan manajemen peningkatan TIK adalah mencegah cedera iskemia. Walaupun beberapa ahli masih belum sependapat mengenai manfaat memasang alat pemantauan TIK yang invasif, laporan berbasis bukti terkini menyebutkan bahwa pada anak dengan cedera otak akibat trauma pemasangan alat pemantauan TIK sangat dianjurkan karena bermanfaat dalam menentukan terapi dan mempengaruhi luaran.

Metode pemantauan TIK yang paling banyak dipakai saat ini menggunakan kateter intraventrikel atau intraparenkim. Kateter intraventrikel lebih sering dipakai, merupakan metode yang lebih langsung dibandingkan kateter intraparenkim, dan memberikan hasil yang lebih akurat. Selain itu, pemasangan kateter intraventrikel juga memungkinkan untuk mengeluarkan sejumlah cairan serebrospinal (CSS) untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memasukkan sejumlah larutan garam fisiologis guna menentukan hubungan tekanan-volume dari otak, yang bertujuan untuk memperkirakan komplians serebral. Risiko pemasangan kateter intraventrikel adalah terjadinya infeksi sehingga harus dilepas segera setelah kondisi memungkinkan.

Saturasi oksigen bulbus vena jugularis
(jugular venous bulb oxygen saturation)
Saturasi oksigen bulbus vena jugularis (SjvO2) merupakan saturasi oksigen darah di bulbus vena jugularis yang terletak di basis cranii. Pemasangan kateter SjvO2 memungkinkan pemantauan SjvO2 secara kontinu. Saturasi normal berkisar antara 60-80%. Konsep fisiologis dari pengukuran ini adalah bahwa perbedaan antara saturasi SjvO2 dan saturasi darah arteri (SaO2) merupakan parameter tidak langsung dari aliran darah otak secara global. Ketika tekanan perfusi serebral dan aliran darah otak menurun, otak harus mengekstraksi oksigen dalam jumlah yang sama dari volume darah yang lebih sedikit, sehingga menyebabkanSjvO2 turun. Secara umum, nilai SjvO2 <50% merupakan indikator iskemia serebral.

Abnormalitas yang meningkatkan konsumsi oksigen (misalnya: demam, kejang) atau yang menyebabkan penurunan hantaran oksigen (misalnya: peningkatan TIK, hipotensi, hipoksemia, hipokapnia, anemia) dapat
menurunkan SjvO2. Cedera sekunder yang terjadi pada pasien dengan gangguan neurologi dapat dideteksi dini dengan monitoring SjvO2. Kesalahan teknis dapat disebabkan perubahan posisi kepala atau posisi kateter yang tidak tepat. Perbedaan substansial antara bulbus kanan dan kiri juga dapat diukur. Akurasi pengukuran SjvO2 tergantung pada kalibrasi in vivo. Pengukuran SjvO2 dapat mengetahui adekuat atau tidaknya CPP dan CBF tetapi tidak dapat menggambarkan iskemia regional.

Transcranial doppler
Transcranial doppler (TCD) merupakan alat ukur CBF regional yang invasif, portabel dan reliabel. Probe ultrasound dipasang secara multidireksi dapat menggambarkan TCD simultan dari arteri serebri media dan atau arteri serebri posterior. Arteri serebri media adalah yang paling banyak dipelajari pada anak. Pemeriksaan TCD terhadap arteri serebri media digunakan pada manajemen pascaoperasi bedah jantung anak, trauma kepala berat, ruptur malformasi arteri-vena, status epileptikus dan hidrosefalus akut. Keterbatasan teknik TCD diantaranya adalah kesulitan menentukan letak probe ultrasound karena harus membuat lubang pada tulang kepala, hanya dapat memberikan gambaran dari pembuluh  darah berukuran sedang hingga besar, variasi pengukuran pada setiap pemeriksaan, dan hanya mengukur secara aktual kecepatan aliran CBF.


Laser-doppler flowmetry
Laser-Doppler flowmetry (LDF) mengukur kecepatan pergantian sinar laser yang direfleksikan oleh eritrosit untuk mengkalkulasi laju CBF pada area tertentu di korteks serebri. Laser-doppler flowmetry mengukur laju aliran darah dari pembuluh darah mikro dari sejumlah kecil jaringan otak dengan cara menempatkan serabut optik yang dapat memancarkan sinar laser pada parenkim otak. Keterbatasan teknik
ini adalah reliabilitas pengukuran, artefak akibat gerakan pasien, laju aliran yang tidak akurat bila serabut optik diletakkan di dekat pembuluh darah besar, dan penurunan sinyal LDF jika nilai hematokrit rendah.

Mikrodialisis
Kateter mikrodialisis dimasukkan ke dalam jaringan otak dan dihubungkan dengan pompa mikrodialisis yang memompa cairan dialisis ke dalam otak. Cairan dialisis ini akan berdifusi dengan cairan ekstraselular otak melalui membran dialisis. Sampel cairan dikumpulkan setiap jam dan dianalisis dengan alat mikrodialisis khusus. Perubahan kadar glukosa, laktat, piruvat dan berbagai asam amino dalam cairan interstisial otak dapat diukur dengan metode ini. Kadar laktat dan glutamat ekstraseluler dilaporkan meningkat pada kondisi
desaturasi vena jugularis. Kateter untuk anak saat ini telah tersedia, tetapi pengalaman klinis pada anak masih terbatas. Penelitian pada anak dengan cedera otak akibat trauma menunjukkan bahwa rasio glutamin dibandingkan glutamat ekstraseluler memiliki nilai prognostik dan berhubungan dengan luaran klinis.



Mutiara bernas
• Elektroensefalogram sangat sensitif sebagai indikator disfungsi serebral. Pemantauan EEG kontinu 24 jam dengan video bermanfaat untuk mendeteksi dini hipoksia/iskemia serebral.
• Pemantauan tekanan intrakranial dapat dilakukan menggunakan kateter intraventrikel/intraparenkim dan dianjurkan pada pasien dengan cedera otak akibat trauma.
• Saturasi oksigen bulbus vena jugularis (SjvO2) merupakan parameter tidak langsung aliran darah serebral secara global. Nilai SjvO2 <50% merupakan indikator iskemia serebral
• Transcranial doppler dan Laser-doppler flowmetry digunakan untuk mengukur aliran darah serebral
• Mikrodialisis digunakan untuk mengukur perubahan kadar glukosa, laktat, piruvat, dan berbagai asam amino dalam cairan ekstraselular otak. Perubahan kadar asam amino tertentu berkaitan dengan disfungsi SSP dan luaran klinis

sumber tulisan ini :  disalin langsung dari
BUKU AJAR PEDIATRI GAWAT DARURAT  IDAI 2011



Kepustakaan
1. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, Chesnut RM, du Coudray HEM, Goldstein B, dkk.
Guidelines for the acute medical management of severe traumatic brain injury in infants, children, and adolescents. Chapter 6. Threshold for treatment of intracranial hypertension. Pediatr Crit Care Med 2003;4(Supp):S25-7.
2. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, Chesnut RM, du Coudray HEM, Goldstein B, dkk.
Guidelines for the acute medical management of severe traumatic brain injury in infants, children, and adolescents. Chapter 7. Intracranial pressure monitoring technology. Pediatr Crit Care Med. 2003;4(Supp):S28-30.
3. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, Chesnut RM, du Coudray HEM, Goldstein B, dkk.
Guidelines for the acute medical management of severe traumatic brain injury in infants, children, and adolescents. Chapter 8. Cerebral perfusion pressure. Pediatr Crit Care Med. 2003;4(Supp):S31-3.
4. Goldstein B, Aboy M, Graham A. Neurologic monitoring. Dalam: Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 862-71.
5. Gorelick MH, Blackwell CD. Neurologic
Emergencies. Dalam: Fleisher; GR, Ludwig S,
penyunting. Text book of pediatric emergency
medicine. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010. h. 1012-23.
6. Haitsma I, Maas A. Advanced monitoring in the
intensive care unit: Brain tissue oxygen tension.
Curr Opin Crit Care. 2002;8:115-20.
7. Humphries RM, Bricking KD, Huhn TM.
Pediatric emergencies. Dalam: Keith C, Stone,
penyunting. Current emergency diagnosis and
treatment. Edisi ke-5. Philadelphia: McGraw
Hill; 2003.
8. Kirkpatrick P, Smielewski P, Czosnyka M.
Continuous monitoring of cortical perfusion by
laser Doppler flowmetry in ventilated patients
with head injury. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
1994;57:1382-8
9. Nigro MA. Seizures and status epilepticus
in children. Dalam: Tintinalli JE, Kelen
GD, penyunting. Emergency medicine: a
comprehensive study guide. Edisi ke-6.
Philadelphia: McGraw-Hill; 2003.
10. Packer RJ, Bruce DA. Neurologic Emergencies.
Dalam: Slonim AD, Pollack MM, penyunting.
Pediatric Critical Care Medicine. Edisi ke-1.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. h. 768-72.
11. Procaccio F, Polo A, Lanteri P. Electrophysiologic
monitoring in neurointensive care. Curr Opin
Crit Care. 2001;7:74-80.
12. Scheuer M. Continuous EEG monitoring in the
intensive care unit. Epilepsia. 2002;43 :114-27.

Peningkatan Tekanan Intrakranial Pada Anak

Peningkatan Tekanan Intrakranial

Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja


Pendahuluan
Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dapat disebabkan berbagai etiologi, yaitu edema serebri akibat trauma kepala, hipoksia-iskemia, infeksi, gangguan metabolik, hidrosefalus, dan lesi desak ruang. Jika tidak dikenali dan tidak ditata laksana secara dini dan tepat, peningkatan TIK dapat mengakibatkan cedera neurologis ireversibel bahkan mortalitas.


Patofisiologi
Tekanan intrakranial (TIK) merupakan jumlah total tekanan dari otak, darah dan cairan serebrospinal dalam rongga intrakranial. Doktrin Monroe-Kellie menyatakan rongga kranium adalah ruang tetap yang terdiri atas
tiga komponen yaitu darah, otak, dan cairan serebrospinal (CSS). Darah meliputi 10% volume total rongga kranium, CSS sebesar 10%, dan otak sebesar 80%. Cairan serebrospinal memiliki 70% kapasitas buffer intrakranial. Saat terjadi peningkatan satu atau lebih dari komponen tersebut maka komponen lain akan turun untuk menjaga volume intrakranial tetap sama. Darah dan CSS merupakan komponen yang dapat berkompensasi. Saat  terjadi edema otak karena sebab tertentu, CSS akan berpindah dari ventrikel dan rongga subarakhnoid serebral ke rongga subarakhnoid spinal melalui foramen magnum. Selanjutnya terjadi pengurangan produksi CSS atau terjadi peningkatan absorpsi CSS, sehingga Peningkatan Tekanan Intrakranial Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja volume total CSS berkurang. Darah juga ikut berkompensasi dengan mengalihkan darah vena ke sinus venosus dura. Jika terdapat massa intrakranial (misalnya tumor otak), otak dan volume arteri akan tetap statis, sedangkan CSS dan darah vena akan mengalami penurunan volume sampai komponen-komponen tersebut tidak mampu mengkompensasi lagi, sehingga akan terjadi peningkatan TIK (Gambar 6.1).
Bayi dan anak dengan ubun-ubun dan sutura yang masih membuka (biasanya usia <18 bulan) dapat mengkompensasi perubahan komposisi komponen intrakranial yang terjadi secara perlahan dalam jangka waktu lama (perubahan kronik). Namun, kelompok usia ini tetap rentan terhadap peningkatan TIK akut. Pemahaman terhadap doktrin Monroe-Kellie penting bagi tata laksana peningkatan TIK pada anak.


Konsep penting lain dalam dinamika intrakranial meliputi autoregulasi, komplians, aliran darah otak, kecepatan metabolisme serebral dan tekanan perfusi serebral. Autoregulasi adalah kemampuan mempertahankan aliran darah otak (cerebral blood flow, CBF) dengan vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah otak meskipun terdapat fluktuasi tekanan darah sistemik. Jika autoregulasi terganggu, maka aliran darah otak akan tergantung pada perubahan tekanan darah sistemik. Komplians menunjukkan perubahan tekanan akibat perubahan volume, merupakan indikator toleransi otak terhadap peningkatan TIK. Tiap pasien memiliki derajat komplians yang berbeda walaupun mengalami derajat kerusakan yang sama. Faktor-faktor yang berpengaruh padakondisi ini masih belum diketahui. Saat komplians terganggu, maka terjadi peningkatan dramatis pada kurva tekanan/volume yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK secara cepat.



Pada otak tanpa kerusakan, aliran darah otak diatur untuk memenuhi kebutuhan otak akan oksigen dan substrat. Secara fisiologis, faktor yang berpengaruh pada aliran darah otak adalah tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2), oksigenasi arteri, pH, tekanan perfusi otak, dan laju metabolisme otak. Tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) berkaitan secara langsung dengan aliran darah otak, dan merupakan mediator kimia paling poten dari aliran darah otak. Peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi yang akan meningkatkan aliran darah otak dan sangat berpotensi meningkatkan TIK. Kondisi asidosis dan hipoksemia juga dapat meningkatkan aliran darah otak dengan mekanisme vasodilatasi. Aliran darah otak pada kondisi kebutuhan jaringan meningkat akan menyebabkan hiperemia. Aliran darah otak pada dewasa berkisar 50–70 mL/100 g/menit, sedangkan pada anak sehat dapat mencapai 108 mL/100 g/menit. Aliran darah otak <20 mL/100 g/menit menunjukkan adanya iskemia otak dan berkaitan dengan luaran yang buruk pada anak dengan trauma kepala.


Kejang dan demam akan meningkatkan aliran darah otak dan laju metabolisme otak. Prosedur untuk menurunkan laju metabolisme otak seperti pemberian barbiturat dan hipotermia juga akan menurunkan aliran darah otak. Metabolisme otak bergantung pada glukosa untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh, dengan adenosin trifosfat (ATP) dan siklus Krebs untuk mempertahankan metabolisme aerob. Saat terjadi hipoksia maka terjadi metabolisme anaerob yang menghasilkan laktat dan piruvat serta menurunkan produksi ATP dan pasokan energi untuk metabolisme tubuh.

Tekanan perfusi otak atau cerebral perfusion pressure (CPP) merupakan tekanan perfusi pada sel dan merupakan indikator penting aliran darah otak. Tekanan perfusi yang cukup akan mencegah kerusakan akibat iskemia otak sekunder. Tekanan perfusi otak didapat dari pengukuran tidak langsung aliran darah otak dan dihitung dengan mengukur perbedaan antara mean arterial pressure (MAP) dengan intracranial pressure (ICP), dengan persamaan berikut: CPP = MAP-ICP. Belum terdapat panduan nilai normal CPP untuk anak.
Namun, dari persamaan tersebut, nilai minimal CPP yang diperlukan untuk mencegah iskemia adalah sebagai berikut: dewasa, CPP >70mmHg; anak, CPP >50–60 mmHg; bayi/balita, CPP >40–50 mmHg. Penelitian menyatakan CPP <40 mmHg merupakan prediktor penting mortalitas pada anak dengan kerusakan otak akibat trauma.



Rentang normal TIK bervariasi berdasarkan usia (Tabel 6.1). Hipertensi intrakranial dinyatakan sebagai peningkatan TIK >20 mmHg selama lebih dari 5 menit.Ambang nilai yang lebih rendah dapat digunakan pada bayi dan anak kecil. Ambang nilai untuk memulai terapi pada hipertensi intrakranial bervariasi, tergantung pada etiologi. Penggunaan batas atas nilai normal untuk memulai terapi masih diperdebatkan.



Etiologi
Mekanisme peningkatan TIK dapat disebabkan peningkatan massa jaringan otak, volume darah, atau cairan serebrospinal (Tabel 6.2). Satu atau lebih faktor tersebut dapat meningkatkan tekanan intrakranial secara tunggal atau simultan. Peningkatan TIK dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu edema serebri (akibat trauma kepala, kondisi hipoksik-iskemik, infark serebri, infeksi (meningitis, ensefalitis), ensefalopatimetabolik, hidrosefalus, dan proses desak ruang (tumor, perdarahan intraparenkimal karena ruptur malformasi arteriovena atau aneurisma).
Keterlambatan deteksi dini dan penanganan peningkatan TIK akan mengakibatkan kerusakan neurologis yang ireversibel.

Tabel 6.1. Berbagai etiologi peningkatan TIK


Tabel 6.2. Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial




Gejala klinis
Pada peningkatan TIK dapat dijumpai sakit kepala dengan derajat dan durasi yang bervariasi, muntah, letargi, meningismus, disorientasi, disfungsi neurologis fokal, kejang, dan koma. Tanda awal pada bayi dan anak usia muda dapat berupa ubun-ubun besar membonjol dan refleks pupil yang lemah. Pada peningkatan TIK yang berat dan lama dapat terjadi pembesaran pupil unilateral, kelumpuhan saraf kranial (III, IV, VI), edema papil, dan trias Cushing (hipertensi, bradikardi, dan perubahan pola napas). Kondisi ini menunjukkan tanda herniasi awal atau lanjut. Trias Cushing terjadi pada kondisi iskemia serebral yang menyebabkan vasokonstriksi perifer sehingga mengakibatkan tekanan darah sistolik meningkat untuk mempertahankan perfusi otak. Baroreseptor kardiak akan merespons kondisi ini dengan merangsang respons vagal yang bermanifestasi sebagai bradikardi. Pola napas abnormal merupakan komponen terakhir dari trias Cushing, yang terjadi karena kompresi batang otak. Sangatlah penting dalam mengenali gejala awal peningkatan TIK karena trias Cushing merupakan gejala yang timbul amat perlahan pada anak dengan cedera neurologis dan merupakan suatu petunjuk adanya herniasi.


Tata laksana
Tujuan utama tatalaksana peningkatan TIK adalah untuk mencegah dan meminimalkan kerusakan sekunder otak, tanpa memandang etiologi. Terminologi kerusakan primer dan sekunder umumnya digunakan pada kasus cedera kepala traumatik, namun istilah ini juga dapat diterapkan pada anak dengan ensefalopati metabolik, lesi hipoksik-iskemik, lesi otak nontraumatik, infeksi otak, dan perdarahan intrakranial. Kerusakan primer menunjukkan kejadian awal tanpa memandang mekanisme kerusakan, sedang kerusakan sekunder menunjukkan proses yang berlangsung dalam hitungan jam sampai hari setelah kerusakan awal dapat melalui intervensi terhadap faktor-faktor sesuai doktrin Monroe-Kellie (Tabel 6.3), yaitu dengan menurunkan volume otak, menurunkan volume cairan serebrospinal, menurunkan laju metabolisme otak, dan/atau menurunkan aliran darah otak. Tujuan intervensi tersebut adalah untuk mempertahankan tekanan perfusi otak dan TIK sesuai usia. Tata laksana peningkatan TIK berdasarkan algoritma pendekatan peningkatanTIK pada anak dengan kerusakan neurologis dapat dilihat pada Gambar 6.3.


Airway, Breathing, Circulation
Manajemen awal pada anak dengan kecurigaan peningkatan TIK adalah penilaian patensi jalan napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi (circulation), atau ABC. Intubasi harus dipertimbangkan pada kondisi: kesulitan mempertahankan patensi jalan napas, GCS <8, hasil CT scan menunjukkan edema serebri
difus, kerusakan neurologis dengan resiko dekompensasi, ketidakstabilan dinding dada, pola napas abnormal, dan obstruksi jalan napas atas. Intubasi harus dilakukan dengan pemberian medikasi untuk mencegah peningkatan TIK selama prosedur. Medikasi yang dianjurkan adalah tiopenthal, lidokain, dan short-acting nondepolarizing neuromuscular blockage agent (misal vekuronium, atrakurium).


Kecukupan oksigenasi harus dijaga untuk mencegah sekuele dari kerusakan sekunder. Pertahankan tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) >60 mmHg, saturasi oksigen (SpO2) >90%, dan positive end expiratory pressure (PEEP) 5 cmH2O. Tekanan darah sesuai umur harus dipertahankan untuk menjamin kecukupan tekanan perfusi otak dan mencegah iskemia berkelanjutan. Pencegahan hipotensi juga harus dilakukan karena berkaitan dengan peningkatan mortalitas pada cedera otak traumatik. Hipotensi pada anak didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dibawah persentil 50 sesuai usia atau jika didapatkan klinis syok. Median (persentil 50) tekanan darah sistolik pada anak >1 tahun dapat dihitung dengan rumus: 90 + (2 x usia dalam tahun). Tanda lain penurunan perfusi adalah takikardia, penurunan produksi urin (<1 mL/kg/jam), nadi lemah atau tak teraba, pemanjangan waktu pengisian kapiler >2 detik, dan penurunan kesadaran. Pada cedera neurologis dengan hipotensi, resusitasi cairan tetap harus diberikan sesuai dengan tata laksana syok. Tidak ada indikasi untuk melakukan restriksi cairan. Pemberian vasopressor dapat dilakukan pada kondisi hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat.

Head positioning
Kepala pasien diposisikan pada garis tengah sumbu tubuh untuk menjaga drainase vena jugularis dan kepala dielevasikan 15-300. Metode ini sangat efektif untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mengoptimalkan tekanan perfusi otak. Elevasi kepala di atas 300 atau menurunkan kepala dibawah 150 berkaitan dengan peningkatan dan atau penurunan tekanan perfusi otak.


Drainase serebrospinal
Drainase cairan serebrospinal akan menyebabkan penurunan TIK yang cepat namun transien. Drainase ini dapat dilakukan secara kontinu ataupun intermiten. Metode paling optimal untuk memonitor TIK dan drainase cairan serebrospinal adalah melalui kateter ventrikulostomi. Penelitian tentang efek metode drainase cairan serebrospinal terhadap efek TIK, tekanan perfusi otak, aliran darah otak, serta laju metabolisme otak masih sangat terbatas. Pada kondisi hipertensi intrakranial yang refrakter, drainase lumbal dapat dipertimbangkan jika sisterna basalis terbuka dan tidak ada tanda midline shift, atau tidak ada massa yang nyata pada hasil pencitraan neurologis.


Terapi osmotik
Manitol merupakan agen osmotik yang telah digunakan puluhan tahun untuk mengatasi hipertensi intrakranial. Mekanisme kerja manitol ada dua, yaitu (1) menginduksi diuresis osmotik, dengan cara menghasilkan gradien osmosis sehingga cairan dari jaringan otak tertarik ke rongga vaskular, kemudian diekskresikan melalui ginjal, dan (2) efek reologis, yaitu menurunkan viskositas darah dan hematokrit serta meningkatkan aliran darah otak dan pasokan oksigen otak. Efek reologis langsung bekerja menurunkan TIK dalam hitungan menit setelah pemberian manitol. Efek diuresis osmotik bekerja lebih lambat, yaitu 15-30 menit setelah pemberian manitol, dan bertahan sekitar 6-8 jam, sehingga manitol diberikan dengan frekuensi tiap 4-6 jam dengan dosis 0,5-1 gram/kgBB/kali.




Pemberian cairan hipertonis dapat menurunkan TIK dan memperbaiki luaran pada anak dengan cedera kepala traumatik. Cairan hipertonis dapat menurunkan TIK dan volume darah otak dengan menciptakan gradien osmosis dalam otak, disamping tetap dapat mengisi volume intravaskular. Pemberian cairan hipertonis 10 mL/kg bolus mampu memperbaiki tingkat kesadaran dan skor Skala Koma Glasgow. Pemberian secara kontinu yang dianjurkan dimulai dari 0,1 sampai 1,0 mL/kg/jam. Pemantauan kadar natrium serum dan status neurologis perlu dilakukan secara ketat, mengingat risiko terjadinya osmotic demyelination syndrome (central pontin myelinosis) akibat peningkatan kadar natrium serum yang cepat.

Hiperventilasi
Hiperventilasi dianjurkan dilakukan sebagai intervensi awal peningkatan TIK akut yang bermakna. Hiperventilasi tidak dianjurkan sebagai terapi profilaksis karena memiliki potensi memperburuk iskemia serebral. Lebih lanjut, hiperventilasi dapat menurunkan kapasitas buffer bikarbonat pada jaringan interstisial otak, yang menurunkan kemampuan vasokonstriksi.
Normalnya, alkalosis menyebabkan konstriksi arteriol, namun dengan hilangnya kemampuan buffer maka vasokonstriksi yang dapat menurunkan aliran darah otak akan terganggu. Hiperventilasi sedang (PaCO2 30-35 mmHg) dapat diterapkan pada peningkatan TIK yang berkepanjangan meskipun sudah dilakukan drainase cairan serebrospinal, sedasi dan analgesia, head positioning, dan terapi osmolar. Hiperventilasi yang bermakna (<30 mmHg) dilakukan pada penderita dengan peningkatan TIK refrakter yang tidak berespons terhadap terapi. Hiperventilasi intermiten dilakukan pada kondisi peningkatan TIK akut atau bila terdapat tanda awal herniasi.


Regulasi temperatur
Mempertahankan temperatur pada rentang normal dapat mencegah komplikasi akibat hipotermia dan hipertemia. Anak dengan cedera neurologis dapat mengalami fluktuasi suhu tubuh karena infeksi, sepsis, perdarahan intrakranial, dan gangguan hipotalamus. Peningkatan temperatur inti >37,50C berhubungan dengan terjadinya peningkatan TIK dan kenaikan kebutuhan oksigen otak. Pada penelitian dengan hewan coba, hipotermia dikatakan memiliki efek neuroprotektif dengan menurunkan metabolisme serebral, pelepasan glutamat ekstraselular, mobilisasi kalsium, produksi radikal bebas dan sintesis nitrit oksida. Namun penelitian yang lain menyebutkan bahwa hipotermia (35-35,50C) berpotensi meningkatkan kejadian pneumonia, kerusakan kulit, ketidakseimbangan elektrolit, hipotensi, menggigil, dan koagulopati. Intervensi pengaturan suhu pada anak dengan peningkatan TIK dianjurkan dalam rentang normotermia. Hipotermia sedang dianjurkan pada anak dengan peningkatan TIK refrakter yang tidak berespons terhadap terapi. Penghentian terapi hipotermia harus dilakukan perlahan untuk mencegah komplikasi seperti gangguan elektrolit, perburukan edema serebri, asidosis, dan hipotensi.


Sedasi, analgesia, dan blok neuromuskular
Anak dengan cedera otak akut yang mendapat ventilasi mekanik sebaiknya diberikan sedasi dan analgesia yang cukup untuk mencegah nyeri dan kecemasan. Agen yang sering digunakan meliputi opiod, benzodiazepin, dan barbiturat. Pemberian agen blokade neuromuskular dapat membantu mengontrol PaCO2, mencegah menggigil, dan gerakan pada penderita dengan ventilasi mekanik, sehingga dapat mencegah peningkatan TIK.


Manajemen dan pencegahan kejang
Anak dengan cedera kepala akut berisiko lebih besar mengalami kejang dibandingkan orang dewasa, dikarenakan rendahnya ambang kejang pada anak. Kejang pada peningkatan TIK harus segera diatasi, karena kejang akan meningkatkan laju metabolisme otak, aliran darah otak, dan volume darah otak, yang selanjutnya akan memperberat peningkatan TIK. Kejang pada kondisi ini dapat diatasi dengan pemberian golongan benzodiazepin (misalnya lorazepam) atau fenitoin, dan dilanjutkan dengan obat antiepilepsi dosis rumatan selama minimal 2 minggu. Pemberian antiepilepsi pada anak direkomendasikan dalam jangka pendek, kecuali kondisi klinis dan etiologi kejang pada penderita menunjukkan perlunya pemberian obat antiepilepsi dalam jangka waktu panjang.


Terapi barbiturat
Pemberian barbiturat dosis tinggi dilakukan pada hipertensi intrakranial refrakter yang tidak teratasi dengan intervensi yang telah disebutkan diatas. Barbiturat dapat menurunkan TIK dengan cara menurunkan laju metabolisme otak, sehingga mengurangi pemakaian glukosa dan kebutuhan oksigen. Penelitian mengenai efektifitas barbiturat pada peningkatan TIK intraktabel di bidang pediatrik masih terbatas, namun beberapa penelitian menunjukkan barbiturat memperbaiki luaran penderita. Barbiturat dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik berat, sehingga penggunaannya harus diawasi dengan ketat, terutama status hemodinamik, tekanan vena sentral, dan status oksigenasi.


Pembedahan
Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan yaitu evakuasi massa akut (tumor otak, hematoma epidural) dan pemasangan monitor TIK dengan ventrikulostomi. Kraniektomi dekompresif untuk meningkatkan komplians intrakranial penderita dengan hipertensi intrakranial refrakter.

Steroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan untuk mengurangi pembengkakan dan stabilisasi membran sel pada kasus peningkatan TIK karena lesi massa (tumor otak, abses), inflamasi, dan infeksi. Steroid tidak dianjurkan pada peningkatan TIK akibat trauma kepala.


Cairan, elektrolit, dan nutrisi
Tujuan terapi cairan adalah mempertahankan penderita dalam kondisi euvolemia, normoglikemia, dan mencegah hiponatremia. Pemberian dektrosa parenteral dihindari pada 48 jam setelah kerusakan neurologis karena kemungkinan terjadinya asidosis laktat, kecuali penderita mengalami hipoglikemia. Makanan enteral mulai diberikan dalam 72 jam setelah cedera. Selama tidak ada kontraindikasi, nutrisi diberikan secara enteral, karena diyakini dapat menurunkan lama rawat inap di ruang intensif dan mencegah komplikasi.


Anak yang mengalami hipertensi intrakranial sebaiknya mendapat cairan sesuai kebutuhan rumatan, kecuali ada indikasi pemberian cairan bolus pada kondisi hipotensi, hipovolemia, dan penurunan produksi urin. Cairan rumatan sebaiknya berupa salin normal dengan penambahan kalium klorida berdasarkan berat badan. Cairan yang diberikan hendaknya bersifat isotonis atau hipertonis. Penggunaan cairan hipotonis sebaiknya dihindarkan.
Hiponatremia harus dicegah karena akan memperparah peningkatan TIK. Jika terjadi hiponatremia, lakukan koreksi secara perlahan untuk mencegah pontine myelinosis.

Perawatan
Pemberian lidokain sebelum tindakan suctioning dianjurkan untuk mengurangi peningkatan TIK akibat tindakan. Pemberian analgesia dan sedasi yang adekuat diperlukan sebelum tindakan atau prosedur yang dapat menyebabkan nyeri, kecemasan, atau peningkatan TIK. Kondisi ruangan yang tenang dapat mengurangi stimulus visual dan auditori pada penderita. Memberi kesempatan untuk dukungan keluarga pada pasien dengan peningkatan TIK sangatlah penting, namun tetap dengan memperhatikan tanda vital pasien.


Mutiara bernas
• Tujuan tatalaksana peningkatan TIK adalah untuk mencegah dan meminimalkan kerusakan sekunder
• Tata laksana awal peningkatan TIK meliputi penanganan jalan napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi (circulation)
• Pertahankan PaO2 >60 mmHg dan SpO2 >90% untuk menjaga kecukupan oksigenasi
• Pertahankan kecukupan perfusi sistemik untuk mencegah hipotensi dan hipoksia
• Pertahankan nilai TIK dan tekanan perfusi otak sesuai usia
• Drainase cairan serebrospinal jika ada indikasi
• Posisikan kepala pada garis tengah sumbu tubuh dan elevasi kepala 15-300
• Hiperventilasi hanya dilakukan untuk peningkatan TIK akut atau bila terdapat tanda awal herniasi
• Pertahankan normotermia
• Manitol diberikan bila TIK > 20 mmHg, pertahankan osmolalitas serum <320 mOsm/L
• Pertahankan euvolemia
• Monitor elektrolit, cegah hiponatremia
• Monitor glukosa, cegah hipoglikemia atau hiperglikemia
• Pemberian lidokain sebelum tindakan suctioning
• Pemberian sedasi dan analgesia yang adekuat, pertimbangkan blokade neuromuskular
• Monitor aktivitas kejang, berikan antiepilepsi jika ada indikasi
• Mulai pemberian nutrisi enteral setelah 72 jam
• Minimalisir stimulus visual dan auditori

sumber tulisan ini :  disalin langsung dari
BUKU AJAR PEDIATRI GAWAT DARURAT  IDAI 2011

Kepustakaan
1. Abend NS, Kessler SK, Helfaer MA, Licht
DJ. Evaluation of the comatose child. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 847-61.
2. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. 2002;73(Supp):i23–7.
3. Keenan HT, Nocera M, Bratton SL. Frequency
of intracranial pressure monitoring in infants
and young toddlers with traumatic brain injury.
Pediatr Crit Care Med. 2005; 6: 537–41.
4. Larsen GY, Goldstein B. Increased intracranial
pressure. Pediatr Rev. 1999;20:234-9.
5. Marcoux KK. Management of increased
intracranial pressure in the critically ill child
with an acute neurological injury. AACN Clin
Issues. 2005; 2: 212–31.
6. Nelson DS. Coma and altered level of
consciousness. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S,
penyunting. Textbooks of pediatric emergency
medicine. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010. h. 177-87
7. Nortje J, Gupta AK. The role of tissue oxygen
monitoring in patients with acute brain injury.
Br J Anaesth. 2006;97:95–106.
8. Ranjit S. Management of a comatose patient with
intracranial hypertension: current concepts.
Indian J Pediatr. 2006;43:409-15.
9. Sharma A. Raised intracranial pressure and its
management. JK Science. 1999;1:13-21.
10. White H, Venkatesh B. Cerebral perfusion
pressure in neurotrauma: a review. Anesth
Analg. 2008;107:979–88.

Kejang Pada Anak

Kejang


Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja

Kejang adalah kedaruratan neurologis yang sering dijumpai pada praktik sehari-hari. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun minimal pernah mengalami satu kali kejang. Sebanyak 21% kejang pada anak terjadi pada satu tahun pertama kehidupan, sedangkan 64% dalam lima tahun pertama.
Kejang dapat sederhana, berhenti sendiri, memerlukan pengobatan lanjutan, merupakan gejala awal suatu penyakit berat atau menjadi status epileptikus. Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan bahwa anak memang kejang. Tata laksana kejang meliputi stabilisasi pasien, identifikasi etiologi, terapi sesuai dengan etiologi, dan pemantauan secara berkesinambungan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai kejang sederhana hingga status epileptikus.

Definisi
Kejang adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik di neuron. Kejang dapat disertai oleh gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan atau otonom. Kejang dapat dibagi atas kejang fokal dan kejang umum. Kejang fokal berasal dari fokus lokal di otak, dapat melibatkan sistem motorik, sensorik maupun psikomotor. Kejang umum melibatkan kedua hemisfer, dapat berupa kejang non-konvulsif (absans) dan konvulsif.


Pato fisiologi
Patofisiologi kejang pada tingkat selular berhubungan dengan terjadinya paroxysmal depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi potensial pascasinaps yang berlangsung lama (50 ms). Paroxysmal depolarization shift merangsang lepas muatan listrik yang berlebihan pada neuron otak dan merangsang sel neuron lain untuk
melepaskan muatan listrik secara bersama-sama sehingga timbul hipereksitabilitas neuron otak.

Paroxysmal depolarization shift diduga disebabkan oleh kemampuan membran sel melepaskan muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya inhibisi oleh neurotransmiter asam gama amino butirat (GABA), atau meningkatnya eksitasi sinaptik oleh neurotransmiter glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang.

Pada pasien dengan epilepsi fokal, terdapat sekelompok sel neuron yang bertindak sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik disebut sebagai fokus epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel di sekitarnya untuk melepaskan muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal pada elektroensefalografi. Manifestasi klinis bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi. Pasien epilepsi umum pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada struktur korteks. Terdapat penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada kedua hemisfer otak melalui jaras kortikoretikular dan talamokortikal. Statusepileptikus terjadi akibat proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus yang diikuti oleh proses inhibisi yang tidak sempurna.


Kriteria kejang
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan akan lebih mudah bila serangan kejang tersebut terjadi di hadapan kita. Pada awal penanganan, sangatlah penting membedakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang menyerupai kejang. Perbedaan di antara keduanya dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Perlu diingat bahwa pada pasien epilepsi dapat terjadi serangan yang menyerupai kejang, seperti aritmia, sinkop atau distonia. Oleh karenanya, deskripsi akurat dari serangan saat itu sangat penting.


Klasifikasi
Jenis kejang dapat ditentukan berdasarkan deskripsi serangan yang akurat. Penentuan jenis kejang ini sangatlah penting untuk menentukan jenis terapi yang akan diberikan. Pemilihan obat anti kejang/obat anti epilepsi (OAE) jangkapanjang sangat dipengaruhi oleh jenis kejang pasien. Ada obat diindikasikan untuk jenis kejang tertentu, misalnya karbamazepin untuk jenis kejang fokal atau asam valproat untuk kejang tipe absans. Pemilihan OAE yang salah dapat memperberat jenis kejang tertentu, misalnya penggunaan karbamazepin dan fenitoin dapat memperberat kejang umum idiopatik seperti kejang absans, atonik, dan mioklonik.

Saat ini klasifikasi kejang yang digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizures tahun1981 (Tabel 5.2). Jenis kejang harus ditentukan setiap kali pasien mengalami serangan. Tidak jarang ditemukan bahwa jenis kejang saat ini berbeda dengan sebelumnya. Semakin banyak jenis serangan kejang yang dialami pasien, semakin sulit penanganan kejang dan pemilihan obat anti kejang.


Etiologi
Penentuan etiologi kejang berperan penting dalam tata laksana kejang selanjutnya. Keadaan ini sangat penting terutama pada kejang yang sulit diatasi atau kejang berulang. Etiologi kejang pada seorang pasien dapat lebih dari satu. Etiologi kejang yang tersering pada anak dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Anamnesis dan pemeriksaan fisis Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih pemeriksaan penunjang yang terarah dan tata laksana selanjutnya. Aloanamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, dilanjutkan dengan pertanyaan terarah untuk mencari kemungkinan faktor pencetus atau penyebab kejang. Anamnesis diarahkan pada riwayat kejang sebelumnya, kondisi medisyang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala infeksi, gangguan neurologis baik umum maupun fokal, serta nyeri atau cedera akibat kejang.

Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai tanda vital, mencari tanda trauma akut kepala, dan ada tidaknya kelainan sistemik. Pemeriksaan ditujukan mencari cedera yang terjadi mendahului atau selama kejang, adanya penyakit sistemik, paparan zat toksik, infeksi, dan kelainan neurologis fokal. Bila dijumpai kelainan fokal, misalnya paralisis Todd’s, harus dicurigai adanya lesi intrakranial. Bila terjadi penurunan kesadaran perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor penyebab. Edema papil yang disertai tanda rangsang meningeal menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial akibat infeksi susunan saraf pusat.

Pemeriksaan penunjang
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan pencitraan neurologis.
Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang ini ditentukan sesuai dengan kebutuhan.


a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang berguna untuk mencari etiologi dan komplikasi akibat kejang lama. Jenis pemeriksaan yang dilakukan bergantung pada kondisi klinis pasien. Pemeriksaan yang  dianjurkan pada pasien dengan kejang lama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap, dan masa protrombin. Pemeriksaan laboratorium tersebut bukan pemeriksaan rutin pada kejang demam.
Jika dicurigai adanya meningitis bakterialis perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah dan kultur cairan serebrospinal. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks dilakukan pada kasus dengan kecurigaan ensefalitis.

b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai penurunan kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau pada kasus yang tidak didapatkan faktor pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48
atau 72 jam setelah pungsi lumbal yang pertama untuk memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan peningkatan tekanan intrakranial, dianjurkan melakukan pemeriksaan CT Scan kepala terlebih dahulu untuk mencegah risiko terjadinya herniasi.

The American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa pemeriksaan pungsi lumbal sangat  dianjurkan pada serangan kejang pertama disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan karena manifestasi klinis meningitis tidak jelas atau bahkan tidak ada. Pada anak usia 12-18 bulan dianjurkan melakukan pungsi lumbal, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan pungsi lumbal dilakukan bila terdapat kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis).

c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang epileptiform. Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan, khususnya interiktal EEG. Beberapa anak tanpa kejang secara klinis ternyata memperlihatkan gambaran EEG epileptiform, sedangkan anak lain dengan epilepsi berat mempunyai gambaran interiktal EEG yang normal. Sensitivitas EEG interiktal bervariasi. Hanya sindrom epilepsi saja yang menunjukkan kelainan EEG yang khas. Abnormalitas EEG berhubungan dengan manifestasi klinis kejang, dapat berupa gelombang paku, tajam dengan/atau tanpa gelombang lambat. Kelainan dapat bersifat
umum, multifokal, atau fokal pada daerah temporal maupun frontal. Pemeriksaan EEG segera dalam 24-48
jam setelah kejang atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya klinis. Gambaran EEG yang normal atau memperlihatkan kelainan minimal menunjukkan kemungkinan pasien terbebas dari kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan

d. Pencitraan neurologis
Foto polos kepala memiliki nilai diagnostik kecil meskipun dapat menunjukkan adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan jaringan otak pada trauma kepala dideteksi dengan CT scan kepala. Kelainan gambaran CT scan kepala dapat ditemukan pada pasien kejang dengan riwayat trauma kepala, pemeriksaan neurologis yang abnormal, perubahan pola kejang, kejang berulang, riwayat menderita penyakit susunan saraf pusat, kejang fokal, dan riwayat keganasan.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih superior dibandingkan CT scan dalam mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal atau daerah yang tertutup struktur tulang misalnya daerah serebelum ataubatang otak. MRI dipertimbangkan pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsi lobus
temporalis, perkembangan terlambat tanpa adanya kelainan pada CT scan, dan adanya lesi ekuivokal pada CT scan.

Tata laksana
Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5 menit. Bila kejang tidak berhenti dalam 5 menit, maka kejang cenderung berlangsung lama. Status epileptikus (SE) adalah kejang lama lebih dari 30 menit atau kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara kejang. Terdapat dua jenis status epileptikus, yaitu SE konvulsif (parsial/fokal motorik dan tonik klonik umum) dan SE non-konvulsif (absans dan parsial kompleks).

Status epileptikus konvulsif pada anak merupakan kegawatan yang mengancam jiwa dengan risiko terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung pada penyebab dan lamanya kejang. Makin lama kejang berlangsung, makin sulit untuk menghentikannya. Tujuan tata laksana kejang tonik klonik umum lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus.

Langkah-langkah penanganan kejang terbagi atas tata laksana fase akut dan fase meliputi:
a. Fase akut: penghentian kejang

 0-5 menit :
−− Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik.
−− Monitor tanda vital, berikan oksigen, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan.
−− Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan neurologis secara cepat.
−− Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal, dan infeksi.


5-10 menit
−− Pemasangan akses intravena.
−− Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah perifer lengkap, glukosa, dan elektrolit.
−− Pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara intravena (kecepatan 5 mg/ menit), atau dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kgBB (untuk berat badan <10 kg diberikan 5 mg, bila berat badan >10 kg diberikan 10 mg, dosis maksimal 10 mg/kali).
−− Atau dapat diberikan lorazepam 0,05- 0,1 mg/kgBB intravena (maksimum 4 mg). Alternatif lain adalah midazolam 0,05–0,1 mg/kgBB intravena. Pemberian diazepam intravena atau rektal dapat diulang 1-2 kali setelah 5-10 menit, lorazepam 0,1mg/kgBB dapat diulang sekali setelah 10 menit .
−− Jika didapatkan hipoglikemia, berikan cairan dekstrosa 25% 2 ml/kgBB.


10-15 menit
−− Cenderung menjadi status konvulsivus.
−− Berikan fenitoin 15-20 mg/kgBB intravena diencerkan dengan NaCl 0,9% diberikan dengan kecepatan 25-50 mg/menit.
−− Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5-10 mg/kgBB, sampai maksimum dosis 30 mg/kgBB.


Lebih dari 30 menit
−− Pemberian antikonvulsan masa kerja panjang (long acting).
−− Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena bolus perlahan–lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kgBB dengan interval 10-15 menit.
−− Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan meliputi analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Koreksi kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi pernapasan.
−− Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke Unit Perawatan Intensif. Berikan fenobarbital 5-8 mg/kgBB secara bolus intravena, diikuti rumatan fenobarbital drip dengan dosis 3–5 mg/kgBB/jam (Diagram 5.1).



Penanganan pasien dengan status konvulsivus/epileptikus tidak hanya bertujuan untuk menghentikan kejang, tetapi juga mencegah terjadinya komplikasi sistemik yang timbul pasca status konvulsivus. Pengenalan dini, intervensi yang adekuat, dan pencegahan komplikasi penting untuk prognosis pasien.

Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia terjadi akibat gangguan ventilasi, sekresi air liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan, serta peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia mengakibatkan asidosis, yang selanjutnya menyebabkan penurunan fungsi ventrikel jantung, penurunan curah jantung, hipotensi, dan mengganggu fungsi sel dan neuron.

Pada SE terjadi pengeluaran katekolamin dan perangsangan saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan vena sentral. Edema otak terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, atau hipotensi. Pada kejang yang tidak dapat teratasi, dapat terjadi hiperpireksia sehingga dapat terjadi mioglobinuria dan peningkatan kreatin fosfokinase akibat rabdomiolisis. Beberapa macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi status konvulsivus dapat dilihat pada Tabel 5.4.


Tabel 5.4. Obat obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang

Pengobatan jangka panjang
Pengobatan pada pasien yang mengalami kejang simptomatik akut ditujukan pada faktor penyebab. Apabila faktor penyebab dapat segera diobati, maka tidak diperlukan pemberian obat anti epilepsi jangka panjang. Risiko berulangnya kejang terjadi dalam satu tahun pertama, khususnya dalam tiga bulan pertama. Bila selama tiga bulan pertama tanpa pengobatan tidak didapatkan kejang, maka pasien tidak memerlukan pengobatan jangka panjang.


Pengobatan selalu dimulai dengan satu jenis obat (monoterapi). Dosis dinaikkan dengan titrasi sampai tercapai konsentrasi terapeutik serum atau dosis terapeutik. Jika dengan dosis maksimal kejang masih tidak
terkontrol, pertimbangkan kombinasi terapi dengan OAE lainnya. Jika kejang terkontrol, pertimbangkan penurunan dosis OAE yang pertama kali diberikan. Tidak ada satu jenis OAE yang merupakan pilihan utama untuk semua jenis epilepsi. Beberapa OAE lebih efektif untuk jenis kejang tertentu atau sindrom tertentu. Saat ini pengobatan jangka panjang yang dianjurkan adalah selama dua atau tiga tahun setelah kejang yang terakhir.


Gambar 5.1. Algoritme penanganan kejang akut dan status konvulsif




sumber tulisan ini :  disalin langsung dari
BUKU AJAR PEDIATRI GAWAT DARURAT  IDAI 2011

Kepustakaan
1. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child. 2000;83:415-19.
2. Bradford JC, Kyriakedes CG. Evidence based emergency medicine: Evaluation and diagnostic testing evaluation of the patient with seizures: an evidence based approach. Em Med Clin North Am. 1999;17:203-20.
3. Camfield PC, Camfield CC. Advances in the diagnosis and management of pediatric seizure disorders in the twentieth century. J Pediatr. 2000;136:847-9.
4. Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia. 1981;22:489-501.
5. Duffner PK, Baumann RJ. A synopsis of the American Academy of Pediatrics’ practice parameters on the evaluation and treatment of children with febrile seizures. Pediatr Rev. 1999;20:285-9.
6. Fisch BJ. EEG primer basic principles of digital and analog EEG. Edisi ke-3. Amsterdam: Elsevier; 1999. h.245-59.
7. Glaze DG. Status epilepticus. Dalam: McMillan JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, penyunting. Oski’s pediatrics. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h.1947-9.
8. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am. 2001;48:683- 94.
9. Lowenstein DH, Alldredge BK. Status epilepticus. N Engl J Med. 1998;338:970-6.
10. MCabee GN, Wark JE. A practical approach to uncomplicated seizures in children. Am Fam Physician 2000;62:1109-10.
11. Najm I, Ying Z, Janigro D. Mechanisms of epileptogenesis. Neurol Clin North Am. 2001;19:237-50.
12. Pellock JM. Treatment of seizures and epilepsy in children and adolescents. Neurology. 1998;51:S8-14.
13. Roth HI, Drislane FW. Seizures. Neurol Clin.1998;16:257-84.
14. Sabo-Graham T, Seay AR. Management of status epilepticus in children. Pediatr Rev. 1998;19:306-12.
15. Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topics in emergency medicine. Dalam: McMillan JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, penyunting. Oski’s pediatrics. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h.566-89.
16. Smith DF, Appleton RE, MacKenzie JM, Chadwick DW. An atlas of epilepsy. Edisi ke-1. New York: The Parthenon Publising Group; 1998. h.15-23.
17. Westbrook GL. Seizures and epilepsy. Dalam: Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, penyunting.
Principles of neural science. New York: McGraw- Hill; 2000. h. 940-35.