konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Senin, 05 Desember 2016

“Obat Herbal untuk Aterosklerosis: Bagaimana Menyikapinya?”


Salah satu tantangan besar bagi dunia medis tanah air adalah kenyataan tingginya animo masyarakat untuk pergi ke pengobatan komplementer (=alternatif).

Artikel ini adalah artikel yang di terbitkan oleh Jurnal Kardiologi Indonesia (Vol. 33, No. 1 • Januari - Maret 2012). Di dalam blog ini saya bagikan kembali dengan harapan informasi ini lebih menyebar ke masyarakat luas dan meningkatkan informasi ke masyarakat demi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat indonesia.

Sebagai kardiolog, tidak jarang kita bertemu pasien yang menolak tindakan operasi atau pemasangan stent, dan memilih untuk pergi ke pengobatan komplementer. Fenomena ini tidak hanya ditemui di negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di banyak negara maju. Perancis merupakan salah satu negara maju dengan jumlah warganya yang commenggunakan jasa pengobatan komplementer paling besar (75%), disusul Inggris (UK) (50%) dan Kanada (42%).1 Di Amerika, menurut laporan National Center for Health Statistics, pada tahun 2007, setiap 4 dari 10 orang dewasa adalah konsumen pengobatan komplementer. Yang menarik, jumlah warga kulit putih yang menggunakan jenis terapi ini lebih banyak (43,1%) dibanding warga keturunan Asia (39,9%) dan warga kulit hitam (25,5%). Proporsi terbanyak masih dipegang orang Indian (50,3%). Laporan ini juga menunjukkan bahwa jenis pengobatan komplementer yang paling banyak digunakan adalah pengobatan herbal.2

Penelitian Yurista dkk dalam Jurnal Kardiologi Indonesia edisi ini berusaha menggali manfaat salah satu bahan herbal (ekstrak kulit manggis)pada proses aterosklerosis melalui khasiatnya dalam menghambat proses inflamasi. Kandungan xanthone pada kulit manggis diduga berperan sebagai anti-oksidan yang mampu menghambat aktivitas NF-κB, yang selanjutnya menurunkan beberapa penanda (biomarker) inflamasi sepertiTNF-α, IL-1, IL-6, dan ICAM-1. Penelitian ini layak mendapat apresiasi atas usahanya mencari pembenaran ilmiah dari sebuah pengobatan komplementer.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah penemuan semacam ini dapat dijadikan justifikasi untuk menggunakan ekstrak kulit manggis sebagai terapi penyakit jantung koroner (yang notabene adalah sebuah proses aterosklerosis)? Tentu tidak. Diperlukan beberapa level bukti lagi untuk sampai pada kesimpulan bahwa suatu obat baru dapatdiaplikasikan dalam praktek klinik, baik bukti di tingkat riset translasional maupun klinis. Walaupun Yurista dkk berhasil menyingkap salah satu mekanisme molekular yang terjadi dengan pemberian ekstrak kulit manggis, penelitian mereka belum menjawab dua pertanyaan kunci yang menjadi patokan untuk menilai apakah sebuah intervensi medis (dalam hal ini obat herbal) dapat digunakan dalam praktek klinik, yaitu 1) apakah obat ini dapat memperbaiki kondisi pasien (efficacy) dan 2) bagaimana keamanan obat ini bila diberikan kepada pasien (safety)?

Masalah fundamental lain dalam penelitian obat herbal adalah apakah ekstrak suatu bahan herbal yang berasal dari sumber dan metoda ekstraksi yang berbeda (misalnya ekstraksi secara hidrofilik vs lipofilik) akan memberikan efek yang sebanding dan ekivalen?3 Poin ini penting untuk menilai penelitian mengenai obat herbal sekaligus menjadi catatan lain terhadap penelitian Yurista dkk ini. Dalam metodologinya mereka tidak menguraikan spesifikasi ekstrak kulit manggis yang digunakan, baik sumbernya maupun metoda ekstraksinya. Reproducibility suatu paper (yaitu metoda yang ditulis dapat diulang oleh peneliti lain dengan hasil yang sama) merupakan parameter penting suatu paper ilmiah. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila dalam penelitian selanjutnya mereka menguraikan metodologi secara lengkap.

Penelusuran literatur menunjukkan bahwa jumlah uji klinik mengenai obat herbal cukup banyak, terutama dari negara maju. Paper-paper tersebut umumnya memberikan penjelasan cukup rinci mengenai preparasi obat tersebut mulai dari bahan mentah sampai metoda ekstraksinya. Meskipun demikian, sebagian besar uji klinik dan systematic review mengenai obat herbal baru sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan obat tersebut cukup menjanjikan, dan sangat jarang yang sampai pada kesimpulan bahwa obat tersebut direkomendasikan dalam praktek klinik4. Tentu menjadi semakin sulit untuk mengambil suatu kesimpulan apabila obat herbal yang digunakan tidak mempunyai sumber bahan dan metoda preparasi yang standar.

Kelemahan lain obat herbal adalah komposisi bahan dan metoda ekstraksinya biasanya tidak dilindungi oleh paten. Hal ini menurunkan minat perusahaan obat untuk berinvestasi dengan melakukan uji klinik skala besar.4 Kelemahan ini diperberat dengan kenyataan bahwa sebagian besar perusahaan obat herbal adalah perusahaan yang relatif kecil, baik dari segi sumber daya maupun keahlian.

Sebagai catatan akhir, sebenarnya terdapat perbedaaan yang mendasar dalam starting point antara obat farmasi dengan obat herbal. Obat farmasi adalah eksplanasi (senyawa yang sudah diketahui mekanisme aksinya) yang mencari aplikasi (klinis); sedangkan obat herbal adalah aplikasi (biasanya sudah dimanfaatkan dulu) yang memerlukan eksplanasi.Randomized controlled trial adalah metodologi riset yang diakui sebagai standar baku untuk uji klinik obat farmasi, tetapi apakah metoda ini juga tepat digunakan sebagai standar uji klinik obat herbal, masih menjadi pertanyaan besar bagi peneliti pengobatan herbal dan pengobatan komplementer pada umumnya. Sekaligus, menjadi pekerjaan rumah kita bersama.

Daftar Pustaka
1. Murcott T. The Whole Story: Alternative Medicine on Trial. New York: MacMillan; 2005.
2. Barnes PM, Bloom B, Nahin RL. Complementary and alternative medicine use among adults and children: United States, 2007. Natl Health Stat Report 2008:1-23.
3. Berman JD, Straus SE. Implementing a research agenda for complementary and alternative medicine. Annu Rev Med 2004;55:239-254.
4. Linde K, ter Riet G, Hondras M, Vickers A, Saller R, Melchart D. Systematic reviews of complementary therapies - an annotated bibliography. Part 2: herbal medicine. BMC Complement Altern Med 2001;1:5.

Sumber tulisan ini adalah : Jurnal Kardiologi Indonesia • Vol. 33, No. 1 • Januari - Maret 2012, “Obat Herbal untuk Aterosklerosis: Bagaimana Menyikapinya?”, oleh : Sunu Budhi Raharjo.

0 komentar:

Posting Komentar