konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Sabtu, 25 Februari 2017

Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) Posisi Telungkup pada asien Pediatrik saat Pengangkatan Tumor Infratentorial

Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) Posisi Telungkup pada asien Pediatrik saat Pengangkatan Tumor Infratentorial

M. Dwi Satriyanto, Tatang Bisri
*) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Eka Hospital Pekanbaru Riau.
**) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung


Abstract
Infratentorial tumor is more frequent in children, with sign and symptom of ataxia, cranial nerve
disorder, vomiting, headache, decrease of consciousness level and hydrocephalus. Infratentorial
tumor usually requires surgical removal.
Case report of a 3 year old boy with infratentorial tumor, which depressed the 4th ventricle, undergone
craniotomy tumor removal with prone position. When tumor was removed, massive bleeding occurred
and caused sudden change in hemodynamic and cardiac arrest. The operation and anesthetic agents
were discontinued, followed by Cardio Pulmonary Cerebral Resuscitation (CPCR) in prone position
with resuscitation drugs (i.e adrenalin and sulfas atropin), as well as blood and fluids to replace the
intravascular volume. After approximately 10 minutes of CPCR, hemodynamic was stable. Operation
was continued to close operation wound. Post operation, patient was admitted to ICU and being
treated with mechanical ventilation under sedation with continues propofol and vecuronium. On the 3rd
day, re-operation was conducted to establish the previous operation as planned. The patient was
admitted to the ICU post operatively. During management in ICU, hemodynamic was stable and the
patient woke up on the 4th day with motoric squele on his left body side.
In conducting an infratentorial tumor removal, an anesthesiologist should be aware for the risk of
massive bleeding durante operation which could manipulate hemodynamic. There for special
preparation and tight monitoring are required during the operation. In this case, CPCR can be done in
limited position (prone position).
Keyword: Cardio Pulmonary Cerebral Resuscitation, Infratentorial Tumor, Prone Position

sumber : di tulis ulang dari
JNI 2012; 1 (1):25-31



















Abstrak
Tumor infratentorial merupakan tumor yang paling sering ditemukan pada anak-anak dengan gejala
klinis antara lain ataksia, kelainan saraf kranial, muntah, sakit kepala, penurunan kesadaran, dan
hidrosefalus. Umumnya tumor infratentorial memerlukan tindakan bedah.
Kasus seorang anak laki-laki 3 tahun dengan tumor infratentorial yang mendesak ventrikel IV,
dilakukan tindakan craniotomy tumor removal dengan posisi telungkup. Saat tumor diangkat terjadi
perdarahan dan menyebabkan perubahan hemodinamik sampai henti jantung yang berlangsung
sangat cepat, kemudian operasi dan seluruh obat anestesi dihentikan, dilakukan Resusitasi Jantung
Paru Otak (RJPO) dalam posisi telungkup dengan pemberian obat resusitasi (adrenalin dan sulfas
atropin), dan melakukan pengisian intravaskuler volume (pemberian cairan dan darah), setelah
dilakukan RJPO selama 10 menit hemodinamik kembali stabil. Tindakan operasi dilanjutkan untuk
menutup luka operasi. Post operasi pasien di rawat di ICU dengan ventilasi mekanik (propofol dan
vecuronium kontinu), pada hari ke 3 dilakukan operasi kembali untuk menyempurnakan operasi yang
telah dilakukan. Post operasi pasien dirawat kembali di ICU, selama perawatan hemodinamik stabil,
hari ke 4 pasien sadar dengan sequele motorik pada sisi tubuh sebelah kiri.
Pada operasi pengangkatan tumor infratentorial, salah satu risiko yang dapat terjadi yaitu perdarahan
masif selama operasi yang dapat mempengaruhi hemodinamik. Diperlukan persiapan dan
pengawasan ketat selama operasi. Pada kasus ini, RJPO tetap dapat dilakukan pada posisi yang
terbatas (posisi telungkup).
Kata Kunci: Posisi Telungkup, Resusitasi Jantung Paru Otak, Tumor Infratentorial.


I. Pendahuluan
Tumor infratentorial (dibawah tentorium cerebral)
atau tumor fossa posterior adalah tumor otak yang
berada dalam atau dekat dengan dasar tengkorak di
fossa posterior yang merupakan tempat yang sempit
dalam tengkorak, berisi batang otak dan otak
kecil/serebelum. Batang otang terdiri dari midbrain,
pons, dan medulla oblongata. Serebelum adalah
bagian otak yang bertanggung jawab terhadap
pergerakan seseorang. Jika suatu tumor tumbuh di
daerah ini maka akan menyebabkan penghambatan
aliran cairan spinal dan menyebabkan peningkatan
tekanan kranial dan medula spinalis. Kebanyakan
tumor infratentorial merupakan kanker otak
primer.1-9.

Tumor fossa posterior lebih sering terjadi pada
anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu 54% - 70%,
sedangkan pada dewasa sekitar 15% sampai 20%,
dan sampai saat ini belum dapat diketahui penyebab
dan faktor resiko yang berhubungan dengan tumor
ini. Tumor fossa posterior seperti medulloblastoma,
pineoblastoma, ependymomas, primitive neuroectodermal
tumors (PNETs), dan astrocy-tomas di
cerebellum dan di batang otak, sering terjadi pada
anak-anak.1-9.

Gejala awal dari tumor infratentorial ini seperti
ataxia atau berjalan yang tidak terkoordinasi
dengan baik, mengantuk, sakit kepala, mual
muntah. Gejala juga dapat terjadi karena tumor
merusak/mendesak struktur lokal seperti saraf
kranial, antara lain berupa dilatasi pupil, deviasi
mata, kelemahan saraf wajah, hilangnya
pendengaran, hilangnya sensasi pada bagian dari
wajah, gangguan rasa kecap, sulit berjalan dan
gangguan pada lapang penglihatan.1-9.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada riwayat dan
pemeriksaan fisik yang di ikuti dengan pemeriksaan
radiologi Computed Tomography (CT) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan
dengan MRI merupakan pemeriksaan terbaik untuk
melihat daerah fossa posterior.

Tindakan pembedahan merupakan terapi utama
pada tumor fossa posterior, walau tumor ini
bersifat jinak. Hal ini dikarenakan pertumbuhan
tumor dapat menekan struktur sekitarnya, dan
menimbulkan akibat seperti hidrosefalus dan
penurunan kesadaran. Tidak ada terapi
medikamentosa untuk tumor ini, tetapi pemberian
diuretika dan kortikosteroid sebelum pembedahan
hanya berguna untuk mengurangi edema sekitar
tumor.

Operasi fossa posterior dapat dilaksanakan dengan
suatu posisi tertentu seperti posisi duduk (sitting
position), posisi telungkup (prone position), posisi
lateral decubitus, posisi park bench (semi prone),
posisi terlentang (supine position) dengan berbagai
akibat yang terjadi karena posisi tersebut, seperti
resiko emboli udara vena (Venous Air
Embolism/VAE) dan sumbatan aliran vena jugular.
Pada tindakan pembedahan yang dekat dengan
nucleus di batang otak dapat mengakibatkan
gangguan autonomik yang hebat. Adanya refleks
vagal yang jelas dapat menjadi tanda operasi dekat
nukleus batang otak, dan kadang-kadang dapat
terjadi asistol. Ini sering diikuti dengan suatu
refleks simpatik yang pada keadaan hemodinamik
tertentu dapat menyebabkan bradikardi hebat dan
hipotensi sampai ke takikardi dan hipertensi pada
kondisi selanjutnya. Selain reflek vagal dapat juga
terjadi asistole, hal ini dapat disebabkan karena
tindakan operasi ataupun hipovolume akibat
perdarahanan masif, maka tindakan resusitasi
jantung paru otak (RJPO) harus segera dilakukan
yaitu dengan pengisian kembali volume cairan
intravaskuler, dan tindakan RJPO dapat dilakukan
secara posisi telungkup, dengan memberi ganjal
yang ditempatkan tepat di depan dada pasien.
Tindakan RJPO terlungkup mempunyai beberapa
keuntungan seperti kejadian fraktur iga yang dapat
mencederai jantung jarang terjadi, lidah jatuh ke
depan karena gravitasi sehinggan jalan napas
terbuka secara spontan. 10,11,12.

Teknik anestesi yang baik untuk operasi
pengangkatan tumor infratentorial adalah dengan
mempertahankan Cerebral Prefusion Pressure
(CPP) yang baik, relaksasi otot yang baik,
stabilisasi kardiovaskuler baik (tekanan darah atau
irama), dengan persiapan dan monitoring yang baik
selama perioperatif. Brain protection atau proteksi
otak merupakan serangkaian tindakan yang penting
dan menjadi perhatian setiap anestesiologist, juga
harus selalu dilakukan pada setiap operasi bedah
saraf, yang bertujuan untuk mencegah atau
mengurangi kerusakan sel-sel otak yang
diakibatkan oleh keadaan iskemia. Prinsip proteksi
otak adalah meningkatkan pasokan oksigen,
menurunkan metabolisme otak dan menghentikan
proses yang dimulai akibat adanya iskemia, yaitu
dengan Basic Methodes / metode dasar ; jalan nafas
bebas dan lancar, oksigenasi adekuat, cegah
hiperkarbia, pengendalian tekanan intrakranial,
tekanan darah, tekanan perfusi otak, kejang;
farmakologi; hipotermi; dan kombinasi hipotermia
dengan farmakologi. Proteksi otak harus dilakukan
pada seluruh periode perioperatif. 1-9.

II. KASUS
Seorang anak laki-laki 3 tahun dengan tumor
infratentorial telah dilakukan tindakan craniotomy
tumor removal pada tanggal 18 Februari 2011.
Pasien dirujukan dari rumah sakit lain ke Eka
Hospital Pekanbaru dengan penurunan kesadaran
sejak 2 hari sebelum dirujuk, dari rujukan pasien
langsung dirawat di PICU dan di rencanakan
operasi esok harinya. Tiga minggu sebelumnya
pasien telah dilakukan pemasangan VP-shunt
karena hidrosefalus karena tumor infratentorial.
Sebelum dilakukan operasi pemasangan VP-shunt
pasien mengeluh sakit kepala yang hilang timbul,
mual dan muntah, dan kalau berjalan sempoyongan.

Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sakit berat, berat badan 15 kg.
Kesadaran: GCS = E3M4V2. Mata : pupil bulat
isokor, ukuran OD 3mm OS 3mm, Reflek cahaya
kanan dan kiri baik. Respirasi : jalan napas tidak
ada sumbatan/patent, spontan, frekuensi nafas
11kali/menit dan pada auskultasi suara nafas
bronkhovesikuler, ditemukan ronki pada kedua
lapang paru juga lendir di jalan nafas. Sirkulasi :
tekanan darah 112/71 mmHg, laju nadi 95kali/
menit, dan auskultasi bunyi jantung normal tidak
ditemukan murmur. Pada pemeriksaan ekstremitas
atas dan bawah tampak hemiparese kiri, untuk
sensibilitas sulit dinilai.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah didapatkan kadar hemoglobin
10.6g/dL, hematokrit 33.1%, hitung leukosit
10.600/mm3 dan trombosit 387.000/mm3, Na
134mmol/L, Kalium 2 mmol/L, Chlorida 96
mmol/L, Calsium 8.52 mg/dL, Magnesium
1.36mg/dL, Glukosa 100 mg/dL, PT 11.8 detik,
INR 1.03 detik, aPTT 36,5 detik, Analisa Gas
Darah : PH 7.55, PO2 257.1mmHg, PCO2
41.1mmHg, TCO2 36.1mEq/L HCO3 34.9mEq/L
BE 11.4mEq/L, SaO2 99.9%. Secara klinik tidak
didapat kelainan karena langsung ke OK untuk
operasi.

Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan foto thoraks didapatkan kesan jantung
dalam batas normal dan paru bronkopneumoni
dupleks. Kesimpulan hasil MSCt: massa solid,
hipointens (T1 flair) di fossa posterior, ukuran
6,7cm x 4,7cm x 4,8cm dengan permukaan massa
yang iregular. Pada T2 flair tampak edema sekitar
massa. Post kontrast; massa tampak mengalami
penguatan nyata, tidak homogen dengan area
hipointens ditengahnya. Masa berasal dari
hemiserebellum kiri yang meluas ke sekitarnya. Ke
anteromedial massa mendesak ventrikel IV
sehingga menyempit. Deviasi struktur garis tengah
kekanan. Ventrikel lateral kanan dan kiri, Ventrikel
III mulai melebar. Suspek medulo-blastoma.
Status fisik ASA 3 dengan penurunan kesadaran
dan bronkhopneumonia dupleks, hipokalemi,
hiponatremi ringan. Sikap: prinsip setuju untuk
tindakan anestesi, siapkan ijin anestesi, sedia darah
PRC 400cc atau sesuai dari operator, siapkan alat
dan bahan pemasangan Central Venous Catheter
(CVC) serta surat ijin untuk pemasangan CVC
tersebut, Koreksi Kalium 10mEq dalam NaCl 0,9%
100cc habis dalam 5 jam, Post operasi pasien ke
ICU dengan pemasangan ventilator.

Manajemen Anestesia

Pra Anestesi
Direncanakan anestesi umum dengan pemilihan
obat induksi dengan propofol, fentanil, intubasi
difasilitasi pelumpuh otot vecuronium. Rumatan
dengan Isofluran, Oksigen, Air, vecuronium. Cairan
intravena dengan Ringer laktat, NaCl 0,9%, Koloid
dan persiapan packed red cell (PRC). Pemasangan
CVC dilakukan setelah induksi.

Di kamar operasi :
• Pasien tiba di kamar operasi pukul 13.30 wib,
pasien telah terpasang infus dengan cairan RL
pada tangan kanan dengan IV kateter no.24.
Dipasang monitor EKG, non invasif blood
presurre/tensimeter kontinyu, pulse oksimetri,
kateter urin sudah terpasang. Tanda vital awal
tekanan darah 119/72mmHg, laju nadi
80x/mnt, saturasi O2 100% dengan udara
ruangan.
• Dilakukan induksi dengan propofol 30mg,
fentanil 50mcg, fasilitasi intubasi dengan
vecuronium 2mg setelah onsetnya tercapai,
maka dilakukan laringoskopi dan intubasi
dengan pipa endotrakheal non kinking no.4,5
balon pada sudut kanan bibir dengan
kedalaman 15cm. Lalu ETT dihubungkan ke
ventilator dengan modus Pressure Control
Ventilation (PCV). Lalu dipasang mayo dan
difiksasi.
• Mata diberi salep, dan ditutup dengan plester
kertas 3 lapis.
• Dipasang CVC di vena jugularis kiri.
Kemudian dihubungkan dengan transfusi set
serta cairan NaCl 0,9% 500cc.
• Pasien diposisikan telungkup, dengan diberi
ganjalan bantal di depan dada dan pinggul
sehingga perut dapat bebas saat dilakukan
ventilasi kontrol. Kepala diposisikan sedikit
fleksi dan disesuaikan dengan operator, kepala
bertumpu pada donat. Mata diposisikan jangan
sampai tertekan dan ETT jangan sampai
tertekuk.
• Lima menit sebelum pemasangan pin diberikan
fentanyl 20mcg,
• Sebelum dilakukan insisi kulit juga diberikan
fentanyl 20mcg
• Rumatan anestesi dengan Isofluran : 0,8Vol%,
O2 : 0,5L/menit, Air : 0,5L/menit, ventilasi
kontrol dengan vecuronium 1mg/jam dengan
menggunakan syring pump.
• Selama 2 jam, operasi berlangsung baik
dengan hemodinamik dan respirasi stabil.
• Jam 15.45; Saat tumor akan diangkat sedikit
demi sedikit, mulai terjadi perdarahan yang
berlangsung terus menerus hingga 1500mL dan
terjadi perubahan hemodinamik yaitu tekanan
darah mulai menurun, operator diberi tahu
mengenai kondisi pasien dan perdarahan yang
terjadi.
• Jam 16.30 terjadi henti jantung yang
berlangsung sangat cepat, dan pada saat itu
kegiatan operasi dan seluruh obat anestesi di
hentikan, nafas dikontrol secara manual dengan
O2 4L, bersamaan dilakukan RJPO dalam
posisi pasien masih tetap telungkup, diberikan
sulfas atropine total 1mg karena tidak berespon
di tambahkan adrenalin dengan total pemberian
16mg bersamaan itu dilakukan juga pengisian
volume intravaskuler dengan pemberian
kritaloid 2000cc dan koloid (gelofusin) 1000cc
serta Packed Red Cell / PRC atau sel darah
merah 400cc. Setelah dilakukan RJPO selama
10 menit hemodinamik kembali stabil.
Tindakan operasi segera dilanjutkan untuk
menutup luka operasi dengan jahitan situasi.

Post operasi
• pasien di rawat di ICU untuk mengistirahatkan
otak dengan mengontrol pernapasan dengan
ventilasi mekanik modus PCV untuk itu diberi
propofol 20mg/jam dan vecuronium
1mg/30menit, analgetik morfin 40mcg/
kgbb/jam, support diberikan dopamine
10mcg/kgbb/menit. Pemeriksaan laboraturium
darah rutin, AGD, GDS, PT/aPTTdan
elektrolit, kemudian bila dari hasil
laboraturium tidak sesuai rentang nilai normal
dilakukan koreksi.

• Setelah 6 jam vecuronium dihentikan namun
propofol dan morfin tetap diberikan. Ketika
napas sudah mulai ada maka modus ventilator
di ubah menjadi SIMV-PC. Topangan
dopamin diturunkan bertahap sesuai dengan
kondisi hemodinamik.
• Pada hari ke 3 dilakukan operasi wound closer,
untuk menyempurnakan operasi yang telah
dilakukan.
• Post operasi pasien dirawat kembali di ICU,
selama perawatan hemodinamik stabil, hari ke
4 pasien sadar, dengan sequele motorik pada
sisi tubuh sebelah kiri. Pasien dipindahkan ke
ruang HCU dan dirawat selama 5 hari,
kemudian dipindah rawat ke ruang perawatan.
• Diruangan perawatan pasien dirawat selama 8
hari, dan karena alasan finansial pasien pulang
atas permintaan sendiri. Pasien dipulangkan
dengan kondisi saat itu kesadaran kompos
mentis, GCS: E4M6V5, dengan kesan
hemiparese sinistra. Pemeriksaan darah rutin
Hb:12.2g/dL, Lekosit:16500 /μL, Hematokrit:
36.90%, Trombosit: 875000 μL, Na: 136
nmol/L, K:4,7nmol/L, Cl:96 nmol/L.
• Hasil PA : 23/feb/2011 adalah : Histologi
sesuai dengan Mixed germ cell tumor,
dominasi yolk sac tumor dengan fokus
karsinoma embrional

III. Pembahasan
Tumor fossa posterior atau tumor infratentorial
merupakan tumor yang paling sering ditemukan
pada anak-anak. Perkembangan tumor ini dapat
menekan struktur sekitarnya dan menimbulkan
gejala seperti hidrosefalus dan penurunan kesadaran
serta kematian akibat herniasi batang otak.
Pembedahan merupakan terapi utama pada tumor
fossa posterior, walau tumor ini bersifat jinak dan
menjadi tantangan tersendiri bagi anestesiologist,
manajemen anestesi adalah menurunkan tekanan
intrakranial dan melakukan proteksi otak.
































Persiapan anestesi yang baik pada setiap operasi
sangat diperlukan. Persiapan meliputi kondisi
pasien, tehnik anestesi yang akan dilaksanakan
serta persiapan alat yang akan dipakai dengan
tujuan mencegah hal-hal dikhawatirkan terjadi, juga
melakukan tindakan segera bila komplikasi dari
tindakan itu terjadi. Pada kasus ini persiapan yang
dilakukan adalah pemasangan CVC, sebagai akses
mengukur kecukupan volume intravaskuler, juga
sebagai akses pemberian cairan atau darah. Arteri
line tidak dipasang karena tidak memungkinkan
untuk itu, walau diketahui bahwa pemasangan arteri
line ini sangat penting karena dapat mengetahui
perubahan hemodinamik denyut per denyut, untuk
menggantikan itu digunakan monitor hemodinamik
yang non invasif (NIBP) secara kontinyu setiap 2,5
menit.


































Posisi pasien telungkup harus diberi ganjalan bantal
tepat di depan dada dan pinggul sehingga perut
dapat bebas saat dilakukan ventilasi kontrol. Kepala
diposisikan sedikit fleksi dan disesuaikan dengan
operator, kepala bertumpu pada donat namun tetap
harus diperhatikan aliran darah vena jugularis
jangan sampai terjadi sumbatan, bila terjadi maka
akan menimbulkan peningkatan tekanan intra
kranial. Mata diposisikan jangan sampai tertekan,
karena operasi ini memerlukan waktu yang relatif
lama, maka bila hal ini terjadi dapat menimbulkan
kebutaan karena terjadi oklusi dari arteri retina
sentralis dan ischaemic optic neuropathy. Pipa
endotrakheal jangan sampai tertekuk karena bila hal
ini terjadi maka akan terjadi gangguan ventilasi dan
terjadi peningkatan PaCO2 sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, selain itu tehnik
anestesi yang dipakai harus bersifat proteksi otak
yaitu dengan metode dasar: jalan napas yang
terjaga patensinya, ventilasi kendali dan sirkulasi
yang stabil dengan tercapainya normotensi,
normovolum, isoosmolar dan normoglikemi.
Penggunaan obat-obatan yang dapat menekan
CMRO2 dan mencegah peningkatan cerebral blood
flow (CBF) seperti propofol, fentanyl, vekuronium,
isofluran O2 dan Air, tidak menggunakan N2O.
karena tidak terpasangnya termometer selama
operasi berlangsung untuk pengukuran suhu inti
tubuh, maka metode hipotermi ringan (34-35oC)
tidak dapat dilakukan dengan baik.

Pemberian analgetik fentanyl sebelum pemasangan
pin dan insisi kulit bertujuan mencegah terjadinya
lonjakan hemodinamik yang dapat mengganggu
sirkulasi darah otak dan mengurangi peningkatan

tekanan intrakranial yang terjadi.


























Saat tumor diangkat sedikit demi sedikit, mulai
terjadi perdarahan yang berlangsung terus menerus
hingga 1500mL dan terjadi perubahan
hemodinamik yaitu tekanan darah mulai menurun,
saat ini operator diberi tahu mengenai kondisi
pasien dan perdarahan yang terjadi. Ketika terjadi
henti jantung, segala kegiatan operasi dan seluruh
obat anestesi di hentikan, nafas dikontrol secara
manual dengan O2 4L, diikuti dengan tindakan
RJPO dengan posisi tetap telungkup dan pengisian
volume intravaskuler.

Gangguan Kardio-respirasi dapat terjadi karena
adanya penekanan pada batang otak. Perdarahan
yang terjadi pada saat pengangkatan tumor ini dapat
menyebabkan perubahan hemodinamik yang sangat
cepat hingga dapat terjadi henti jantung. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi anestesiologist
Bila hal ini terjadi tindakan RJPO harus segera
dilakukan. Seperti pada kasus ini, henti jantung
terjadi kemungkinan karena penekanan pada daerah
batang otak saat melakukan pengangkatan tumor
atau/dan dapat terjadi karena perdarahan yang
masif yang menimbulkan hipovolume intravaskuler
dengan akibatnya henti jantung.



Tatalaksana resusitasi yang dilakukan pada kasus
ini sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan
AHA13 2010, dengan melakukan pijat jantung paru,
walau dengan posisi telungkup dan pemberian
epineprin serta sulfas atropine, juga melakukan
resusitasi cairan dengan kristaloid, koloid dan
darah, segera sebagai pengganti perdarahan yang
masif dan bersifat akut. Posisi terlentang tidak
dapat dilakukan karena daerah operasi masih
terbuka atau belum dilakukan penutupan kulit,
selain itu kepala pasien masih terfiksasi dengan pin.

IV. Simpulan
Salah satu risiko yang akan terjadi pada operasi
pengangkatan tumor infratentorial, yaitu perdarahan
yang masif selama operasi yang dapat
mempengaruhi hemodinamik, sehingga persiapan
dan pengawasan yang ketat selama operasi sangat
diperlukan. Proteksi otak harus selalu dilakukan
pada setiap operasi bedah saraf. Bila terjadi
perubahan hemodinamik bahkan henti jantung,
tindakan RJPO tetap harus dilakukan walau pasien
masih pada posisi telungkup.
Daftar Pustaka.
1. Bisri T, Wargahadibrata AH, Surahman E.
Neuroanestesi. Edisi-2. Bandung: Saga
Olahcitra; September 1997.
2. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi. Edisi-2.
Bandung: Saga Olahcitra; Januari 2011
3. Morgan EG, Mikhail MS, Murray MJ.
Anesthesia for Neurosurgery. Dalam: Morgan
EG, Mikhail MS, Murray MJ, editor. Clinical
Anesthesiology, 4th ed. New York: McGraw-
Hill; 2006, 91-116.
4. Duffy C. Anesthesia for Posterior Fossa
Surgery. Dalam: Matta BF, Menon DK. Turner
JM, editor. Textbook of Neuroanaesthesia and
Critical Care. London: Greenwich Medical
Media Ltd ; 2000, 267-80.
5. Culley DJ, Crosby G. Anesthesia for Posterior
Fossa Surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell J,
editor. Handbook of Neuroanesthesia, 4th
edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007, 133-42.
6. Al-Shatoury HAH , Galhom AA, Engelhard
HH. Posterior Fossa Tumors. From
http:emedicine.medscape.com /article/249495.
7. Craen RA, Pellerin H. Anesthesia for Fossa
Posterior Lesion. Dalam: Gupta AK, Gelb
AW, editor. Essentials of Neuroanesthesia and
Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders
Elsevier Inc; 2008, 119-24.
8. Matta BF, Menon DK. Turner JM. Textbook of
Neuroanaesthesia and Critical Care. London:
Greenwich Medical Media Ltd; 2000.
9. Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia and Co-
Existing Disease, 4th edition, Philadelphia:
Churchill livingstone Pennsyslvania; 2002,
145-53.
10. Cave DM, Chair, Gazmuri RJ, Otto CW, Vinay
MN, Cheng Adam. CPR Techniques and
Devices. In Supplement to Circulation. From
http://circ.ahajournals.org /cgi/content/full/
122/18_suppl_3/S720.
11. Yien HW. Is the Upside-down Position Better
in Cardiopulmonary Resuscitation? J Chin Med
Assoc. Taiwan: Elsevier; May 2006, 69 (5):
199-201.
12. Wei J, Tung D, Sue SH, Wu SV, Chuang YC,
Chang CY. Cardiopulmonary Resuscitation in
Prone Position: A Simplified Method for
Outpatients. J Chin Med Assoc. Taiwan:
Elsevier; May 2006, 69 (5): 202-06.
13. Kleinman ME, Chameides L, Schexnayder
SM, Samson RA, Hazinski MF, Atkins DL, et
al. Pediatric Advanced Life Support:2010
American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation
2010;122:S876-S908.




0 komentar:

Posting Komentar