CEDERA KEPALA BERAT PADA PASIEN HAMIL
SEVERE HEAD INJURY IN PREGNANT PATIENTS
M. Zafrullah Arifin, Subrady Leo SS, Firman Priguna T
Divisi Trauma Departemen Bedah Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS. Dr. Hasan Sadikin-Bandung
Abstract
Background and Objective: Head injury in pregnancy can increase the risks of mortality and morbidity, both for the mother and fetus. Common complications are including death, shock, intrauterine bleeding, intrauterine fetal death, fetal trauma, placental abruptio and, uterine rupture. Motor vehicle accident, falls, assault and gun shot wound are the primary cause of injury. Treatment and recognition of this cases are unique, even though the main target are early evaluation and resuscitation of the mother and afterward, the fetus. Tococardiography monitoring, ultrasound, and head CT Scan can be perform with or without craniotomy and caesarean section.
Subject and Method: An observasional study taken from the year of 2008-2012, a serial case report in pregnant women with severe head injury undergoing operation for evacuation of hematoma.
Result: During the last 3 years, three patients had underwent surgery for head injury with two of them underwent a sectio caesarean procedure.
Conclusion: The incidence of head injury in pregnant women is considered very rare and an early multidiciplinary management for head injury in pregnancy can decrease the risk of morbidity and mortality for both the mother and the fetus.
Key Word : Head injury, pregnancy, surgery, outcomeJNI 2012;1(3):149-157
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Cedera kepala pada wanita dengan kehamilan dapat meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janinnya. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain kematian ibu, syok, perdarahan intrauterin, kematian janin intrauterin, trauma janin, abruptio placenta, ruptur uterin. Penyebab tersering dari trauma tersebut antara lain kecelakaan lalulintas, terjatuh dari ketinggian, kekerasan dalam rumah tangga, dan luka tembak. Banyak penilaian dan penanganan yang unik untuk kasus ini, meskipun evaluasi awal dan resusitasi sasaran utama untuk menyelamatkan ibu. Setelah keadaan ibu stabil baru dilakukan evaluasi dan penilaian dari janin. Monitoring tokokardiografi, pemeriksaan ultrasound, CT-Scan kepala dapat dilakukan disertai dengan tindakan kraniotomi dan atau seksio sesarea.
Subjek dan Metode: Penelitian observasional dari tahun 2008-2012, serial kasus, pada wanita hamil yang mengalami cedera kepala berat dan dilakukan operasi untuk evakuasi hematoma.
Hasil: Selama 3 tahun terakhir telah dilakukan tindakan pembedahan untuk penderita cedera kepala dengan kehamilan sebanyak 3 kasus, dua diantaranya disertai dengan seksio sesarea.
Simpulan: Kasus cedera kepala pada wanita dengan kehamilan tergolong jarang dan penanganan dini multidisiplin pada cedera kepala berat pada kehamilan dapat menurunkan risiko morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin
Kata kunci : Cedera kepala, kehamilan, pembedahan, luaransumber tulisan :
di salin ulang dari :
JNI 2012;1(3):149-157
I. Pendahuluan
Insidensi kejadiaan trauma pada kehamilan yang dilaporkan sekitar 6-7%. Trauma yang terjadi pada masa kehamilan merupakan penyebab utama kematian ibu. Kematian ibu akibat trauma pada kehamilan diperkirakan terjadi pada 10% kasus, sedangkan angka kematian janin didapatkan nilai yang lebih tinggi yaitu 61%. Kematian janin akibat trauma lebih sulit diprediksi. Meskipun telah banyak penelitian yang menyatakan peningkatan angka kematian janin berbanding lurus dengan derajat beratnya trauma yang dialami sang ibu,akan tetapi penelitian-penelitian ini tidak mengungkapkan faktor prediksi kematian janin.1-7 Kemungkinan kehamilan harus dipertimbangkan pada setiap wanita yang berumur antara 10 dan 50 tahun. Kehamilan menyebabkan perubahan fisiologi yang nyata dan perubahan anatomis pada hampir semua organ tubuh. Perubahan struktur dan fungsi ini dapat mempengaruhi evaluasi penderita trauma yang hamil karena perubahan tanda dan gejala yang ditemukan, cara dan respon terhadap resusitasi maupun hasil-hasil pemeriksaan. Kehamilan juga dapat mempengaruhi pola maupun beratnya cedera. Dalam menangani penderita trauma yang hamil, harus selalu diingat ada dua korban, walaupun demikian pengelolaan penderita hamil sama seperti tidak hamil. Harus difahami dengan baik hubungan fisiologis antara ibu dengan janinnya bila ingin memberikan pengobatan terbaik untuk keduanya. Perawatan yang terbaik untuk janin adalah dengan resusitasi optimal terhadap ibu dan penilaian dini terhadap janinnya. Cara evaluasi dan pemantauan harus meliputi ibu maupun anak. 7 Meskipun ringan, cedera kepala yang terjadi pada wanita yang sedang hamil dapat mengancam kehidupan bagi ibu dan janinnya. Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama cedera kepala dan sering disertai dengan cedera lain seperti cedera perut. Pada wanita hamil, hal ini dapat berujung pada kematian akibat dengan cedera kepala berat dan syok perdarahan. Semua trauma terutama cedera kepala berpotensi bahaya pada kehidupan janin berhubungan dengan kelainan sistemik dan otak seperti hipotensi arterial akibat trauma, anoksia atau anemia. Selain itu prosedur diagnosis dan medikasi dapat membahayakan janin. Pengambilan keputusan dalam menyelamatkan nyawa pada lesi dienchephalon membutuhkan kerjasama antara dokter intensivis, dokter bedah saraf, dokter kebidanan dan kandungan, dokter anak dan dokter anestesi terutama pada keadaan koma yang tidak diketahui kapan penderita akan sadar kembali. Kebanyakan mekanisme cedera sama seperti penderita tidak hamil, namun ada perbedaan yang harus diketahui pada penderita hamil. Tujuh belas persen penderita hamil adalah cedera akibat ulah orang lain dan 60% penderita ini mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang berulang.2-7
Beratnya trauma akratnya trauma yang dialami ibu. Semua penderita hamil yang mengalami cedera berat memerlukan terapi di pusat trauma yang mempunyai pelayanan obstetrik karena ada peningkatan angka kematiaan ibu dan anak pada kelompok ini. Delapan puluh persen penderita hamil yang cedera dan datang dalam keadaan syok, akan mengalami kematian bayi walaupun ibunya hidup. Bahkan penderita hamil dengan cedera ringan harus berhati-hati karena dapat mengalami solusio plasenta dan kematian bayi, sehingga perlu dilakukan pemantauan. Trauma langsung pada janin biasanya terjadi pada kehamilan lanjut dan umumnya disertai cedera berat pada ibu. 1-7 II.Subjek dan Metode Dilakukan penelitian observasional serial kasus, dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, pada wanita hamil yang mengalami cedera kepala dan dilakukan operasi evakuasi hematoma di RS Dr. Hasan Sadikin-Bandung III. Hasil Kasus Kasus 1 Wanita 16 tahun yang sebelumnya sehat G1P0A0 datang dengan kehamilan 33-34 minggu karena cedera kepala berat akibat terjatuh saat sedang menjemur pakaiannya dilantai dua. Setelah kejadian penderita sempat sadar dan mengeluh nyeri kepala tanpa disertai keluar cairan jernih atau darah dari hidung, telinga dan mulut. Keluar darah atau cairan jernih dari jalan lahir. Tiga puluh menit kemudian penderita menjadi mengantuk dan sulit untuk dibangunkan, karena keluhannya kemudian dibawa ke rumah sakit Astana Anyar Bandung, karena keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung.an menentukan hasil akhir pada ibu dan anak. Karenanya cara terapi juga tergantung pada be
Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M4VT=7 pupil bulat anisokor diameter mata kanan lebih besar dan reflex cahaya mata kanan menurun di bandingkan mata kiri, disertai dengan anggota gerak sebelah kiri menjadi kurang aktif. Pemeriksaan Focused Assesment with Sonography for Trauma (FAST) tidak dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memungkinkan disertai dengan masalah biaya pada penderita ini. Pada survey sekunder didapatkan hematoma pada daerah temporoparietal kanan. Monitoring tanda vital ibu dan janin didapatkan tanda vital dalam keadaan normal, pemeriksaan laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan pemeriksaan urin didapatkan benda keton. Pemeriksaan rontgen leher dan dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera yang mengancam jiwa (Gambar 1 & 2). Kemudian diputuskan untuk dilakukan burr hole diagnostik dalam anestesi lokal dan bila hasilnya positif direncanakan untuk dilakukan kraniotomi evakuasi dan dari bagian kandungan direncanakan untuk dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan bayi.
Karena hasil burr hole positif kemudian dilakukan kraniotomi evakuasi dalam anestesi umum berbarengan dengan seksio sesarea (Gambar 3 & 4). Saat operasi didapatkan fraktur tulang tengkorak di daerah temporal dekstra, dan perdarahan epidural 50 cc dengan sumber perdarahan laserasi cabang arteri meningia media, duramater putih dan tidak ditemukan laserasi (Gambar 5 & 6). Dari seksio sesarea didapatkan bayi wanita, berat badan 1950 gr, dengan panjang 51 cm, dan nilai Apgar 3 untuk 1 menit, 5 untuk 5 menit, dan 8 untuk 10 menit.
Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan intensif bedah saraf selama 4 hari. Saat masuk setelah operasi GCS E1M4VT dan dengan perawatan yang baik disertai dengan dukungan nutrisi, GCS penderita mengalami perbaikan yang signifikan GCS hari ke 4 E4M6V4: 14 disertai dengan lemah anggota gerak sebelah kiri, mata kanan tetap besar disertai dengan reflex cahaya yang menurun, kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa selama 6 hari dan dipulangkan dengan keadaan perbaikan. Bayinya dirawat di ruang perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang paksa pada hari perawatan ke 3. Saat ini kedua penderita dalam keadaan baik. Kasus 2 Wanita 28 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A0 datang dengan kehamilan 27-28 minggu karena cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di daerah Purwakarta. Setelah kejadian penderita tidak sadar dan tanpa disertai keluar cairan jernih atau darah dari hidung, telinga dan mulut. Tidak ada darah atau cairan jernih keluara dari jalan lahir. Karena keluhannya kemudian dibawa ke rumah sakit Bayu Asih Purwakarta dan karena keterbatasan alat kemudian dirujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin.
Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan intubasi dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E1M4VT=6, pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memung-kinkan. Pada survey sekunder didapatkan hematoma pada daerah temporoparietal kanan. Monitoring tanda vital ibu dan janin didapatkan tanda vital dalam keadaan normal, pemeriksaan laboratorium darah ibu di dapatkan adanya anemia dan lekositosis. Pemeriksaan rontgen leher dan dada tidak ditemukan garis fraktur dan cedera yang mengancam jiwa. Pada pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras ditemukan perdarahan subdural di frontotemporoparietal kiri dengan ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5 mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 30 cc lisis 5 cc, dengan sumber perdarahan ruptur bridging vein, defek tulang 10x12 cm (Gambar 8 & 9)
Setelah operasi ibunya dirawat di ruang perawatan intensif bedah saraf selama 4 hari, saat masuk setelah operasi GCS E1M4VT dengan perawatan yang baik disertai dengan dukungan nutrisi, GCS penderita mengalami perbaikan yang signifikan GCS hari ke 14 E3M5V4: 12, kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan biasa selama 7 hari dan dipulangkan dengan keadaan E4M6V4: 14, dan perbaikan.
GAMBAR 10
Selama dua minggu di rumah kondisi ibu mengalami perburukan karena terkena infeksi pada paru-parunya (Gambar 10) dan datang kembali pada saat usia kehamilan 33-34 minggu dalam keadaan gagal nafas sehingga kemudian diintubasi dan dilakukan seksio sesarea untuk menyelamatkan bayinya, penderita meninggal 6 jam pasca seksio sesarea. Dari seksio sesarea didapatkan bayi laki-laki, berat badan 2100 gr, dengan panjang 50 cm, dan nilai Apgar 3 untuk 1 menit, 5 untuk 5 menit, dan 8 untuk 10 menit. Bayinya dirawat di ruang perawatan perinatologi dengan distress pernafasan ringan dan pulang dalam keadaan perbaikan pada hari perawatan ke 21. Kasus 3 Wanita 26 tahun yang sebelumnya sehat G2P0A1 datang dengan kehamilan 21-22 minggu karena cedera kepala berat akibat kecelakaan lalulintas di daerah Moh. Toha Bandung. Setelah kejadian penderita tidak sadar dan disertai keluar cairan jernih atau darah telinga kiri. Ditemukan darah atau cairan jernih keluar dari jalan lahir. Karena keluhannya kemudian di bawa ke rumah sakit Sartika Asih, karena keterbatasan alat kemudian di rujuk ke rumah sakit Hasan Sadikin.
Gambar. 11
Di ruang resusitasi dilakukan survey primer dan didapatkan airway gurgling kemudian dilakukan suction dan stabilisasi tulang belakang, pernapasan dan sirkulasi tidak ditemukan kelainan, pada pemeriksaan GCS didapatkan GCS: E2M5V2=9 pupil bulat isokor, pemeriksaan anggota gerak tidak ditemukan kelemahan. Pemeriksaan FAST tidak dapat dilakukan karena kondisi ibu tidak memungkinkan. Pada survey sekunder didapatkan hematoma pada daerah temporoparietal kiri. Monitoring tanda vital ibu didapatkan tanda vital dalam keadaan normal sedangkan janin sudah meninggal di dalam rahim (Intrauterine fetal death= IUFD). Pemeriksaan laboratorium darah ibu didapatkan adanya anemia dan lekositosis. Pemeriksaan rontgen leher tidak ditemukan garis fraktur, pemeriksaan rontgen dada didapatkan retak tulang clavicula kiri 1/3 tengah. Pada pemeriksaan CT-Scan kepala tanpa kontras ditemukan perdarahan subdural di frontotemporoparietal kanan dengan ketebalan lebih dari 1 cm, disertai dengan pergeseran garis tengah kearah kanan lebih dari 5 mm, disertai kompresi sisterna magna dan sisterna ambien. Sehingga diputuskan untuk dilakukan kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan dari Bagian Obstetri hanya pemantauan kondisi janin karena janin dalam kondisi baik. Saat operasi didapatkan duramater kebiruan dan tidak ditemukan laserasi, perdarahan subdural clot 15 cc lisis 15 cc, dengan sumber perdarahan contusio serebri, defek tulang 10x12 cm (Gambar 8 dan 9). Kemudian diputuskan untuk dilakukan kraniektomi dekompresi dalam anestesi umum dan dari bagian kandungan tidak ada tindakan karena janin sudah meninggal.
IV. Pembahasan
Cedera hebat pada penderita dengan kehamilan relatif jarang terjadi, akan tetapi, bila terjadi memberikan resiko dua kali lipat dibandingkan cedera tanpa kehamilan berupa ancaman keselamatan ibu dan janinnya. Segala tindakan harus dilakukan untuk mengevaluasi derajat cedera ibu dan melakukan pengobatan secara adekuat. Beberapa kasus telah dilaporkan tentang perawatan intensif pada ibu dengan kehamilan yang belum matang disertai dengan cedera kepala berat, kehamilannnya dipertahankan hingga bayinya cukup mampu untuk hidup diluar kemudian dilakukan terminasi kehamilan. Dari beberapa literatur diketahui hanya 12 kasus dengan penderitacedera berat yang melahirkan bayi dengan kondisi sehat.4,5,6 Cedera otak traumatika atau cedera kepala di dunia hingga saat ini masih merupakan penyebab kematian dan kesakitan pada populasi dibawah 45 tahun.10 Berbagai penelitian eksperimental dan analisis klinis tentang biomekanisme cedera dan kerusakan jaringan telah menambah wawasan mengenai patofisiologi utama kejadian yang bertanggung jawab yang berperan dalam mendefinisikan penyebab atau melakukan strategi baru dalam pengobatanya. Klasifikasi cedera kepala yang banyak digunakan dan berdasarkan patokan klinis adalah klasifikasi menurut Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali diperkenalkan oleh Teasdale dan Jennet tahun 1974.12 Berdasarkan klasifikasi ini pula Valadka dan Narayan pada tahun 1996 mengelompokan cedera kepala menjadi tiga yaitu cedera kepala ringan (CKR) bila GCS 14-15, cedera kepala sedang (CKS) bila nilai GCS 9-13 dan cedera kepala berat (CKB) bila nilai GCS 3-8.11 Klasifikasi lain adalah berdasarkan mekanisme utama yang mana cedera otak traumatika dibagi menjadi 1) kerusakan otak fokal akibat cedera langsung pada otak berupa kontusi, laserasi dan perdarahan intrakranial dan 2) kerusakan otak difus akibat cedera akselerasi dan deselerasi berupa cedera axon difus atau edema otak.10 Luaran pada cedera kepala ditentukan oleh dua mekanisme yang berbeda: a) Kerusakan primer (Primary insult, kerusakan mekanis) yang terjadi saat terjadi cedera. b) kerusakan sekunder (Secondary Insult, kerusakan non-mekanis yang tertunda) merupakan gambaran proses patologis yang dimulai saat cedera disertai dengan gejala klinis yang tertunda. Iskemia serebri dan hipertensi intrakranial merupakan penyebab kerusakan sekunder dan dalam pengobatan jenis cedera ini berespon terhadap pengobatan.10
Pada ketiga kasus yang ditampilkan semuanya merupakan kasus cedera kepala berat yang memiliki penyebab yang berbeda yaitu kasus pertama akibat terjatuh, sedangkan kasus kedua dan ketiga akibat kecelakan lalu lintas. Dari temuan radiologis dan tindakan pembedahan didapatkan untuk kasus 1 adalah perdarahan epidural yang memiliki prognosis baik bila cepat dilakukan tindakan pembedahan dengan mortalitas berkisar 20-55%13 dan pada kasus ini diagnosis ditegakkan dengan melakukan tindakan burr hole. Faktor lain yang berperan pada luaran perdarahan epidural adalah umur penderita yang relatif lebih muda dibandingkan dengan kasus 2 dan 3, dan tidak ditemukannya postur deserebrasi atau hilangnya reflex cahaya pada penderita ini.13 Sedangkan untuk kasus 2 & 3, dari pemeriksaan radiologis didapatkan midline shift > 5mm, kompresi sisterna basal disertai perdarahan subdural merupakan prognosis buruk pada penderita cedera kepala berat yang disertai perdarahan intrakranial, menyebabkan angka mortalitas yang tinggi yaitu 50-90% (51 % untuk GCS 6 & 7). Selain temuan radiologis diatas penyebab tingginya angka mortalitas perdarahan subdural antara lain pembedahan yang dilakukan >4 jam pascatrauma, mekanisme cedera akibat kecelakaan bermotor tanpa helm, usia lebih dari 65 tahun dan tekanan intrakranial >45 mmHg pascabedah.13 Penyulit lain yang ditemukan pada kasus 2 & 3 adalah pneumonia, dan diduga terkait dengan defek imunitas pada sistem imunitas nonspesifik, makrofag dan fagosit, serta spesifik seluler dan humoral.
Defek imunitas yang terjadi berupa
1) penurunan jumlah limfosit dalam sirkulasi, akibat supresi sel limfosit dalam mitogen,
2) menurunnya kemampuan limfosit B dalam memproduksi immuno-globulin,
3) menurunnya kemampuan sel-sel fagosit yaitu monosit dan netrofil dalam memusnahkan bakteri atau antigen lain,
4) Delayed type of hypersensitivity. Kondisi ini berlangsung segera setelah cedera kepala dan mencapai puncaknya pada hari ke sebelas setelah trauma dan akan pulih setelah tiga bulan,14,15,16,17 sehingga pneumonia pada cedera kepala insidensinya mencapai 40 %-60 % 18,19 dan terutama terjadi dalam 3 hari pertama pada masa perawatan.20,21 Keadaan ini menyebabkan perawatannya di ruang rawat intensif menjadi lama dan meningkatkan mortalitas hingga 50 %.22 Di literatur disebutkan umumnya cedera kepala pada wanita hamil hampir selalu disebabkan oleh tindakan kekerasan dan 60% diantaranya merupakan tindak kekerasan dalam rumah tangga berulang 2,3,4,5,6 Ketiga pasien ini dilakukan tindakan kraniektomi untuk cedera kepalanya dengan atau tanpa tindakan seksio sesarea, memberikan resiko kematian dan kesakitan yang tinggi pada ibu dan janin terlepas dari besarnya usia kehamilan yang dialami ibu saat terjadinya cedera kepala. Suatu penelitian yang dilakukan di Negara Bagian Washington di Amerika Serikat didapatkan dari 693 wanita yang dirawat selama kehamilan dan mengalami cedera ringan akibat terjatuh memiliki resiko lebih tinggi mengalami kelahiran sebelum waktunya (preterm), abruptio plasenta, kelahiran dengan induksi untuk ibu dan resiko untuk bayi mengalami fetal distress yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dengan kehamilan yang tidak mengalami kecelakaan sebesar 2 kali lipat.8
Untuk ibu, meningkatnya resiko kelahiran sebelum waktunya, terjadi karena kecelakaan menstimulasi kontraksi rahim, meskipun biomekanisme terjatuh mempengaruhi kontraksi rahim hingga saat inibelum pernah diteliti. Abruptio plasenta terjadi karena terjadi deselerasi tiba-tiba dari rahim yang menyebabkan hilangnya atau lepasnya penempelan plasenta dengan dinding rahim, beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hubungan ketinggian dengan mekanisme abruptio plasenta, tetapi hingga saat ini masih menjadi perdebatan karena ukuran tinggi saat terjadi kecelakaan ataupun terjatuh tidak diketahui ataupun tidak ditulis dalam laporan unit gawat darurat. Karena umumnya cedera yang terjadi pada ibu hamil tanpa disertai tanda kegawatan janin ataupun ibu berdasarkan monitoring selama di unit gawat darurat.9 Untuk janin terjadinya abruptio placenta menyebab-kan fetal distress dan hipoksia akibat menurunnya aliran darah ke uterus sehingga dapat berakhir dengan kematian janin. Hal ini lah yang menjadi alasan beberapa pusat kesehatan untuk merawat ibu hamil yang mengalami kecelakaan terutama bila usia kehamilan telah memasuki trimester ketiga, atau disertai dengan tanda kegawatan janin, perdarahan dari jalan lahir, atau mekanisme cedera yang hebat. Adapun kematian janin akibat cedera ibu berkisar 3,4 hingga 38 persen akibat abruptio plasenta, kematian ibu, dan syok pada ibu (Tabel 3).
Penanganan multidisiplin disertai dengan diagnostik dini dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu dan janin. Dan terpenting dari semuanya adalah mencegah terjadinya kecelakaan pada ibu hamil. Daftar Pustaka
1. Piastra M, Pietrini D, Massini L, de Luca D, del Lungo LM, de Carolis MD, et al. Severe subdural hemorrhage due to minimal prenatal trauma: case report. J Neurosurg Pediatric 2009; 4 : 543-46
2. Cohen-Gadol AA, Friedman JA, Friedman JD, Tubb RS, Munis JR, Meyer FB. Neurosurgical management of intracranial lesion in the pregnant patient: a 36-year institutional
experience and review of a literature. J Neurosurg 2009; 111:1150-57
3. Muench MV, Canterino JC. Trauma in Pregnancy. Journal Obstet Gynecol Clin North Am 2007; 34: 555-83
4. Weintraub AY, Leron E, Mazor M. The Pathophysiological of Trauma in Pregnancy: A review. The Journal of Maternal-Fetal and Neonatal Medicine 2006; 19(10): 601-5
5. Subhas CH, Biswas GM. Trauma in Pregnancy: A 5-Year Prospective analysis of Feto-maternal outcome in tertiary centers. Journal Obstetric Gynecologic India 2004; 54(5): 452—55
6. Sim Ki-Bum. Maternal persisten vegetative state with successful fetal outcome. Journal koreanmedical science The korean academy of medical science, 2001; 16: 669—72
7. American College of Surgeons Committee on Trauma. Trauma pada Wanita. Dalam: Advanced Trauma Life Support for doctors student course manual Komisi Trauma IKABI;1997;347-58
8. Schiff M. Pregnancy outcomes following hospitalization for a fall in Washington State from 1987 to 2004. British Journal of Obstetric and Gynecology (BJOG) 2008;115:1648-54
9. Grossman NB. Blunt Trauma in Pregnancy. American Family Physician Journal (AAFP) 2004;70:1303-10
10. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury. Br J Anaesth 2007;99:4-9
11. Valadka. AB, Narayan RK. Emergency room management of the head injury patient. Dalam: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. The McGraw-Hill Companies, Inc. 1996;119-35
12. Teasdale GM. Mechanism of concussion, contusion and other efect of head injury. Dalam: Youman, eds. Neurological Surgery, 4 th ed. Vol 3. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1996.
13. Greenberg MS. Head Trauma. Dalam: Greenberg MS, eds. Handbook of Neurosurgery. 7th ed. New York: Thieme Medical Publisher; 2010,850-928.
14. Smrcka M, Mrlian A, Klabusay M. Immune system status in the patients after severe brain injury. Bratislava Lekture Lysty 2005;106:144-146
15. Schmidt OI, Infanger M. The Role of neuroinflamation in traumatic brain injury. European Journal of Trauma 2004;3:1-7
16. Newsholme EA. Nutrition of Immune Cells: The Implication of Whole Body Metabolism. Dalam: Ptotein energy interaction. The International Dietary Energy Colsuntancy Group (I/D/E/C/G) 1991,437.
17. Shapiro NI, Karas DJ. Absolute lymphocyte Count as a predictor of CD 4 count. Annual Emergency Medicine 1998, 32: 323-28
18. Piek J, Chesnut RM, Marshall L F, Van Berkum-Clark M, Klauber MR. Extracranial complication of severe head injury. Journal of Neurosurgery 1992;77:901-907
19. Woratyla SP, Morgan AS, Mackay, Bernstein B, Barba C. Factors associated with early onset pneumonia in severly brain – injured patients. J. Conn Med 1995;59:643-47
20. Berrouane Y, Daudenthum I, Riegel B, Emery MN, Martin G., Early onset pneumonia in Neurosurgical intensive care unit patients. J Host Infect 1998;40:275-80
21. Hsien AH, Bishop MJ, Kubilis PS, Newell DW, Pierson DJ. Pneumonia folowing closed head injury. J. Am Rev Respir Dis 1992;146:290-94
22. Rodriquez-Roldan JM, Altuna-Cuesta A, Lopez A, Garcia J, Martinez LJ. Prevention of nosocomial lung infection in ventilated patients: use of an antimicrobial pharyngeal nonabsorbable paste. J. Critical Care Medicine 1990;18:1239-42
0 komentar:
Posting Komentar