konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Jumat, 21 Oktober 2016

Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis Kontak Iritan
No. ICPC-2 : S88 Dermatitis contact/allergic
No. ICD-10 : L24 Irritant contact dermatitis
Tingkat Kemampuan : 4A
Masalah Kesehatan
Dermatisis kontak iritan (DKI) adalah reaksi peradangan kulit non-imunologik. Kerusakan kulit terjadi secara langsung tanpa didahului oleh proses sensitisasi. DKI dapat dialami oleh semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, dan ras. Penyebab munculnya dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu yang biasanya berhubungan dengan pekerjaan.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Keluhan di kulit dapat beragam, tergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala akut, sedangkan iritan lemah memberikan gejala kronis. Gejala yang umum dikeluhkan adalah perasaan gatal dan timbulnya bercak kemerahan pada daerah yang terkena kontak bahan iritan. Kadang-kadang diikuti oleh rasa pedih, panas, dan terbakar.
Faktor Risiko
1. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan iritan
2. Riwayat kontak dengan bahan iritan pada waktu tertentu
3. Pasien bekerja sebagai tukang cuci, juru masak, kuli bangunan, montir, penata rambut
4. Riwayat dermatitis atopik

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Tanda yang dapat diobservasi sama seperti dermatitis pada umumnya, tergantung pada kondisi akut atau kronis. Selengkapnya dapat dilihat pada bagian klasifikasi.
Faktor Predisposisi
Pekerjaan atau paparan seseorang terhadap suatu bahan yang bersifat iritan

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Gambar 11.23 Dermatitis kontak iritan
Klasifikasi
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tertentu, DKI dibagi menjadi:
1. DKI akut:
a. Bahan iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat (H2SO4) atau asam klorida (HCl), termasuk luka bakar oleh bahan kimia.
b. Lesi berupa: eritema, edema, bula, kadang disertai nekrosis.
c. Tepi kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya asimetris.
2. DKI akut lambat:
a. Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24 jam atau lebih setelah kontak.
b. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI tipe ini diantaranya adalah podofilin, antralin, tretionin, etilen oksida, benzalkonium klorida, dan asam hidrofluorat.
c. Kadang-kadang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata), penderita baru merasa pedih keesokan harinya, pada awalnya terlihat eritema, dan pada sore harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
3. DKI kumulatif/ DKI kronis:
a. Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (faktor fisis misalnya gesekan, trauma minor, kelembaban rendah, panas atau dingin, faktor kimia seperti deterjen, sabun, pelarut, tanah dan bahkan air).
b. Umumnya predileksi ditemukan di tanganterutama pada pekerja.
c. Kelainan baru muncul setelah kontak dengan bahan iritan berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting.
d. Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus-menerus dengan deterjen. Keluhan penderita

umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita.
4. Reaksi iritan:
a. Merupakan dermatitis subklinis pada seseorang yang terpajan dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam dalam beberapa bulan pertama, kelainan kulit monomorfik (efloresensi tunggal) dapat berupa eritema, skuama, vesikel, pustul, dan erosi.
b. Umumnya dapat sembuh sendiri, namun menimbulkan penebalan kulit, dan kadang-kadang berlanjut menjadi DKI kumulatif.
5. DKI traumatik:
a. Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi.
b. Gejala seperti dermatitis numularis (lesi akut dan basah).
c. Penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu.
d. Lokasi predileksi paling sering terjadi di tangan.
6. DKI non eritematosa:
Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai dengan perubahan fungsi sawar stratum korneum, hanya ditandai oleh skuamasi ringan tanpa disertai kelainan klinis lain.
7. DKI subyektif/ DKI sensori:

Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat.
Diagnosis Banding
Dermatitis kontak alergi
Komplikasi
Infeksi sekunder.
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Keluhan dapat diatasi dengan pemberian farmakoterapi, berupa:
a. Topikal (2 kali sehari)
 Pelembab krim hidrofilik urea 10%.
 Kortikosteroid: Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan fluosinolon asetonid krim 0,025%).
 Pada kasus DKI kumulatif dengan manifestasi klinis likenifikasi dan hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan betametason valerat krim 0,1% atau mometason furoat krim 0,1%).
 Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal.
b. Oral sistemik
 Antihistamin hidroksisin 2 x 25 mg per hari selama maksimal 2 minggu, atau

 Loratadin 1x10 mg per hari selama maksimal 2 minggu.
2. Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan-bahan yang bersifat iritan, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis, memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab, serta memakai alat pelindung diri untuk menghindari kontak iritan saat bekerja.
Konseling dan Edukasi
1. Konseling untuk menghindari bahan iritan di rumah saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
2. Edukasi untuk menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu boot.
3. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.

Kriteria Rujukan
1. Apabila dibutuhkan, dapat dilakukan patch test
2. Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan standar dan sudah menghindari kontak.

Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit dermatitis kontak iritan.
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam. Pada kasus DKI akut dan bisa menghindari kontak, prognosisnya adalah bonam (sembuh tanpa komplikasi). Pada kasus kumulatif dan tidak bisa menghindari kontak, prognosisnya adalah dubia.
Referensi
1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta 

0 komentar:

Posting Komentar