PEDOMAN TATALAKSANA
SINDROM KORONER AKUT
PERKI 2015
Bagian I : Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut
Bagian II Angina Pektoris Tidak Stabil dan Infark
Miokard Non ST Elevasi
Bagian III Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST
3. SUBBAGIAN
KHUSUS
Pria dan wanita harus mendapatkan penanganan yang sama (Kelas
I-C). Namun
demikian, wanita cenderung datang belakangan dan lebih sering
memiliki
gejala atipikal. Kecurigaan infark miokard yang tinggi harus
dipertahankan
untuk pasien wanita, diabetes, dan pasien-pasien lanjut usia
dengan gejalagejala
atipikal (Kelas I-B). Pasien lanjut usia sering datang
dengan gejala
ringan atau atipikal, yang sering menyebabkan diagnosis yang
terlambat atau
bahkan keliru. Pasien lanjut usia juga memiliki risiko
perdarahan yang lebih
tinggi disertai komplikasi lainnya, mengingat kecenderungan
fungsi ginjal
yang menurun serta prevalensi komorbiditas yang tinggi pada
kelompok ini.
Pemberian dosis yang tepat perlu diperhatikan pada pemberian
antitrombotik
untuk pasien lanjut usia dan gagal ginjal (Kelas
I-B). Disfungsi ginjal dapat
ditemukan pada 30-40% pasien SKA dan berhubungan dengan
prognosis
yang lebih buruk serta peningkatan risiko perdarahan.
Keputusan pemberian
reperfusi pada pasien STEMI
seyogyanya dibuat sebelum tersedianya penilaian
fungsi ginjal, namun laju filtrasi glomerulus perlu
diperkirakan dari saat pasien
datang, mengingat pasien SKA dengan PGK sering mengalami
overdosis
antitrombotik yang akan menyebabkan peningkatan risiko
perdarahan.
Untuk pasien-pasien dengan perkiraan klirens kreatinin
<60 mL/menit,
penyesuaian dosis aspirin, clopidogrel, ticagrelor,
fondaparinuks dan heparin
yang tidak terfraksi (dosis bolus) tidak diperlukan. Sampai
saat ini belum ada
informasi mengenai dosis ticagrelor dan fondaparinuks untuk
pasien dengan
ESRD atau yang menjalani dialisis. Untuk enoksaparin, dosis
bolus tidak
memerlukan penyesuaian, tetapi setelah trombolisis, pasien
dengan klirens
kreatinin <30 mL/menit hanya diberikan dosis subkutan
sekali setiap 24 jam.
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat (GFR 30-59
mL/menit), dosis
infus inisial bivalirudin diturunkan menjadi 1,4 mg/kg/jam
sedangkan dosis
bolus tidak dirubah. Bivalirudin diindikasikontrakan pada
pasien dengan
insufisiensi ginjal berat (GFR <30 mL/menit) dan pasien
dialisis.
4. LOGISTIK
Semua rumah sakit yang berpartisipasi dalam perawatan
pasien-pasien STEMI
harus memiliki Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)
yang mampu menangani
berbagai aspek perawatan, termasuk penanganan iskemia, gagal
jantung
berat, aritmia dan komorbid lain yang biasa terjadi (Kelas
I-C). Pasienpasien
yang menjalani terapi reperfusi yang berhasil tanpa
komplikasi perlu
diobservasi selama minimum 24 jam di ICCU, kemudian
dipindahkan ke
tingkat pengawasan yang lebih rendah (step-down
monitoring) selama 24-48
jam berikutnya (Kelas I-C).
5. PENILAIAN RISIKO DAN PENCITRAAN
Setelah terapi reperfusi, penting untuk menentukan pasien
yang memiliki
risiko tinggi menderita kejadian
selanjutnya seperti re-infark atau kematian
agar dapat dilakukan intervensi dan pencegahan yang sesuai.
Mengingat risiko
kejadian berkurang seiring dengan waktu, penilaian risiko
harus dilakukan
sejak dini.
Selama fase akut, ketika diagnosis tidak dapat dipastikan,
ekokardiografi
darurat dapat berguna. Namun, bila inkonklusif atau tidak
didapatkan
penemuan dan ada keraguan yang menetap, angiografi darurat
perlu
dipertimbangkan (Kelas I-C).
Setelah fase akut, pasien-pasien perlu menjalani
ekokardiografi untuk
penilaian ukuran infark dan fungsi ventrikel kiri pada
istirahat (Kelas I-B). Pada
pasien-pasien dengan gangguan multipembuluh, atau yang
dipertimbangkan
untuk menjalani revaskularisasi pembuluh darah lainnya,
diindikasikan untuk
dilakukan stress testing atau pencitraan untuk
iskemia dan viabilitas (Kelas I-A).
6. TERAPI JANGKA PANJANG
1. Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko
tinggi bagi pasien yang
telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian
kardiovaskular selanjutnya
dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi
untuk
meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka
panjang ini peran
dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini
ditanamkan dari
saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan
mengajarkan perubahan
gaya hidup sebelum pasien dipulangkan.
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih
dari STEMI adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes,
dan terutama merokok,
dengan ketat (Kelas I-B)
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100
mg) diindikasikan
tanpa henti (Kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat
reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk
pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas
I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien
STEMI sesegera
mungkin sejak datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan
segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau
riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien
STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau
infark aterior (Kelas I-A).
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas
I-B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40%
atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau
hiperkalemia
(Kelas I-B).
7. KOMPLIKASI STEMI
7.1. Gangguan hemodinamik
7.1.1. Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali
terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP
atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun
apabila terjadi jejas
transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada
dinding anterior,
dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan
remodeling
patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan
jantung, yang dapat
berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga
dapat terjadi
sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau
sebagai komplikasi
mekanis.
Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan
subakut STEMI
didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda
seperti sinus takikardi,
suara jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti
objektif disfungsi
kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya
fraksi ejeksi.
Peningkatan marka jantung seperti BNP dan N-terminal pro-BNP
menandakan
peningkatan stress dinding miokardium dan telah terbukti
berperan dalam
menentukan diagnosis, staging, perlunya rawat jalan atau
pemulangan pasien
dan mengenali pasien yang berisiko mengalami kejadian klinis
yang tidak
diharapkan. Selain itu, nilai marka jantung tersebut
dipengaruhi beberapa
keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri, takikardia,
iskemia, disfungsi ginjal,
usia lanjut, obesitas dan pengobatan yang sedang dijalani.
Sejauh ini belum
ada nilai rujukan definitif pada pasien-pasien dengan tanda
dan gejala gagal
jantung setelah infark akut, dan nilai yang didapatkan perlu
diinterpretasikan
berdasarkan keadaan klinis pasien.
Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor
terkuat untuk
mortalitas setelah terjadinya STEMI. Mekanisme terjadinya
disfungsi ventrikel
kiri dalam fase akut mencakup hilangnya dan remodeling
miokardium akibat
infark, disfungsi iskemik (stunning), aritmia atrial
dan ventrikular serta disfungsi
katup (baik yang sudah ada atau baru). Komorbiditas seperti
infeksi, penyakit
paru, gangguan ginjal, diabetes atau anemia seringkali
menambah gejala
yang terlihat secara klinis. Derajat kegagalan jantung
setelah infark dapat
dibagi menurut klasifikasi Killip yang dapat dilihat di
bagian Stratifikasi Risiko
dalam bab NSTEMI.
Penilaian hemodinamik dilakukan berdasarkan pemeriksaan
fisik lengkap,
pemantauan EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan
pengukuran urine output
setiap jam. Pasien yang dicurigai menderita gagal jantung
perlu dievaluasi
segera menggunakan ekokardiografi transtorakal atau Doppler.
Ekokardiografi
merupakan alat diagnosis utama dan perlu dilakukan untuk
menilai fungsi dan
volume ventrikel kiri, fungsi katup,
derajat kerusakan miokardium, dan untuk
mendeteksi adanya komplikasi mekanis. Evaluasi Doppler dapat
memberikan
gambaran aliran, gradien, fungsi diastolik dan tekanan
pengisian. Pemeriksaan
Roentgen dada dapat menilai derajat kongesti paru dan
mendeteksi keadaan
penting lain seperti infeksi paru, penyakit paru kronis dan
efusi pleura.
Pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
cara-cara
konvensional yang terdeteksi sedang mengalami iskemia,
elevasi segmen ST
atau LBBB baru, perlu dipertimbangkan revaskularisasi
lanjut.
Pasien dengan jejas miokardium luas dalam fase akut dapat
menunjukkan tanda
dan gejala gagal jantung kronik. Diagnosis ini memerlukan
penatalaksanaan
sesuai panduan gagal jantung kronik. Beberapa pasien dengan
gagal jantung
kronik simtomatis di mana fraksi ejeksi berkurang atau
terdapat dis-sinkroni
elektrik yang ditunjukkan dengan pemanjangan QRS memenuhi
kriteria
implantasi defibrilator kardioverter, cardiac
resynchronization therapy (CRT),
atau defibrilator terapi resinkronisasi jantung.
7.1.1.1. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap
di bawah 90
mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun
dapat juga
disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi
mekanis.
Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal,
acute tubular
necrosis dan berkurangnya urine output.
7.1.1.2. Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di
segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada
Roentgen dada
dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi
vasodilator.
7.1.1.3. Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan
tanda perfusi perifer yang buruk
dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi
urin.
Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang
buruk, komplikasi
mekanis atau infark ventrikel kanan.
7.1.1.4. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan
merupakan penyebab
kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit
mendekati 50%.
Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan
infark miokard
akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba
di rumah sakit.
Penelitian registry SHOCK (SHould we emergently
revascularize Occluded
coronaries for Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok
kardiogenik
terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda
dan gejala klinis
syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan
berat
tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek.
Pasien biasanya
datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang
rendah (takikardia saat
istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas
dingin) dan kongesti
paru.
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung
<2,2, L/menit/
m2 dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain
itu, diuresis biasanya
<20 mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila
agen inotropik
intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan
tekanan darah
sistolik >90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan
dengan kerusakan
ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark
ventrikel kanan. Baik
mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang tampaknya
berkaitan
dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan beratnya
regurgitasi mitral.
Adanya disfungsi ventrikel kanan pada ekokardiografi awal
juga merupakan
prediktor penting prognosis yang buruk, terutama dalam kasus
disfungsi
gabungan ventrikel kiri dan kanan. Indeks volume sekuncup
awal dan followup
serta follow-up stroke work index merupakan prediktor
hemodinamik paling
kuat untuk mortalitas 30 hari pada
pasien dengan syok kardiogenik dan
ebih berguna daripada variabel hemodinamik lainnya. Dengan
demikian,
dapat disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana syok
kardiogenik tidak
mementingkan pengukuran invasif tekanan pengisian ventrikel
kiri dan
curah jantung melalui kateter pulmonar namun fraksi ejeksi
ventrikel kiri dan
komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai segera dengan
ekokardiografi
Doppler 2 dimensi.
7.1.2. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam
beberapa jam
pertama setelah infark miokard. Monitor jantung yang
dipasang dalam 11
}5 hari sejak infark miokard akut
melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan
baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok
AV derajat tinggi
sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), sinus
bradikardi sebesar
7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), henti sinus
sebesar 5% (≥5 detik),
VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3%.
Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang terjadi awal
(<48 jam)
atau VT yang berkelanjutan pada pasien dengan infark miokard
akut masih
kontroversial. Pada pasien dengan infark miokard akut, VF/VT
yang terjadi
awal merupakan indikator peningkatan risiko mortalitas 30
hari (22% vs
5%) dibandingkan dengan pasien tanpa VF/VT. ACE-I atau ARB
mengurangi
mortalitas 30 hari pasien-pasien ini. Studi-studi lain
menyatakan bahwa
pemberian penyekat beta dalam 24 jam pertama setelah infark
miokard akut
pada pasien dengan VF/VT yang berlanjut dikaitkan dengan
berkurangnya
mortalitas tanpa diikuti perburukan gagal jantung.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa
manifestasi dari
kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard,
kegagalan
pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan gangguan
elektrolit
(seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa.
Keadaan-keadaan tersebut
memerlukan perhatian dan penanganan segera. Blok AV derajat
tinggi
dulunya merupakan prediktor yang
lebih kuat untuk kematian akibat jantung
dibandingkan dengan takiaritmia pada pasien dengan fraksi
ejeksi ventrikel
kiri <40% setelah infark miokard.
7.1.2.1 Aritmia supraventrikular
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark
miokard dan sering
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan
gagal jantung.
Fibrilasi atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga
jam dan
seringkali berulang. Seringkali aritmia dapat ditoleransi
dengan baik dan
tidak memerlukan pengobatan selain antikoagulasi. Dalam
beberapa kasus
laju ventrikel menjadi cepat dan dapat menyebabkan gagal
jantung sehingga
perlu ditangani dengan segera. Kendali laju yang cukup
diperlukan untuk
mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan dapat dicapai
dengan
pemberian penyekat beta atau mungkin antagonis kalsium, baik
secara oral
maupun intravena.
Beberapa (namun tidak semua) penelitian menyatakan bahwa
terjadinya
fibrilasi atrium dalam keadaan infark miokard akut merupakan
prediktor
independen untuk all-cause mortality, dan tidak
tergantung dari pengobatan
yang diberikan. Fibrilasi atrium tidak hanya meningkatkan
risiko stroke
iskemik selama perawatan namun juga selama follow-up,
bahkan pada AF
paroksismal yang telah kembali menjadi irama sinus saat
pasien dipulangkan.
Pasien dengan AF dan faktor risiko untuk tromboembolisme
perlu menjalani
terapi antikoagulasi oral secara benar. Karena AF biasanya
memerlukan
antikoagulasi, pemilihan stent DES saat re-stenosis
perlu dipertimbangkan
secara hati-hati terhadap risiko perdarahan serius yang
dikaitkan dengan
kombinasi tiga terapi antitrombotik yang berkepanjangan.
Takikardia supraventrikular jenis lain amat jarang terjadi, self-limited
dan
biasanya membaik dengan manuver vagal. Adenosin intravena
dapat
dipertimbangkan untuk keadaan ini bila kemungkinan atrial
flutter telah
disingkirkan dan status hemodinamik stabil. Selama
pemberian, EKG pasien
perlu terus diawasi. Bila tidak
diindikasikontrakan, penyekat beta juga dapat
berguna. Bila aritmia tidak dapat ditolerir dengan baik,
kardioversi elektrik
dapat diberikan.
7.1.2.2. Aritmia ventrikular
Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari
pertama fase akut
dan aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short
runs atau fenomena
R-on-T umum ditemukan. Mereka dianggap tidak dapat dijadikan
prediktor
untuk terjadinya VF dan tidak memerlukan terapi spesifik.
Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama
idioventrikular yang
terakselerasi. Irama tersebut terjadi akibat reperfusi, di
mana laju ventrikel <120
detak per menit dan biasanya tidak berbahaya. VT yang tidak
berlanjut (<30
detik) bukan prediktor yang baik untuk VF awal dan dapat
ditoleransi dengan
baik, biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kejadian yang
lebih lama dapat
menyebabkan hipotensi dan gagal jantung dan dapat memburuk
menjadi
VF. Tidak ada bukti bahwa pengobatan VT yang tidak berlanjut
dan tanpa
gejala dapat memperpanjang hidup, sehingga pengobatan untuk
keadaan ini
tidak diindikasikan, kecuali bila terjadi ketidakstabilan
hemodinamik. VT yang
berlanjut atau disertai keadaan hemodinamik yang tidak
stabil memerlukan
terapi supresif.
Fibrilasi ventrikel memerlukan defibrilasi segera. Meskipun
ditunjukan bahwa
lidokain dapat mengurangi insidensi VF pada fase akut infark
miokard, obat ini
meningkatkan risiko asistol. VF yang berlanjut atau VF yang
terjadi melewati
fase akut awal (di mana takiaritmia tersebut terjadi bukan
karena penyebab
yang reversibel seperti gangguan elektrolit atau iskemi
transien/reinfark)
dapat berulang dan dikaitkan dengan risiko kematian yang
tinggi. Meskipun
kemungkinan iskemia miokard perlu selalu disingkirkan dalam
kasus aritmia
ventrikel, perlu ditekankan bahwa revaskularisasi tidak
dapat mencegah henti
jantung berulang pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri
abnormal yang
berat atau dengan VT monomorf yang berlanjut, bahkan bila
aritmia yang
terjadi awalnya merupakan akibat
dari iskemia transien.
7.1.2.3. Sinus
bradikardi dan blok jantung
Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal
STEMI, terutama pada
infark inferior. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan
oleh karena opioid.
Sinus bradikardi seringkali tidak memerlukan pengobatan.
Bila disertai dengan
hipotensi berat, sinus bradikardi perlu diterapi dengan
atropin. Bila gagal
dengan atropin, dapat dipertimbangkan penggunaan pacing
sementara.
Blok jantung derajat satu tidak memerlukan pengobatan. Untuk
derajat dua
tipe I (Mobitz I atau Wenckebach), blokade yang terjadi
biasanya dikaitkan
dengan infark inferior dan jarang menyebabkan efek
hemodinamik yang
buruk. Apabila terjadi perubahan hemodinamik, berikan
atropin dahulu, baru
pertimbangkan pacing. Hindari penggunaan agen-agen yang
memperlambat
konduksi AV seperti penyekat beta, digitalis, verapamil atau
amiodaron. Blok
AV derajat dua tipe II (Mobitz II) dan blok total dapat
merupakan indikasi
pemasangan elektroda pacing, apalagi bila bradikardi disertai
hipotensi atau
gagal jantung. Bila gangguan hemodinamik yang terjadi berat,
hati-hati dalam
pemberian pacing AV sekuensial. Pada pasien yang
belum mendapatkan terapi
reperfusi, revaskularisasi segera perlu dipertimbangkan.
Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi di
atas bundle
of HIS, dan
menghasilkan bradikardia transien dengan escape
rhythm QRS sempit
dengan
laju lebih dari 40 detak per menit, dan memiliki mortalitas
yang rendah. Blok
ini biasanya berhenti sendiri tanpa pengobatan. Blok AV
terkait infark dinding
anterior biasanya terletak di bawah HIS (di bawah nodus AV)
dan menghasilkan
QRS lebar dengan low escape rhythm, serta laju mortalitas yang tinggi
(hingga
80%) akibat nekrosis miokardial luas. Terjadinya bundle
branch block baru
atau blok sebagian biasanya menunjukkan infark anterior
luas, dan kemudian
dapat terjadi blok AV komplit atau kegagalan pompa.
Asistol dapat terjadi setelah blok AV, blok bifasik atau
trifasik atau countershock
elektrik. Bila elektroda pacing terpasang, perlu dicoba dilakukan pacing.
Apabila tidak, lakukan kompresi dada
dan napas buatan, serta lakukan pacing
transtorakal.
Elektroda pacing transvena perlu dimasukkan bila
terdapat blok AV lanjut
dengan low escape rhythm seperti yang telah
dijelaskan di atas, dan
dipertimbangkan apabila terjadi blok bifasik atau trifasik.
Rute subklavia
sebaiknya dihindari setelah fibrinolisis atau bila terdapat antikoagulasi,
dan
dipilih rute alternatif. Pacing permanen
diindikasikan pada pasien dengan
blok AV derajat tiga persisten, atau derajat dua persisten
terkait bundle branch
block,
dan pada Mobitz II transien atau blok jantung total terkait bundle branch
block awitan
baru.
7.2. Komplikasi kardiak
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh,
infark dinding anterior,
iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI
merupakan faktor
risiko terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi
mekanis dapat terjadi
secara akut dalam beberapa hari setelah STEMI, meskipun
insidensinya
belakangan berkurang dengan meningkatnya pemberian terapi
reperfusi yang
segera dan efektif. Semua komplikasi ini mengancam nyawa dan
memerlukan
deteksi dan penanganan secepat mungkin. Pemeriksaan klinis
berulang
(minimal dua kali sehari) dapat menangkap murmur jantung
baru, yang
menunjukkan regurgitasi mitral atau defek septum ventrikel,
yang kemudian
perlu dikonfirmasi dengan ekokardiografi segera. CABG secara
umum perlu
dilakukan apabila pantas saat operasi pada pasien yang
memerlukan operasi
darurat untuk komplikasi mekanis yang berat.
7.2.1. Regurgitasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut
akibat dilatasi
ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung
m. Papilaris
atau chordae tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai
dengan perburukan
hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur
sistolik baru,
yang biasanya tidak terlalu
diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini
dicurigai dengan pemeriksaan klinis dan perlu segera
dikonfirmasi dengan
ekokardiografi darurat. Edema paru dan syok kardiogenik
dapat terjadi
dengan cepat.
7.2.2. Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase
subakut
setelah infark transmural, dan muncul sebagai nyeri
tiba-tiba dan kolaps
kardiovaskular dengan disosiasi elektromekanis.
Hemoperikardium dan
tamponade jantung kemudian akan terjadi secara cepat dan
bersifat fatal.
Diagnosis dikonfirmasi dengan ekokardiografi. Apabila
tersumbat oleh
formasi trombus, ruptur dinding subakut yang terdeteksi
dengan cepat dapat
dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera.
7.2.3. Ruptur septum ventrikel
Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis
yang terjadi
dengan cepat dengan gagal jantung akut dan mumur sistolik
yang
kencang yang terjadi pada fase subakut. Diagnosis ini
dikonfirmasi dengan
ekokardiografi, yang dapat membedakan keadaan ini dengan
regurgitasi
mitral akut dan dapat menentukan lokasi dan besarnya ruptur.
Left-to-right
shunt yang
terjadi sebagai akibat dari ruptur ini dapat menghasilkan tanda
dan gejala gagal jantung kanan akut awitan baru. Operasi
segera dikaitkan
dengan laju mortalitas yang tinggi dan risiko ruptur
ventrikel berulang,
sementara operasi yang ditunda memungkinkan perbaikan septum
yang
lebih baik namun mengandung risiko terjadinya pelebaran
ruptur, tamponade
dan kematian saat menunggu operasi. Mortalitas keadaan ini
tinggi untuk
semua pasien dan lebih tinggi lagi pada pasien dengan
kelainan di inferobasal
dibandingkan dengan di anteroapikal.
7.2.4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih
jarang lagi, terkait dengan
STEMI dinding inferior. Biasanya
gejalanya muncul sebagai triad hipotensi,
lapangan paru yang bersih serta peningkatan tekanan vena
jugularis. Elevasi
segmen ST ≥1 mV di V1 dan V4R merupakan ciri infark
ventrikel kanan dan
perlu secara rutin dicari pada pasien dengan STEMI inferior yang
disertai
dengan hipotensi. Ekokardiografi Doppler biasanya
menunjukkan dilatasi
ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal yang rendah,
dilatasi vena hepatika
dan jejas dinding inferior dalam berbagai derajat. Meskipun
terjadi distensi
vena jugularis, terapi tetap diberikan dengan tujuan
mempertahankan
tekanan pengisian ventrikel kanan dan mencegah atau
mengobati hipotensi.
Pemberian diuretik dan vasodilator perlu dihindari karena
dapat memperburuk
hipotensi. Irama sinus dan sinkronisitas atrioventrikular
perlu dipertahankan
dan AF atau blok AV yang terjadi perlu segera ditangani.
7.2.5. Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang
dengan semakin
majunya terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala
perikarditis antara
lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam dan,
bertentangan dengan
iskemia rekuren, terkait dengan postur dan pernapasan.
Perikarditis dapat
muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan biasanya ringan dan
progresif, yang
membedakannya dengan re-elevasi segmen ST yang tiba-tiba
seperti pada
re-oklusi koroner akibat trombosis stent, misalnya. Pericardial
rub yang terusmenerus
dapat mengkonfirmasi diagnosis, namun sering tidak
ditemukan,
terutama apabila terjadi efusi perikardial berat.
Ekokardiografi dapat
mendeteksi dan menentukan besarnya efusi, bila ada, dan
menyingkirkan
kecurigaan efusi hemoragik dengan tamponade. Nyeri biasanya
menghilang
dengan pemberian aspirin dosis tinggi, paracetamol atau
kolkisin. Pemberian
steroid dan NSAID jangka panjang perlu dihindari karena
dapat menyebabkan
penipisan jaringan parut dan pembentukan aneurisma atau
ruptur.
Perikardiosentesis jarang diperlukan, namun perlu dilakukan
apabila terdapat
perburukan hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade. Bila
terjadi efusi
perikardial, terapi antikoagulan
yang sudah diberikan (misalnya sebagai
profilaksis tromboemboli vena) perlu dihentikan kecuali
apabila benar-benar
diindikasikan pemberiannya.
7.2.6. Aneurisma ventrikel kiri
Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding
anterolateral, dapat
mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan
aneurisma
ventrikel kiri. Proses remodeling ini terjadi akibat
kombinasi gangguan sistolik
dan diastolik dan, seringkali, regurgitasi mitral.
Ekokardiografi Doppler dapat
menilai volume ventrikel kiri, fraksi ejeksi, derajat dan
luasnya abnormalitas
gerakan dinding, dan mendeteksi trombus yang memerlukan
antikoagulasi.
ACE-I/ARB dan antagonis aldosteron telah terbukti
memperlambat proses
remodeling dalam infark transmural dan meningkatkan
kemungkinan
hidup, dan perlu diberikan segera sejak keadaan hemodinamik
stabil. Pasien
seringkali akan menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung
kronik dan perlu
ditangani dengan sesuai.
7.2.7. Trombus ventrikel kiri
Frekuensi terjadinya trombus ventrikel kiri telah berkurang
terutama karena
kemajuan dari terapi reperfusi, penggunaan obat-obatan
antitrombotik
dalam STEMI, dan berkurangnya ukuran infark miokardium
akibat reperfusi
miokardium yang segera dan efektif. Meskipun beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa hampir seperempat infark miokard anterior
memiliki
trombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini
dikaitkan dengan
prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark yang
luas, terutama
bagian anterior dengan keterlibatan apikal, dan risiko
embolisme sistemik.
Penelitian-penelitian yang relatif tua menunjukkan bahwa
pemberian
antikoagulasi pada pasien-pasien dengan abnormalitas gerakan
dinding
anterior besar mengurangi terjadinya
trombus mural.
PENUTUP
Demikian pedoman ini dibuat dengan harapan dapat dijadikan
penuntun
dalam praktek klinik sehari-hari. Hal-hal yang masih
memerlukan perbaikan
atau pemutakhiran berdasarkan hasil penelitian yang terbaru
akan terus
dilakukan. Konsultasi diantara teman sejawat akan lebih
mempermudah
penerapan pedoman ini. Setiap layanan primer diharapkan
memiliki daftar
layanan tersier atau fasilitas pelayanan yang dapat
melakukan reperfusi, agar
rujukan dapat dilakukan dengan cepat
dan tepat.
sindrom koroner akut adalah, sindrom koroner akut adalalah pdf, sindrom koroner akut scribd, defenisi sindrom koroner akut pdf, diagnosis sindrom koroner akut pdf, tatalaksana sindrom koroner akut pdf, jurnal sindrom koroner akut pdf, patofisiologi sindrom koroner akut pdf, askep sindrom koroner akut