konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Selasa, 17 Januari 2017

TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT PERKI 2015 - INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI SEGMEN ST 2

PEDOMAN TATALAKSANA
 SINDROM KORONER AKUT
PERKI 2015



Bagian I : Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut 
1. Pendahuluan  <-- Klick di sini
2. Klasifikasi Rekomendasi <-- Klick di sini
3. Patofisiologi <-- Klick di sini
4. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut <-- Klick di sini
5. Diagnosis <-- Klick di sini
6. Tindakan Umum dan Langkah Awal   <-- Klick di sini

Bagian II Angina Pektoris Tidak Stabil dan Infark
Miokard Non ST Elevasi
1. Diagnosis  <-- Klick di sini
2. Diagnosis Banding <-- Klick di sini
3. Stratifikasi Risiko  <-- Klick di sini
4. Pertanda Peningkatan Risiko  <-- Klick di sini
5. Terapi  <-- Klick di sini
6. Populasi dan Situasi Khusus  <-- Klick di sini

Bagian III Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST
1. Perawatan Gawat Darurat  <-- Klick di sini
2. Terapi Reperfusi  <-- Klick di sini
3. Subbagian Khusus  <-- Klick di sini
4. Logistik  <-- Klick di sini
5. Penilaian Risiko dan Pencitraan  <-- Klick di sini
6. Terapi Jangka Panjang  <-- Klick di sini
7. Komplikasi STEMI  <-- Klick di sini

3. SUBBAGIAN KHUSUS
Pria dan wanita harus mendapatkan penanganan yang sama (Kelas I-C). Namun
demikian, wanita cenderung datang belakangan dan lebih sering memiliki
gejala atipikal. Kecurigaan infark miokard yang tinggi harus dipertahankan
untuk pasien wanita, diabetes, dan pasien-pasien lanjut usia dengan gejalagejala
atipikal (Kelas I-B). Pasien lanjut usia sering datang dengan gejala
ringan atau atipikal, yang sering menyebabkan diagnosis yang terlambat atau
bahkan keliru. Pasien lanjut usia juga memiliki risiko perdarahan yang lebih
tinggi disertai komplikasi lainnya, mengingat kecenderungan fungsi ginjal
yang menurun serta prevalensi komorbiditas yang tinggi pada kelompok ini.
Pemberian dosis yang tepat perlu diperhatikan pada pemberian antitrombotik
untuk pasien lanjut usia dan gagal ginjal (Kelas I-B). Disfungsi ginjal dapat
ditemukan pada 30-40% pasien SKA dan berhubungan dengan prognosis
yang lebih buruk serta peningkatan risiko perdarahan. Keputusan pemberian
reperfusi pada pasien STEMI seyogyanya dibuat sebelum tersedianya penilaian
fungsi ginjal, namun laju filtrasi glomerulus perlu diperkirakan dari saat pasien
datang, mengingat pasien SKA dengan PGK sering mengalami overdosis
antitrombotik yang akan menyebabkan peningkatan risiko perdarahan.
Untuk pasien-pasien dengan perkiraan klirens kreatinin <60 mL/menit,
penyesuaian dosis aspirin, clopidogrel, ticagrelor, fondaparinuks dan heparin
yang tidak terfraksi (dosis bolus) tidak diperlukan. Sampai saat ini belum ada
informasi mengenai dosis ticagrelor dan fondaparinuks untuk pasien dengan
ESRD atau yang menjalani dialisis. Untuk enoksaparin, dosis bolus tidak
memerlukan penyesuaian, tetapi setelah trombolisis, pasien dengan klirens
kreatinin <30 mL/menit hanya diberikan dosis subkutan sekali setiap 24 jam.
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat (GFR 30-59 mL/menit), dosis
infus inisial bivalirudin diturunkan menjadi 1,4 mg/kg/jam sedangkan dosis
bolus tidak dirubah. Bivalirudin diindikasikontrakan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal berat (GFR <30 mL/menit) dan pasien dialisis.


4. LOGISTIK
Semua rumah sakit yang berpartisipasi dalam perawatan pasien-pasien STEMI
harus memiliki Intensive Cardiac Care Unit (ICCU) yang mampu menangani
berbagai aspek perawatan, termasuk penanganan iskemia, gagal jantung
berat, aritmia dan komorbid lain yang biasa terjadi (Kelas I-C). Pasienpasien
yang menjalani terapi reperfusi yang berhasil tanpa komplikasi perlu
diobservasi selama minimum 24 jam di ICCU, kemudian dipindahkan ke
tingkat pengawasan yang lebih rendah (step-down monitoring) selama 24-48
jam berikutnya (Kelas I-C).


5. PENILAIAN RISIKO DAN PENCITRAAN
Setelah terapi reperfusi, penting untuk menentukan pasien yang memiliki
risiko tinggi menderita kejadian selanjutnya seperti re-infark atau kematian
agar dapat dilakukan intervensi dan pencegahan yang sesuai. Mengingat risiko
kejadian berkurang seiring dengan waktu, penilaian risiko harus dilakukan
sejak dini.
Selama fase akut, ketika diagnosis tidak dapat dipastikan, ekokardiografi
darurat dapat berguna. Namun, bila inkonklusif atau tidak didapatkan
penemuan dan ada keraguan yang menetap, angiografi darurat perlu
dipertimbangkan (Kelas I-C).
Setelah fase akut, pasien-pasien perlu menjalani ekokardiografi untuk
penilaian ukuran infark dan fungsi ventrikel kiri pada istirahat (Kelas I-B). Pada
pasien-pasien dengan gangguan multipembuluh, atau yang dipertimbangkan
untuk menjalani revaskularisasi pembuluh darah lainnya, diindikasikan untuk
dilakukan stress testing atau pencitraan untuk iskemia dan viabilitas (Kelas I-A).
6. TERAPI JANGKA PANJANG
1. Mengingat sifat PJK sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi bagi pasien yang
telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular selanjutnya
dan kematian prematur, perlu dilakukan berbagai intervensi untuk
meningkatkan prognosis pasien. Dalam penanganan jangka panjang ini peran
dokter umum lebih besar, namun ada baiknya intervensi ini ditanamkan dari
saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan mengajarkan perubahan
gaya hidup sebelum pasien dipulangkan.
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat (Kelas I-B)
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti (Kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A).
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia
(Kelas I-B).


7. KOMPLIKASI STEMI
7.1. Gangguan hemodinamik
7.1.1. Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas
transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior,
dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling
patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat
berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi
sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi
mekanis.
Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI
didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi,
suara jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi
kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi.
Peningkatan marka jantung seperti BNP dan N-terminal pro-BNP menandakan
peningkatan stress dinding miokardium dan telah terbukti berperan dalam
menentukan diagnosis, staging, perlunya rawat jalan atau pemulangan pasien
dan mengenali pasien yang berisiko mengalami kejadian klinis yang tidak
diharapkan. Selain itu, nilai marka jantung tersebut dipengaruhi beberapa
keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri, takikardia, iskemia, disfungsi ginjal,
usia lanjut, obesitas dan pengobatan yang sedang dijalani. Sejauh ini belum
ada nilai rujukan definitif pada pasien-pasien dengan tanda dan gejala gagal
jantung setelah infark akut, dan nilai yang didapatkan perlu diinterpretasikan
berdasarkan keadaan klinis pasien.
Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor terkuat untuk
mortalitas setelah terjadinya STEMI. Mekanisme terjadinya disfungsi ventrikel
kiri dalam fase akut mencakup hilangnya dan remodeling miokardium akibat
infark, disfungsi iskemik (stunning), aritmia atrial dan ventrikular serta disfungsi
katup (baik yang sudah ada atau baru). Komorbiditas seperti infeksi, penyakit
paru, gangguan ginjal, diabetes atau anemia seringkali menambah gejala
yang terlihat secara klinis. Derajat kegagalan jantung setelah infark dapat
dibagi menurut klasifikasi Killip yang dapat dilihat di bagian Stratifikasi Risiko
dalam bab NSTEMI.
Penilaian hemodinamik dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik lengkap,
pemantauan EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan pengukuran urine output
setiap jam. Pasien yang dicurigai menderita gagal jantung perlu dievaluasi
segera menggunakan ekokardiografi transtorakal atau Doppler. Ekokardiografi
merupakan alat diagnosis utama dan perlu dilakukan untuk menilai fungsi dan
volume ventrikel kiri, fungsi katup, derajat kerusakan miokardium, dan untuk
mendeteksi adanya komplikasi mekanis. Evaluasi Doppler dapat memberikan
gambaran aliran, gradien, fungsi diastolik dan tekanan pengisian. Pemeriksaan
Roentgen dada dapat menilai derajat kongesti paru dan mendeteksi keadaan
penting lain seperti infeksi paru, penyakit paru kronis dan efusi pleura.
Pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan cara-cara
konvensional yang terdeteksi sedang mengalami iskemia, elevasi segmen ST
atau LBBB baru, perlu dipertimbangkan revaskularisasi lanjut.
Pasien dengan jejas miokardium luas dalam fase akut dapat menunjukkan tanda
dan gejala gagal jantung kronik. Diagnosis ini memerlukan penatalaksanaan
sesuai panduan gagal jantung kronik. Beberapa pasien dengan gagal jantung
kronik simtomatis di mana fraksi ejeksi berkurang atau terdapat dis-sinkroni
elektrik yang ditunjukkan dengan pemanjangan QRS memenuhi kriteria
implantasi defibrilator kardioverter, cardiac resynchronization therapy (CRT),
atau defibrilator terapi resinkronisasi jantung.
7.1.1.1. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90
mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga
disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis.
Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular
necrosis dan berkurangnya urine output.
7.1.1.2. Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada
dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.
7.1.1.3. Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk
dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin.
Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi
mekanis atau infark ventrikel kanan.
7.1.1.4. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab
kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%.
Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard
akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit.
Penelitian registry SHOCK (SHould we emergently revascularize Occluded
coronaries for Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik
terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis
syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat
tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya
datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat
istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti
paru.
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2, L/menit/
m2 dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya
<20 mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik
intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik >90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan
ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik
mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang tampaknya berkaitan
dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan beratnya regurgitasi mitral.
Adanya disfungsi ventrikel kanan pada ekokardiografi awal juga merupakan
prediktor penting prognosis yang buruk, terutama dalam kasus disfungsi
gabungan ventrikel kiri dan kanan. Indeks volume sekuncup awal dan followup
serta follow-up stroke work index merupakan prediktor hemodinamik paling
kuat untuk mortalitas 30 hari pada pasien dengan syok kardiogenik dan
ebih berguna daripada variabel hemodinamik lainnya. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana syok kardiogenik tidak
mementingkan pengukuran invasif tekanan pengisian ventrikel kiri dan
curah jantung melalui kateter pulmonar namun fraksi ejeksi ventrikel kiri dan
komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai segera dengan ekokardiografi
Doppler 2 dimensi.
7.1.2. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam
pertama setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11
}5 hari sejak infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan
baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi
sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), sinus bradikardi sebesar
7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5% (≥5 detik),
VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3%.
Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang terjadi awal (<48 jam)
atau VT yang berkelanjutan pada pasien dengan infark miokard akut masih
kontroversial. Pada pasien dengan infark miokard akut, VF/VT yang terjadi
awal merupakan indikator peningkatan risiko mortalitas 30 hari (22% vs
5%) dibandingkan dengan pasien tanpa VF/VT. ACE-I atau ARB mengurangi
mortalitas 30 hari pasien-pasien ini. Studi-studi lain menyatakan bahwa
pemberian penyekat beta dalam 24 jam pertama setelah infark miokard akut
pada pasien dengan VF/VT yang berlanjut dikaitkan dengan berkurangnya
mortalitas tanpa diikuti perburukan gagal jantung.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari
kondisi berat yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan
pompa, perubahan tonus otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit
(seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa. Keadaan-keadaan tersebut
memerlukan perhatian dan penanganan segera. Blok AV derajat tinggi
dulunya merupakan prediktor yang lebih kuat untuk kematian akibat jantung
dibandingkan dengan takiaritmia pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri <40% setelah infark miokard.
7.1.2.1 Aritmia supraventrikular
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan sering
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung.
Fibrilasi atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam dan
seringkali berulang. Seringkali aritmia dapat ditoleransi dengan baik dan
tidak memerlukan pengobatan selain antikoagulasi. Dalam beberapa kasus
laju ventrikel menjadi cepat dan dapat menyebabkan gagal jantung sehingga
perlu ditangani dengan segera. Kendali laju yang cukup diperlukan untuk
mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan dapat dicapai dengan
pemberian penyekat beta atau mungkin antagonis kalsium, baik secara oral
maupun intravena.
Beberapa (namun tidak semua) penelitian menyatakan bahwa terjadinya
fibrilasi atrium dalam keadaan infark miokard akut merupakan prediktor
independen untuk all-cause mortality, dan tidak tergantung dari pengobatan
yang diberikan. Fibrilasi atrium tidak hanya meningkatkan risiko stroke
iskemik selama perawatan namun juga selama follow-up, bahkan pada AF
paroksismal yang telah kembali menjadi irama sinus saat pasien dipulangkan.
Pasien dengan AF dan faktor risiko untuk tromboembolisme perlu menjalani
terapi antikoagulasi oral secara benar. Karena AF biasanya memerlukan
antikoagulasi, pemilihan stent DES saat re-stenosis perlu dipertimbangkan
secara hati-hati terhadap risiko perdarahan serius yang dikaitkan dengan
kombinasi tiga terapi antitrombotik yang berkepanjangan.
Takikardia supraventrikular jenis lain amat jarang terjadi, self-limited dan
biasanya membaik dengan manuver vagal. Adenosin intravena dapat
dipertimbangkan untuk keadaan ini bila kemungkinan atrial flutter telah
disingkirkan dan status hemodinamik stabil. Selama pemberian, EKG pasien
perlu terus diawasi. Bila tidak diindikasikontrakan, penyekat beta juga dapat
berguna. Bila aritmia tidak dapat ditolerir dengan baik, kardioversi elektrik
dapat diberikan.
7.1.2.2. Aritmia ventrikular
Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari pertama fase akut
dan aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau fenomena
R-on-T umum ditemukan. Mereka dianggap tidak dapat dijadikan prediktor
untuk terjadinya VF dan tidak memerlukan terapi spesifik.
Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama idioventrikular yang
terakselerasi. Irama tersebut terjadi akibat reperfusi, di mana laju ventrikel <120
detak per menit dan biasanya tidak berbahaya. VT yang tidak berlanjut (<30
detik) bukan prediktor yang baik untuk VF awal dan dapat ditoleransi dengan
baik, biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kejadian yang lebih lama dapat
menyebabkan hipotensi dan gagal jantung dan dapat memburuk menjadi
VF. Tidak ada bukti bahwa pengobatan VT yang tidak berlanjut dan tanpa
gejala dapat memperpanjang hidup, sehingga pengobatan untuk keadaan ini
tidak diindikasikan, kecuali bila terjadi ketidakstabilan hemodinamik. VT yang
berlanjut atau disertai keadaan hemodinamik yang tidak stabil memerlukan
terapi supresif.
Fibrilasi ventrikel memerlukan defibrilasi segera. Meskipun ditunjukan bahwa
lidokain dapat mengurangi insidensi VF pada fase akut infark miokard, obat ini
meningkatkan risiko asistol. VF yang berlanjut atau VF yang terjadi melewati
fase akut awal (di mana takiaritmia tersebut terjadi bukan karena penyebab
yang reversibel seperti gangguan elektrolit atau iskemi transien/reinfark)
dapat berulang dan dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi. Meskipun
kemungkinan iskemia miokard perlu selalu disingkirkan dalam kasus aritmia
ventrikel, perlu ditekankan bahwa revaskularisasi tidak dapat mencegah henti
jantung berulang pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri abnormal yang
berat atau dengan VT monomorf yang berlanjut, bahkan bila aritmia yang
terjadi awalnya merupakan akibat dari iskemia transien.
7.1.2.3. Sinus bradikardi dan blok jantung
Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal STEMI, terutama pada
infark inferior. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan oleh karena opioid.
Sinus bradikardi seringkali tidak memerlukan pengobatan. Bila disertai dengan
hipotensi berat, sinus bradikardi perlu diterapi dengan atropin. Bila gagal
dengan atropin, dapat dipertimbangkan penggunaan pacing sementara.
Blok jantung derajat satu tidak memerlukan pengobatan. Untuk derajat dua
tipe I (Mobitz I atau Wenckebach), blokade yang terjadi biasanya dikaitkan
dengan infark inferior dan jarang menyebabkan efek hemodinamik yang
buruk. Apabila terjadi perubahan hemodinamik, berikan atropin dahulu, baru
pertimbangkan pacing. Hindari penggunaan agen-agen yang memperlambat
konduksi AV seperti penyekat beta, digitalis, verapamil atau amiodaron. Blok
AV derajat dua tipe II (Mobitz II) dan blok total dapat merupakan indikasi
pemasangan elektroda pacing, apalagi bila bradikardi disertai hipotensi atau
gagal jantung. Bila gangguan hemodinamik yang terjadi berat, hati-hati dalam
pemberian pacing AV sekuensial. Pada pasien yang belum mendapatkan terapi
reperfusi, revaskularisasi segera perlu dipertimbangkan.
Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi di atas bundle of HIS, dan
menghasilkan bradikardia transien dengan escape rhythm QRS sempit dengan
laju lebih dari 40 detak per menit, dan memiliki mortalitas yang rendah. Blok
ini biasanya berhenti sendiri tanpa pengobatan. Blok AV terkait infark dinding
anterior biasanya terletak di bawah HIS (di bawah nodus AV) dan menghasilkan
QRS lebar dengan low escape rhythm, serta laju mortalitas yang tinggi (hingga
80%) akibat nekrosis miokardial luas. Terjadinya bundle branch block baru
atau blok sebagian biasanya menunjukkan infark anterior luas, dan kemudian
dapat terjadi blok AV komplit atau kegagalan pompa.
Asistol dapat terjadi setelah blok AV, blok bifasik atau trifasik atau countershock
elektrik. Bila elektroda pacing terpasang, perlu dicoba dilakukan pacing.
Apabila tidak, lakukan kompresi dada dan napas buatan, serta lakukan pacing
transtorakal.
Elektroda pacing transvena perlu dimasukkan bila terdapat blok AV lanjut
dengan low escape rhythm seperti yang telah dijelaskan di atas, dan
dipertimbangkan apabila terjadi blok bifasik atau trifasik. Rute subklavia
sebaiknya dihindari setelah fibrinolisis atau bila terdapat antikoagulasi, dan
dipilih rute alternatif. Pacing permanen diindikasikan pada pasien dengan
blok AV derajat tiga persisten, atau derajat dua persisten terkait bundle branch
block, dan pada Mobitz II transien atau blok jantung total terkait bundle branch
block awitan baru.
7.2. Komplikasi kardiak
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior,
iskemia berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan faktor
risiko terjadi komplikasi kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi
secara akut dalam beberapa hari setelah STEMI, meskipun insidensinya
belakangan berkurang dengan meningkatnya pemberian terapi reperfusi yang
segera dan efektif. Semua komplikasi ini mengancam nyawa dan memerlukan
deteksi dan penanganan secepat mungkin. Pemeriksaan klinis berulang
(minimal dua kali sehari) dapat menangkap murmur jantung baru, yang
menunjukkan regurgitasi mitral atau defek septum ventrikel, yang kemudian
perlu dikonfirmasi dengan ekokardiografi segera. CABG secara umum perlu
dilakukan apabila pantas saat operasi pada pasien yang memerlukan operasi
darurat untuk komplikasi mekanis yang berat.
7.2.1. Regurgitasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi
ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris
atau chordae tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan
hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru,
yang biasanya tidak terlalu diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis ini
dicurigai dengan pemeriksaan klinis dan perlu segera dikonfirmasi dengan
ekokardiografi darurat. Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadi
dengan cepat.
7.2.2. Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut
setelah infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps
kardiovaskular dengan disosiasi elektromekanis. Hemoperikardium dan
tamponade jantung kemudian akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal.
Diagnosis dikonfirmasi dengan ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh
formasi trombus, ruptur dinding subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat
dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera.
7.2.3. Ruptur septum ventrikel
Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi
dengan cepat dengan gagal jantung akut dan mumur sistolik yang
kencang yang terjadi pada fase subakut. Diagnosis ini dikonfirmasi dengan
ekokardiografi, yang dapat membedakan keadaan ini dengan regurgitasi
mitral akut dan dapat menentukan lokasi dan besarnya ruptur. Left-to-right
shunt yang terjadi sebagai akibat dari ruptur ini dapat menghasilkan tanda
dan gejala gagal jantung kanan akut awitan baru. Operasi segera dikaitkan
dengan laju mortalitas yang tinggi dan risiko ruptur ventrikel berulang,
sementara operasi yang ditunda memungkinkan perbaikan septum yang
lebih baik namun mengandung risiko terjadinya pelebaran ruptur, tamponade
dan kematian saat menunggu operasi. Mortalitas keadaan ini tinggi untuk
semua pasien dan lebih tinggi lagi pada pasien dengan kelainan di inferobasal
dibandingkan dengan di anteroapikal.
7.2.4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi, terkait dengan
STEMI dinding inferior. Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi,
lapangan paru yang bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi
segmen ST ≥1 mV di V1 dan V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan
perlu secara rutin dicari pada pasien dengan STEMI inferior yang disertai
dengan hipotensi. Ekokardiografi Doppler biasanya menunjukkan dilatasi
ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal yang rendah, dilatasi vena hepatika
dan jejas dinding inferior dalam berbagai derajat. Meskipun terjadi distensi
vena jugularis, terapi tetap diberikan dengan tujuan mempertahankan
tekanan pengisian ventrikel kanan dan mencegah atau mengobati hipotensi.
Pemberian diuretik dan vasodilator perlu dihindari karena dapat memperburuk
hipotensi. Irama sinus dan sinkronisitas atrioventrikular perlu dipertahankan
dan AF atau blok AV yang terjadi perlu segera ditangani.
7.2.5. Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan semakin
majunya terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis antara
lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan dengan
iskemia rekuren, terkait dengan postur dan pernapasan. Perikarditis dapat
muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan biasanya ringan dan progresif, yang
membedakannya dengan re-elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada
re-oklusi koroner akibat trombosis stent, misalnya. Pericardial rub yang terusmenerus
dapat mengkonfirmasi diagnosis, namun sering tidak ditemukan,
terutama apabila terjadi efusi perikardial berat. Ekokardiografi dapat
mendeteksi dan menentukan besarnya efusi, bila ada, dan menyingkirkan
kecurigaan efusi hemoragik dengan tamponade. Nyeri biasanya menghilang
dengan pemberian aspirin dosis tinggi, paracetamol atau kolkisin. Pemberian
steroid dan NSAID jangka panjang perlu dihindari karena dapat menyebabkan
penipisan jaringan parut dan pembentukan aneurisma atau ruptur.
Perikardiosentesis jarang diperlukan, namun perlu dilakukan apabila terdapat
perburukan hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade. Bila terjadi efusi
perikardial, terapi antikoagulan yang sudah diberikan (misalnya sebagai
profilaksis tromboemboli vena) perlu dihentikan kecuali apabila benar-benar
diindikasikan pemberiannya.
7.2.6. Aneurisma ventrikel kiri
Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding anterolateral, dapat
mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan aneurisma
ventrikel kiri. Proses remodeling ini terjadi akibat kombinasi gangguan sistolik
dan diastolik dan, seringkali, regurgitasi mitral. Ekokardiografi Doppler dapat
menilai volume ventrikel kiri, fraksi ejeksi, derajat dan luasnya abnormalitas
gerakan dinding, dan mendeteksi trombus yang memerlukan antikoagulasi.
ACE-I/ARB dan antagonis aldosteron telah terbukti memperlambat proses
remodeling dalam infark transmural dan meningkatkan kemungkinan
hidup, dan perlu diberikan segera sejak keadaan hemodinamik stabil. Pasien
seringkali akan menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung kronik dan perlu
ditangani dengan sesuai.
7.2.7. Trombus ventrikel kiri
Frekuensi terjadinya trombus ventrikel kiri telah berkurang terutama karena
kemajuan dari terapi reperfusi, penggunaan obat-obatan antitrombotik
dalam STEMI, dan berkurangnya ukuran infark miokardium akibat reperfusi
miokardium yang segera dan efektif. Meskipun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa hampir seperempat infark miokard anterior memiliki
trombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini dikaitkan dengan
prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark yang luas, terutama
bagian anterior dengan keterlibatan apikal, dan risiko embolisme sistemik.
Penelitian-penelitian yang relatif tua menunjukkan bahwa pemberian
antikoagulasi pada pasien-pasien dengan abnormalitas gerakan dinding
anterior besar mengurangi terjadinya trombus mural.

PENUTUP
Demikian pedoman ini dibuat dengan harapan dapat dijadikan penuntun
dalam praktek klinik sehari-hari. Hal-hal yang masih memerlukan perbaikan
atau pemutakhiran berdasarkan hasil penelitian yang terbaru akan terus
dilakukan. Konsultasi diantara teman sejawat akan lebih mempermudah
penerapan pedoman ini. Setiap layanan primer diharapkan memiliki daftar
layanan tersier atau fasilitas pelayanan yang dapat melakukan reperfusi, agar

rujukan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.


























sindrom koroner akut adalah, sindrom koroner akut adalalah pdf, sindrom koroner akut scribd, defenisi sindrom koroner akut pdf, diagnosis sindrom koroner akut pdf, tatalaksana sindrom koroner akut pdf, jurnal sindrom koroner akut pdf, patofisiologi sindrom koroner akut pdf, askep sindrom koroner akut

0 komentar:

Posting Komentar