PEDOMAN TATALAKSANA
SINDROM KORONER AKUT
PERKI 2015
Bagian I : Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut
1. Pendahuluan <-- Klick di sini
2. Klasifikasi Rekomendasi <-- Klick di sini
3. Patofisiologi <-- Klick di sini
4. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut <-- Klick di sini
5. Diagnosis <-- Klick di sini
6. Tindakan Umum dan Langkah Awal <-- Klick di sini
Bagian II Angina Pektoris Tidak Stabil dan Infark
Miokard Non ST Elevasi
1. Diagnosis <-- Klick di sini
2. Diagnosis Banding <-- Klick di sini
3. Stratifikasi Risiko <-- Klick di sini
4. Pertanda Peningkatan Risiko <-- Klick di sini
5. Terapi <-- Klick di sini
6. Populasi dan Situasi Khusus <-- Klick di sini
7. Manajemen Jangka Panjang dan Pencegahan Sekunder <-- Klick di sini
Bagian III Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST
1. Perawatan Gawat Darurat <-- Klick di sini
2. Terapi Reperfusi <-- Klick di sini
BAGIAN III
INFARK MIOKARD
DENGAN ELEVASI SEGMEN ST
Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi
adalah angina
tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang
diagnostik untuk
STEMI. Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami
peningkatan marka
jantung, sehingga berlanjut menjadi infark miokard dengan
elevasi segmen
ST (ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI). Oleh karena itu pasien
dengan
EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi
reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
1. PERAWATAN
GAWAT DARURAT
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama,
baik untuk
diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis
pertama
adalah saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter
atau pekerja
kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien
tiba di unit gawat
darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat
jalan.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat
berdasarkan riwayat nyeri
dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak
membaik
dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan
penjalaran nyeri ke
leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini.
Pengawasan
EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI.
Diagnosis
STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan
interpretasi
EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien
tiba untuk
mendukung penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang
atipikal pada
pasien dengan tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang
berlangsung
menunjukkan perlunya tindakan segera.
sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah
sakit dibuat
berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk
memberikan
terapi reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila
fasilitas memadai
sebanyak mungkin pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat kesehatan
yang mampu
memberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan
pelayanan setiap
saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer
sesegera mungkin
di bawah 90 menit sejak panggilan inisial.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat
dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala
penundaan
yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan
target
kualitas berikut ini:
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG
pertama ≤10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi
reperfusi:
• Untuk fibrinolisis ≤30 menit
• Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien
datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah
sakit yang
mampu melakukan IKP)
1.2. DELAY (KETERLAMBATAN)
Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI
karena waktu paling
berharga dalam infark miokard akut adalah di fase sangat
awal, di mana pasien
mengalami nyeri yang hebat dan kemungkinan mengalami henti
jantung.
Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien dengan
kecurigaan infark
miokard akut dan digunakan sesegera mungkin begitu
diperlukan. Selain itu,
pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi,
amat bermanfaat.
Jadi, delay harus diminimalisir sebisa mungkin untuk
meningkatkan luaran
klinis. Selain itu delay pemberian pengobatan
merupakan salah satu indeks
kualitas perawatan STEMI yang paling mudah diukur. Setiap delay
yang terjadi
di sebuah rumah sakit saat menangani pasien STEMI perlu
dicatat dan diawasi
secara teratur untuk memastikan kulaitas perawatan tetap
terjaga. Beberapa
komponen delay dalam penanganan STEMI dapat dilhat di
gambar 4.
1.2.1 Delay pasien
Adalah keterlambatan yang terjadi antara awitan gejala
hingga tercapainya
kontak medis pertama. Untuk meminimalisir delay pasien,
masyarakat perlu
diberikan pemahaman mengenai cara mengenal gejala-gejala
umum infark
miokard akut dan ditanamkan untuk segera memanggil
pertolongan darurat.
Pasien dengan riwayat PJK dan keluarganya perlu mendapatkan
edukasi untuk
mengenal gejala IMA dan langkah-langkah praktis yang perlu
diambil apabila
SKA terjadi.
1.2.2 Delay antara kontak medis pertama dengan
diagnosis
Penilaian kualitas pelayanan yang cukup penting dalam
penanganan STEMI
adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil EKG
pertama. Di
rumah sakit dan sistem medis darurat yang menangani pasien
STEMI, tujuan
ini sebaiknya dicapai dalam 10 menit atau kurang.
1.2.3 Delay antara kontak medis pertama dengan terapi
reperfusi
Dikenal juga sebagai delay sistem, komponen ini lebih
mudah diperbaiki
melalui pengaturan organisasi dibandingkan dengan delay pasien.
Delay
ini merupakan indikator kualitas perawatan dan prediktor
luaran. Bila terapi
reperfusi yang diberikan adalah IKP primer, diusahakan delay
(kontak medis
pertama hingga masuknya wire ke arteri yang menjadi
penyebab) ≤90 menit
(≤60 menit bila kasus risiko tinggi dengan infark anterior
besar dan pasien
datang dalam 2 jam). Bila terapi reperfusi yang diberikan
adalah fibrinolisis,
diusahakan mengurangi delay (waktu kontak pertama
dengan tindakan)
menjadi ≤30 menit
Di rumah sakit yang mampu melakukan IKP, target yang
diinginkan adalah
‘door-to-balloon’ delay ≤60 menit antara datangnya pasien ke rumah sakit
dengan IKP primer. Delay yang terjadi menggambarkan
performa dan kualitas
organisasi rumah sakit tersebut.
Dari sudut pandang pasien, delay antara awitan gejala
dengan pemberian
terapi reperfusi (baik dimulainya fibrinolisis atau masuknya
wire ke arteri
penyebab) merupakan yang paling penting, karena jeda waktu
tersebut
menggambarkan waktu iskemik total, sehingga perlu dikurangi
menjadi
sesedikit mungkin.
Gambar 4. Komponen delay
dalam STEMI dan interval ideal untuk intervensi
2. TERAPI
REPERFUSI
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis,
diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam
dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left
Bundle Branch Block (LBBB)
yang (terduga)
baru.
Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer)
diindikasikan apabila
terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung,
bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu
atau jika nyeri dan
perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah
menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP.
Bila tidak ada, langsung
pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh
dari tempat kejadian
(baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau
lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,
reperfusi pilihan
adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan,
jika memungkinkan
pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
2.1 Intervensi
koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan
dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam
120 menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer
diindikasikan untuk
pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok
kardiogenik, kecuali
bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan
bila pasien
datang dengan awitan gejala yang telah lama.
Stenting lebih disarankan dibandingkan
angioplasti balon untuk IKP primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada
arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada
pasien stabil
tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan
fibrinolisis
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi
antiplatelet dual
(dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan
dapat patuh terhadap
pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih
disarankan daripada bare metal
stents (BMS)
2.1.1. Farmakoterapi periprosedural
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan
terapi
antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat
reseptor
ADP sesegera mungkin sebelum angiografi (Kelas I-A),
disertai dengan
antikoagulan intravena (Kelas I-C). Aspirin dapat
dikonsumsi secara oral (160-
320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat
digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis
pemeliharaan 90 mg dua
kali sehari) (Kelas I-B).
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi
yaitu dosis
loading 600
mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
diindikasikontrakan (Kelas I-C).
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer.
Pilihannya antara
lain:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa
penghambat reseptor
GP Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak
mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin (Kelas I-C).
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
Iib/IIIa) dapat
lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi (Kelas
IIb-B).
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer (Kelas
III-B).
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien
yang
direncanakan untuk IKP primer (Kelas III-A).
2.2 Terapi
fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting,
terutama pada tempattempat
yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan
dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila
IKP primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit
sejak kontak
medis pertama (Kelas I-A). Pada pasien-pasien yang datang
segera (<2 jam
sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko
perdarahan rendah,
fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu antara kontak
medis pertama
dengan inflasi balon lebih dari 90 menit (Kelas
IIa-B).
Fibrinolisis harus dimulai
pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase,
reteplase) lebih
disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik
terhadap fibrin
(streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin oral atau
intravena harus diberikan (Kelas
I-B).
Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin
(Kelas I-A).
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang
diobati
dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan)
atau selama dirawat
di rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I-A).
Antikoagulan yang digunakan dapat
berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan
dibandingkan heparin
tidak terfraksi) (Kelas I-A).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena
sesuai berat
badan dan infus selama 3 hari (Kelas I-C).
3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase,
Fondaparinuks
intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24
jam
kemudian (Kelas IIa-B).
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu
melakukan
IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien (Kelas
I-A). IKP
“rescue”diindikasikan
segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen
ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya
nyeri dada
(Kelas I-A). IKP emergency diindikasikan untuk
kasus dengan iskemia rekuren
atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil
(Kelas I-B). Hal ini
ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali.
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah
dilakukannya fibrinolisis
inisial (Kelas I-A). Jika memungkinkan, angiografi
dengan tujuan untuk
melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami
infark) diindikasikan
setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A). Waktu
optimal angiografi untuk
pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam (Kelas
IIa-A)
2.2.1.
Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI
Langkah 1: Nilai
waktu dan risiko
• Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih
dari 12 jam
dengan tanda dan gejala iskemik)
• Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis
• Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan
yang
mampu melakukan IKP (<120 menit)
Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik
antara fibrinolisis atau strategi
invasif untuk kasus tersebut
Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan
tanpa penundaan,
tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.
Keadaan di mana
fibrinolisis lebih baik:
• Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan
terdapat
halangan untuk strategi invasif
• Strategi invasif tidak dapat dilakukan
* Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
* Kesulitan mendapatkan akses vaskular
* Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang
mampu
melakukan IKP dalam waktu <120 menit
• Halangan untuk strategi invasif
* Transportasi bermasalah
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle
lebih dari 60 menit
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
lebih dari 90 menit
Keadaan di mana
strategi invasif lebih baik:
• Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
kurang dari 90 menit
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle
kurang dari 1 jam
• Risiko tinggi STEMI
* Syok kardiogenik
* Kelas Killip ≥ 3
• Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan
risiko perdarahan
dan perdarahan intrakranial
• Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
• Diagnosis STEMI masih ragu-ragu
2.3. Koterapi
antikogulan
1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis,
sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas
II-C) dan lebih baik
selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan
regimen non
UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced
thrombocytopenia
dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas
II-A)
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat
diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga
maksimum 8
hari pemberian (Kelas IIa-B)
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas
IIa-C) atau
fondaparinuks (Kelas IIa-B) dengan regimen dosis sama dengan
pasien
yang mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan
antikoagulan
berikut ini merupakan rekomendasi dosis:
• Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan
sesuai
kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP
IIb/IIIA telah diberikan (Kelas II-C).
• Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir
diberikan
dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan
terakhir
antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3
mg/kg
(Kelas II-B)
• Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan
tambahan
dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah
diberikan GP IIb/
IIIa (Kelas II-C)
5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks
tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP,
sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas
III-C)
3. Subbagian Khusus <-- Klick di sini
4. Logistik <-- Klick di sini
5. Penilaian Risiko dan Pencitraan <-- Klick di sini
6. Terapi Jangka Panjang <-- Klick di sini
7. Komplikasi STEMI <-- Klick di sini
sindrom koroner akut adalah, sindrom koroner akut adalalah pdf, sindrom koroner akut scribd, defenisi sindrom koroner akut pdf, diagnosis sindrom koroner akut pdf, tatalaksana sindrom koroner akut pdf, jurnal sindrom koroner akut pdf, patofisiologi sindrom koroner akut pdf, askep sindrom koroner akut
0 komentar:
Posting Komentar