konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Selasa, 17 Januari 2017

PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT PERKI 2015 - 6

PEDOMAN TATALAKSANA
 SINDROM KORONER AKUT
PERKI 2015



Bagian I : Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut 
1. Pendahuluan  <-- Klick di sini
2. Klasifikasi Rekomendasi <-- Klick di sini
3. Patofisiologi <-- Klick di sini
4. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut <-- Klick di sini
5. Diagnosis <-- Klick di sini
6. Tindakan Umum dan Langkah Awal   <-- Klick di sini

Bagian II Angina Pektoris Tidak Stabil dan Infark
Miokard Non ST Elevasi
1. Diagnosis  <-- Klick di sini
2. Diagnosis Banding <-- Klick di sini
3. Stratifikasi Risiko  <-- Klick di sini
4. Pertanda Peningkatan Risiko  <-- Klick di sini
5. Terapi  <-- Klick di sini



4. PERTANDA PENINGKATAN RISIKO
4.1 Pertanda klinis. Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti
usia lanjut, adanya diabetes, gagal ginjal dan penyakit komorbid lain, prognosis
pasien dapat diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba. Adanya
gejala saat istirahat memberikan prognosis yang buruk. Selain itu, nyeri yang
berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia, hipotensi dan gagal jantung
juga merupakan pertanda peningkatan risiko dan memerlukan diagnosis dan
penanganan segera.

4.2. Pertanda EKG. Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal. Pasien
dengan EKG yang normal saat tiba di RS memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan mereka dengan inversi gelombang T. Selain itu, adanya depresi
segmen ST saat tiba, inversi gelombang T yang dalam di sadapan anterior,
depresi segmen ST ≥0,1 mV atau ≥0,05 mV di dua atau lebih sadapan yang
bersebelahan, dan elevasi segmen ST ≥0,1 mV di sadapan aVR memberikan
prognosis yang lebih buruk.

5. TERAPI
Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan
strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif
melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan
tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi
ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori,
yaitu:
1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C).
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very
high risk) (Tabel 10)
2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu
kriteria risiko tinggi (high risk) primer (Tabel 11)
3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A)
Dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau
dengan gejala berulang
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif
(Kelas III-A)

Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin.
Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi
dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:
• Nyeri dada tidak berulang
• Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung
• Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6
hingga 9)
• Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6
hingga 9)
• Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)
Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI
juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan
strategi konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini
berdasarkan evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test
untuk menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk
perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif.
Risk Score >3 menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi.
Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas.


Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:
5.1. Anti Iskemia
5.1.1. Penyekat Beta (Beta blocker). Keuntungan utama terapi penyekat
beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan
turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan
pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan,
asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus,

preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.

Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama
jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat
indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral hendaknya diberikan
dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan
untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada
indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien dengan
riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap
dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip ≥III (Kelas I-B). Beberapa
penyekat beta yang sering dipakai dalam praktek klinik dapat dilihat pada
tabel 12.


Tabel 12. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA



5.1.2 Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena
yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik
ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal
maupun yang mengalami aterosklerosis.
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase
akut dari episode angina (Kelas I-C).
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut
sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal
3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan
nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra (Kelas I-C).
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal
jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI.
Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi
pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat
beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat
(<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark
ventrikel kanan (Kelas III-C).
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi
inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam
48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian
vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C).


Tabel 13. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA


5.1.3 Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai
efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau

AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA
Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua
CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh
karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan
untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan
NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat
beta dalam mengatasi keluhan angina.
1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi
pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan
indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C).
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. (Kelas
III-B).
Tabel 14. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA



5.2. Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100
mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra
seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat
reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan
saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien
dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun,
serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12
bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis
(Kelas I-C).
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan
dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian
dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian
ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel
(pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B).
6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari (Kelas I-A).
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300
mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk
pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa
mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)
perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan
IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor
ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk
CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara
klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang
tinggi (Kelas IIa-C).
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas
IIa-B).
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-
2 selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan

jenis stent.

Tabel 10. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA

5.3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa
Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian
iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan
DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang
terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas I-B). Agen ini tidak disarankan
diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang
mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A).
5.4. Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi
antiplatelet secepat mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan
iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas
I-C).
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari
secara subkutan (Kelas I-A).
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP
(Kelas I-B).
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan
risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin
tidak tersedia (Kelas I-C).
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi
perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas
I-A).
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).

Tabel 16. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA

5.5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan
risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat
indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin
dan dipilih targen INR terendah yang masih efektif. (Kelas IIa-C).
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama
pada penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5
lebih terpilih (Kelas IIb-B).
5.6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard
yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal
jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik
tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah
terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek

antiaterogenik.

1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang,
kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit
ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain
seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark
mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung
(Kelas I-B).

Tabel 17. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA


5.7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin)
harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang
telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas
I-A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah
sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/
dL (Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin

untuk dicapai.


6. Populasi dan Situasi Khusus  <-- Klick di sini
7. Manajemen Jangka Panjang dan Pencegahan Sekunder  <-- Klick di sini

Bagian III Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST
1. Perawatan Gawat Darurat  <-- Klick di sini
2. Terapi Reperfusi  <-- Klick di sini
3. Subbagian Khusus  <-- Klick di sini
4. Logistik  <-- Klick di sini
5. Penilaian Risiko dan Pencitraan  <-- Klick di sini
6. Terapi Jangka Panjang  <-- Klick di sini

7. Komplikasi STEMI  <-- Klick di sini






















sindrom koroner akut adalah, sindrom koroner akut adalalah pdf, sindrom koroner akut scribd, defenisi sindrom koroner akut pdf, diagnosis sindrom koroner akut pdf, tatalaksana sindrom koroner akut pdf, jurnal sindrom koroner akut pdf, patofisiologi sindrom koroner akut pdf, askep sindrom koroner akut

0 komentar:

Posting Komentar