konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Selasa, 10 Oktober 2017

Update Diagnosis dan Tatalaksana Karsinoma Nasofaring


Update Diagnosis dan Tatalaksana
Karsinoma Nasofaring
Dr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP. Dr. M. Djamil Padang

Berdasarkan Registri kanker berbasis rumah sakit di rumah sakit pusat kanker nasional
Dharmais, karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan terbanyak pada seluruh
tubuh pada laki-laki pada tahun 2003-2007.1 Keganasan ini juga merupakan tumor ganas
paling sering pada daerah kepala dan leher di Suamtera Barat.1 Lokasinya yang berada di
organ yang tersembunyi di belakang hidung membuat pasien bahkan dokter sering
terlambat untuk mengetahui keberadaannya, yang membuat sebagian besar pasien datang
pada stadium lanjut (stadium III dan IV).Error! Bookmark not defined. Tidak hanya itu,
lokasinya yang berdekatan dengan dasar tengkorak dan saraf-saraf kranial membuat
strategi penatalaksanaannya berbeda dengan keganasan lain di kepala dan leher. Kemajuan
teknologi di bidang radiologi, radioterapi, endoskopi dan pengetahuan biologi sel tumor
telah banyak mempengaruhi diagnosis dan penatalaksanaan tumor ini.

Karsinoma Nasofaring
Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring yang berada di belakang
hidung. Atap nasofaring berhubungan dengan dasar tengkorak yang dibentuk oleh lantai
sinus sfenoid di medial dan fibrokartilago foramen laserum di lateral. Nasofaring
berhubungan dengan telinga tengah melalui tuba eustachius.

Tumor ini merupakan tumor yang jarang di Amerika dan Eropa, namun merupakan
keganasan yang sering pada ras mongoloid, terutama di Cina selatan dan Asia tenggara.
Pada warga cina yang migrasi ke Amerika utara, angka kejadian KNF tetap tinggi,
sekalipun lebih rendah dibandingkan etnis cina yang lahir dan besar di Cina selatan, hal ini
menunjukkan bahwa etnis, genetik dan faktor lingkungan memiliki peran sebagai etiologi,
meskipun peran dari masing-masing faktor bervariasi.1

Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis keganasan yang paling sering pada
daerah ini. World Health Organization (WHO) telah menerbitkan beberpa klasifikasi yaitu
pada tahun 1978, 1991 dan yang terakhir tahun 2005 yang membagi karsinoma sel
skuamosa menjadi basaloid, berkeratin dan tidak berkeratin, selanjutnya karsinoma tidak
berkeratin dibagi menjadi berdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi.i Tipe Tidak berkeratin
merupakan tipe yang paling sering di Cina dan Asia tenggara, tipe ini diduga kuat
berhubungan dengan inveksi virus Epstein-Barr (EBV).2



secara umum pasien KNF lebih muda dibandingkan pasien yang menderita tumor
kepala dan leher lainnya. Median umur penderita KNF saat munculnya tumor lebih kurang
50 tahun.

Gejala KNF berhubungan dengan lokasi anatomi tumor primer dan metastasis.
Gejala yang sering muncul dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, 1) Gejala
telinga: Gangguan pendengaran, otalgia, otore dan tinitus. Gejala ini muncul karena
gangguan fungsi tuba eustachius akibat tumor yang menutupi muara tuba atau perluasan
tumor ke lateroposterior sehingga mengganggu kerja otot untuk membuka tuba. Jenis
gangguan pendengaran yang timbul biasanya konduktif karena timbulnya otitis media
efusi. 2) Gejala hidung: sumbatan hidung yang progresif, epistaksis, post nasal drip
bercampur darah. 3) Gejala Neurologi/ Saraf: gejala ini berhubungan dengan keterlibatan
saraf-saraf kranial. Kejadian keterlibatan saraf kranial pada KNF sekitar 20%. Apabila
tumor meluas ke superior akan melibatkan saraf III sampai VI, dan apabila perluasan ke
lateral dapat melibatkan saraf kranial IX sampai XII. Saraf kranial yang paling sering
terlibat adalah III, V, VI dan XII. 4) Benjolan yang tidak nyeri di leher. Lebih dari 50%
pasien KNF datang dengan keluhan benjolan di leher. Pembesaran kelenjer getah bening
ini biasanya pada bagian atas leher, sesuai dengan lokasi tumor (ipsilateral), namun tidak
jarang bilateral. Gejala lain dapat berupa gejala umum adanya keganasan seperti penurunan
berat badan dan anoreksia.2,3 Gejala dini KNF sering tidak spesifik dan luput dari
perhatian, pasien sebagian besar datang ketika sudah ada benjolan di leher dan umumnya
stadium lanjut.2

Diagnosis KNF didapatkan dari kecurigaan klinis, pemeriksaan yang teliti,
pemeriksaan endoskopi dan biopsi, CT scan dan MRI. Titer antibodi terhadap EBV dan
deteksi adanya DNA EBV dalam darah juga penting.
Epstein-Barr Virus dan KNF

Virus Epstein-Barr termasuk famili virus herves. Pada sel KNF terdapat salinan
genom EBV dan ekspresi beberapa antigen spesifik EBV. Respon imunologi terhadap
masing-masing antigen EBV ini membantu untuk menentukan tipe penyakit yang
berhubungan dengan EBV, mulai dari penyakit infeksi sampai keganasan.
Pada KNF, kadar IgA sebagai respon terhadap early intracellular antigen (EA) dan
viral capsid antigen (VCA) jauh lebih tinggi dibandingkan populasi normal. IgA anti EA
lebih spesifik, sementara IgA anti VCA lebih sensitif dalam menentukan diagnosis KNF.
Sel tumor memiliki angka turnover yang tinggi dan pada lisis sel terdapat peningkatan
DNA EBV yang dilepas ke darah, DNA EBV yang bebas di sirkulasi ini saat ini dapat
dideteksi dengan polymerase chain reaction (PCR), jumlah salinan yang tinggi
berhubungan dengan stadium lanjut, namun kemampuan untuk deteksi dini rekurensi
lokoregional masih terbatas. Apabila pemeriksaan DNA EBV dilakukan bersama
pemeriksaan IgA anti VCA akan meningkatkan sensitivitas dalam deteksi dini KNF.6
Jumlah salinan dari DNA EBV di darah pasien KNF meningkat selama fase awal
pemberian radioterapi, hal ini menandakan meningkatnya DNA virus yang dilepas ke
sirkulasi setelah kematian sel akibat radiasi.

Pengukuran jumlah DNA EBV sebelum dan sesudah terapi juga merupakan faktor
prediksi hasil terapi. Satu penelitian melaporkan pasien dengan DNA EBV post terapi
lebih dari 500 copy/ml memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadi kekambuhan
dan kematian.7

Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi akan memberikan informasi tentang keterlibatan
mukosa dan perluasan tumor serta membantu saat biopsi. Namun pemeriksaan endoskopi
tidak dapat menetukan peluasan tumor ke arah dalam dan keterlibatan dasar tengkorak.
Pemeriksaan endoskopi dapat dilakukan dengan anestesi lokal baik dengan endoskop kaku
atau serat optik (flexible).3

Pencitraan pada KNF
Pemeriksaan klinis termasuk endoskopi tidak dapat memberikan gambaran
perluasan tumor ke arah dalam dan dasar tengkorak. Untuk tujuan ini pencitraan sangat
bermanfaat.

Kemajuan teknologi radiologi telah menyebabkan perubahan yang sangat
signifikan pada penatalksanaan tumor secara umum, termasuk KNF baik dalam diagnosis,
evaluasi dan terapi. Pencitraan Cross-sectional dapat memperlihatkan secara jelas
perluasan tumor primer dan metastasis regional. Kemajuan pencitraan ini telah
memperbaiki dan keakuratan penentuan stadium dan membantu perencanaan radioterapi
yang lebih tepat.3

Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI lebih baik dibandingkan CT Scan dalam memperlihatkan baik bagian superfisial
maupun dalam jaringan lunak nasofaring, serta membedakan antara massa tumor dengan
jaringan normal. MRI dapat memperlihatkan infiltrasi tumor ke otot-otot dan sinus
cavernosus. Pemeriksaan ini juga penting dalam menentukan adanya perluasan ke
parafaring dan pembesaran kelenjar getah bening. Namun, MRI mempunyai keterbatasan
dalam menilai perluasan yang melibatkan tulang.3,6

Computed Tomography (CT Scan)
CT scan penting untuk mengevaluasi adanya erosi tulang oleh tumor, disamping juga dapat
menilai perluasan tumor ke parafaring, perluasan perineural melalui foramen ovale.6

Positron Emission Tomography (PET Scan)
Baik MRI maupun CT Scan tidak sensitif dalam mendeteksi adanya tumor residu dan
rekuren setelah radiasi atau kemoterapi. PET scan lebih sensitif untuk mendeteksi pada
keadaan ini.6

Penentuan Stadium KNF (Staging)
Secara umum stadium tumor saat didiagnosis merupakan faktor utama penentu
prognosis serta merupakan elemen yang sangat penting dalam menetukan terapi
berdasarkan pengalaman sebelumnya dan hasil dari terapi pasien dengan stadium yang
sama sebelumnya.2 Penentuan stadium secara akurat juga penting untuk mengevaluasi
hasil dari pengobatan. KNF distaging dengan sistem TNM UICC/AJCC edisi ke-7 tahun
2010. Pada edisi ini terdapat perubahan pada T, diamana ketika tumor primer meluas ke
orofaring atau kavum nasal masih tetap T1, yang sebelumnya dikategorikan T2a.

Terapi KNF

Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas utama pada penatalaksanaan KNF yang masih
terbatas lokoregional, karena tumor ini bersifat radiosensitif. Kemajuan yang sangat
penting pada radioterpi adalah IMRT (Intensity-Modulated Radiation Therapy). Teknologi
ini memungkinkan pemberian dosis radiasi konformal terhadap target melalui optimalisasi
intensitas beberrapa beam. Kelebihan dari IMRT ini diantaranya memiliki kemampuan
untuk memberikan radioterapi conformal pada target yang tidak beraturan (irrigular). Ini
sangat bermanfaat pada tumor yang berada disekitar struktur vital seperti batang otak dan
medula spinalis. Teknik ini sudah dilaporkan dapat meningkatkan kontrol tumor dan juga
menurunkan risiko komplikasi.3

Kombinasi Kemoradiasi
Kemoradiasi konkuren saat ini menjadi terapi pilihan pada KNF lokoregional yang
advanced. Sebagian besar penelitian kemoterapi pada KNF menggunakan Cisplatin-based.
Berdasarkan waktu pemberian kemoterapi terhadap radioterapi dibedkan menjadi
Induction/ Neoadjuvan (sebelum), concurrent (selama radiasi) dan adjuvan (setelah
radioterapi).

Brachytherapy
Brachyterapy efektif dan digunakan hanya pada tumor yang dangkal di nasofaring
dan tanpa invasi ke tulang.

Nasofaringektomi
Nasofaringektomi diindikasikan pad tumor persisten atau rekuren yang terlalu besar
untuk brakiterapi dan terdapat perluasan ke parafaring.

Terapi Target
Cetuximab merupakan terapi target yang diberikan pada KNF yang mengalami
rekuren atau persisten dengan metastasis jauh.9

Daftar Pustaka
1 Evlina S, Sirait T, Rahayu PS, Shalmont G, Anwar E, Andalusia R, et al. Registri kanker berbasis
rumah sakit di rumah sakit kanker “Dharmais” Pusat kanker nasional 1993-2007. Indonesian J
Cancer 2012;6:181-205
2 Rahman S, Subroto H, Novianti D. Clinical Presentation of Nasopharyngeal Carcinoma in West
Sumatra Indonesia. Proceeding of the 20th International Federation of Otorhinolaryngological
Societies (IFOS) World Congress;2013 June 1-5; Seoul, Korea. 2013.
3 Wei WI, Chua DTT. Pharynx: nasopharynx. In:Watkinson JC, Gilbert RW, eds. Stell and
Maran’s Textbook of Head and Neck Surgery and Oncology, 5th ed. London:Hodder
Aldold;2012.p.588-611
4 Chan JKC, Bray F, McCarron P, Foo W, Lee AWM, Yip T, et al. Nasopharyngeal Carcinoma. In:
Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidransky D, eds. Pathology and Genetic of Head and Neck
Tumours. Lyon: IARC Press;2005.p.85-97
5 Shah JP, Patel SG, Singh B. Jatin Shah’s Head and nec Surgery and Oncology, 4th ed.
Philadelphia:Elsevier;2012
6 Wei Wi, Kwong DLW. Current management strategy of Nasopharyngeal carcinoma. Clin
Experimental Otorhinolaryngol 2010;3:1-12
7 Chan AT, Ma BB, Lo YM, Leung SF, Kwan WH, Hui EP, et al. Phase II study of neoadjuvant
carboplatin and paclitaxel followed by radiotherapy and concurrent cisplatin in patients with
locoregionally advanced nasopharyngeal carcinoma: therapeutic monitoring with plasma Epstein-
Barr virus DNA. J Clin Oncol 2004;22:3053-60
8 American Joint Committee on Cancer. AJCC Cancer Satging Manual, 7th ed. Chicago:
Springer;2010
9 National Comprehensive Cancer Network. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology:
Head and Neck Cancers Ver.2.2014;2014

0 komentar:

Posting Komentar