Pemeriksaan Diagnostik Terkini untuk
Demam Tifoid
Mulya Rahma Karyanti
Tujuan:
. Mengetahui epidemiologi dan gejala
klinis demam tifoid
2. Mengetahui pemeriksaan penunjang
demam tifoid yang tepat
3. Mengetahui interpretasi hasil
pemeriksaan penunjang demam tifoid
Demam tifoid masih merupakan penyakit
yang sering terjadi di negara berkembang, namun pemeriksaan diagnostikyang
adekuat belum selalu tersedia. Demam enterik merupakan penyakit yang disebabkan
beberapa serovar Salmonella enterica termasuk S. typhi dan S.paratyphi A.
Walaupun secara global S. typhi merupakan penyebab utama, infeksi S. paratyphi
A juga terjadi di beberapa bagian dunia dan berhubungan dengan pengunjung
turis. Namun demikian, S. paratyphi B dan C jarang ditemukan. Makalah ini
terutama akan membahas infeksi S. typhi dan penyakit demam tifoid.1,2
Epidemiologi dan gejala klinis demam
tifoid
Beberapa negara sudah menjalankan
imunisasi tifoid sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) sehingga
sulit menentukan prevalens penyakit tersebut di dunia. Beberapa sistem
surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang sangat terbatas,
terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens penyakit yang sesungguhnya
sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan bahwa pada
tahun 2000, estimasi penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian
terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data
tersebut diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga dapat kurang tepat,
apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak akurat.
Manifestasi gejala klinis demam tifoid
dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada populasi yang berbeda. Sebagian
besar pasien yang dirawat di rumah sakit (RS) dengan demam tifoid berusia 5-25
tahun. Namun, beberapa penelitian di komunitas menunjukkan bahwa demam tifoid
dapat terjadi pada usia kurang dari 5 tahun dengan gejala non-spesifik yang
secara klinis tidak tampak seperti tifoid.1,3,4
Demam tifoid merupakan penyakit demam
yang sering ditemukan di negara berkembang. Pemberian antibiotik menyebabkan
perubahan gejala klinis demam tifoid sehingga gejala demam klasik yang
meningkat secara perlahan seperti stepladder dan toksisitas jarang ditemukan. Namun
resistensi antimikroba sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan
terjadi komplikasi. Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit
dan gejala klinis infeksi, yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba
yang tepat, pemilihan antimikroba, umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi
strain bakteri, jumlah kuantitas inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor
dari status imun pejamu. Setelah seorang terinfeksi S. typhi, periode
asimtomatik berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Awitan bakteremia
ditandai gejala demam dan malaise. Pasien pada umumnya datang ke RS menjelang
akhir minggu pertama setelah terjadi gejala demam, gejala mirip influenza,
nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering dan mialgia. Lidah kotor,
nyeri abdomen, diare, hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan.
Bradikardia relatif dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid, namun
bukan gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya.
Demam akan meningkat secara progresif dan pada minggu kedua, demam seringkali
tinggi dan menetap (39-40 derajat celsius). Beberapa rose spot, lesi
makulopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm, dilaporkan pada 5%-30% kasus yang
tampak terutama pada abdomen dan dada. Komplikasi terjadi pada 10%-15% kasus
yang menderita penyakit lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering terjadi
adalah perforasi saluran cerna (10%) dan ensefalopati tifoid (10-40%). Oleh
karena itu, pemeriksaan diagnostik baru memegang peran penting untuk mengetahui
insidens kasus demam tifoid di suatu negara dan program jadwal imunisasi
disesuaikan dengan prevalens penyakit di negara masing-masing. Perkembangan
alat uji diagnostik untuk demam tifoid yang murah dapat dipercaya dapat memberi
manfaat jangka panjang dalam mengendalikan dan mengobati penyakit tersebut.3
Gejala penyakit demam tifoid yang terjadi di RSCM tahun 2008 sampai 2011
tertera pada Tabel 1. Gambaran gejala klinis dapat berbeda berdasarkan penyakit
komorbitiditas dan pemberian antibiotik sebelumnya. Gejala demam tifoid yang
mengalami multidrug resistant lebih berat, disertai kejadian toksik,
komplikasi, dan mortalitas yang lebih tinggi. Kendati penilaian klinis demam
tifoid dapat sulit, sebaiknya ada protokol algoritme penegakan diagnosis demam
tifoid di daerah endemis sehingga tata laksana menjadi adekuat.
Tabel 1. Gambaran manifestasi klinis
demam tifoid dengan biakan darah S. typhi positif di RSCM tahun 2008-2011.
Pemeriksaan penunjang demam tifoid dan
interpretasinya
Sampai saat ini, baku emas diagnosis
demam tifoid adalah pemeriksaan biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus
biakan positif, terutama pada awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja
dan urin menjadi positif setelah akhir minggu pertama infeksi, namun
sensitivitasnya lebih rendah. Di negara berkembang, ketersediaan dan penggunaan
antibiotik secara luas, menyebabkan sensitivitas biakan darah menjadi rendah.
Biakan sumsum tulang lebih sensitif, namun sulit dilakukan dalam praktek,
invasif, dan kurang digunakan untuk kesehatan masyarakat.
a.
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam
tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit yang rendah sering berhubungan dengan
demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada
anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3.
Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan
koagulasi intravaskular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah,
namun gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan. 1
b.Pemeriksaan
Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar
antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100
tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan
penggunaannya sebagai satusatunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat
mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut diukur dengan menggunakan
pengenceran serum berulang. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8
dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit. 5
Interpretasi pemeriksaan Widal harus
dilakukan secara hati-hati karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara
lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas
penyakit tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi
demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen
yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan
positif demam tifoid. 5
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas
40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan
Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan
non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah
endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat
antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.
Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4
kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam
tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/806 sampai
>1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat
setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru
sembuh dari demam tifoid. 5,7
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu
kali saja tidak mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena
beberapa alasan, yaitu variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer
dasar dengan kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi
silang terhadap nonSalmonella lain, dan kurangnya kemampuan reprodusibilitas
hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk aglutinin Salmonella
seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.8
c. Pemeriksaan serologi terhadap
spesimen darah
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini
tersedia, seperti Typhidot atau Tubex yang mendeteksi antibodi IgM antigen
spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan
antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang Antigen dipisahkan dari
berbagai struktur subselular organisme antara lain: liposakarida (LPS), outer
membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi] antigen).
Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki
sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan
biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9
lipopolisakarida S.typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)Rmemiliki
sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%.9,2, 10Tabel 2 memperlihatkan
perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid. Pemeriksaan
serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit dengan
membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6 dianggap
sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus
dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis
karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.11
Tabel 2. Perbandingan beberapa
pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.1
d. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR
terhadap S. typhi hanya membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki
sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan
darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari.12 In-flagelin PCR terhadap S.
typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.13 Pemeriksaan nested
polymerase chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk
mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan
pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. 1 Pemeriksaan nested PCR
terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin
21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68.1%).14
e. Pemeriksaan serologi dari
spesimen urin
Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi
monoklonal spesifik antigen 9 grup D Salmonella dari spesimen urin pada satu
kali pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara
serial menunjukkan sensitivitas 95%. 15 Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi
monoklonal terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d flagella (d-H), dan
antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas
tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi
terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus
(44%). Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada
urin menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam minggu
pertama sejak timbulnya demam. 16
f.Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen
saliva
Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi
antibodi IgA dari lipopolisakarida S. typhi dari spesimen saliva memberikan
hasil positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini
menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada minggu pertama,
kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit demam tifoid.17
Simpulan
Meskipun berbagai pemeriksaan penunjang
baru berkembang, diagnosis tifoid di negara berkembang masih sering didasarkan
atas kriteria klinis. Hal ini menjadi masalah, karena demam tifoid mirip dengan
banyak penyakit demam tanpa tanda lokal yang jelas. Pada anak, stadium awal
perjalanan penyakit demam enterik dapat menyerupai kondisi gastroenteritis akut
lainnya. Untuk itu, penegakan diagnosis demam tifoid memerlukan pemeriksaan
penunjang yang tepat berupa rapid diagnostic test RDT) yang hasilnya cepat
disertai konfirmasi pemeriksaan biakan empedu yang tetap merupakan baku emas
dengan tujuan memantau apakah penggunaan terapi antibiotik masih sensitif atau
resisten. Pemeriksaan Widal satu kali pada serum akut tidak dianjurkan karena
sering memberikan hasil positif palsu.
Daftar pustaka
1. Bhutta ZA. Current concepts in the
diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ. 2006;333:78-82.
2. Baker S, Favorov M, Dougan G.
Searching for the elusive typhoid diagnostic. BMC Infectious Diseases.
2010;10:45-50.
3. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White
NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. NEJM. 2002;347:1770-82.
4. Mtove G, Amos B, von Seidlen L,
Hendriksen I, Mwambuli A, Kimera J, et al. Invasive salmonellosis among
children admitted to a rural Tanzanian hospital and a comparison with previous
studies. Plos ONE. 2010; 5:9244-51.
5. Olopoenia LA, King AL. Widal
agglutination test – 100 years later: still plagued by controversy. Postgrad
Med J. 2000;76:80-4.
6. Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B,
von Seidlein L, Hendriksen I, dkk. Evaluation of the widal tube agglutination
test for the diagnosis of typhoid fever among children admitted to a rural
hospital in Tanzania and a comparison with previous studies. BMC Infect Dis.
2010; 10:180-8.
7. Bakr WMK, El Attar LA, Ashour MS, El
Toukhy AM. The dilemma of widal test – which brand to use? A study of four
different widal brands: a cross sectional comparative study. Annals of Clin
Microb and Antimicrobials. 2011; 10:1-8.
8. Committee on infectious diseases AAP.
Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMilln JA,
editors. Red book: 2006 report of the committee on infectious disease. Edisi
ke-27. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2006. p. 579-81.
9. Jaffery G, Hussain W, Saeed, Anwer M,
Maqbool S. Annual Pathology Conference, 2003, Pakistan and 3rd Scientific
Conference of Paediatric Association of SAARC Countries 2004, Lahore.
10. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME,
Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al. Sensitivity and specificity of
typhoid fever rapid antibody tests for laboratory diagnosis at two sub-Saharan
African sites. Bull WHO. 2011; 89:640-7.
11. Choo KE, Davis TME, Ismail A, Ong
KH. Longevity of antibody responses to a salmonella typhi-specific outer
membrance protein: interpretation of a dot enzyme immunosorbent assay in an
area of high typhoid fever endemicity. Am J Trop Med Hyg. 1997;57:656-9.
12. Zhou L, Pollard
AJ. A fast and highly sensitive blood culture PCR method for clinical detection
of salmonella enterica serovar typhi. Annals of Clin Microb and Antimicrob.
2010; 9:14-20.sumber tulisan :
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXIII, Update Management
of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders, FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA, DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK. 2012
demam tipoid pdf, demam tipoid pada anak, demam tipoid adalah, demam tipoid askep, demam tipoid ppt, demam tipoid icd 10, demam tipoid pada bayi, demam tipoid bisa sembuh total, demam tipoid blog dokter, demam tipoid panduan praktik klinis dokter, Demam Tifoid adalah, Demam Tifoid pdf, terapi Demam Tifoid, Demam Tifoid ppt, tatalaksana Demam Tifoid, klasifikasi Demam Tifoid, komplikasi Demam Tifoid, antibiotik Demam Tifoid, konsensus terbaru Demam Tifoid, konsensus Demam Tifoid, Demam Tifoidpada anak, Demam Tifoid pada dewasa, Demam Tifoid adalah pdf, jurnal Demam Tifoid, Demam Tifoid jurnal,
0 komentar:
Posting Komentar