konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Kamis, 02 Februari 2017

Pemeriksaan Diagnostik Terkini untuk Demam Tifoid

Pemeriksaan Diagnostik Terkini untuk Demam Tifoid
Mulya Rahma Karyanti

 Tujuan:
. Mengetahui epidemiologi dan gejala klinis demam tifoid
2. Mengetahui pemeriksaan penunjang demam tifoid yang tepat
3. Mengetahui interpretasi hasil pemeriksaan penunjang demam tifoid

Demam tifoid masih merupakan penyakit yang sering terjadi di negara berkembang, namun pemeriksaan diagnostikyang adekuat belum selalu tersedia. Demam enterik merupakan penyakit yang disebabkan beberapa serovar Salmonella enterica termasuk S. typhi dan S.paratyphi A. Walaupun secara global S. typhi merupakan penyebab utama, infeksi S. paratyphi A juga terjadi di beberapa bagian dunia dan berhubungan dengan pengunjung turis. Namun demikian, S. paratyphi B dan C jarang ditemukan. Makalah ini terutama akan membahas infeksi S. typhi dan penyakit demam tifoid.1,2

Epidemiologi dan gejala klinis demam tifoid
Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan prevalens penyakit tersebut di dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang sangat terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens penyakit yang sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak akurat.
Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada populasi yang berbeda. Sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit (RS) dengan demam tifoid berusia 5-25 tahun. Namun, beberapa penelitian di komunitas menunjukkan bahwa demam tifoid dapat terjadi pada usia kurang dari 5 tahun dengan gejala non-spesifik yang secara klinis tidak tampak seperti tifoid.1,3,4
Demam tifoid merupakan penyakit demam yang sering ditemukan di negara berkembang. Pemberian antibiotik menyebabkan perubahan gejala klinis demam tifoid sehingga gejala demam klasik yang meningkat secara perlahan seperti stepladder dan toksisitas jarang ditemukan. Namun resistensi antimikroba sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan terjadi komplikasi. Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit dan gejala klinis infeksi, yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba yang tepat, pemilihan antimikroba, umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi strain bakteri, jumlah kuantitas inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor dari status imun pejamu. Setelah seorang terinfeksi S. typhi, periode asimtomatik berlangsung 7 sampai 14 (kisaran 3-60) hari. Awitan bakteremia ditandai gejala demam dan malaise. Pasien pada umumnya datang ke RS menjelang akhir minggu pertama setelah terjadi gejala demam, gejala mirip influenza, nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, batuk kering dan mialgia. Lidah kotor, nyeri abdomen, diare, hepatomegali dan splenomegali sering ditemukan. Bradikardia relatif dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid, namun bukan gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya. Demam akan meningkat secara progresif dan pada minggu kedua, demam seringkali tinggi dan menetap (39-40 derajat celsius). Beberapa rose spot, lesi makulopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm, dilaporkan pada 5%-30% kasus yang tampak terutama pada abdomen dan dada. Komplikasi terjadi pada 10%-15% kasus yang menderita penyakit lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering terjadi adalah perforasi saluran cerna (10%) dan ensefalopati tifoid (10-40%). Oleh karena itu, pemeriksaan diagnostik baru memegang peran penting untuk mengetahui insidens kasus demam tifoid di suatu negara dan program jadwal imunisasi disesuaikan dengan prevalens penyakit di negara masing-masing. Perkembangan alat uji diagnostik untuk demam tifoid yang murah dapat dipercaya dapat memberi manfaat jangka panjang dalam mengendalikan dan mengobati penyakit tersebut.3 Gejala penyakit demam tifoid yang terjadi di RSCM tahun 2008 sampai 2011 tertera pada Tabel 1. Gambaran gejala klinis dapat berbeda berdasarkan penyakit komorbitiditas dan pemberian antibiotik sebelumnya. Gejala demam tifoid yang mengalami multidrug resistant lebih berat, disertai kejadian toksik, komplikasi, dan mortalitas yang lebih tinggi. Kendati penilaian klinis demam tifoid dapat sulit, sebaiknya ada protokol algoritme penegakan diagnosis demam tifoid di daerah endemis sehingga tata laksana menjadi adekuat.

Tabel 1. Gambaran manifestasi klinis demam tifoid dengan biakan darah S. typhi positif di RSCM tahun 2008-2011.



Pemeriksaan penunjang demam tifoid dan interpretasinya
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah akhir minggu pertama infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah. Di negara berkembang, ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas, menyebabkan sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif, namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk kesehatan masyarakat.
a. Pemeriksaan hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi intravaskular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan. 1

b.Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai satusatunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum berulang. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit. 5
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan positif demam tifoid. 5
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid. 5,7
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang terhadap nonSalmonella lain, dan kurangnya kemampuan reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.8
c. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S.typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)Rmemiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%.9,2, 10Tabel 2 memperlihatkan perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid. Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.11

Tabel 2. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid.1





d. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7 hari.12 In-flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.13 Pemeriksaan nested polymerase chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan. 1 Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).14


e. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin
Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan sensitivitas 95%. 15 Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%). Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam minggu pertama sejak timbulnya demam. 16

f.Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva
Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari lipopolisakarida S. typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit demam tifoid.17

Simpulan
Meskipun berbagai pemeriksaan penunjang baru berkembang, diagnosis tifoid di negara berkembang masih sering didasarkan atas kriteria klinis. Hal ini menjadi masalah, karena demam tifoid mirip dengan banyak penyakit demam tanpa tanda lokal yang jelas. Pada anak, stadium awal perjalanan penyakit demam enterik dapat menyerupai kondisi gastroenteritis akut lainnya. Untuk itu, penegakan diagnosis demam tifoid memerlukan pemeriksaan penunjang yang tepat berupa rapid diagnostic test RDT) yang hasilnya cepat disertai konfirmasi pemeriksaan biakan empedu yang tetap merupakan baku emas dengan tujuan memantau apakah penggunaan terapi antibiotik masih sensitif atau resisten. Pemeriksaan Widal satu kali pada serum akut tidak dianjurkan karena sering memberikan hasil positif palsu.

Daftar pustaka
1. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ. 2006;333:78-82.
2. Baker S, Favorov M, Dougan G. Searching for the elusive typhoid diagnostic. BMC Infectious Diseases. 2010;10:45-50.
3. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. NEJM. 2002;347:1770-82.
4. Mtove G, Amos B, von Seidlen L, Hendriksen I, Mwambuli A, Kimera J, et al. Invasive salmonellosis among children admitted to a rural Tanzanian hospital and a comparison with previous studies. Plos ONE. 2010; 5:9244-51.
5. Olopoenia LA, King AL. Widal agglutination test – 100 years later: still plagued by controversy. Postgrad Med J. 2000;76:80-4.
6. Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B, von Seidlein L, Hendriksen I, dkk. Evaluation of the widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid fever among children admitted to a rural hospital in Tanzania and a comparison with previous studies. BMC Infect Dis. 2010; 10:180-8.
7. Bakr WMK, El Attar LA, Ashour MS, El Toukhy AM. The dilemma of widal test – which brand to use? A study of four different widal brands: a cross sectional comparative study. Annals of Clin Microb and Antimicrobials. 2011; 10:1-8.
8. Committee on infectious diseases AAP. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMilln JA, editors. Red book: 2006 report of the committee on infectious disease. Edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics; 2006. p. 579-81.
9. Jaffery G, Hussain W, Saeed, Anwer M, Maqbool S. Annual Pathology Conference, 2003, Pakistan and 3rd Scientific Conference of Paediatric Association of SAARC Countries 2004, Lahore.
10. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al. Sensitivity and specificity of typhoid fever rapid antibody tests for laboratory diagnosis at two sub-Saharan African sites. Bull WHO. 2011; 89:640-7.
11. Choo KE, Davis TME, Ismail A, Ong KH. Longevity of antibody responses to a salmonella typhi-specific outer membrance protein: interpretation of a dot enzyme immunosorbent assay in an area of high typhoid fever endemicity. Am J Trop Med Hyg. 1997;57:656-9.
12. Zhou L, Pollard AJ. A fast and highly sensitive blood culture PCR method for clinical detection of salmonella enterica serovar typhi. Annals of Clin Microb and Antimicrob. 2010; 9:14-20.



sumber tulisan :
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN LXIII,  Update Management
of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders, FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA, DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK. 2012











































demam tipoid pdf, demam tipoid pada anak, demam tipoid adalah, demam tipoid askep, demam tipoid ppt, demam tipoid icd 10, demam tipoid pada bayi, demam tipoid bisa sembuh total, demam tipoid blog dokter, demam tipoid panduan praktik klinis dokter, Demam Tifoid adalah, Demam Tifoid pdf, terapi Demam Tifoid, Demam Tifoid ppt, tatalaksana Demam Tifoid, klasifikasi Demam Tifoid, komplikasi Demam Tifoid, antibiotik Demam Tifoid, konsensus terbaru Demam Tifoid, konsensus Demam Tifoid, Demam Tifoidpada anak, Demam Tifoid pada dewasa, Demam Tifoid adalah pdf, jurnal Demam Tifoid, Demam Tifoid jurnal, 

0 komentar:

Posting Komentar