konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Senin, 27 Februari 2017

Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


Agus Junaidi, Suwarman, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung


Abstrak
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi dari cedera otak traumatik (COT) berat, dapat disebabkan karena neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspirasi, dan emboli paru. Penelitian ini untuk mengetahui korelasi skor GCS pada cedera otak traumatik berat dengan kejadian dan derajat ARDS. Penelitian observasional prospektif cross sectional pada 32 orang pasien COT derajat berat di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung sejak Mei 2015 sampai September 2015. Pengambilan data dilakukan secara consecutive sampling. Parameter yang dicatat dalam penelitian ini antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, GCS, rentang waktu, diagnosis, kejadian ARDS, dan derajat ARDS. Analisis korelasi linear dua variabel dihitung berdasarkan analisis korelasi Spearman dan korelasi ETA. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara skor GCS pada COT berat dengan kejadian ARDS dengan kekuatan korelasi searah, moderat, (r=0,402), bermakna (p<0.05) dan derajat beratnya ARDS dengan kekuatan korelasi searah, kecil (r=0,389), bermakna (p<0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah semakin rendah skor GCS pada COT berat maka akan semakin besar kejadian ARDS dan semakin berat derajat ARDS.
Kata kunci: Acute respiratory distress syndrome, cedera otak traumatik, glasgow coma scale

Sumber : disalin ulang dari :

JNI 2016;5(2): 87–93
































Correlation Glasgow Coma Scale (GCS) Score on Severe Head Injury with the Insidence and Degree of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

Abstract
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is one of the complications of severe traumatic brain injury (TBI), it can be caused by neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspiration, and pulmonary embolism. This study was determine the correlation glasgow coma scale score on severe head injury with insidence and degree of acute respiratory distress syndrome. This study was using prospective observational cross-sectional method in 32 patients with severe TBI at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung on May 2015 untill September 2015. Data collection was performed by consecutive sampling. Parameters were recorded in this study include age, gender, weight, GCS, time scales, diagnosis, incidence and degrees of ARDS. Linear correlation analysis was calculated based on two variables Spearman correlation analysis and correlation ETA. The results showed a correlation between GCS score on severe COT with the incidence of ARDS with the strength of the correlation moderate (r=0.402), significantly (p<0.05), one direction and degrees of ARDS with the strength of the correlation small (r=0.389), significantly (p<0.05), one direction. The conclusions of this study is the lower the GCS score on severe COT will lead to greater the incidence and the degree of ARDS.
Key words: Acute respiratory distress syndrome, traumatic brain injury, glasgow coma scale

JNI 2016;5(2): 87–93


I. Pendahuluan
Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
muncul pada 20–25% pasien dengan cedera otak
traumatik (COT) dan berhubungan dengan hasil
luaran yang buruk.1 Acute repiratory distress
syndrome akibat COT dapat disebabkan oleh
pneumonia, aspirasi, emboli pulmonal, atau
neurogenic pulmonary edema (NPE).2 Gejala yang
terjadi dapat berupa hipoksia ringan hingga berat.3
Acute respiratory distress syndrome adalah
gangguan terhadap paru-paru ditandai
peradangan parenkim paru-paru sehingga
mengakibatkan gangguan pertukaran gas,
hipoksemia, dan fisiologi paru yang tidak normal.
Penelitian awal menunjukkan ARDS pada pasien
COT berhubungan dengan NPE.4 Mekanisme
pembentukan NPE merupakan kombinasi
dari mekanisme hidrostatik dan permeabilitas
tinggi, hal ini dikenal dengan teori blast injury.1
Respons inflamasi sistemik menjadi peran utama
dalam perkembangan gangguan fungsi paru
akibat trauma otak. Trauma otak menimbulkan
reaksi inflamasi sistemik yang mengakibatkan
perubahan permeabilitas sawar darah otak
sehingga mengakibatkan infiltrasi neutrofil aktif
ke dalam paru.1

Sejak tahun 1974, glasgow coma scale (GCS)
telah digunakan sebagai salah satu prediktor
penting untuk menentukan tingkat kesadaran
dan prognosis pada pasien yang mengalami
COT. Skor 13–15 menunjukkan cedera kepala
ringan, 9–12 menunjukkan cedera kepala sedang,
dan ≤ 8 menunjukkan cedera kepala berat.5
Penelitian patologi melaporkan bahwa ditemukan
edema paru pada 85% tentara yang meninggal
di Vietnam akibat COT tunggal. Penelitian
lain menjelaskan bahwa 75% pasien yang
meninggal akibat intracerebral hemorrhage
(ICH) traumatik mengalami edema paru.
Terdapat dua penelitian lain yang menyebutkan
bahwa 20 – 25% pasien dengan COT mengalami
insufisiensi respirasi yang ditandai dengan
peningkatan kebutuhan oksigen inspirasi
atau ratio PaO2/FiO2 kurang dari 300.1

Penelitian sebelumnya banyak menggunakan
konsensus ARDS dari American European
Consensus Committe (AECC).6 Sejak Juni 2012
terdapat konsensus terbaru mengenai ARDS
dikenal dengan The Berlin Definition, merupakan
hasil kolaborasi antara American Thoracic Society
(ATS) dan European Society of Intensive Care
Medicine (ESICM). Secara terminologi istilah
acute lung injury (ALI) sudah tidak ada di dalam
konsensus The Berlin Definition. Konsensus ini
hanya mengenal 3 subkategori; ringan, sedang,
dan berat. Salah satu faktor risiko terjadinya ARDS
didalam konsensus ini adalah trauma mayor.7

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji
korelasi antara skor GCS pada COT berat
dengan kejadian dan beratnya ARDS dengan
menggunakan pendekatan berdasarkan konsensus
ARDS terbaru yaitu The Berlin Definition.

II. Subjek dan Metode
Penelitian ini adalah penelitian observasional
cross section prospektif yang dilakukan setelah
mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin atau
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Penelitian dilakukan pada bulan Mei–September
2015 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
dengan kriteria inklusi adalah pasien pria dan
wanita dengan cedera kepala derajat berat, dan
usia pasien 18 hingga 60 tahun. Kriteria eksklusi
adalah pasien memiliki cedera di daerah toraks,
riwayat penyakit paru paru, pasien sedang dalam
pengaruh alkohol atau intoksikasi obat-obatan,
riwayat penyakit gagal jantung, transfusi masif,
acute kidney injury, dan kadar gula ≤ 50 mg/
dl. Pasien akan dikeluarkan dari penelitian bila
pasien yang mendapatkan diagnosis tambahan
penyakit gagal jantung.

Penentuan jumlah sampel berdasarkan rumus
sampel besar korelasi didapatkan sebanyak 32
sampel. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi dicatat usia, jenis kelamin, rentang
waktu kejadian sampai mendapat perawatan di
rumah sakit, diagnosis awal, GCS, analisis gas
darah dan foto radiologi toraks. Selama 7 hari
pasien dinilai dan dicatat GCS, analisis gas darah,
foto toraks, diagnosis tambahan dan ARDS
berdasarkan konsensus Berlin. Selama perawatan
pasien menggunakan kateter vena sentral.
Analisis data menggunakan uji data chi-kuadrat
atau uji kolmogorv smirnov untuk mencari
kekuatan hubungan dan uji analisis korelasi untuk
mencari kekuatan dan arah korelasi. Kriteria
Gullford digunakan sebagai penentu kekuatan
korelasi penelitian ini.

III. Hasil
Usia termuda adalah 18 tahun dan tertua 59
tahun. Rentang waktu pasien dari kejadian COT
hingga mendapatkan tindakan medik adalah 1–13





































































jam. Rentang GCS skor adalah pasien dengan
COT derajat berat atau GCS 3–8 (Tabel 1).
Angka kejadian ARDS paling tinggi terjadi
pada GCS 3 dan 4. Hanya seorang pasien
dengan GCS 8 yang mengalami ARDS.
Berdasarkan hasil uji kolmogorov smirnov
menunjukkan bahwa hasil tersebut bermakna
secara statistika (p<0,05; Tabel 2). Pasien
dengan GCS 3 dan 4 mengalami ARDS derajat
berat terbanyak sedangkan GCS 8 hanya 1
orang. Berdasarkan uji kolmogorov smirnov
menunjukkan bahwa hasil tersebut bermakna
secara statistika (p<0,05; Tabel 3).

Menggunakan uji korelasi ETA diperoleh nilai r
sebesar 0,402. Mengacu pada kriteria Gullford
korelasi ini menunjukkan korelasi yang cukup
kuat antara GCS dan kejadian ARDS (Tabel
4). Menggunakan uji korelasi rank spearman
diperoleh nilai r sebesar 0,389. Mengacu pada
kriteria Gullford korelasi ini menunjukkan
korelasi yang kecil atau tidak erat antara GCS dan
derajat ARDS (Tabel 5).

III. Pembahasan
Acute respiratory distress syndrome adalah suatu
sindrom dengan berbagai faktor risiko yang
memicu terjadinya kejadian akut insufisiensi
sistem respirasi. Saat ini definisi ARDS yang
digunakan adalah definisi Berlin. Terdapat tiga
kategori eksklusif ARDS yaitu ringan, sedang,
dan berat.8 Penggunaan istilah ALI dihilangkan
didalam konsensus ini.9

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin
rendah skor GCS pada cedera otak traumatik
maka kejadian ARDS semakin tinggi dan
meningkatkan derajat beratnya ARDS (Tabel 2
dan Tabel 3). Konsep utama pengaturan fungsi
otak normal adalah mengatur tekanan perfusi
serebral (cerebral perfusion pressure/CPP)
yang adekuat. Tekanan perfusi serebral adalah
tekanan arteri rata-rata dikurangi dengan tekanan
intrakranial (intracranial pressure/ICP). Pada
otak normal aliran darah otak (cerebral blood
flow/CBF) diatur konstan pada tekanan arteri ratarata
(mean arterial pressure/MAP) antara 60–
150 mmHg, yang dikenal sebagai autoregulasi
otak. Ketika COT terjadi, autoregulasi akan
menjadi terganggu sehingga menyebabkan
peningkatan CBF, dan menyebabkan peningkatan
ICP.10 Peningkatan ICP akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi dan aliran darah ke otak
sehingga dapat menyebabkan iskemia yang akan
mengakibatkan cedera otak iskemik sekunder.11
Tekanan intrakranial yang meningkat di luar
batas dari mekanisme kompensasi menyebabkan
CPP terganggu, iskemia jaringan otak, refleks
cushing, penurunan CBF, dan peningkatan CO2
sehingga dapat menimbulkan efek vasodilatasi
di pusat vasomotor. Pusat vasomotor memulai
respons sistem saraf simpatik yang menyebabkan
peningkatan MAP sebagai respons kompensasi
tubuh untuk meningkatkan CPP.12 Berdasarkan
penyebabnya COT terbagi menjadi dua yaitu
primer dan sekunder. Cedera otak traumatik
primer terjadi langsung sebagai akibat mekanik
pada saat kecelakaan sedangkan COT sekunder
muncul selama beberapa menit hingga beberapa
hari yang disebabkan kombinasi oleh kerusakan
ekstrakranial secara sistemik dan perubahan
secara fisika dan biokimia intrakranial.12
Cedera otak primer melibatkan gangguan fisik
struktur intrakranial. Cedera tersebut meliputi
kerusakan parenkim otak seperti memar,
hematoma, laserasi, dan cedera aksonal difus.
Cedera otak traumatik mengaktivasi beberapa
jalur biokimia yang saling berhubungan, yang
berperan terhadap kerusakan jaringan otak lebih
lanjut. Cedera intrakranial sekunder sebagian
besar dimediasi melalui peningkatan aktivitas
rangsangan neurotransmiter, pembentukan anti
oksidan, dan produksi pro-inflamasi sitokin,
yang berkontribusi terhadap kerusakan sel
saraf dan kematian sel. Pembentukan edema
serebral, peningkatan ICP, gangguan terhadap
sawar darah otak (blood brain barrier/BBB)
dan perubahan dalam reaktivitas serebrovaskular
yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
sekunder jaringan saraf.12 Setelah terjadi COT,
neurotransmiter dilepaskan dalam jumlah besar
oleh tubuh yang mengakibatkan peningkatan
aktivas metabolik dan deplesi adenosin tri phosfat
(ATP). Kegagalan energi menyebabkan gangguan
homeostasis ion dan masuknya natrium dan
kalsium yang tidak terkendali ke dalam neuron,
yang kemudian terjadi edema sitotoksik dan
depolarisasi sel. Depolarisasi sel mengakibatkan
pelepasan neurotransmiter seperti glutamat.
Glutamat memperantarai peningkatan kalsium
dalam intraselular. Akumulasi kalsium dalam
sel mengaktifkan beberapa enzim intraselular
menyebabkan kerusakan intraselular yang lebih
parah dan kematian sel.12

Cedera otak traumatik berhubungan dengan
pelepasan inflamasi sitokin diikuti oleh infiltrasi
dan akumulasi sel inflamasi. Mediator- mediator
inflamasi ini mengakibatkan cedera otak sekunder
dengan menon-aktifkan asam arakidonat, jalur
koagulasi, mengganggu BBB, dan menginduksi
produksi nitrat oksida (NO). Nitrat oksida
menyebabkan vasodilatasi yang berlebihan, yang
menyebabkan gangguan autoregulasi. Selain
itu, NO berkontribusi untuk pembentukan anti
oksidan dan glutamat.12 Pada sebuah penelitian
yang dilakukan pada 102 tikus ditemukan
bahwa pada kasus dengan COT berat atau fatal
didapatkan migrasi besar-besaran sel-sel inflamasi
khususnya neutrofil dan makrofag pada alveoli.
Hal ini disebabkan teraktivasinya mediatormediator
inflamasi yang telah disebutkan diatas.13

Tingkat kesadaran adalah hal empiris yang
paling dapat diandalkan dalam mengukur
gangguan fungsi otak setelah COT. Memberikan
informasi tentang kemampuan fungsional
dari korteks serebral, beserta jaras naik pada
reticular activating system (RAS) di batang otak.
Menurunnya tingkat kesadaran menunjukkan
adanya gangguan fungsi korteks serebral,
gangguan transmisi rangsangan sensorik oleh
batang otak atau RAS. Pasien yang koma
umumnya terjadi kerusakan pada batang otak,
kerusakan korteks serebral bilateral atau global
yang berat.12 Cedera otak langsung, penekanan
terhadap tingkat kesadaran, ketidakmampuan
dalam proteksi jalan napas, gangguan sistem
pertahanan tubuh, mobilitas berkurang, dan
cedera sekunder fisiopatologis adalah penyebab
utama komplikasi paru.14

Pneumonia adalah komplikasi yang umum
terjadi pada COT berat. Pneumonia terjadi pada
60% pasien. Pasien dengan COT berat beresiko
mengalami aspirasi isi lambung. Pneumonia
sering terjadi pada 5 hari pertama setelah COT.
Kuman-kuman penyebab terseringnya adalah
kuman yang berada pada saluran napas atas
yang berkolonisasi. Penelitian sebelumnya
menyebutkan bahwa terjadi 40–64% pasien
COT berat mengalami pneumonia dan pasien
dengan GCS skor terendah memiliki risiko lebih
tinggi mengalami pneumonia.15 Pasien dengan
COT berat juga berhubungan dengan ventilator
acquired pneumonia (VAP) sebagai akibat
sekunder penggunaan lama intubasi dan ventilasi
mekanis. VAP umumnya berkembang setelah
5 hari. Umumnya kuman-kuman penyebabnya
adalah bakteri gram negatif dan multiresisten.15

Pasien dengan COT berat yang menggunakan
ventilasi mekanis berisiko VAP dikarenakan
beberapa faktor sebagai berikut seperti tingkat
penurunan kesadaran, mulut yang kering dan
terbuka, mikroaspirasi akibat sekresi. Pasien
dengan COT berat cenderung menggunakan
ventilasi mekanik.14

Penyebab ARDS lainya yaitu NPE. Patogenesis
NPE tidak sepenuhnya dipahami. Neurogenic
pulmonary edema berkaitan dengan stimulasi
berlebihan pada sistem saraf otak (central
nerves system/CNS) pada aktivitas sympathoadrenal
yang menyebabkan vasokonstriksi
perifer, peningkatan aliran balik vena,
menimbulkan hipertensi sistemik, peningkatan
afterload ventrikel kiri dan berkurangnya stroke
volume ventrikel kiri, dan kemudian darah
akan terakumulasi dalam sirkulasi paru yang
mengakibatkan hipertensi kapiler paru dan
edema.12 Mediator utama dalam stress response
pada sistem saraf simpatis adalah katekolamin.
Sebuah penelitian menyebutkan terdapat
korelasi antara GCS dengan katekolamin plasma
dimana terdapat peningkatan 4 sampai 5 kali
pada GCS 3 dan 4.15 Katekolamin endogen
menyebabkan penekanan selektif terhadap
imunitas seluler melalui imunoinhibitor sitokin,
yang kemudian menyebabkan adanya keadaan
immunocompromised setelah COT. Secara
keseluruhan efek dari beragam mekanisme yang
terjadi menyebabkan penurunan terhadap sistem
imun tubuh. Penekanan sel T-helper terjadi
dalam waktu 24 jam setelah COT dan penekanan
imunitas selular ini berkorelasi dengan tingkat
infeksi yang tinggi pada minggu pertama setelah
COT. Pada penelitian sebelumnya mengatakan
bahwa infeksi merupakan komplikasi yang
sering terjadi yaitu 50–65% pada pasien COT,
dimana hampir setengahnya terjadi pada saluran
napas bawah.15 Dengan demikian, berdasarkan
mekanisme-mekanisme yang disebutkan diatas.
Kombinasi dari mekanisme-mekanisme tersebut
mengakibatkan adanya peningkatan kejadian
dan beratnya ARDS pada pasien dengan COT
berat. Terutama pada kasus pasien skor GCS
yang rendah. Walaupun korelasi yang diperoleh
secara statistik hanya kecil. Dalam penelitian
ini juga ditemukan bahwa semua pasien yang
mengalami ARDS mendapatkan diagnosis
tambahan pneumonia. Ditemukan keunikan
pada 1 kasus pasien GCS 8 mengalami ARDS,
sebagai catatan pasien ini adalah pasien yang
paling lama mendapatkan tindakan medik yaitu
13 jam. Sehingga perlu dipelajari lebih lanjut
bagaimana hubungannya antara pneumonia dan
lama mendapatkan tindakan medik pada kasus
cedera otak traumatik.

IV. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat
disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara skor
GCS pada COT berat dan ARDS. Membuktikan
kepada kita bahwa diperlukan tindakan dan
perlakuan khusus dalam penanganan pasien
COT berat, terutama untuk kasus skor GCS
rendah. Pemberian antibiotik profilaksis
direkomendasikan dan keterlambatan tindakan
medik pada kasus COT berat memberikan
hasil akhir yang buruk. Karenanya diperlukan
penelitian selanjutnya untuk mencari hubungan
dan korelasi yang lebih kuat agar tercapai tujuan
dari penelitian yaitu, mencegah dan mengurangi
risiko ARDS dan akhirnya tercapai hasil luaran
yang baik.

Daftar Pustaka
1. Mascia L. Acute lung injury in patients with
severe brain injury: a double hit model.
Neurocritical Care. 2009;11(3):417–26.
2. Fremont RD, Koyama T, Calfee CS, Wu W,
Dossett LA, Bossert FR, dkk. Acute lung
injury in patients with traumatic injrys: utility
of a panel of biomarkers for diagnosis and
pathogenesis: J Trauma. 2010;68(5):1121–7.
3. Salim A, Martin M, Brown C, Inaba K,
Browder T, Rhee P, dkk. The presence of the
adult respiratory distress syndrome does not
worsen mortality or discharge disabilty in
blunt trauama patients with severe traumatic
brain injury. Care Injured. 2008;39:30–5.
4. Oddo M, Ndoum M, Frangos S, Mackenzie
L, Chen I, Kofke Wa, dkk. Acute lung
injury is an independent risk factor for brain
hipoxia after severe traumatic brain injury.
Neurosurgery. 2010;67:338–44.
5. Chung P, Khan F. Traumatic brain injury
(TBI): overview of diagnosis and treatment.
J Neurol Neurophysiol. 2013;5(1):182–92.
6. Rubenfeld GD. Acute respiratory distress
syndrome: the Berlin definiton. J Am Med
Associat. (Online Journal) 2012 (diundah
tanggal 10 Maret 2015). Tersedia dari:http ://
jama.jamanetwork.com.
7. Pneumatikos I, Papaionnou VE. Editorial.
The new Berlin definition: What is, finally,
the ARDS ?. Pneumon. 2012;25(4):365–8.
8. Ferguson ND, Fan E, Camporota L, Antonelli
M, Anzueto A, dkk. The Berlin definition of
ARDS: an expanded rationale, justification,
and supplementary material. Intens Care
Med. 2012;38:1573–82.
9. Fanelli V, Vlachou A, Ghannadian S,
Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Review
article. Acute respiratory distress syndrome:
new definition, current and future therapeutic
options. J Thorac Dis. 2013;5(3):326–34.
10. Heegaar W, Biros M. Traumatic brain injury.
Emerg Med Clin N Am. 2007;25:655–78.
11. Smith M. Monitoring intracranial pressure
in traumatic brain injury. Anesth Analg
2008;106:240–8.
12. Sande A, West C. Traumatic brain
injury:a review of pathophysiology and
management. J Veterinary Emerg Crit Care.
2010;20(2):177–90.
13. Kalsotra A, Zhao J, Anakk S, Dash PK,
Strobel HW. Brain trauma leads to enhanced
lung inflammation and injury: evidence for
role of P4504Fs in resolution. J Cereb Blood
Flow Metabol. 2007;27:963–74.
14. Lee K, Rincon F. Review article. Pulmonary
complication in patients with severe brain
injury. Crit Care Res Prac. 2012;10:1–8.
15. Lim HB, Smith M. Systemic complications
after head injury: a clinical review.
Anaesthesia. 2007;62:474–82.



0 komentar:

Posting Komentar