konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Sabtu, 25 Februari 2017

Anestesia untuk Kraniotomi Tumor Supratentorial

 Anestesia untuk Kraniotomi Tumor Supratentorial

Diana Ch. Lalenoh*), Hermanus J. Lalenoh**), Nancy Margarita Rehatta**)
*) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi / RS. Prof. R.D. Kandou, Manado
**) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD. Dr. Soetomo, Surabaya

Abstract
The common supratentorial tumors in adults are glioma (36%), meningioma (32.1%), and adenoma
pituitary (8.4%). Approximately half of these tumors are malignant. The majority of them (> 80%) are
supratentorial. For the entire primary tumor, the average age when a brain tumor was detected is 57
years old. The exact number of metastatic brain tumor incidence is unknown, but it is assumed quite
low. The existence of metastatic tumor of the central nervous system (SSP) is found at the autopsy of
around 25% of patients who died of cancer. There are five sources of malignancy which often cause
metastasis to the brain, namely breast cancer, colorectal cancer, lung cancer, and melanoma. In six
percent of patients, these complications appeared within a year after the primary tumor is detected.
These five cancers frequently cause the brain metastases in approximately 37.000 cases in the United
States.
It is reported the successful handling of anesthesia on a woman 56 years old, weighing 65 kg. This
patient was diagnosed with Space Occupying Lession (SOL) right DD / Meningioma. Craniotomy
surgery was performed for tumor expenditure. At the time she entered the operating room, her blood
pressure was 176/100 mmHg, pulse rate beats / minute, respiratory rate 20 times / minute, body
temperature of 37o C, and GCS E4V5M6. She was induced with Fentanyl 100 mg, 100 mg Propofol;
intubation facilities are Rocuronium 40 mg, Lidocaine 70 mg, maintenance with Inhalan Sevoflurane
and Oxygen, along with continuous Propofol, the addition of Fentanyl and intermittent Rocuronium.
Infusion was attached in two pathways.The surgery lasted seven hours and twenty minutes. With
nasal cannula and oxygen 3 liters / minute attached, the patient was transferred to ICU. She was
treated for one day in ICU, before moved into a ward. After stay in the ward for five days, she was
discharged and became an outpatient of neurosurgeon.
Anesthesia for supratentorial tumor requires an understanding of pathophysiology of intracranial
pressure (ICP) suppression locally and entirely; setting up and maintenance of intracerebral perfusion;
how to avoid secondary effects of a systemic effect on the brain. Accurate and structured
perioperative preparation is critical for handling of anesthesia for supratentorial tumors, which includes
the preparation of the patient pre-surgery, completeness preparation of drugs, devices, and
monitoring, as well as planning the implementation of the anesthesia until post-surgery tendance.
Keywords: Anesthesia, non-pharmacological neuroprotection, pharmacological neuroprotection,
Supratentorial tumors



Abstrak
Tumor supratentorial tersering pada orang dewasa adalah glioma (36%), meningioma (32.1%), dan
adenoma pituitary (8.4%). Sekitar separuh dari tumor tersebut adalah ganas. Mayoritas tumor tumor
tersebut (>80%) adalah supratentorial. Untuk seluruh tumor primer, rata-rata usia terdeteksi adanya
tumor otak adalah 57 tahun. Angka pasti insidens metastase tumor otak tidak diketahui namun
diperkirakan cukup rendah. Dari sekitar 25% pasien yang meninggal karena kanker, ditemukan
adanya metastase dari tumor sistem saraf pusat (SSP) pada otopsi. Ada lima sumber keganasan
yang sering metastase ke otak yaitu kanker payudara, kanker kolorektal, kanker paru, dan melanoma.
Enam persen dari pasien dengan komplikasi tersebut muncul dalam 1 tahun setelah terdeteksi
adanya tumor primer. Lima jenis kanker tersebut yang sering menyebabkan metastase otak pada
sekitar 37.000 kasus di Amerika Serikat.
Dilaporkan keberhasilan penanganan anestesi pada seorang pasien, wanita 56 tahun, dengan berat
badan 65 kg. Pasien tersebut didiagnosis sebagai Space Occupaying Lession (SOL) kanan DD/
Meningioma. Pasien dilakukan operasi kraniotomi untuk pengeluaran tumor. Tekanan darah saat
masuk kamar operasi 176/100 mmHg, laju nadi 98 kali / menit, laju napas 20 kali / menit, suhu badan
370 C, dan GCS E4V5M6. Pasien diinduksi dengan Fentanyl 100 μg, Propofol 100 mg, fasilitas intubasi
dengan Rocuronium 40 mg, Lidokain 70 mg, dan pemeliharaan dengan Sevofluran dan Oksigen serta
Propofol kontinyu, dan penambahan fentanyl dan rokuronium intermiten. Infus terpasang dua jalur.
Operasi berlangsung selama tujuh jam dua puluh menit. Dengan terpasang nasal kanul dan oksigen 3
liter / menit, pasien dipindahkan ke ICU. Pasien dirawat selama satu hari di ICU, kemudian
dipindahkan ke ruangan. Setelah lima hari pasien dirawat di ruangan kemudian pasien dipulangkan
dan rawat jalan dengan dokter bedah saraf.
Anestesi untuk tumor supratentorial membutuhkan suatu pengertian mengenai patofisiologi dari
penekanan tekanan intrakranial (TIK) lokal maupun secara keseluruhan; pengaturan dan
pemeliharaan perfusi intraserebral; bagaimana menghindari akibat pengaruh sekunder dari sistemik
terhadap otak. Persiapan perioperatif yang cermat dan terstruktur sangat penting pada penanganan
anestesi untuk tumor supratentorial, yang meliputi persiapan pasien preoperasi, persiapan
kelengkapan obat, alat, dan monitoring, serta perencanaan pelaksanaan anestesi sampai dengan
pananganan pasca operasi.
Keywords: anestesi, neuroproteksi farmakologik, neuroproteksi non farmakologik, tumor
supratentorial.


Sumber : di tulis ulang dari : JNI 2012; 1 (1):16-24 , Volume 01 | Nomor 01 | Januari 2012








I. Pendahuluan
Menurut the Central Brain Tumor Registry of the
United States (CBTRUS), sekitar 51.410 kasus baru
tumor otak dan tumor sistem saraf pusat primer
nonmaligna dan maligna terdiagnosa di Amerika
Serikat pada tahun 2007. Diperkirakan tumor
tersebut yang menyebabkan kematian sekitar
12.740 setiap tahunnya. Tumor tersering pada
orang dewasa adalah glioma (36%), meningioma
(32,1%), dan adenoma pituitary (8,4%). Sekitar
separuh dari tumor tersebut adalah ganas.
Mayoritas tumor tersebut (>80%) terletak di
supratentorial. Untuk seluruh tumor primer, ratarata
usia terdeteksi adanya tumor otak adalah 57
tahun. Dari tahun 1985 hingga 1999, insidens dari
tumor otak primer hanya 1,1% per tahun. Angka
pasti insidens metastase tumor otak tidak diketahui
namun diperkirakan cukup rendah. Dari sekitar
25% pasien yang meninggal karena kanker,
ditemukan adanya metastase tumor di sistem saraf
pusat (SSP) pada otopsi. Ada lima sumber
keganasan yang sering metastase ke otak yaitu
kanker payudara, kanker kolorektal, kanker paru,
dan melanoma. Enam persen dari pasien dengan
komplikasi tersebut muncul dalam 1 tahun setelah
terdeteksi adanya tumor primer. Lima kanker
tersebut yang sering menyebabkan metastase otak
pada sekitar 37.000 kasus di Amerika Serikat.
Sebaliknya, 10% dari pasien dengan kanker paru
datang ke dokter dengan keluhan-keluhan akibat
metastase ke otak.1

Sekitar 35.000 kasus baru tumor otak didiagnose
setiap tahunnya di Amerika Serikat. Pada orang
dewasa, 85% dari tumor otak adalah primer (9%
dari seluruh tumor primer); 60% adalah tumor
primer dan supratentorial (sekitar 35% glioma dan
sekitar 15% adalah meningioma; sedangkan 8%
adalah adenoma pituitari). Sekitar 12% dari tumor
-tumor itu adalah metastase. Insidensnya meningkat
sesuai dengan pertambahan usia, dan hampir
mendekati seperenam dari pasien-pasien dengan
kanker berkembang menjadi metastase ke otak
yang kebanyakan bergejala dan membawa pasien
untuk memeriksakan dirinya ke dokter namun pada
tahap yang sudah lanjut sehingga angka harapan
hidup lebih sedikit.2

II. Kasus
Dilaporkan keberhasilan penanganan anestesi pada
seorang pasien, wanita 56 tahun, dengan berat
badan 65 kg. Pasien tersebut didiagnosis adanya
Space Occupaying Lession (SOL) kanan DD/
Meningioma. Pasien dilakukan operasi kraniotomi
untuk pengeluaran tumor.

Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah saat masuk kamar operasi 176/100
mmHg, laju nadi 82 kali / menit, laju napas 20 kali
/ menit, suhu badan 370 C, dan GCS E4V5M6.

Pemeriksaan Laboratorium
Hasil lab : Darah, EKG, Thorak Foto dalam batas
normal.

Pengelolaan Anestesi
Pasien diinduksi dengan Fentanyl 100 μg, Propofol
100 mg, fasilitas intubasi dengan Rocuronium 40
mg, Lidokain 70 mg, dan pemeliharaan dengan
Sevofluran dan Oksigen serta Propofol kontinyu,
dan penambahan fentanyl dan rokuronium intermiten.
Infus terpasang dua jalur, tangan kiri
(terpasang NaCl 0,9% dan Hes steril 6%) serta kaki
kiri (terpasang RL). Sampai dengan 15 menit
pertama sesudah intubasi, tensi stabil berkisar 120-
135/75-89 mmHg, kemudian pasien diposisikan.
Insisi dilakukan 20 menit setelah intubasi. Selama
pembedahan berlangsung perdarahan sekitar 1000
mL. Pasien diberi transfusi whole blood (WB) 600
mL, koloid 500 mL, dan total cairan kristaloid
selama pembedahan 2500 mL. Pembedahan berlangsung
selama 7 jam 20 menit dan obat
pelumpuh otot dihentikan 30 menit sebelum
pembedahan berakhir demikian pula penambahan
fentanyl. Pada akhir operasi pasien mendapat
reversal sebelum diekstubasi dengan Neostigmin
dan Sulfas Atropin.

Pengelolaan Pascabedah
Dengan terpasang nasal kanul dan oksigen 3 liter /
menit, pasien dipindahkan ke ICU. Pasien dirawat
selama satu hari di ICU, kemudian dipindahkan ke
ruangan. Selama lima hari pasien dirawat di
ruangan kemudian pasien dipulangkan dan berobat
rawat jalan dengan dokter bedah saraf.

III. Pembahasan
Hal – hal yang perlu diperhatikan pada anestesi
pasien dengan tumor supratentorial
Pada bedah otak pasien–pasien dengan tumor
supratentorial, permasalahan yang dihadapi berkaitan
dengan penekanan tumor secara lokal maupun
secara keseluruhan, sedangkan untuk pembedahnya
kesulitan muncul selama menjelajah lapangan
pembedahan karena otak biasanya cenderung rusak
akibat retraksi dan mobilisasi. Sehingga masalah
khusus meliputi perdarahan intraoperatif dan
kejang.3 Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
memonitor fungsi otak dan lingkungan serta apakah
bertujuan untuk pemulihan kesadaran yang cepat
atau apakah direncanakan untuk sedasi dan
ventilasi pascabedah. Akhirnya yang tidak boleh
dilupakan adalah berbagai kondisi seperti ada
tidaknya penyakit paru atau penyakit jantung, atau
pada keadaan metastase, ada tidaknya fenomena
paraneoplastik dan efek kemoterapi atau radioterapi.
Konsep ini dapat diringkaskan sebagai
berikut :1,4













Efek volume dari tumor intrakranial

Efek intrakranial dari volume tumor adalah tidak
hanya karena massa tumor itu sendiri namun juga
karena edema otak vasogenik di sekelilingnya.
Seperti edema, kebanyakan terlihat pada computed
tomography (CT)-scan preoperatif atau gambaran
magnetik resonansi, kelihatannya merupakan hasil
dari faktor sekresi yang meningkatkan permeabilitas
vaskular dalam otak yang berdekatan.4
Edema peritumoral terutama terlihat pada tumortumor
yang cepat pertumbuhannya, umumnya
berespons dengan baik terhadap terapi
kortikosteroid, dan dapat tetap ada ataupun rebound
sesudah pembedahan untuk eksisi tumor. Jadi
daerah sekitar tumor yang besar mengalami iskemia
yang diakibatkan oleh penekanan (cerebral blood
flow [CBF] dalam jaringan peritumor mungkin
berkurang sampai sepertiga dibanding dalam
jaringan normal). Terapi dengan steroid seperti
deksametason biasanya menghasilkan pengurangan
edema sekitar otak secara dramatik. Penanganan
preoperatif dan pemulihan pascabedah dari edema
vasogenik peritumoral merupakan indikasi yang
baik untuk pemberian steroid.1

Sawar darah otak (Blood-Brain Barrier /BBB) dan
edema
BBB juga dipengaruhi oleh berbagai kondisi
patologik intrakranial. Normalnya BBB tidak
permeabel terhadap molekul besar atau polar dan
bervariasi permeabilitasnya terhadap ion-ion dan
non elektrolit–non elektrolit hidrofilik kecil. Jadi
setiap kali ada bagian BBB yang terputus akan
memungkinkan air, elektrolit, dan molekul hidrofilik
besar memasuki jaringan otak perivaskular,
yang menyebabkan edema otak vasogenik.
Kebocoran dan yang selanjutnya menyebabkan
terjadinya edema otak, secara langsung berbanding
dengan tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion
pressure [CPP])2. Edema vasogenik harus dibedakan
dari edema osmotik (yang disebabkan oleh
menurunnya osmolalitas serum) dan edema
sitotoksik (sekunder karena iskemia). Osmolalitas
darah merupakan penentu penting untuk terbentuknya
suatu edema serebral karena pada perbedaan
tekanan 19 mm Hg yang melintasi BBB dibangkitkan
untuk setiap miliosmol. Berlawanan dengan hal
tersebut, tekanan onkotik hanya sedikit berperan 1,2.
Dengan teknik Neuroimaging terlihat terputusnya
BBB pada kebanyakan tumor. Pendekatan terbaru
dilakukan untuk memperbaiki pelepasan obat ke
tumor otak. Pada masa mendatang, terlihat
kemungkinan bahwa ada terapi baru untuk meningkatkan
permeabilitas BBB (disrupsi BBB osmotik,
kemoterapi intraarterial) yang dapat memperbaiki
penanganan perioperatif.4

Perfusi Intraserebral dan Aliran Darah Serebral /
Cerebral Blood Flow (CBF)
CBF ditentukan pada setingkat arteriol serebral.
CBF tergantung pada gradien tekanan yang
melintasi dinding pembuluh darah (yang ditentukan
dari nilai CPP dan nilai tekanan karbon dioksida
(PaCO2)) yang tergantung pada ventilasi. Autoregulasi
CBF, untuk mempertahankan homeostasis
tekanan intrakranial (TIK), mempertahankan CBF
tetap konstan, dalam menghadapi perubahan dalam
CPP atau tekanan rerata arteri / mean arterial
pressure (MAP). Hal tersebut juga dipengaruhi
perubahan dalam tonus vasomotor serebral
(cerebrovascular resistance [CVR]). Autoregulasi
merupakan fungsi normal untuk nilai CPP sekitar
50 – 70 mmHg dan ini digagalkan oleh berbagai
kondisi patologik intrakranial (misalnya darah
dalam liquor cerebro spinal/LCS, trauma, tumor)
maupun ekstrakranial (misalnya hipertensi sistemik
kronik). Hal tersebut juga dipengaruhi oleh obat–
obatan yang digunakan dalam anestesi.1,2
Ketika CPP tidak adekuat, perfusi jaringan akan
berkurang ketika batas bawah autoregulasi kurang
dari 50 mm Hg (jika autoregulasi intak). Iskemia
terjadi pada kadar CBF kurang dari 20 mL/100
g/menit kecuali CPP diperbaiki (melalui peningkatan
MAP atau atau pengurangan TIK) atau
kebutuhan metabolik serebral dikurangi (melalui
anestesi yang dalam atau hipotermia). Pengurangan
PaCO2 akan menyebabkan vasokontriksi, yang
akan mengurangi CBF, Cerebral Blood Volume
(CBV), dan selanjutnya TIK. Sebaliknya, hiperkapnia
akan meningkatkan TIK dan harus dicegah
selama periode perioperatif:1,2,4

Nitrous Oxide (N2O)

Karena terbatasnya sarana dan prasarana yang
tersedia di rumah sakit daerah (tidak tersedianya
udara pada mesin anestesi di kamar operasi), maka
pemeliharaan anestesi pada pasien ini dilakukan
dengan O2, Sevofluran tidak lebih dari 2 volume %
(kurang dari 2 MAC), dan N2O (perbandingan O2:
N2O = 4 : 1). Pemberian N2O bukan dimaksudkan
untuk mendapatkan efek analgetik karena untuk
analgetik selama operasi pada pasien ini digunakan
fentanyl intermitten. Pemberian N2O dimaksudkan
agar pemberian Oksigen tidak murni 100% karena
O2 100% merupakan vasokonstriktor kuat dan pada
pemberian jangka panjang dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya intoksikasi. N2O merupakan
serebrostimulan, meningkatkan CBF, CMR,
dan terkadang TIK. Efek tersebut tidak semuanya
selalu terjadi pada otak, namun terbatas pada
daerah otak tertentu (ganglia basalis, talamus, dan
insula), yang akan mengubah distribusi CBF
regional. Pada substitusi dari suatu konsentrasi obat
anestesi inhalasi yang setara, N2O meningkatkan
CBF. Vasodilatasi serebral dapat dikendalikan
dengan hipokapnia atau dengan penambahan
anestetik intravena.1 Sehingga pada kasus ini,
pemberian N2O diiringi dengan pemeliharaan
propofol intravena dan hiperventilasi ringan.1

Opioid
Opioid dihubungkan dengan peningkatan sementara
TIK, terutama penggunaan sufentanil atau
alfentanil. Mekanisme yang mendasari peningkatan
sementara TIK berupa refleks vasodilatasi serebral
sesudah pengurangan MAP dan selanjutnya CPP,
sekalipun efek vasodilator serebral hanya sedikit.
Efek sensitivitas efek obat intraserebral ini
menunjukkan pengaruh lingkungan intrakranial
maupun ekstrakranial dan pentingnya mempertahankan
keadaan normovolemia untuk mempertahankan
stabilitas TIK. Umumnya, opioid hanya
sedikit mengurangi CMR dan tidak mempengaruhi
flow-metabolism coupling, autoregulasi, ataupun
sensitivitas CO2 terhadap pembuluh darah serebral.1
Pada kasus ini digunakan Fentanyl.

Obat – obat Intravena
Obat anestesi intravena mengurangi CMR, CBF,
CBV dan TIK, menyebabkan pengurangan otak
yang tegang, sebagaimana didiskusikan di atas.
Vasokonstriksi serebral tergantung pada intak atau
tidaknya flow-metabolism coupling. Sebagai-mana
autoregulasi, flow-metabolism coupling diga-galkan
oleh adanya kontusio otak dan kondisi patologik
intraserebral lainnya.1 Pada pasien ini sejak induksi
digunakan propofol intravena begitu juga
pemeliharaan disamping sevofluran, juga
digunakan propofol intermitten sambil memantau
lapangan pembedahan untuk kemungkinan
peningkatan penggunaan propofol tunggal dengan
keperluan atau tidaknya penghentian sevofluran
bila terjadi otak yang tegang. Namun selama
operasi berlangsung, lapangan pembedahan terlihat
jelas, tidak diperlukan tarikan retraktor yang cukup
kuat, dan informasi dari sejawat bedah saraf bahwa
lapangan pembedahan cukup jelas, terjangkau, dan
relaks.

Hiperventilasi
Hiperventilasi menghasilkan suatu keadaan
hipokapnia dan selanjutnya terjadilah vasokonstriksi
serebral. Pada keadaan autoregulasi yang
masih utuh, CBF berhubungan secara linear dengan
PaCO2 antara 20-70 mm Hg. Sensitivitas pembuluh
darah serebral terhadap CO2 dihilangkan atau
digagalkan oleh adanya cedera kepala atau adanya
berbagai kondisi patologik intraserebral, juga
melalui inspirasi konsentrasi tinggi anestetika
inhalasi, atau kususnya jika pembuluh darah
tersebutnya sebelumnya sudah dilatasi karena
pengaruh N2O. Efek pengurangan CBF, CBV, dan
TIK oleh hipokapnia bersifat akut dan kelihatannya
kurang dari 24 jam.6,7 Suatu nilai khusus adalah
untuk mencapai PaCO2 antara 30 sampai 35 mm
Hg; analisis gas darah arterial adalah lebih tinggi
dari endtidal CO2 (etco2) dan harus digunakan
sebagai variabel kontrol karena kemungkinan
besarnya gradien CO2 arterioalveolar pada pasienpasien
bedah saraf. Efektivitas dari hiperventilasi
(PaCO2 antara 25± 2 mm Hg) untuk mengendalikan
otak yang menonjol pada pasien yang sebelumnya
mendapatkan baik isofluran maupun propofol.1,6,7
Pada kasus ini dilakukan hiperventilasi ringan dan
sekali lagi karena keterbatasan sarana dan prasarana
yang tersedia, yaitu tidak tersedianya kapnograf,
maka hiper-ventilasi ringan dilakukan dengan
perkiraan berdasarkan volume tidal 8 mL/kg BB
dengan laju napas 12–14 kali /menit.

Diuretik
Pada kasus ini pasien diberikan mannitol 20 menit
sebelum dura dibuka. Penggunaan diuretik osmotik
seperti mannitol dan hyperosmotic saline akan
meningkatkan osmolalitas darah secara akut,
sehingga mengurangi kandungan air otak. Dosis
pemberian mannitol adalah 0.5 sampai 1 g/kg (150–
400 mL 20% Mannitol) intravena, terbagi antara
dosis pemberian yang lebih cepat pre-kraniotomi
dan infus yang lebih lambat, sampai diseksi otak
lengkap.1,2 Pada pasien ini mannitol diberikan
dengan dosis 0,5 g/kg BB (digunakan 150 mL
Mannitol 20%).

Management Anestesi
a. Penilaian preoperatif
Penentuan strategi anestesi untuk memberikan
intervensi bedah saraf tergantung pada pengetahuan
mengenai neurologik dan keadaan umum pasien,
perencanaan intervensi, serta integrasi holistik dari
faktor–faktor tersebut. Perencanaan penanganan
pasien dan perencanaan intervensi harus didiskusikan
sebelumnya dengan ahli bedah saraf yang
terkait.1,2, 7

Status Neurologik Pasien
Tujuan utama dalam menilai status neurologik
pasien adalah untuk memperkirakan berapa banyak
peningkatan TIK, perluasan komplains intrakranial
dan autoregulasi, serta berapa banyak pemeliharaan
homeostatik untuk TIK dan CBF tetap dipertahankan
sebelum iskemik otak dan terjadinya kegagalan
neurologik. Tujuannya adalah untuk menilai seberapa
banyak kerusakan neurologik yang reversibel
dan yang permanen telah terjadi. Khususnya yang
harus diperhatikan adalah anamnesa pasien, pemeriksaan
fisik, serta pengujian teknis seperti yang
terlihat pada tabel di bawah ini. Pengujian minimum
idealnya harus meliputi status neurologik
mini-mental, membandingkan kemampuan pasien
mengikuti perintah, tingkat kesadaran pasien, ada
tidaknya defisit kemampuan bicara pasien, dan nilai
GCS. Penjelasan mengenai obat–obatan apa saja
yang sudah didapat penting diperoleh karena obat–
obatan ini juga dapat mempengaruhi komplains
intrakranial, perfusi, dan pemeliharaan, sebagaimana
modifikasi farmakokinetik dan dinamik dari
berbagai obat–obat anestetik.1,2
CT-scan atau MRI dari pasien harus dapat
menggambarkan ukuran dan lokalisasi tumor serta
tanda–tanda peningkatan TIK. Peningkatan TIK
termasuk pelebaran ventrikel oleh massa tumor,
perluasan ventrikel lateral yang terjadi akibat
hidrosefalus obstruktif, dan pergeseran midline
(midline shift > 5 mm). Ada tidaknya tanda – tanda
seperti itu mengingatkan bahwa kurva volume –
TIK mendekati dekompensasi (“dasar” dari kurva
hiperbolik TIK-volume), dengan sedikit peningkatan
volume intrakranial yang menyebabkan disproporsi
peningkatan TIK dengan bengkak otak.8

Keadaan Umum Pasien
Fungsi kardiovaskular dan respirasi sangat penting
karena perfusi dan oksigenasi otak tertutama
ditentukan kedua hal tersebut sehingga sebelum
operasi fungsinya harus dioptimalkan. Bebe-rapa
kondisi patologik intrakranial akan mengubah
fungsi kardiovaskular (misalnya efek peningkatan
TIK pada konduksi jantung). Operasi supratentorial
(terutama meningioma, metastase) dapat dihubungkan
dengan kehilangan darah yang bermakna,
hipovolemia, dan hipotensi yang dapat memperburuk
kondisi neurologik. 1,2,9
Sistem lain yang terkait adalah sistem renal
(misalnya pemberian diuretik yang selanjutnya
akan menyebabkan gangguan keseimbangan
elektrolit plasma, diabetes insipidus, serta
berkurangnya asupan cairan yang menyebabkan
dehidrasi), sistem endokrin (yang berubah bila ada
proses penyakit intrakranial, seperti adenoma
pituitari, atau melalui terapi obat-obatan, seperti
efek dari glukokortikoid terhadap hiperglikemia
dan iskemik serebral), dan pengaruhnya terhadap
sistem traktus gastrointestinal 1,5,9




































Perencanaan Intervensi Selama Pembedahan

Dalam perencanaan intervensi selama pembedahan,
penting untuk memastikan ukuran dan posisi tumor,
diagnosis jaringan, pendekatan pembedahan, struktur
yang berdekatan dengan kemungkinan terlibat
selama pembedahan, serta apakah tumor tersebut
dapat diangkat secara radikal.8 Pendekatan pembedahan
akan menentukan bagaimana posisi pasien.
Pendekatan untuk massa supratentorial biasanya
adalah kraniotomi pterional, temporal atau frontal.
Pada pendekatan bifrontal, sinus venosus sagitalis
akan dilintasi, sehingga meningkatkan resiko
terjadinya perdarahan dan emboli udara vena.1,7,8

Meningioma dapat tumbuh cukup besar, terutama
pada lokasi tertentu seperti pada regio frontal.
Biasanya kesulitan oprasi meningioma dalam lokasi
tersebut karena struktur di sekitarnya ataupun
kesulitan aksesnya. Beberapa prosedur biasanya
disertai dengan perdarahan signifikan.1,8

Reseksi tumor otak dapat menimbulkan berbagai
sekuele neurologik, tergantung ukuran dan tempat
jaringan tumor dikeluarkan. Awake craniotomy
telah diusulkan sebagai pendekatan untuk pembedahan
yang cukup memenuhi kriteria memuaskan
pada pembedahan radikal sedangkan kerusakan
daerah eloquent otak hanya minimal. Yang paling
penting pada awake craniotomy adalah mempertahankan
kenyamanan pasien, analgesia, mobilitas,
dan kooperatif yang adekwat selama operasi,
dengan tetap mempertahankan keamanan dan
menjamin pemeliharaan fungsi-fungsi vital. 3,10,11

Penentuan Pelaksanaan Anestesi
Sesudah memutuskan faktor-faktor resiko, hal-hal
berikut harus ditentukan :
Akses Vaskular: Pertimbangkan risiko perdarahan
dan emboli udara vena, keperluan untuk monitoring
metabolik dan hemodinamik, serta kebutuhan untuk
infus obat-obatan vasoaktif atau obat-obatan
lainnya.

Terapi Cairan : Bertujuan untuk normovolemia dan
normotensi, hindari cairan-cairan yang hipoosmolar
(larutan Ringer Lactat), dan hindari larutan
yang mengandung glukosa untuk mencegah
hiperglikemia, yang akan mengeksaserbasi cedera
otak iskemik.

Rejimen Anestetik: Gunakan rejimen anestesi
inhalasi pada prosedur pembedahan untuk
menghindari iskemia, dan keperluan relaksasi otak,
juga digunakan anestesi total intravena pada
prosedur yang lebih kompleks dengan antisipasi
permasalahan TIK, adanya risiko tinggi iskemik
serebral , serta perlunya relaksasi otak maksimal.

Rejimen Ventilasi: Target tindakan adalah
hipokapnia ringan, hiperoksia ringan, dan
menurunkan tekanan intratorakal (untuk
memperbaiki aliran balik vena serebral).1
Monitoring Ekstrakranial: Pemantauan fungsi
kardiovaskular dan renal (untuk mengantisipasi
penanganan emboli udara vena).1

Monitoring Intrakranial: Pemantauan faktor
intrakranial secara menyeluruh dan spesifik,
misalnya neurofisiologik (EEG, evoked potential),
metabolik (misalnya oksigenasi bulbus vena
jugularis, oksimetri transkranial), serta fungsional
(ultrasonography [USG] transkranial).1, 8,12

Persiapan Preoperatif
Premedikasi

Pemberian sedasi dapat menyebabkan risiko hiperkapnia,
hipoksemia, dan obstruksi parsial jalan
napas awal, sehingga dapat memperparah
peningkatan TIK. Sekalipun demikian, hindari
stress (akan meningkatkan CMR, CBF) dan
hipertensi (akan meningkatkan CBF, yang juga
dapat menimbulkan edema vasogenik dengan
kegagalan autoregulasi). Pasien tidak boleh dibiarkan
tanpa pengawasan, kalau perlu diberikan
bantuan ventilasi. Sekalipun demikian, pada pasien
tumor tanpa disertai gejala peningkatan TIK secara
klinik (tidak ada pergeseran dll), dapat diberikan
benzodiazepin dosis kecil untuk mengurangi kadar
kecemasan.1,7 Pada pasien ini tidak diberikan
benzodiazepin karena sejak pasien dibawa masuk
ke kamar operasi suasana diusaha-kan senyaman
mungkin untuk pasien, ruangan cukup tenang, dan
pasien diajak berbincang ringan untuk mengurangi
kecemasan.

Steroid harus diteruskan sampai pagi hari
menjelang operasi (metilprednisolon atau deksametason).
Pada pasien ini Dexametason diteruskan
sampai pagi hari sebelum dioperasi. Penghambat
Histamine (H2 blockers) dan obat prokinetik
lambung (gastric prokinetic agents) harus diberikan
untuk mengantisipasi kemungkinan pemanjangan
pengosongan lambung dan peningkatan sekresi
asam lambung yang berhubungan dengan
peningkatan TIK dan terapi steroid, terutama pada
pasien dengan kelumpuhan nervus kranialis (IX, X)
baik disertai maupun tidak dengan kegagalan
refleks menelan. Pada pasien ini juga diberikan
Ranitidin 50 mg dan Ondansetron 4 mg intravena di
kamar operasi beberapa menit sebelum induksi
dimulai.

Akses Vaskular
Dua jalur intravena perifer yang besar biasanya
dipasang selama kraniotomi penuh; satu jalur saja
cukup bila hanya akan dilakukan biopsi stereotaktik.
Akses vena sentral diindikasikan bila secara
klinis ada risiko untuk terjadinya emboli udara
vena, ataupun untuk mengantisipasi kemungkinan
perdarahan (misalnya, tumor vaskular yang besar,
atau tumor yang dekat dengan arteri atau sinus vena
yang besar, ataupun reseksi tulang yang luas), bila
terbukti ada gangguan kardiovaskular mayor
(dengan restriksi fungsi miokard berat, kateterisasi
arteri pulmonar atau ekokardiografi transesofageal/
transesophageal echocardiography [TEE] harus
dipertimbangkan untuk diberikan), dan jika obat
vasoaktif akan diberikan secara infus kontinyu.1
Pada pasien ini dipasang dua jalur intravena perifer
dengan needle nomor 18 pada kaki dan tangan,
namun tidak dilakukan pemasangan kateter vena
sentral. Idealnya, untuk mengantisipasi kemungkinan
perdarahan maka seharusnya dilakukan
pemasangan kateter vena sentral tersebut. Namun
sekali lagi karena keterbatasan sarana dan
prasarana. Khususnya berkaitan dengan status
pasien yang dirawat dengan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (JamKesMas) maka tidak tersedia
sarana kateter vena sentral untuk pasien tersebut.

Monitoring
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, monitoring
hemodinamik ketat merupakan hal yang penting
selama bedah saraf. Hal ini meliputi monitoring
ketat tekanan darah arterial beat-to-beat dan ECG
untuk mendiagnosis ada tidaknya iskemik miokard
dan aritmia. Juga pemantauan pulse oximetry
(untuk deteksi ada tidaknya hipoksia sistemik),
etCO2 (sebagai suatu trend monitor untuk PaCO2
dan untuk membantu mendeteksi adanya emboli
udara vena), juga monitoring temperatur (misalnya
esofageal atau kandung kemih) merupa-kan
monitoring standar. Pemasangan kateter kandung
kemih untuk monitor pengeluaran urin.1,9
Monitoring TIK preoperatif untuk operasi tumor
supratentorial biasanya jarang digunakan saat ini
karena pengaruh kortikosteroid telah dapat menurunkan
TIK sebelum dioperasi serta kemampuan
teknik anestesi modern untuk mengontrol TIK
selama induksi. Selama intraoperatif, sekali dura
dibuka, maka TIK sama dengan 0 (dan MAP =
CPP), menyebabkan monitoring TIK jarang
digunakan. Monitoring TIK post operatif dapat
membantu untuk membedakan/differential diagnosis
pada pasien-pasien yang tidak dapat dibangunkan
dari anestesi sesudah operasi. Untuk
semua penggunaan tersebut, melihat bentuk kurva
TIK adalah penting untuk memastikan bahwa
pengukuran tekanan dapat dilakukan.1,2,4


Induksi Anestesi
Obat – obatan dan Tujuan

Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan selama
induksi anestesi untuk bedah saraf supratentorial
adalah kontrol ventilasi (hindari hiperkapnia dan
hipoksemia, penetapan awal hiperventilasi ringan),
kendali simpatik dan tekanan darah (misalnya
dengan kedalaman anestesi yang adekuat, pemberian
antinosiseptif untuk mencegah perburukan SSP),
serta pencegahan obstruksi vena-vena kranialis (posisi
kepala). Tiopental atau propofol dapat diberikan
pada permulaan, dan opioid bersama-sama
dengan hiperventilasi gentle, diberikan sebelum
intubasi.



































Pelumpuh Otot
Pelumpuh otot nondepolar hanya memiliki sedikit
efek terhadap hemodinamik intraserebral. Sehingga
dipertimbangkan pemberian suksinilkolin hanya
untuk pasien-pasien dengan kemungkinan kesulitan
intubasi atau ketika induksi dengan cara rapidsequence
induction mutlak diperlukan. Suksinil
dapat menyebabkan peningkatan sementara pada
CMR, CBF, dan TIK, sekalipun beberapa peningkatan
tersebut biasanya dapat dikendalikan dengan
hiperventilasi atau dengan mendalamkan anestesi
dan merupakan konsekuensi terutama pada pasienpasien
yang sebelumnya sudah menga-lami
peningkatan TIK.1,2

Memposisikan Pasien
Pemasangan pin holder merupakan stimulus
nosiseptik terkuat. Hal tersebut harus dibarengi
dengan blokade nyeri yang adekuat dengan
mendalamkan anestesi dan pemberian analgesia
kuat (bolus remifentanil 0,25 - 1 μg/kg, fentanyl 1 -
3 μg/kg atau alfentanil 10 - 20 μg/kg) atau anestesia
(misalnya bolus tiopental intravena 1 mg/kg atau
propofol 0,5 mg/kg), terutama yang lebih dipilih
adalah penggunaannya bersamaan dengan infiltrasi
anestetik lokal pada tempat penusukan pin untuk
mencegah perburukan SSP yang tidak diinginkan
dan aktivasi hemodinamik. Sebagai alternatif,
kendali hemodinamik dapat dicapai dengan obat –
obat antihipertensi seperti esmolol (1 mg/kg) dan
labetalol (0,5-1 mg/kg). Insersi pin juga dapat
menimbulkan emboli udara vena. 1,2 ,13
Posisi pasien harus diamati secara cermat oleh
seorang akhli anestesi dan ahli bedah, dan posisi
yang berlebihan harus dihindari. Perhatian khusus
harus ditujukan untuk memberi bantalan atau
melindungi dan memfiksasi daerah yang kemungkinan
terkena cedera karena tekanan, abrasi, atau
pergerakan, seperti jatuhnya ekstremitas. Posisi
kepala sedikit head-up akan membantu drainase
vena. Pipa endotrakeal harus difiksasi dan diberi
packing. 1

Pemeliharaan Anestesi
Tujuan

Tujuan utama anestesi selama pembedahan
supratentorial adalah yang pertema untuk mengendalikan
otak yang tegang melalui pengendalian
pada CBF dan CMR (disebut konsep penarikan
otak kimiawi/chemical brain retractor concept) dan
yang kedua adalah neuroproteksi melalui pemeliharaan
lingkungan intrakranial secara optimal.

Pilihan Teknik
Terdapat kontroversi selama ini mengenai
penggunaan obat-obat intravena dibanding inhalasi
untuk prosedur-prosedur intrakranial. Sejauh ini,
tidak ada penelitian yang membandingkan obat
intravena dengan inhalasi berdasarkan neuroanestesi
yang dapat menunjukkan perbedaan hasil
yang bermakna.1

Saat ini, pilihan utama untuk tetap menggunakan
teknik anestesi inhalasi cukup berhasil. Dengan
teknik ini kondisi pulih sadar dapat dicapai dengan
cepat. Sampai saat ini belum ada anestetika inhalasi
yang betul-betul ideal untuk neuroanestesi.




































IV. Simpulan
Anestesi untuk tumor supratentorial membutuhkan
suatu pengertian mengenai patofisiologi dari
penekanan tekanan intrakranial (TIK) lokal maupun
secara keseluruhan; pengaturan dan pemeliharaan
perfusi intraserebral; bagaimana menghindari
akibat pengaruh sekunder dari sistemik terhadap
otak.

Persiapan perioperatif yang cermat dan terstruktur
sangat penting pada penanganan anestesi untuk
tumor supratentorial, yang meliputi persiapan
pasien preoperasi, persiapan kelengkapan obat, alat,
dan monitoring, serta perencanaan pelaksanaan
anestesi sampai dengan pananganan pasca operasi.


Daftar Pustaka
1. Bruder N, Ravussin P. Supratentorial Masses:
Anesthetic Consideration. Dalam: Cottrell JE,
Young WL (Eds). Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia. USA: Mosby Elsevier; 2010:
218 – 41.
2. Bruder N, Ravussin P. Anesthesia for
Supratentorial Tumors. Dalam: Newfield P,
Cottrell JE (Eds). Handbook of
Neuroanesthesia, 4th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins;2007,111-32.
3. Zorzi F, Saltarini M, Bonassin P, Vecil Angelis
DP, Monte AD. Anesthetic Management in
Awake Craniotomy. Review. Signa Vitae,
2008; 3 (1) : 528 – 32. Available in
http://www.signavitae.com
4. Meyer FB, Bates LM, Goerrs SJ, Friedman JA.
Windschitl WL, Duffy JR, et.al.. Awake
Craniotomy for Aggressive Resection of
Primary Gliomas Located in Eloquent Brain.
Original Article. Mayo Clin Proc, 2001 ; 76 :
677 – 87.
5. Smith M, Hirsch NP. Pituitary Disease and
Anaesthetic. Br J of Anaesth, 2000 ; 85 (1) : 3
– 14.
6. Gelb AB, Craen RA, Rao GSU, Reddy KRM,
Megyesis, Mohanti D, et.al. Does
Hyperventilation Improve Operating Condition
During Supratentorial Craniotomy? A
Multicenter Randomized Crossover Trial.
Neurosurgical Anaesthiology. Anaesth Analg
2008 ; 106 (2) : 585 – 94.
7. Rao GSU. Anaesthetic Management of
Supratentorial Intracranial Tumours. The
Indian Anaesthetist’s Forum. Oct, 2005; 2 : 1 –
9. Available in http://www.theiaforum.org
8. Sabbagh AJ, Al-Yamani M., Bunyan RF,
Takrouri MSM, Radwa SM et.al..
Neuroanesthesia Management of Neurosurgery
of Brain Stem Tumor requiring
Neurophysiology Monitoring in an iMRI OT
Setting. Technical Report. Saudi J. Anaesth,
2009; 3 (2) : 91 – 3. Available from
http://www.saudija.org on August 29, 2011.
9. Sivanaser V, Manninen P. Preoperative
Assessment of Adult Patients for Intracranial
Surgery. Review Article. Hindawi Publishing
corporation. Anesthesiology research and
practice. 2010 ; 2010 : 1 – 11.
10. Grady K, Raphae J. Intrathecal Drug Delivery
for the Management of Pain and Spascifity in
Adults; Recommendations for Best Clinical
Practice. The British Pain Society. September,
2008 : 1 – 40.
11. Ture H, Sayin M, Karlikaya G, Bingol CA,
Aykac B, Ture U et.al. The Analgesic Effect of
Gabapentin as a Prophylactic Anticonvulsant
Drug on Postcraniotomy Pain : A Prospective
Randomized Study. Neurosurgical
Anaesthesiology and Neuroscience , 2009 ; 109
(5) : 1625 – 32.
12. Black P. Management of Malignant Glioma :
role of Surgery in Relation to Multimodality
Therapy. Journal of Neurovirology, 1998; 4 :
227 – 36. Available from
http://www.jneuroviral.com on August 27,
2011.
13. Tankisi A., Cold GZ. Optimal Reverse
Trendelenburg Position in Patients Undergoing
Craniotomy for Cerebral Tumors. J Neurosurg,
2007 ; 106 : 239 – 44.

0 komentar:

Posting Komentar