Manajemen Perioperatif Epidural Hemorrhage Akibat Cedera Otak Traumatik
PERIOPERATIVE MANAGEMENT OF EPIDURAL HEMORRHAGE
DUE TO TRAUMATIC BRAIN INJURY
*) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah / Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar
**) Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Rumah Sakit Hasan Sadikin / Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung
Abstract
Epidural hemorrhages (EDH) are bleeding in epidural space, usually occur in the middle cranial fossa
via laceration of the middle meningeal artery, although they can also occur in the anterior and
posterior fossae. They are usually lenticular shaped and are bounded by suture lines where the
pericranial layer of dura attaches to the skull. Classically patients suffered from EDH experience a
lucid interval which is a period of intact consciousness prior to deterioration.
Clinical symptom of intracranial hematoma such as EDH, mainly depend on volume and rate the
hematoma formed. If the intracranial hematoma formed rapidly, there will be a sudden rise on ICP
which led to neurologic deterioration that could be deleterious. Perioperative management of
intracranial hematoma such as EDH is to maintain brain perfusion and oxygenation, control the ICP,
and surgical decompression in some cases.
We are discussing perioperative management of two cases suffered from EDH due to traumatic brain
injury who underwent emergency craniotomy for clott evacuation.
These are important injuries to identify;if detected early they are usually associated with good outcome
and have a mortality of less than 10%. Early bleeding control and hematoma evacuation are very
important to patient safety and avoid any permanent neurologic injury.
Keywords: EDH, Perioperative Management, Traumatic Brain Injury
sumber : di tulis ulang dari : JNI 2012; 1 (1):10-15
Abstrak
Epidural hemorrhage (EDH) adalah perdarahan yang terjadi pada ruang epidural, biasanya terjadi pada fossa kranii media karena adanya laserasi arteri meningea media, walaupun bisa juga terjadi pada fossa anterior ataupun posterior. Bentuknya biasanya lentikuler dan dibatasi oleh garis sutura di mana lapisan perikranial dura melekat ke kranium. Secara klasik, pasien EDH memiliki lucid interval, yakni periode adanya kesadaran yang jernih sebelum terjadinya penurunan kesadaran.
Gejala klinis sebagai akibat dari hematoma intrakranial seperti EDH, terutama tergantung pada
besarnya volume dan kecepatan hematoma ini terbentuk. Bila hematoma terbentuk dengan cepat,
terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang akan menimbulkan perburukan neurologis sampai dapat mengancam kehidupan. Pengelolaan perioperatif pasien dengan cedera otak traumatik yang mengalami EDH bertujuan mempertahankan perfusi dan oksigenasi otak, mengendalikan TIK serta dekompresi dan evakuasi perdarahan dengan pembedahan pada sebagian kasus.
Kami membahas manajemen perioperatif pada 2 orang pasien, seorang anak dan seorang remaja
yang mengalami EDH karena cedera otak traumatik yang menjalani kraniotomi emergensi untuk
evakuasi perdarahannya.
EDH sangat penting untuk cepat didiagnosa, karena bila terdeteksi segera dan dilakukan evakuasi perdarahan, biasanya hasilnya baik dengan mortalitas kurang dari 10%. Evakuasi dan kontrol perdarahan segera sangat penting untuk keselamatan pasien dan menghindari cedera neurologis yang permanen.
Kata kunci: Cedera Otak Traumatik, EDH, Manajemen Perioperatif
I. Pendahuluan
Cedera otak traumatik relatif sering terjadi,
mengakibatkan lebih dari 1 juta admisi pada unit
gawat darurat di seluruh dunia. Kerusakan akibat
cedera otak traumatik, amat bervariasi, dari cedera
kepala ringan sampai cedera berat dan kematian.
Cedera otak traumatik dapat terjadi sebagai cedera
tunggal, maupun sebagai bagian dari trauma
multipel. Penyebab utama cedera otak traumatik
adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh, olah raga
maupun perkelahian. Pengelolaan segera cedera
otak traumatik difokuskan pada pencegahan cedera
sekunder, dengan mencegah terjadinya hipoksia
dan hipoperfusi yang secara bermakna meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.1, 2
Epidural hemorrhage (EDH) adalah perdarahan
yang terjadi pada ruang epidural, biasanya terjadi
pada fossa kranii media karena adanya laserasi
arteri meningea media, walaupun bisa juga terjadi
pada fossa anterior ataupun posterior. Bentuknya
biasanya lentikuler dan dibatasi oleh garis sutura di
mana lapisan perikranial dura melekat ke kranium.
EDH seringkali terjadi bersama fraktur tulang
kranium. Secara klasik, pasien EDH memiliki lucid
interval, yakni periode adanya kesadaran yang
jernih sebelum terjadinya perburukan kesadaran,
walau hanya setengah dari pasien yang menjalani
operasi kraniotomi karena EDH menunjukkan
gejala ini. EDH sangat penting untuk cepat didiagnosa;
karena bila terdeteksi segera dan dilakukan
evakuasi dan kontrol perdarahan segera, biasanya
hasilnya baik dengan mortalitas kurang dari
10%.2, 3
Gejala klinis sebagai akibat dari hematoma
intrakranial seperti EDH, terutama tergantung pada
kecepatan hematoma ini terbentuk. Bila hematoma
terbentuk dengan cepat seperti pada akut EDH
(akibat cedera kepala), subdural, ataupun hematoma
intraserebral, akan terjadi gangguan neurologis
dengan cepat dan peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) yang mengancam kehidupan. Sasaran dari
teknik anestesi yang dilakukan adalah mengendalikan
TIK serta mempertahankan oksigenasi dan
perfusi otak, diikuti dengan dekompresi dengan
pembedahan. Waktu sangatlah penting pada pembedahan
EDH, evakuasi dan kontrol perdarahan
dalam waktu yang singkat sangat essensial untuk
menghindari cedera neurologis yang permanen.
II. Kasus 1
Seorang anak perempuan usia 6 tahun, berat badan
20 kg, datang ke unit gawat darurat 1 jam setelah
kena pukul palu pada kepalanya, didiagnosa
mengalami EDH dan menjalani kraniektomi emergensi
untuk evakuasi perdarahan dan elevasi fraktur
depresif.
Anamnesa
Pasien datang dengan luka di kepala dan sakit
kepala yang bertambah berat dengan progresif
setelah kepalanya terpukul oleh palu. Riwayat
pingsan tidak ada, sejak 2 jam setelah kejadian,
pasien mulai mengalami muntah yang proyektil dan
bertambah gelisah. Pasien makan minum terakhir 4
jam sebelum masuk rumah sakit.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan kesadaran
GCS E3V5M6 dengan pupil bulat isokor, dan
refleks cahaya yang normal. Respirasi, jalan nafas
tidak ada sumbatan, frekuensi 12 kali/menit, suara
nafas bronkhovesikuler. Tekanan darah 120/78
mmHg, dengan laju nadi 86 kali/menit. Pada
auskultasi bunyi jantung normal, tidak didapatkan
adanya murmur. Pada regio temporo parietal kiri
didapatkan cefal hematoma.
Pemeriksaan Penunjang
Pada CT (Computed Tomografi) scan kepala
didapatkan adanya fraktur depresif pada daerah
fronto-temporal kiri, EDH di fronto-temporal kiri,
dengan midline shift 4,5 mm yang disertai adanya
edema serebri. Pada pemeriksaan darah segera di
dapatkan hemoglobin 10,6 g/dl, hematokrit 32,4%,
trombosit 443 x 103, waktu perdarahan 1 menit dan
waktu pembekuan 8 menit.
Manajemen Anestesi
Di ruang operasi, pasien telah terpasang infus,
monitor pra induksi meliputi ECG, tekanan darah
non invasif, pulse oxymetri. Posisi pasien bagian
kepala ditinggikan 20° untuk membantu drainase
vena serebral. Kateter urine di pasang untuk
menilai produksi urine dan status cairan. Pasien
tidak diberikan premedikasi.
Setelah diberikan pre-oksigenasi, induksi anestesi
dilakukan dengan propofol 100 mg, fentanyl 50 μg,
dan pelumpuh otot rocuronium 20 mg. Setelah
onset pelumpuh otot tercapai, dilakukan intubasi
orotrakhea dengan sellick maneuver. Dipasang pipa
endotrakhea non kinking nomer 5,5 dan difiksasi
dengan baik. Anestesi dilanjutkan dengan 1.5
volume % sevoflurane dalam campuran oksigen
dan udara luar, pemberian tambahan fentanyl,
pelumpuh otot rocuronium dan dilakukan ventilasi
kendali. SpO2 dijaga berkisar 99-100 %, tekanan
darah stabil pada 95/55 -110/60 mmHg dan nadi
berkisar 70 sampai 92 kali/menit.
Dilakukan kraniotomi dan evakuasi EDH serta
elevasi dari fraktur depresinya. Pembedahan berlangsung
selama 3 jam dengan perdarahan sekitar
75 ml dengan lama anestesi berlangsung 3 jam 45
menit. Pasien dibangunkan dan dilakukan ekstubasi
di ruang operasi.
Pasca Anestesi
Pasca anestesia pasien diobservasi di ruang pulih
anestesi selama 4 jam. Analgesia pasca operasi
dilakukan dengan pemberian metamizole 350 mg
dan fentanyl 150 μg diberikan dalam drip 24 jam.
Analgesia pasca operasi cukup adekuat, pasien
tenang, tidak banyak banyak menangis untuk
mencegah kenaikan tekanan intrakranial. Pada saat
dipindahkan dari ruang pulih anestesi GCS pasien
E4V5M6. Perawatan pasca operasi dilakukan di
ruang perawatan biasa. Setelah dirawat di ruangan
selama 4 hari, pasien diijinkan pulang.
Kasus 2
Seorang laki-laki usia 16 tahun, datang sadar ke
unit gawat darurat rumah sakit Sanglah dengan
sakit kepala yang bertambah berat, setelah mengalami
kecelakaan lalu-lintas dan menjalani emergensi
kraniotomi karena EDH.
Anamnesa
Pasien laki-laki usia 16 tahun, datang sadar dengan
sakit kepala yang bertambah berat, setelah mengalami
kecelakaan lalu-lintas menabrak sesama sepeda
motor 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
sempat tidak sadar, mengalami amnesia, tidak dapat
mengingat dengan jelas bagaimana kecelakaannya
terjadi dan sejak 1 jam pasca masuk rumah sakit
mengalami muntah yang proyektil. Makan-minum
terakhir 7 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan didapatkan pasien berat badan 41
kg, tinggi badan 151 cm dengan GCS E4V5M6,
cervical spine baik, dengan pupil bulat isokor dan
refleks cahaya yang normal. Respirasi, jalan nafas
tidak ada sumbatan, frekuensi 12 kali/menit, suara
nafas bronkhovesikuler dengan tekanan darah
120/90 mmHg, laju nadi 72x/ menit dan tampak
cefal hematoma pada daerah frontal kanan.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan CT scan kepala didapatkan
adanya fraktur depresif tulang frontal kanan, EDH
pada daerah frontal kanan, ukuran 3,49 cm x 6,6 cm
yang tampak pada 7 irisan gambaran scan, dengan
midline shift + 5,3 mm. Pasien diputuskan untuk
menjalani tindakan kraniotomi emergensi untuk
evakuasi EDH.
Manajemen Anestesi
Di ruang operasi posisi pasien bagian kepala
ditinggikan 20° untuk membantu drainase vena
serebral. Pasien telah dipasang infus. Monitor pra
induksi meliputi ECG, tekanan darah non invasif,
pulse oxymetri. Kateter urine di pasang untuk
menilai produksi urine dan status cairan. Pasien
tidak diberikan premedikasi.
Setelah dilakukan pre-oksigenasi, induksi anestesia
dengan propofol 150 mg, fentanyl 150 μg, dan
pelumpuh otot vecuronium 6 mg. Dilakukan
intubasi orotrakhea. Anestesia dilanjutkan dengan
1.5% sevofluran dalam campuran oksigen dan
udara luar, pemberian tambahan fentanyl,
pelumpuh otot vecuronium dan dilakukan ventilasi
kendali. SpO2 dijaga berkisar 99-100%, dengan
tekanan darah stabil pada 95/55 -120/80 mmHg.
Dilakukan kraniotomi dan evakuasi perdarahan,
elevasi dari fraktur depresinya serta pemasangan
mini plate pada daerah frakturnya. Pembedahan
berlangsung selama 2 jam 30 menit dan lama anestesi
berlangsung 3 jam 10 menit. Pasien dibangunkan
secara perlahan dan setelah pasien membuka
mata dilakukan ekstubasi di ruang operasi.
Pasca Anestesi
Analgesia pasca operasi dilakukan dengan
pemberian metamizole 3 x 1g dan fentanyl 350 μg
diberikan dalam infus kontinyu 24 jam. Pasca
anestesi pasien dirawat di ruang pulih anestesi.
Pada saat dipindahkan dari ruang pulih anestesi
pasien sadar baik, GCS E4V5M6. Perawatan pasca
operasi dilakukan di ruang perawatan biasa.
III. Pembahasan
Evaluasi awal pasien cedera otak traumatik
meliputi evaluasi trauma sistemik seperti mengikuti
protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS).
Protokol ini menekankan pemeriksaan sistematis
untuk cedera trauma, dimana jalan nafas, ventilasi
dan sirkulasi harus dinilai terlebih dahulu. Penilaian
pada sistem sirkulasi harus meliputi semua tempat
perdarahan eksternal termasuk luka terbuka pada
kepala, dan segera dilakukan upaya untuk kontrol
perdarahan. Setelah evaluasi trauma awal dan
pasien berada dalam kondisi hemodinamik stabil,
dapat dilanjutkan dengan evaluasi yang terfokus
pada cedera kepalanya. Sangat penting untuk mendapatkan
keseluruhan gambaran mekanisme trauma
yang terjadi, karena dapat memperkirakan beratnya
cedera otak traumatik yang terjadi. Setelah
anamnesa yang memadai, dilakukan penilaian
status neurologis. Bagian pertama dari evaluasi
neurologis adalah penilaian Glasgow Coma Scale
(GCS). Walau penilaian GCS sudah merupakan
bagian dari evaluasi trauma awal, harus dilakukan
berulang untuk menilai adanya penurunan status
neurologis. Sangat penting untuk dipahami bahwa
penilaian GCS adalah pemeriksaan penyaring
(screening exam) dan tidak menggantikan penilaian
status neurologis secara menyeluruh.4-7
Evaluasi neurologis pada pasien cedera kepala
didasarkan pada penilaian kesadaran dengan GCS.
Skala GCS meliputi penilaian tiga fungsi, yakni
respon membuka mata, respon verbal dan respon
motorik. Berdasarkan penilaian GCS ini, tingkatan
cedera kepala diklasifikasikan sebagai cedera
kepala ringan (GCS 13-15), cedera kepala sedang
(9-12) ataupun cedera kepala berat (8 kebawah).
Berdasarkan definisi, koma adalah pasien dengan
GCS 8 ke bawah. Pemeriksaan neurologis lain yang
penting pada pasien cedera kepala adalah penilaian
ukuran pupil dan reaktifitas pupil terhadap cahaya,
respon refleksinya, adanya asimetri ataupun
flaksiditas pada ekstremitas, maupun postur
deserebrasi (ekstensi lengan yang rigid) ataupun
dekortikasi (fleksi lengan yang rigid).
Setelah dilakukan resusitasi, stabilisasi dan
penilaian neurologis, pemeriksaan untuk diagnostik
dapat dilakukan. Harus dilakukan rontgent lateral
C-spine dan thoraks. Foto rontgent polos kepala
sekarang jarang dilakukan untuk cedera kepala
tertutup (closed head injury), tetapi masih penting
pada evaluasi trauma tembus kepala. CT (computed
tomography) scan, sekarang merupakan pemeriksaan
diagnostik terpilih pada evaluasi cedera otak
traumatik karena cepat, relatif sudah tersedia di
banyak rumah sakit, dapat mengidentifikasi seba
sebagian besar fraktur pada tengkorak dan secara akurat
dapat menunjukkan lokasi perdarahan akut yang
terjadi. CT scan standar untuk evaluasi cedera otak
traumatik adalah scan tanpa kontras.
Perdarahan ekstraaksial pada CT scan dapat berupa
epidural, sub-dural ataupun sub-arakhnoid. Perdarahan
epidural lokasinya antara tabula interna
tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini biasanya
bentuknya bikonveks, karena batas luarnya
mengikuti bentuk tabula interna tulang tengkorak,
dan batas dalamnya adalah lokasi di mana dura
melekat secara kuat pada tengkorak. Perdarahan
epidural, sebagian besar berasal dari perdarahan
arteri pada dura, dan hanya 10 % dari perdarahan
epidural ini berasal dari perdarahan vena.
Perdarahan epidural dapat membesar dengan cepat,
terutama yang berdasar dari perdarahan arterial.
Perdarahan epidural ini dibatasi oleh garis sutura
intra-kranial. Epidural hemorrhage biasanya terjadi
akibat laserasi arteri meningea media sepanjang
perjalanannya dari memasuki rongga kranium sampai
cabang-cabangnya pada dura supratentorial.
Ruang epidural ini biasanya hanya ruang potensial,
tetapi sangat mudah terisi oleh perdarahan dan
dibatasi hanya oleh perlekatan dura sepanjang garis
sutura. EDH jarang terjadi pada usia lanjut karena
dura seringkali melekat kuat pada lapisan dalam
kranium.
Fraktur tulang tengkorak seringkali terjadi bersama
cedera otak traumatik. Makin berat cedera otak
traumatiknya, makin besar kemungkinan terjadi
fraktur tulang tengkorak. Kejadian fraktur tulang
tengkorak pada cedera otak traumatik adalah sekitar
3 % dari pasien yang masuk ruang gawat darurat,
65% dari pasien yang masuk ruang rawat intensif
neuro, dan 80% dari pasien cedera otak traumatik
yang meninggal. Fraktur tulang tengkorak adalah
masalah yang penting, sebab memiliki insiden
perdarahan intrakranial yang lebih besar dibanding
pasien cedera otak traumatik yang tidak mengalami
fraktur. Fraktur tulang tengkorak juga berkaitan
dengan komplikasi cedera otak traumatik, seperti
menjadi sumber infeksi. Rhinorrhea likuor
cerebrospinalis terjadi akibat adanya fraktur lamina
cribriformis, dan otorrhea terjadi akibat fraktur
pada mastoid ataupun tulang temporal. Fraktur
depresif mengakibatkan resiko terjadinya kejang
jangka panjang pasca trauma sebesar 31%.3, 4
Tindakan operasi pada cedera otak traumatik
diindikasikan bila terjadi efek massa yang bermakna.
Secara tradisional hal ini didefinisikan bila
ada pergeseran garis tengah (midline shift) 5 mm
atau lebih. Midline shift ini diukur pada CT-scan
aksial dengan melihat pergeseran septum
pellucidum dari garis tengah setinggi level foramen
Monroe. EDH dengan volume lebih dari 30 cc
harus dievakuasi, walaupun pasiennya asimptomatik.
Pasien EDH dengan GCS kurang dari 9,
disertai dengan pupil yang dilatasi harus dilakukan
tidakan evakuasi perdarahan dan dekompresi
segera. Perdarahan akut pada EDH (maupun SDH)
dapat dievakuasi dengan kraniotomi ataupun
kraniektomi.4, 7
Peningkatan TIK hampir selalu terjadi pada pasien
cedera kepala yang memerlukan tindakan operasi,
dan induksi anestesia terbaik dilakukan dengan obat
induksi yang menurunkan TIK. Propofol (1,5-3
mg/kg) + fentanyl (2-5 μg/kg) sangat memuaskan.
Apabila didapatkan adanya hemodinamik yang
tidak stabil, dapat digunakan etomidate (0,1-0,4
mg/kg). Obat pelumpuh otot non-depolarisasi rocuronium
(0,9 mg/kg) ataupun vecuronium (0,1
mg/kg) diberikan untuk memfasilitasi intubasi
endotrakea. Suksinil kholin dapat meningkat TIK
sesaat, tetapi masih digunakan pada manajemen
jalan nafas emergensi. Pemberian pelumpuh otot
non depolarisasi dosis defasikulasi untuk mencegah
fasikulasi dapat mencegah kenaikan TIK
akibat fasikulasi. Untuk mencegah kenaikan tekanan
datarah dan TIK akibat intubasi endotrakea,
dapat diberikan bolus lidokain 1-2 mg intravena
atau tambahan fentanyl 1-2 menit sebelum laringoskopi.
Sebelum induksi harus dipastikan pasien
mendapat hidrasi yang memadai dan dalam
keadaan euvolumia sebelum induksi.4, 8
Trauma medula spinalis servikal sering menyertai
cedera otak traumatik dan kemungkinan tindakan
intubasi bisa memperburuknya adalah perhatian
utama pada saat dilakukan tindakan intubasi baik
untuk jalan nafas darurat maupun pada tindakan
anestesi. Kejadian fraktur servikal berkisar 8-10%
dari pasien dengan cedera otak traumatik dengan
GCS ≤ 8. Angka insiden ini menunjukkan tehnik
intubasi dengan “hipnosis-pelumpuh otot-laringoskopi
direk” pada pasien cedera otak traumatik
memiliki resiko terjadinya cedera medula spinalis
cervikal. Walaupun beberapa literatur menunjukkan
adanya resiko, teknik induksi cepat (rapid sequence
induction) tidak meningkatkan resiko terjadinya
cedera neurologis. Pada saat dilakukan induksi
dengan teknik hipnosis-pelumpuh otot, dilakukan
juga penekanan pada kartilago krikoid dan
stabilisasi aksial segaris (in-line axial stabilization).
Sebelumnya traksi segaris (in-line traction) lebih
sering digunakan, kemudian ditambahkan stabilisasi
karena adanya resiko tertarik (overdistraction)
yang potensial akan menyebabkan terjadinya cedera
medula spinalis cervikal. Penelitian klinis menunjukkan
bahwa intubasi oral dengan anestesi dan
pelumpuh otot relatif aman pada cedera otak
traumatik bila disertai dengan stabilisasi segaris (inline
stabilization) dan occiput pasien ditahan
dengan baik. Walaupun bila stabilisasi segaris
dilaku-kan dengan baik, akan membuat laringoskopi
direk sedikit lebih sulit, tetapi akan
menurunkan derajat ekstensi atlanto-oksipital yang
diperlukan untuk mendapatkan visualisasi glotis.9
Otak yang dalam keadaan cedera sangat rentan
terhadap keadaan yang tidak menguntungkan
walaupun ringan seperti hipotensi yang ringan
sampai sedang dan hipoksia yang berlangsung tidak
lama. Hal ini disebabkan adanya bagian otak yang
memiliki CBF yang relatif rendah pada periode
pasca cedera otak, dimana autoregulasinya masih
terganggu karena adanya cedera. Sebagian besar
pasien cedera otak traumatik yang meninggal
menunjukkan perubahan patologis yang konsisten
dengan iskemia dan terdapat cukup bukti bahwa
CBF yang rendah pasca cedera otak berkaitan
dengan prognosis yang buruk, sehingga
mempertahankan CBF adalah salah satu target
utama pada stabilisasi hemodinamik pasca cedera
otak traumatik. Penelitian yang dilakukan di
Universitas Edinburgh, yang menilai keadekuatan
perfusi serebral dengan SjvO2 (Saturasi O2 bulbus
jugularis) dan TCD (Trans Cranial Doppler)
mendapatkan bahwa perfusi serebral mulai menurun
dibawah CPP (CPP=MAP-ICP) 70 mmHg.
Penelitian oleh Robertson dan rekannya yang
membandingkan pasien cedera otak traumatik yang
dirawat di ruang intensif yang dirawat dengan
target CPP 70 mmHg dan 50 mmHg mendapatkan
kelompok pasien dengan CPP 70 mmHg walaupun
kondisi serebralnya menjadi lebih baik dibanding
kelompok 50 mmHg, tetapi memiliki komplikasi
dan morbiditas kardiovaskuler yang lebih tinggi.
Sehingga banyak kelompok menggunakan 60
mmHg sebagai target CPP sebagai target minimum
manajemen CPP. Brain Trauma Foundation
merekomendasikan target nilai CPP berada dalam
rentang 50-70 mmHg.9
Manajemen pemulihan anestesia ditentukan oleh
keadaan pasien preoperatif dan perjalanan operasinya.
Karena kondisi pasien secara neurologis baik
sebelum operasi dan operasi evakuasi perdarahan
dan elevasi tulang akibat fraktur depres-nya
berjalan lancar, pasien dibangunkan dan diekstubasi
di kamar operasi.
Cedera otak traumatik walaupun ringan seringkali
berkaitan dengan sindrom pasca cedera otak (postconcussive
syndrome). Sindrom ini memiliki tiga
kelompok gejala, yakni masalah kognitif (seperti
perhatian yang menurun, sulit berkonsentrasi),
gejala somatik (seperti sakit kepala, tinnitus,
sensitif terhadap cahaya) dan masalah afektif
IV. Simpulan
Waktu sangatlah penting pada penangan pasien
cedera kepala dengan EDH karena perdarahannya
dapat membesar dengan cepat. Evakuasi dan
kontrol perdarahan dengan segera sangat penting
untuk keselamatan pasien dan menghindari cedera
neurologis yang permanen. Mencegah terjadinya
kenaikan TIK dan menjaga oksigenasi dan perfusi
otak adalah sangat esensial dalam melakukan
anestesi pada pasien dengan cedera kepala
traumatik.
Daftar Pustaka
1. Zitnay GA, Zitnay KM, Povlishock JT, Hall
ED, Marion DW, Trudel T, et al. Traumatic
brain injury research priorities: The
conemaugh international brain injury
symposium. J Neurotrauma. 2008;25:1135-52.
2. Hawthorne G, Gruen RL, Kaye AH. Traumatic
brain injury and long-term quality of life:
Findings from an australian study. J
Neurotrauma. 2009;26:1623-33.
3. Lu J, Marmarou A, Choi S, Maas A, Murray G,
Steyerberg EW. Mortality from traumatic brain
injury. Acta Neurochir [Suppl]. 2005;95:281-5.
4. Baron EM, Jallo JI. TBI; Pathology,
pathophysiology, acute care and surgical
management, critical care principles, and
outcome. Dalam: Zasler ND, Katz DI, Zafonte
RD, editors. Brain injury medicine, principle
and practice. New York: Demos; 2007, 265-82.
5. Greve MW, Zink BJ. Pathophysiology of
traumatic brain injury. Mount Sinai Journal of
Medicine 2009;76:97-104.
6. Kochanek PM, Clark RSB, Jenkins LW. TBI:
Pathobiology. Dalam: Zasler ND, Katz DI,
Zafonte RD, editors. Brain injury medicine :
principles and practice. New York,: Demos
Medical Publishing; 2007, 81-96.
7. Woods M. Aspects of perioperative
neuroscience practice. Dalam: Smith B,
Rawling P, Wicker P, Jones C, editors. Core
topics in operating department Anaesthesia and
critical care. Cambridge: Cambridge
University Press; 2007, 61-76.
8. Steinberg GF, Dodd RL, Sakamoto GT, Shuer
LM, Chang SD, Laws ER, et al. Intracranial
neurosurgery. Dalam: Jaffe RA, Samuels SI,
editors. Anesthesiologist's manual of surgical
procedures. Philadelphia: Lippincott William
and Wilkins; 2009.
9. Drummond JC, Patel PM. Neurosurgical
anesthesia. Dalam: Miller RD, Eriksson LI,
Fleischer LA, P.Wiener-Kronish J, Young WL,
editors. Miller's anesthesia. 7 ed: Churchill-
Livingstone-Elsevier; 2009
0 komentar:
Posting Komentar