konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Minggu, 26 Februari 2017

DISFUNGSI KOGNITIF PASCAOPERASI PADA PASIEN OPERASI ELEKTIF

DISFUNGSI KOGNITIF PASCAOPERASI PADA PASIEN OPERASI ELEKTIF

POSTOPERATIVE COGNITIVE DYSFUNCTION IN ELECTIVE SURGICAL PATIENT

Lucky Andriyanto*, Wijoto**, Nancy Margarita R*
* Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif FK Unair / RSU dr. Sutomo Surabaya
**Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK Unair / RSU dr. Sutomo Surabaya

Abstract
Background and Objective: Post operative cognitive dysfunction (POCD) is a common and becoming a serious problem since it can impair the quality of life of the patient who underwent surgery and increase the burden of health cost. In this study, author wanted to know the incidence of POCD among patients undergoing elective surgery patients in dr. Sutomo hospital and examine the risk factors.
Method: The study involved a sample of fifty people aged 40 years or older who underwent surgery more than two hours. Conducted a series of cognitive function tests pre-surgery and seven days post-surgery. Cognitive domain that measured were attention and memory. Factors that thought to affect the incidence of POCD in this study were age, educational level and duration of surgery.
Result: After 7 days post surgery 30 % of patients had attention decline, 36 % patients had memory decline and 52 % had post operative cognitive decline. Cognitve function test that decrease significantly are digit repetition test, immediate recall, and paired associate learning. Regression logistic analysis for age (p = 0.798), education level (p = 0.921) and duration of surgery (p = 0.811) on the incidence POCD showed no significant relationship. However, when analyzed in each group of age, the results would show that the percentage of patients experiencing POCD was consistently higher in the age of 50 years or older, education level of 6 years or less and duration of surgery of 180 minutes or longer.
Conclusion: The incidence of cognitive dysfunction in patients undergoing elective surgery in dr. Sutomo hospital was considered high. Age, education level and duration of surgery appeared to influence the incidence of POCD although not statistically significant.
Keywords: cognitive dysfunction, attention, memory, general anesthesia



Abstrak:
Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi. Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.
Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia  50 tahun, tingkat pendidikan  6 tahun dan durasi operasi  180 menit
Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan.
Kata kunci: kognitif pascaoperasi, atensi, memori, anestesi umum



Sumber tulisan : disalin langsung dari :  JNI 2012;1(2):67-75





































I.Latar Belakang 
Disfungsi kognitif sering terjadi pada pasien pascaoperasi, namun kejadian pada pasien yang menjalani pembedahan di Gedung Bedah Pusat Terpadu (GBPT) RSU dr. Sutomo belum banyak diketahui. Manifestasi disfungsi kognitif pascaoperasi / DKPO (Postoperative Cognitive Dysfunction / POCD) dapat berupa gangguan ingatan, perhatian, atau konsentrasi.1 Kelainan ini dapat terjadi dalam jangka waktu pendek, tujuh hari pascaoperasi atau jangka panjang, empat minggu atau beberapa bulan pascaoperasi. 2,3,4 
Satu penelitian menunjukkan tidak ada gangguan fungsi kognitif pada pascaoperasi rawat jalan hari ke 3 dan ke 7. Hanya didapatkan penurunan fungsi recall yang bermakna pada hari ke 3 dan ke 7 bila dibandingkan kondisi preoperasi.5 Hal ini berbeda dengan kejadian DKPO yang dilaporkan di luar negeri. Angka kejadian DKPO pada pasien operasi selain operasi jantung bisa mencapai 30-41%.3 
Penurunan fungsi kognitif tidak hanya terjadi pada pasien usia lanjut saja tetapi kejadiannya juga cukup tinggi pada usia yang lebih muda yaitu 36% dan 30,4% pada usia 18-39 tahun dan 40-59 tahun.3 
Sedangkan peneliti lain mendapatkan kejadian DKPO pada 19,2% pasien usia 40-60 tahun yang menjalani operasi besar abdomen dan ortopedi.4 Kejadian disfungsi kognitif pascaoperasi yang tinggi akan menjadi beban yang berat bagi penyedia pelayanan kesehatan pada khususnya dan pemerin-tah pada umumnya. Gangguan kognisi ini dapat dirasakan hanya sebagai gangguan kecil bagi seorang pasien tetapi juga bisa menyebabkan krisis yang berat bagi pasien yang lain terutama bila penurunan fungsi kognitif ini menetap.6 
Hal ini akan menghambat mobilisasi dan rehabilitasi pasien pascaoperasi, menurunkan kualitas hidup, mening-katkan dependensi pasien dan semakin memper-lama masa tinggal di rumah sakit. Lebih jauh lagi penurunan fungsi kognitif pascaoperasi juga dikaitkan dengan peningkatan resiko kematian satu tahun pascaoperasi.3 Akhirnya dalam skala besar masalah ini akan menurunkan produktivitas tenaga kerja dan meningkatkan pembiayaan kesehatan oleh pemerintah.

Beberapa studi menunjukkan bahwa faktor resiko yang dianggap berperan terhadap terjadinya disfungsi kognitif pascaoperasi adalah usia tua.3,7 Namun tidak ada studi yang dapat menjelaskan mekanisme terjadinya DKPO.1 Anestesi umum semula diduga sebagai penyebab tejadinya gangguan ini, namun alternatif teknik regional anestesi juga tidak terbukti menurunkan kejadian DKPO1,8. 

Pembedahan dan anestesi terkait dengan respon stress yang meningkatkan sekresi katekolamin dan kortisol. Tingkat stress yang tinggi yang berlangsung terus menerus bisa menghambat memori dan mengganggu fungsi hipocampal. Pembedahan juga memicu mekanisme imun dan kaskade inflamasi melalui pelepasan berbagai mediator inflamasi. Sebagian peneliti menganggap bahwa disfungsi kognitf pascaoperasi terjadi karena proses inflamasi sebagai respon terhadap operasi atau anestesi. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya mediator sitokin proinflamatori di cairan serebrospinalis. Penelitian lain menunjukkan terjadinya inflamasi di daerah hipocampus yang merupakan area memori dan kognitif, pada pasien pascaoperasi. 10,11 

Banyak perbedaan anatomis, fisiologis, dan faktor lingkungan antara pasien di Indonesia dengan pasien di berbagai tempat peneltian diatas. Pada penelitian, ini penulis ingin meneliti kejadian penurunan fungsi kognitif pascaoperasi pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo Surabaya dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. II.Subjek dan Metode Penelitian dilakukan terhadap 50 pasien yang menjalani pembedahan dan berlangsung lebih dari dua jam dengan anestesi umum di GBPT RSU dr. Sutomo. Kriteria inklusi pemilihan adalah pasien berusia lebih dari 40 tahun dengan status fisik ASA 1-2. Sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien menjalani bedah saraf atau bedah jantung terbuka, buta huruf, menderita gangguan sistem saraf pusat, ketergantungan NAPZA, mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran, dan tidak bersedia mengikuti prosedur penelitian. Teknik anestesi umum tidak distandarisasi karena penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kejadian gangguan kognitif pada situasi yang sebenarnya bukan membandingkan berbagai teknik anestesi atau obat anestesi.

Evaluasi fungsi kognitif dilakukan dua kali yaitu satu hari sebelum operasi dan tujuh hari pascaoperasi. Alat ukur yang digunakan adalah model ”pemeriksaan status mental”12 yang telah digunakan di divisi neurobehavioral departemen / SMF Ilmu Penyakit Saraf FK Unair/RSU dr. Sutomo. Pemeriksaan praoperasi dan pascaoperasi menggunakan alat ukur yang sama tetapi dengan versi yang berbeda. Karakteristik pasien, riwayatmedik, pembedahan dan aspek sosial didapatkan dengan cara wawancara pada saat evaluasi






Hasil utama yang dicari dari penelitian ini adalah disfungsi kognitif yang terjadi tujuh hari pascaoperasi. Pasien dianggap mengalami disfungsi kognitif bila didapatkan gangguan dari salah satu atau kedua fungsi atensi dan memori. Fungsi atensi dinilai melalui pemeriksaan digit repetition test dan vigilance test. Gangguan atensi didefinisikan sebagai terjadinya peningkatan kesalahan dalam kedua pemeriksaan pengulangan angka dan kewaspadaan pascaoperasi dibandingkan pra-operasi.

Fungsi memori dinilai melalui pemeriksaan immediate recall, orientation, remote memory, four unrelated word, verbal story for immediate recall, hiden object, visual design reproduction, dan paired associate learning. Gangguan memori adalah terjadinya peningkatan kesalahan dalamminimal lebih dari dua pemeriksaan memori pascaoperasi dibandingkan praoperasi Pemeriksaan kognitif dianalisa secara statistik dengan teknik Wilcoxon signed rank test dan paired t-test, sedangkan berbagai faktor yang dianggap mempengaruhi terjadinya DKPO dianalisa dengan metode logistic regretion. III.Hasil Penelitian ini dilakukan terhadap 50 orang sampel dengan status fisik 1-2 dari ASA. Karakteristik demografi sampel seperti yang tercantum pada tabel 1. Usia sampel dibedakan menjadi usia 40-49 tahun yaitu 29 orang (58%) dan 50 tahun keatas 21 orang (42%). Sebagian besar sampel adalah perempuan dengan jumlah 31 orang (62%), sedangkan laki laki 19 orang (48%). Sebagian besar sampel berpendidikan SD yaitu 18 orang (36%). Sampel yang pendidikan terakhirnya SLTA 13 pasien (26%), sampel dengan pendidikan terakhir SLTP 8 orang (16%), sampel yang pernah mendapat pendidikan di perguruan tingi 8 orang (16%), dan sampel yang tidak pernah mendapat pendidikan formal sebanyak 3 orang (6%). Macam pembedahan yang dijalani pasien meliputi pembedahan digestif, ginekologi, dan onkologi. Lama pembedahan bervariasi dengan rata-rata 3,1 jam. Sebagian besar sampel menjalani pembedahan selama 120-179 menit yaitu 28 orang (56%). Sedangkan sampel yang menjalani pembedahan selama lebih dari 180 menit sebanyak 22 orang (44%). Gangguan atensi dan memori dinilai melalui beberapa tes yaitu dua tes untuk gangguan atensi dan delapan tes untuk gangguan memori. Hasil pemeriksaan tiap-tiap tes dan kemaknaannya adalah sesuai dengan yang tercantum dalam tabel 2. Pemeriksaan kognitif yang mengalami perubahan bermakna antara praoperasi dan pascaoperasi adalah digit repetition, vigilance, immediate recall, hidden object, dan paired associate learning. Digit repetition, immediate recall dan four unrelated word adalah pemeriksaan yang paling banyak terjadi penurunan. Penurunan pada digit repetition dialami 25 orang sampel (50%), immediate recall pada 25 orang (50%) dan four unrelated word pada 25 orang (50%). Sedangkan penurunan tes orientation dan remote memory paling sedikit terjadi yaitu orientation terjadi pada 1 orang (2%) dan remote memory pada 1 orang (2%). Analisa pemeriksaan atensi dan memori menunjuk-kan bahwa sampel yang mengalami gangguan atensi adalah 15 orang (30%), pasien yang mengalami gangguan memori adalah 18 orang (36%), sedangkan pasien yang mengalami disfungsi kognitif adalah 26 orang (52%). (tabel 4) Hubungan usia, tingkat pendidikan, dan durasi operasi dengan gangguan atensi dapat dijelaskan dari tabel 5.8. Sampel dengan usia 40-49 tahun yang mengalami gangguan atensi adalah 10 orang (66,7%) sedangkan kelompok usia 50 tahun yang mengalami gangguan atensi adalah 5 orang (33,3%). Gangguan atensi yang terjadi diantara kedua kelompok tingkat pendidikan tidak banyak berbeda yaitu 8 orang (53,3%) pada kelompok tingkat pendidikan ≤ 6 tahun dan 7 orang (46,7%) pada kelompok tingkat pendidikan > 6 tahun. Pada kelompok sampel yang menjalani operasi selama 120-179 menit mengalami gangguan atensi sebanyak 8 orang (53,3%). Jumlah sampel yang mengalami gangguan atensi pada kelompok sampel yang menjalani operasi selama lebih dari 180 menit tidak jauh berbeda yaitu 7 orang (46,7%). Berdasarkan analisa regresi logistik, ketiga variabel usia, tingkat pendidikan dan lama operasi tidak mempengaruhi kejadian gangguan atensi dengan nilai p = 0,355 pada variabel usia, p = 0,379 pada variabel tingkat pendidikan dan p = 0,608 pada variabel durasi operasi. Gangguan memori dapat dianalisa hubungannya dengan variabel usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi sesuai tabel 5. Sampel yang mengalami gangguan memori pada kelompok usia 40-49 tahun tidak banyak berbeda dengan kelompok usia 50 tahun yaitu 10 orang (55,6%) pada sampel yang berusia 40-49 tahun dan 8 orang (44,4%) pada sampel yang berusia 50 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan pasien yang mengalami gangguan memori jumlahnya juga hampir sama antara kelompok yang pendidikannya kurang dari 6 tahun dan lebih dari 6 tahun. Dari kelompok sampel yang pendidikannya 6 tahun kebawah, 8 orang (44,4%) sampel mengalami gangguan memori sedangkan kelompok yang tingkat pendidikannya lebih dari 6 tahun sebanyak 10 orang (55,6%)

Gangguan memori terjadi pada kelompok sampel yang menjalani operasi 120-179 menit sebanyak 10 orang (55,6%) sedangkan pada kelompok yangmenjalani operasi 180 menit atau lebih sebanyak 8 orang (44,4%). Analisa regresi logistik dari variabel usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi menunujukkan bahwa ketiga variabel tersebut tidak mempengaruhi kejadian gangguan memori. Nilai p dari ketiga variabel tersebut adalah p = 0,931 untuk variabel usia, p = 0,738 untuk variabel tingkat pendidikan dan p= 0,978 untuk variabel lama operasi.

Hubungan usia, tingkat pendidikan dan lama operasi dengan disfungsi kognitif dapat dijelaskan sesuai dengan tabel 7. Kejadian disfungsi kognitif tampak tidak jauh berbeda diantara kedua kelompok umur yaitu 14 orang (53,8%) pada usia antara 40-49 tahun dan 12 (46,2%) orang pada usia 50 tahun atau lebih.
Kejadian yang hampir sama juga didapatkan pada tingkat pendidikan.





Pada tingkat pendidikan kurang dari 6 tahun didapatkan 11 orang (42,3 %) mengalami disfungsi kognitif sedangkan pada tingkat pendidikan lebih dari 6 tahun adalah 15 orang (57,7%). Tampak pada hasil penelitian pada operasi dengan lama operasi 120-179 menit kejadian disfungsi kognitif cukup tinggi yaitu 14 orang (53,8%) dibandingkan lama operasi 180 menit atau lebih yaitu 12 orang (46,2%)

Analisa logistik regresi terhadap variabel usia dikaitkan dengan disfungsi kognitif menunjukkan bahwa usia tidak mempengaruhi kejadian disfungsi kognitif (p=0,798). Tingkat pendidikan juga menunjukkan tidak ada pengaruh yang bermakna (p=0,921) dengan kejadian disfungsi kognitif. Begitu juga durasi operasi tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap kejadian disfungsi kognitif (p=0,811). IV.Pembahasan Terjadinya disfungsi kognitif pascaoperasi diketahui dengan melakukan serangkaian tes kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi. Pada studi evaluasi pre-post ini tiap sampel bertindak sebagai kontrolnya sendiri dan klasifikasi ditentukan dari apakah terjadi penurunan hasil post test dibandingkan pre test. Keuntungan pendekatan ini adalah klasifikasi hasil test sesuai dengan performa tiap individu.1 Waktu pemeriksaan pascaoperasi ditentukan pada hari ke 7 karena dianggap pada saat itu pengaruh obat-obatan anestesi sudah hilang, nyeri pascaoperasi sudah sangat berkurang, pasien sudah mulai aliementasi dan mobilisasi. Selain itu juga menghindari bias dengan kejadian delirium pascaoperasi yang dapat terjadi sampai hari ke tiga pascaoperasi.13

Pemeriksaan kognitif yang lengkap dapat memakan waktu yang cukup lama dan akan sulit diterapkan pada pasien-pasien yang akan menjalani pembedahan. Maka tidak semua domain kognitif dilakukan pemeriksaan. Pada penelitian ini peneliti mengutamakan evaluasi kognitif pada domain atensi dan memori karena gangguan ini sering muncul pada awal manifestasi DKPO dan kejadian gangguan kognitif pada domain ini cukup sering pada populasi pasien yang mengalami DKPO.1,9,14,15



Pada pemeriksaan neuropsikologi, umum terjadi proses belajar oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena pasien dapat mengenal dan menghafal struktur dan isi tes.1 Hal ini dapat menyebabkan terjadinya false negatif dalam pemeriksaan fungsi kognitif. Untuk menghindari terjadinya proses belajar pada pemeriksaan pre-post pada penelitian ini, peneliti memberikan alat test yang strukturnya sama tetapi materinya berbeda.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian gangguan atensi dan memori cukup tinggi yaitu mencapai 30 % dan 36 %, sedangkan kejadian disfungsi kognitif berupa gangguan salah satu atau kedua atensi dan memori mencapai 52%. Angka kejadian ini cukup tinggi seperti halnya kejadian yang dilaporkan dalam beberapa penelitian dan systematic review tentang DKPO yang menunjukkan kejadian DKPO antara 19,2%- 53%.1,3,6,9,14,15 Penelitian lain yang juga dilakukan di GBPT RSU dr. Sutomo tidak dapat menemukan adanya disfungsi kognitif kemungkinan karena pada penelitian tersebut digunakan tes Mini Mental Sate Examination (MMSE) saja untuk mendeteksi adanya DKPO.5 Permasalahan pada penggunaanMMSE adalah pemeriksaan ini memberikan ceiling effect dan tidak sensitif untuk mendeteksi adanya disfungsi kognitif pascaoperasi 1,6,16. Pada pemeriksaan atensi dan memori beberapa sampel menunjukkan adanya perbaikan dalam pemeriksaan pascaoperasi dibandingkan praoperasi. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh berbagai faktor internal pasien. Salah satunya adalah kecemasan atau depresi menjelang pelaksanaan operasi. Atensi merupakan fungsi yang diatur oleh interaksi yang komplek antara sistem limbic, neokortikal dan fungsi aktivasi ascenden. Pada populasi pasien di rumah sakit gangguan atensi dan kewaspadaan mungkin disebabkan gangguan otak difus. Gangguan ini dapat disebabkan gangguan metabolik, intoksikasi obat, status pascaoperasi dan infeksi sistemik.12,17 Gangguan atensi sangat penting artinya pada kualitas hidup pasien karena berbagai pekerjaan memerlukan atensi atau kewaspadaan. Maka gangguan ini dapat menurunkan performa kerja pasien pada periode pascaoperasi. Atensi juga merupakan faktor yang mempengaruhi performa memori, sehingga pasien yang mengalami gangguan atensi kemungkinan juga akan mengalami gangguan pada memorinya. 12 Proses memori terdiri dari beberapa tahap yaitu registrasi / resepsi informasi, melalui modalitas sensorik. Setelah informasi berhasil di registrasi maka input akan disimpan dalam memori jangka pendek. Tahap berikutnya adalah retensi atau penyimpanan yaitu informasi disimpan dalam bentuk yang lebih permanen (memori jangka panjang). Tahap terakhir adalah recall atau menarik kembali informasi yang disimpan. 18 Pemeriksaan fungsi memori yang berbeda bermakna pada penelitian ini adalah immediate recall, hidden object, dan paired associated learning. Sedangkan perubahan pascaoperasi pada pemeriksaan yang lain tidak bermakna. Namun, persentase sampel yang mengalami gangguan pada pemeriksaan fungsi memori yang lain (four unrelated word, verbal story, dan visual design reproduction) cukup tinggi yaitu lebih dari 30%.

Immediate memory / memori jangka pendek adalah proses yang tidak memerlukan penggunaan informasi yang disimpan dalam memori jangka panjang tetapi sangat memerlukan registrasi awal, retensi jangka pendek dan pengulangan verbal. Kemungkinan penyebab terbanyak gangguan memori jangka pendek adalah ketidakperhatian. Bila perhatian pasien terganggu saat pemberian informasi maka informasi tidak akan terregistrasi dengan baik. Begitu juga bila pada fase repetisi, atensi pasien terganggu dan terjadi jeda waktu maka jejak memori akan hilang. Tampaknya tidak ada struktur anatomi khusus untuk immediate memory dan umumnya pasien yang mengalami gangguan memori jangka pendek juga mengalami gangguan atensi, afasia, dan demensia atau mengalami gangguan pada sistem sensoris.12 
Gangguan pada pemeriksaan hidden object menunjukkan adanya gangguan visual memori. Sedangkan gangguan pada pemeriksaan paired associated learning menunjukkan adanya gangguan pada proses pembelajaran baru. 18 
Pemeriksaan orientation dan remote memory tampaknya tidak terpengaruh oleh tindakan pembedahan, hal ini ditunjukkan dengan perbedaan pemeriksaan praoperasi dan pascaoperasi tidak bermakna dan hampir semua sampel (98%) hasilnya tidak berubah. Hasil ini menunjukkan bahwa tampaknya proses memori yang terpengaruh oleh proses pembedahan adalah proses registrasi yang akibatnya akan mengganggu kemampuan pembelajaran baru (new learning ability).12 
Selain itu berbagai studi juga menunjukkan adanya proses inflamasi atau perubahan morfologi pada hipocampus yang terjadi pasca anestesi dan pembedahan.11 
Dilain pihak, berbeda dengan recent memory, memori jangka panjang tidak memerlukan sistem limbik untuk pengambilan kembali dan memori ini dapat hilang hanya bila terjadi kerusakan di area penyimpanannya masing-masing.12

Maka anestesi dan operasi tampaknya tidak banyak mempengaruhi memori jangka panjang. Gangguan memori dan atensi yang terjadi pada pasien pascaoperasi tidak semata mata dipengaruhi oleh obat anestesia atau teknik anestesi1,8, tetapi lebih merupakan efek kumulatif respon tubuh terhadap anestesi, stress pembedahan, tindakan pembedahan itu sendiri, atau kecemasan dengan kata lain pemberian anestesi mungkin lebih menjadi pemicu dan prediktor terjadinya gangguan dibandingkan sebagai kausanya. 8,19 

Respon inflamasi adalah patologi yang diduga menjadi penyebab terjadinya disfungsi kognitif pascaoperasi. Berbagai sitokin yang sudah ada di sistem saraf pusat akan dipicu oleh berbagai even patologis seperti iskemia atau infeksi virus sehingga jumlahnya akan sangat meningkat. Aktivasi sitokin di hippocampus akan mempengaruhi kognitif, dengan terjadinya gangguan memori dan proses belajar.11,26

Terdapat perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Kejadiangangguan atensi, memori dan disfungsi kognitif pada kelompok pasien usia 50 tahun atau lebih, tidak jauh berbeda dan lebih rendah dibandingkan kelompok pasien usia 40-49 tahun. Analisa logistik regresi juga menunjukkan faktor usia tidak mempengaruhi kejadian gangguan atensi (p=0,355), gangguan memori (p=0,931) dan disfungsi kognitif (p=0.798). Hal ini tidak sesuai dengan berbagai penelitian yang pernah dilakukan yang menunjukkan bahwa usia yang merupakan prediktor terjadinya DKPO. 1,3,7,20 Hal yang sama juga terjadi pada kejadian gangguan atensi, memori, dan disfungsi kognitif bila dihubungkan dengan variabel tingkat pendidikan. Sampel tingkat pendidikannya lebih tinggi (>6 tahun) kejadian gangguan atensi, memori dan disfungsi kognitif tidak jauh berbeda atau lebih tinggi bila dibandingkan sample yang mendapatkan pendidikan formal <6 tahun. Analisa logistik regresi tidak menunjukkan pengaruh tingkat pendidikan dengan gangguan atensi (p=0,379), gangguan memori (p=0,783) dan disfungsi kognitif (p=0,921). Sedangkan penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi kejadian disfungsi kognitif.1,3,7 Dikatakan bahwa pendidikan yang tinggi dapat memberikan reserve effect terhadap terjadinya disfngsi kognitif. 1,3,4 Perbedaan ini terjadi kemungkinan karena distribusi pasien yang tidak seimbang. Jumlah sampel pada kelompok usia 40-49 tahun adalah 28 orang (56%) sedangkan kelompok usia > 50 tahun adalah 22 (44%). Sedangkan jumlah sampel mendapat pendidikan <6 tahun adalah 21 orang (42%) sedangkan jumlah sampel yang mendapat pendidikan > 6 tahun adalah 29 orang (58%). Bila kita bandingkan kejadian gangguan atensi, memori dan disfungsi kognitif dalam tiap kelompok umur dan tingkat pendidikan tampak konsisten bahwa pada usia yang lebih tua dan tingkat pendidikan yang lebih rendah persentase kejadian gangguan atensi, gangguan memori dan disfungsi kognitif lebih tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa lama operasi tidak mempengaruhi kejadian gangguan atensi, gangguan memori dan disfungsi kognitif pascaoperasi. Analisa logistik regresi p=0,608 untuk gangguan atensi, p=0,978 untuk gangguan memori, dan p=0,811 untuk kejadian disfungsi koginitif. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti lain, yang menunjukkan bahwa faktor resiko durasi lama operasi tidak mempengaruhi kejadian DKPO. 4,8

Meskipun begitu hasil multi center study yang diprakarsai ISPOCD (International Study of Cognitive Dysfunction) menyatakan sebaliknya, yaitu peningkatan durasi operasi dapat mempengaruhi kejadian DKPO. 21 

Hal ini dapat diterima secara logis karena semakin lama operasi tentu paparan pasien dengan obat anestesi dan stress operasi akan semakin lama. Bila hasil penelitian ini dianalisa dalam tiap kelompok durasi operasi maka tampak bahwa pada durasi operasi yang lebih lama (>180 menit) gangguan atensi, gangguan memori dan disfungsi kognitif lebih besar persentase kejadiannya. V.Simpulan Kejadian disfungsi kognitif pascaoperasi pada pasien pascaoperasi elektif di GBPT RSU dr Sutomo cukup tinggi yaitu 52% dengan diantaranya mengalami gangguan atensi sebanyak 30% dan gangguan memori sebanyak 36%. Gangguan memori yang tampaknya lebih sering terjadi adalah gangguan memori jangka pendek Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kejadian disfungsi kognitif pascaoperasi yaitu usia, tingkat pendidikan, dan durasi operasi tidak terbukti mempengaruhi kejadian disfungsi kognitif pascaoperasi pada pasien pascaoperasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo. Namun bila di dianalisa dalam tiap kelompok variabel tampak bahwa pada usia yang lebih tua, tingkat pendidikan yang lebih rendah dan durasi operasi yang lebih lama persentasi kejadian gangguan atensi, gangguan memori dan disfungsi kognitif konsisten lebih tinggi. 


Daftar Pustaka
1. Newman S, Stygall J, Hirani S, Shaefi S, et al. Postoperative cognitive dysfunction after non cardiac surgery, A systematic review. Anesthesiology 2007,106:572 - 90
2. Newman MF, Kirchner JL, Bute BP, et al. Longitudinal assessment of neurocognitive function after coronary bypass surgery. N Eng J Med 2001,334: 395-402
3. Monk TG, Weldon BC, Garvan CW, et al. Predictors of cognitive dysfunction after major noncardiac surgery. Anesthesiology 2008,108:18-30
4. Johnson T, Monk TG, Rasmussen LS, et al. Post operative cognitive dysfunction in middle-aged patients. Anesthesiology 2002, 96: 1351-7.
5. Rubianto A. Pengaruh general anestesi pada fungsi kognitif pada ambulatori anestesi diGBPT RSU dr. Sutomo Surabaya. Karya akhir PPDS Anestesiologi & Reanimasi FK Unair / RSU dr Sutomo, 2006
6. Dijkstra JB, Houx PJ, Jolles J. Cognitive after major surgery in the eldery: test performance and complaints. Br J Anaesth 1999, 82: 867-74
7. International study of postoperative cognitive dysfunction http://www.sps.ele.tue.nl/ispocd/index.html
8. Dodds C, Allison J. Postoperative cognitive deficit in the eldery surgical patients. Br J Anaesth 1998, 81: 449 - 62
9. Hanning CD. Postoperative cognitive dysfunction. Br J Anaesth 2005, 95: 82-7
10. Gao L, Taha R, Gauvin D, Othmen, Wang Y, Blaise G. Postoperative cognitive dysfunction after cardiac surgery. Chest 2005, 128: 3664-70
11. Maze M, Cibelli C, Grocott HP. Editorial view: Taking the lead in research into postoperative cognitive dysfunction Anesthesiology 2008, 108; 1-2
12. Strub RL, Black FM. The mental status examination in neurology, Philadelphia: FA Davis Company; 1977.
13. Lynch EP, Lazor MA, Gellis JE, Orav J, et al. The impact of postoperative pain on the development of postoperative delirium. Anesth Analg 1998;86:781-5
14. Silverstein JH, Steinmetz J, Reichenberg A, Harvey PD, Rasmussen LS. Postoperative cognitive dysfunction in patients with preoperative cognitive impairment which domain are most vulnerable? Anesthesiology 2007;106:431-5
15. Price CC, Garvan CW, Monk TG. Neurocognitive performance in older adults with postoperative cognitive dysfunction (POCD). Anesthesiology 2003; 99: A899
16. Blaise G, Taha R, Qi Y. Postoperative cognitive dysfunction (POCD). Anesthesiology Round 2007;6 issue 4
17. Arciniegas DB, McAlister TW, Kaufer DI. Cognitive impairment. Dalam: Coffey CE, McAlister TW, Silver JM, ed. Guide to neuropsychiatric therapeutics. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins Publisher; 2007
18. Wang Y, Sands L, Vaurio L, The effects of postoperative pain and it’s management on postoperative cognitive dysfunction. Am J of Geriatric Psychiatric 2007,15:50-59
19. Mandal PK, Schifilliti D, Mafrica F, Fodale V. Inhaled anesthesia and cognitive performance. Drugs of Today 2009,45(1):47-54
20. Crosby G, Culley DJ. Anesthesia, the aging brain and the surgical patients. Can J Anesth 2003;50:6: R1-5
21. Moller JT, Cluitmans P, Rasmussen LS, Houx P. Long term postoperative cognitive dysfunction in the eldery. Lancet 1998;351


































































0 komentar:

Posting Komentar