konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Kamis, 02 Februari 2017

Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid

Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid

Ari Prayitno





Tujuan:
1. Menjelaskan tatalaksana umum demam tifoid
2. Menjelaskan pilihan antibiotik pada demam tifoid
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu
tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa
pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid
juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit
tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi,
pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi
traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.
Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani
demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian
rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi
yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana
yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid.
Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu
90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah
sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah cukup
untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.
Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak
di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan
pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang.1
Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah
golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau
gatifloksasin. Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya
resistensi terhadap beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam
pengobatan demam tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance
(MDR). S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol , yang pertama kali
timbul pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat
ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten
terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi
pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan
untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun
alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi
yang membutuhkan pengobatan parenteral, seperti pada tabel 1 dan tabel 2.2,3
Tabel 1. Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.2,3







Kloramfenikol tergolong obat ‘lama’ yang diberikan untuk pengobatan
demam tifoid pada anak dan sampai sekarang masih digunakan, terutama di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kloramfenikol ditemukan
pertama kali pada tahun 1947, diisolasi dari bakteri Streptomyces venezuelae.
Setelah keberhasilan yang ditunjukkan obat ini dalam dua wabah tifus di
tahun 1948, kloramfenikol menjadi antibiotik pertama yang diproduksi
dalam skala besar. Pada tahun 1950, para ahli menemukan bahwa obat
ini dapat menyebabkan anemia aplastik yang serius dan berpotensi fatal,
sehingga pemakaian obat ini menurun drastis. Karena alasan itulah, dengan
pengecualian untuk daerah di mana biaya dan ketersediaan membuatnya tetap
menjadi terapi utama untuk demam tifoid, kloramfenikol tidak lagi merupakan
obat pilihan untuk infeksi tertentu di beberapa negara maju.4
Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan pertama
kasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini dimasukkan
sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena obat lini
pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan demam
tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan
sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata
hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan harganya yang
murah. Dibandingkan dengan antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat
menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk pengobatan demam
tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan penurunan demam oleh masing-masing
obat antibiotik pada kasus demam tifoid pada anak. Namun Kloramfenikol
mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia
aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan agranulositosis,
menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby syndrome.
Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan sebagai
terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.5



Tabel 3. Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam tifoid.6



Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia
masih sangat endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah
pelosok Indonesia dengan higienitas masyarakatnya yang masih sangat
rendah, serta masih sangat terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan yang
benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam tifoid ini, khususnya
di Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan utama, khususnya pada
pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.
Selama kurun waktu 4 tahun (2008 – 2012), jumlah kasus demam tifoid
yang dirawat di RSCM dan mendapat pengobatan kloramfenikol sebanyak 13
orang, dengan hasil membaik pada demam atau hari sakit ke-6 sebanyak 23,1
%. Sedangkan berdasarkan pola kuman dan uji kepekaan terhadap antibiotik
di RSCM pada tahun 2009-2010, menunjukkan jumlah spesimen dengan hasil
biakan S. typhi yang positif ada 8 spesimen. Dari biakan tersebut, sensitifitas
kloramfenikol menunjukkan lebih dari 75%.
Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat
demam tifoid, walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah
kloramfenikol. Umumnya digunakan pada penderita demam tifoid dengan
lekopenia yang tidak mungkin diberikan kloramfenikol, atau yang resisten
terhadap kloramfenikol. Penambahan asam klavulanat pada amoksisilin
dianggap tidak membawa keuntungan yang signifikan bila dibandingkan
dengan pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan Amoksisilin-
Asam klavulanat tidak diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian
amoksisilin oral selama 14 hari sama efektifnya dengan pemberian ampisilin IV
untuk mengobati demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Bebas
demam akan tercapai setelah 5 hari pengobatan.7
Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan
kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan
amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid yang resisten
terhadap kloramfenikol.
Sefiksim tidak digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan
demam tifoid tanpa komplikasi. Obat ini hanya digunakan pada kasus demam
tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik (MDR), dan
sebagai terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga
lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif
untuk kasus demam tifoid yang MDR juga angka kekambuhan demam tifoidnya
yang rendah.8 Obat ini bekerja dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella
serovar typhimurium dan typhi yang menghuni sel-sel monosit yang berasal
dari sel THP-1.9
Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7
hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun
pada anak dengan waktu penurunan demam yang hampir mirip dengan bila
digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan pertama bila kasus demam
tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon. Dengan pemberian singkat
selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif mengobati demam tifoid yang
tidak komplikasi.10 Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau
sefotaksim diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat
kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang
resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin generasi ini. Bahkan

untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat seftriakson
dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila digunakan sebagai
terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan sefiksim. Pemberian
seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama
7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi
seftriakson dihentikan.11
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon,
termasuk siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin merupakan
obat pilihan yang optimal untuk pengobatan demam tifoid, khususnya pada
dewasa dan anak di beberapa negara. Tingkat efikasinya yang tinggi serta efek
sampingnya yang rendah, membuat obat ini banyak digunakan secara luas di
beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini telah banyak ditemukan
kasus demam tifoid yang resisten terhadap kuinolon.2
Penggunaannya pada anak masih kontroversial, mengingat efek obat ini
yang dapat merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga disebagian
besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai obat demam tifoid,
sementara di sebagian lain hanya digunakan pada kasus-kasus berat atau kasus
yang dicurigai resisten terhadap kloramfenikol. Sedangkan sebagian negara
lainnya menganggap obat ini tetap bisa digunakan dengan mempertimbangkan
rasio keuntungan dan resikonya.
Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau
amoksisilin dengan dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi
probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau trimetropimsulfametoksazol
selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80%.
Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi karier demam tifoid.
Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier demam tifoid,
beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol, siprofloksasin dan
norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak sebaiknya digunakan pada
penderita demam tifoid anak.

Tabel 4. Pengobatan demam tifoid karier.4



Tabel 5. Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam tifoid.11
Tabel 65. Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Tropik Departemen IKA RSCM



Kepustakaan
1. Sánchez-Vargas FM, Abu-El-Haija MA, Gómez-Duarte OG. Salmonella
infections: an update on epidemiology, management, and prevention. Travel
Med Infect Dis 2011;9:263-77.Background document : the diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. [homepage on the Internet]. Switzerland :
Communical disease surveillance and response Vaccines and Biologicals; 2003.
Diunduh pada tanggal 30 Mei 2006 dari : http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/
WHO_V&B_03.07.pdf
2. Bhuta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. Br
Med J 2006;333:78–82.
3. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Wamy AJ. Current trends in the management
of typhoid fever. Med J Armed Forces India 2003; 59:130-5.
4. Chloramphenicol. Wikipedia- The free encyclopedia. [updated 2012 June 4]
Diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Chloramphenicolpada tanggal 30
Mei 2012.
5. Hadinegoro SR. Strategi pengobatan demam tifoid pada anak. Dalam: Akib
AAP, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah lengkap Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Bagian Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2001:105-16.
6. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Demam tifoid. Dalam:
Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit IDAI;
2002:338-346
7. Medina Santillán R, Reyes García G, Herrera Benavente I, Mateos García
E. Efficacy of cefixime in the therapy of typhoid fever. Proc West Pharmacol
2000;43:65-6.
8. Matsumoto Y, Ikemoto A, Wakai Y, Ikeda F, Tawara S, Matsumoto K. Mechanism
of Therapeutic Effectiveness of Cefixime against Typhoid Fever. Antimicrob
Agents Chemother 2001; 45: 2450–2454.
9. Frenck RW Jr, Mansour A, Nakhla I, Sultan Y, Putnam S, Wierzba T, Morsy M,
Knirsch C. Short-course azithromycin for the treatment of uncomplicated typhoid
fever in children and adolescents. Clin Infect Dis 2004;38:951-7.
10. Bhutta ZA, Khan IA, Shadmani M. Failure of short-course ceftriaxone
chemotherapy for multidrug-resistant typhoid fever in children: a randomized
controlled trial in Pakistan. Antimicrob Agents Chemother 2000;44:450-2.








































Demam Tifoid adalah, Demam Tifoid pdf, terapi Demam Tifoid, Demam Tifoid ppt, tatalaksana Demam Tifoid, klasifikasi Demam Tifoid, komplikasi Demam Tifoid, antibiotik Demam Tifoid, konsensus terbaru Demam Tifoid, konsensus Demam Tifoid, Demam Tifoidpada anak, Demam Tifoid pada dewasa, Demam Tifoid adalah pdf, jurnal Demam Tifoid, Demam Tifoid jurnal, demam tipoid pdf, demam tipoid pada anak, demam tipoid adalah, demam tipoid askep, demam tipoid ppt, demam tipoid icd 10, demam tipoid pada bayi, demam tipoid bisa sembuh total, demam tipoid blog dokter, demam tipoid panduan praktik klinis dokter, Demam Tifoid adalah, Demam Tifoid pdf, terapi Demam Tifoid, Demam Tifoid ppt, tatalaksana Demam Tifoid, klasifikasi Demam Tifoid, komplikasi Demam Tifoid, antibiotik Demam Tifoid, konsensus terbaru Demam Tifoid, konsensus Demam Tifoid, Demam Tifoidpada anak, Demam Tifoid pada dewasa, Demam Tifoid adalah pdf, jurnal Demam Tifoid, Demam Tifoid jurnal, demam tipoid pdf, demam tipoid pada anak, demam tipoid adalah, demam tipoid askep, demam tipoid ppt, demam tipoid icd 10, demam tipoid pada bayi, demam tipoid bisa sembuh total, demam tipoid blog dokter, demam tipoid panduan praktik klinis dokter, Demam Tifoid adalah, Demam Tifoid pdf, terapi Demam Tifoid, Demam Tifoid ppt, tatalaksana Demam Tifoid, klasifikasi Demam Tifoid, komplikasi Demam Tifoid, antibiotik Demam Tifoid, konsensus terbaru Demam Tifoid, konsensus Demam Tifoid, Demam Tifoidpada anak, Demam Tifoid pada dewasa, Demam Tifoid adalah pdf, jurnal Demam Tifoid, Demam Tifoid jurnal, 

0 komentar:

Posting Komentar