konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Sabtu, 25 Februari 2017

Penatalaksanaan Anestesi untuk Tindakan Anterior Cervical Dissection Fussion pada Pasien dengan Fraktur Kompresi Vertebra Servikalis 5

Penatalaksanaan Anestesi untuk Tindakan Anterior Cervical Dissection Fussion pada Pasien dengan Fraktur Kompresi Vertebra Servikalis 5


Agus Baratha Suyasa *), A. Himendra Wargahadibrata **)
* Rumah Sakit Kasih Ibu, Denpasar – Bali
** Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung

Abstract:
Trauma is still the most cause of death in the world. In America more than 90,000 people die because
of trauma, mostly traffic accident and violence. Around 20% of the victim had multiple trauma and
spinal cord injury. Around 55 % patient of spine injury was located at cervical part and 5% of patient
with head injury should have spine injury.
A male, 21 years old, with spinal cord injury incomplete lesion Frankle C because of compression
fracture of the 5th cervical spine undergone ACDF (Anterior Cervical Dissection Fusion) procedure.
Seven days before enter the hospital, the patient has fell down from the roof. He was unable to move
his hands and legs. The procedure was perform in general anesthesia, using ETT No 7,5, controlled
ventilation. In line position while performed laringoscopy intubations. Fentanyl 100 μg intravenous,
lidocain 1,5 mg/Kg 3 minutes before intubations has used as premedications. Induction of anesthesia
was performed with propofol 100mg and atracurium 0,5mg/Kg for intubations facilitation. Maintenance
of anesthesia was used O2, N2O, Isoflurane and Propofol 100 mg/hour. During the operation,
haemodynamic remain stable, systolic blood pressure 90 – 125 mmHg, diastolic blood pressure 42-78
mmHg, heart rate 62-82 bpm and SaO2 99 %. The patient was extubated in the operating theatre after
the end of surgery. Post operative patient was transferred to the NCCU.
Anatomic structure of the cervical spine are thin, these make them vulnerable to injury. The spinal
cord is vulnerable also when fracture of the spine occur. Spinal cord and the neuronal tissue may
injure from stretching, compression and laceration. Physical disruption of spinal cord can cause the
complete and irreversible loss of function. The main principle in manage spine fracture do not worsen
the existing spinal cord injury by protecting the spinal cord mechanically and chemically. Maintain the
spinal cord blood flow and prevent the edema may improve the patient outcome.
Early assessment for spine fracture including airway, breathing and circulation must be done, and
resuscitation performed simultaneously. Excessive extension or axial traction must be avoided.
Stabilization of the spine can be done by cervical collar or manual in line position during intubations.
Prevent the spinal shock complication and further spinal cord injury. Use the anesthetic agent which
has the spinal cord protection effect.
Key Word: Anesthesia, Cervical Spine Fracture, Spinal Cord Injury, Spinal Cord Protection
JNI 2012; 1 (1):1-9


sumber tulisan :  di salin langsung dari : JNI 2012; 1 (1):1-9 vol 1, nomor 01


Abstrak:
Kasus trauma masih merupakan penyebab kematian terbesar di dunia. Di Amerika lebih dari 90.000
orang meninggal setiap tahunnya karena kasus trauma, yang paling sering karena kecelakaan
kendaraan bermotor dan kasus kekerasan. Diperkirakan 20% dari korban tersebut mengalami trauma
multipel dan juga mengalami cedera medula spinalis. Sekitar 55% cedera pada tulang belakang
terjadi pada daerah servikal dan diperkirakan 5% dari penderita cedera kepala juga mengalami cedera
pada tulang belakang.
Seorang laki-laki 21 tahun akan dilakukan operasi Anterior Cervical Dissection Fussion (ACDF)
karena mengalami cedera medula spinalis lesi inkomplit Frankle C karena fraktur kompresi vertebra
servikalis 5. Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit penderita jatuh dari atap rumah. Keluhan utama
yang dirasakan tangan dan kaki tidak dapat digerakan. Operasi dilakukan dengan anestesi umum,
menggunakan pipa endrotrakeal no 7,5, dengan ventilasi kendali. In line position saat melakukan
laringoskopi intubasi. Premedikasi dengan fentanyl 100 g, lidokain 1,5 mg/KgBB 3 menit sebelum
intubasi, induksi dengan propofol 100 mg. Fasilitas intubasi menggunakan atrakurium 0,5 mg/KgBB.
Pemeliharaan anestesi dengan O2, N2O, Isofluran serta propofol kontinyu 100 mg /jam. Selama
operasi hemodinamik stabil, tekanan darah sistolik 90-125 mmHg, tekanan darah diastolik 42-78
mmHg, laju nadi 62-82 x/mnt dan SpO2 99%. Ekstubasi dilakukan di kamar operasi segera setelah
operasi selesai. Post operasi pasien dirawat di NCCU.
Struktur anatomi tulang servikal yang tipis sangat memudahkan terjadinya fraktur, sehingga medula
spinalis pun sangat mudah mengalami cedera. Jaringan saraf dapat mengalami cedera akibat
peregangan, kompresi maupun laserasi. Disrupsi fisikal pada medula spinalis dapat menyebabkan
kehilangan fungsi secara komplit dan irreversibel. Prinsip utama penatalaksanaan penderita dengan
cedera medula spinalis pada fraktur tulang belakang adalah tidak memperburuk cedera medula
spinalis yang sudah terjadi serta melakukan proteksi terhadap medula spinalis baik secara mekanik
maupun kimiawi. Mempertahankan aliran darah medula spinalis dan mencegah edema pada medula
spinalis merupakan salah satu prinsip penting dalam proteksi medula spinalis dan memperbaiki
outcome pasien.
Assesmen awal terhadap pasien yang mengalami fraktur tulang servikal selalu dimulai dari airway,
breathing, circulation dan kemudian resusitasi dilakukan secara simultan. Ekstensi dan traksi axial
yang berlebihan harus dihindari. Stabilisasi dapat dilakukan dengan pemasangan servikal collar atau
manual in line pada saat laringoskopi intubasi. Perhatikan komplikasi syok spinal dan cedera medula
spinalis. Pemilihan obat-obat anestesi yang memiliki efek proteksi terhadap medula spinalis.
Kata Kunci : Anestesi, Cedera Medula Spinalis, Fraktur Servikal, Proteksi Medula Spinalis
JNI 2012; 1 (1):1-9

I. Pendahuluan
Fraktur tulang leher hampir selalu menyertai pasien
dengan kasus trauma, terlebih pada pasien dengan
trauma multipel. Lebih dari 90.000 orang di Amerika
meninggal karena kasus trauma setiap tahunnya.
Kejadian yang paling sering adalah dari kecelakaan
kendaraan bermotor dan kekerasan.1 Diperkirakan
20% dari pasien yang mengalami trauma multipel
juga mengalami trauma kolumna spinalis. Tingkat
keparahan trauma spinalis berva-riasi; trauma
spinal merupakan komponen utama pada trauma
multipel, atau jika tidak begitu parah mungkin
mempunyai pengaruh besar pada pena-nganan
secara keseluruhan. Sangatlah penting dalam
pengelolaan pasien dengan trauma multipel adalah
rehabilitasi jangka panjang. Kemungkinan
terjadinya trauma tulang leher (cervical spine)
harus dipertimbangkan pada seseorang yang
mengalami trauma pada wajah dan kepala, khususnya
jika terjadi penurunan kesadaran sampai tidak
sadar akibat trauma. Cedera kolumna vertebralis
dengan atau tanpa defisit neurologis harus selalu
dicari dan disingkirkan pada penderita dengan
cedera multipel. Setiap cedera diatas klavikula
harus dicurigai adanya cedera tulang leher. Sekitar
15% penderita yang mengalami cedera seperti
diatas akan mengalami cedera pada tulang leher.
Sekitar 55% cedera tulang belakang terjadi pada
daerah servikal, 15% pada daerah torakal, 15%
pada daerah torakolumbal dan 15% pada daerah
lumbosakral. Sekitar 5% dari penderita yang
mengalami cedera kepala juga menderita cedera
tulang belakang, dimana 25% penderita cedera
tulang belakang menderita sedikitnya cedera kepala
ringan.
Namun pada pasien yang pada dasarnya memiliki
abnormalitas pada tulang leher seperti spondilitis
ankilosis dan anomali kongenital, mempunyai
resiko trauma leher yang serius pada kejadian
trauma yang berat. Pengetahuan tentang mekanisme
trauma sangat membantu dalam mempertimbangkan
adanya kemungkinan trauma spinal seperti
pada fraktur tulang leher, fraktur tulang leher dan
lain-lain.2,3

II. Kasus
Pasien laki-laki, umur 21 tahun, dengan berat badan
52 kg, didiagnosis mendapatkan Spinal Cord Injury
Incomplete Lesion Frankle C e.c Fracture compresi
Vertebrae Cervical 5. Akan dilakukan ACDF
(Anterior Cervical Dissection Fussion)
Tujuh hari sebelum masuk RS, pasien terjatuh dari
atap rumahnya saat sedang memperbaiki atap
rumahnya yang bocor. Pasien merasa tidak nyaman
di leher, mulai sulit menggerakan kaki dan tangan.
Pasien kemudian mendatangi dukun pijat untuk
dilakukan pijat, namun tidak ada perubahan
kondisi. Keadaan semakin memburuk, kaki sama
sekali tidak bisa digerakan dan tangan semakin hari
semakin terasa berat.
Riwayat Asthma (-), Allergi (-), Hipertensi (-)


Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sadar, tampak lemah
Survei Primer
Jalan nafas Bebas, oksigenasi 3 L/mnt O2 nasal
kanul
Respirasi Nafas spontan 18-20 x/mnt, gerakan
dinding dada simetris (+)
Pola nafas Torakoabdominal,
vesikuler (+/+), Wheezing (-/-),
Rhonki (-/-)
Sirkulasi Tekanan Darah 125/70 mmHg, laju
nadi 90 x/mnt, regular
Bising (-), sianosis (-), ekstremitas
hangat
Temperatur : 37o C
disabilitas Tingkat kesadaran : GCS = E4 M6
V5 = 15
Pupil isokor bulat 3 mm. Reflek
cahaya +/ +. Papil edema (-)
Motorik 3 / 3 / 0 / 0, Reflek
Fisiologis (+)
Defisit neurologis (-)

Survei Sekunder
Kepala Thyromental distance 4,5 cm. Lecet (-)
Gerakan kepala 150 ke kanan, kiri, atas
dan bawah Leher Terpasang Neck Collar, JVP tidak
meningkat
Thorak Bentuk dan gerakan dada simetris
Jejas (-),
Abdomen Supel, Bising Usus (+),
Ektremitas Deformitas (-),hangat (+), Capilary
refill <2 detik
Motorik 3 / 3
0 / 0
Pemeriksaan Laboratorium (26 Feb 2011)
Haemoglobin 13,3 gr/ dL BUN 48 mg / dL
Leukosit 20 000 / mm3 Creatinin 0,34 mg / dL
Eritrosit 4 710 / mm3 PPT 13,4
Hematokrit 40 % APTT 24,3
Trombosit 436 000 / mm3 INR 1,13
Gula darah 118 mg / dL
Natrium 134 mEq / L
Kalium 3,9 mEq / L

Thorak Foto
Pare : Corakan bronkhovaskular normal, kedua
sudut costofrenicus tajam
Jantung : Kardiomegali, CTR > 0,56
Kesan : Kardiomegali tanpa bendungan paru
Tak tampak Tb primer aktif
Tak tampak fraktur costa, scapula dan
klavikula

CT- Scan Kepala
Fraktur kominutif vertebra servikalis 5 dan lamina
kanan yang mengalami pergeseran dan menyebabkan
penyempitan kanalis spinalis dan listesis ke
posterior vertebra servikalis 5-6.


















Penilaian
Spinal Cord Injury Incomplete Lesion Frankle C
e.c Fraktur Kompresi Vertebra Servikal 5

Pengelolaan Anestesi
Teknik pengelolaan anestesi dilakukan dengan
anestesi umum, menggunakan pipa endotrakheal
No 7,5, ventilasi kendali. In line position pada saat
melakukan intubasi. Premedikasi menggunakan
fentanyl 100 μg, induksi dengan propofol 100 mg.
Lidokain 1,5 mg /KgBB diberikan 3 menit sebelum
intubasi. Fasilitas intubasi dengan atrakurium 0,5
mg/KgBB. Pemeliharaan anestesi dengan O2 + N2O
+ Isofluran. Propofol diberikan kontinyu 100 mg
perjam.

Prosedur Operasi
Operasi dilakukan dengan teknik Anterior Cervical
Disection Fussion (ACDF). Pada saat oprasi
ditemukan fraktur vertebral body vertebra servikalis
5 dengan listesis ke posterior vertebra C 5-6.
Kemudian dilakukan disektomi vertebra C 4-5 dan
vertebra C 5-6 dan korpektomi dan bone graft pada
vertebra C 5.

Selama operasi hemodinamik relatif stabil. Tekanan
darah sistolik berkisar antara 90-125 mmHg,
Tekanan darah diastolik berkisar antara 42-78
mmHg, Laju nadi 62-82 x/menit, dan saturasi
oksigen (SpO2) 99%. Ekstubasi dilakukan di kamar
operasi.

Pascabedah
Pasacabedah pasien di rawat di Neuro Critical Care
Unit (NCCU).




III. Pembahasan
Untuk beberapa alasan, vertebra servikalis mudah
terkena cedera. Kanalis servikalis lebar pada daerah
servikal atas, dari foramen magnum sampai bagian
bawah vertebra servikalis ke-2 (C2). Meskipun
demikian kurang lebih 1/3 kasus dengan cedera
vertebra servikalis bagian atas meninggal ditempat
kejadian karena kuadriplegia tinggi. Kebanyakan
penderita yang selamat dengan cedera pada tingkat
ini adalah yang dalam keadaan neurologis yang
pada vertebra servikalis ke-3 (C3) atau tingkat
dibawahnya, mempunyai insidens lebih tinggi
untuk mengalami defisit neurologis.2,3

Terdapat banyak perubahan anatomik, kimia dan
vascular yang terjadi sebagai respon terhadap
trauma tumpul pada medulla spinalis. Dalam waktu
3-5 jam setelah trauma, terjadi pembengkakan lokal
pada medulla spinalis sehubungan dengan disrupsi
pembuluh darah dan endothelial tight junction. Hal
ini menimbulkan perdarahan lokal dan kebocoran
albumin, neurotransmitter, kalsium ekstraseluler,
laktat dan prostaglandin. Terjadi penurunan aliran
darah lokal yang dimulai dari regio sentral medulla
spinalis dan menyebar ke daerah di sekitar substansia
alba (centripetal decrease in blood flow).
Kemudian menyebabkan perburukan edema setelah
2-3 hari pertama dan terjadi nekrosis sentral
kavitari setelah 1 minggu. Level trauma dapat
meningkat sampai dua level vertebra sebagai
respon dari kejadian sekunder ini. Penyembuhan
edema yang diikuti oleh atropi medulla spinalis
terjadi dalam minggu pertama setelah trauma.
Pengobatan klinis dan eksperimental ditujukan untuk
menghambat kaskade dari kejadian sekunder
ini. Obat penghambat kanal kalsium, diuretik, kortikosteroid,
dan obat untuk radikal bebas mungkin
membantu, namun masih dalam perdebatan.4

Trauma pada Tulang Leher
Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau
kombinasi dari mekanisme cedera sebagai berikut :
(1) pembebanan aksial (axial loading), (2) fleksi,
(3) ekstensi, (4) rotasi, (5) lateral bending dan (6)
distraksi.2,3,4

Trauma Saraf
Jaringan saraf dapat mengalami trauma oleh karena
peregangan, kompresi atau laserasi. Disrupsi fisikal
dari medulla spinalis menyebabkan kehilangan
fungsi secara komplit dan ireversibel. Namun
pemeriksaan autopsi dari medulla spinalis pasien
sering intak secara struktural namun untuk
menunjukkan degenerasi fibrous dan kistik sebagai
stadium akhir dari perubahan iskemia pada percobaan
test drop-weight. Hal pertama yang ditemukan
adalah perdarahan pada substansia grisea pada
sentral medulla spinalis yang mana dapat bergabung
dan membentuk hematomielia sentral dikelilingi
oleh oedema dan meningkatkan tekanan interstisial
dan iskemia lokal sebagai bukti adanya
penurunan tekanan oksigen yang berat dan peningkatan
konsentrasi laktat.2

Fase iskemia kedua dapat segera terjadi dan dapat
muncul lebih dari 24 jam, meliputi substansia
grisea dan substansia alba dan menyebar ke
proksimal maupun distal dari tempat trauma.
Mekanisme dari trauma vaskuler sekunder ini dapat
disebabkan oleh konsentrasi tinggi dari epinefrin
dan amin vasoaktif lokal. Dalam hal trauma
vaskuler Diffus Axonal Injury (DAI) akan terjadi
pada kehilangan fungsi secara permanen sehubungan
dengan keterbatasan kemampuan dari pemulihan
axon sentral.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa efek dari trauma
berhubungan secara langsung dengan besarnya
tekanan dan lamanya paparan. Karena tekanan
langsung tidak dapat diubah, kita hanya dapat
mencegah tekanan selanjutnya, pertama dengan immobilisasi
area yang tidak stabil dan dengan menghilangkan
kompresi yang berkelanjutan dengan reduksi
awal dan displacement fraksi tulang dan
diskus.2

Assesmen Klinis
Assesmen pasien, khususnya dengan kemungkinan
trauma spinal dimulai setelah assesmen secara
umum dan tindakan resusitasi telah dilakukan.
Pasien harus memiliki airway yang intak, ventilasi
dan sirkulasi yang adekuat dan kontrol terhadap
perdarahan. Latar belakang tentang mekanisme
trauma sangat membantu dalam antisipasi tipe trauma.
Informasi penting lainnya mengenai riwayat
adanya abnormalitas neurologik. Keterangan dari
penderita sendiri, saksi-saksi dan primary care
tentang adanya kelemahan selintas atau persisten
atau adanya perubahan sensorik atau hilangnya
fungsi vesika urinaria akibat trauma, juga sangat
membantu.2

Pada pemeriksaan, setiap adanya tanda yang
menunjukkan trauma kepala atau trauma wajah
seperti luka memar, laserasi atau abrasi menunjukkan
adanya trauma langsung. Yang penting khususnya
adanya asimetri posisi kepala dan nyeri tekan
sepanjang muskulus sternokleidomastoideus. Pada
pasien dengan trauma pada medulla spinalis cervicalis,
tangan mungkin menunjukkan posisi tertentu
(tipikal) dari abduksi bahu dan fleksi siku pada
quadriplegic C5. Tanda lain yang jelas dari hilangnya
fungsi neurologik adalah adanya bentuk
paradoksikal dari pernafasan. Priapismus pada
pasien laki-laki dengan trauma medulla cervikalis
mengindikasikan hilangnya simpatetik outflow pada
torakolumbal. Eksaminasi dari tubuh dapat
menunjukkan luka memar atau abrasi dari dari
bahu, area periskapular atau pantat yang
mengindikasikan rotatori atau tekanan fleksi pada
vertebra.2

Pemeriksaan neurologik yang detail selanjutnya
harus dilakukan dicatat dan kemudian dilakukan
pemeriksaan serial. Pasien yang memakai cervical
collar dan manual traksi, harus dilakukan log rolled
secara hati-hati untuk pemeriksaan pada nyeri
punggung, malalignment dari procesus spinosus
atau boggy gap pada ligament supraspinosus, yang
menunjukkan adanya disrupsi kolumna posterior.2

Penanganan segera pasien dengan cedera medula
spinalis adalah preservasi fungsi medula spinalis
termasuk memelihara deliveri oksigen, stabilisasi
tulang belakang dan menurunkan edema pada
medula spinalis serta mencegah proses biokimia
sekunder yang memperberat cedera yang telah
terjadi.2

Pemeriksaan Radiologik
1. Rontgen
Pada pasien dengan multiple trauma, pemeriksaan
yang diperlukan adalah foto vertebra cervical
lateral dan foto anteroposterior dari dada dan
pelvis. Sebagai tambahan pada konfigurasi dan
alignment dari korpus vertebra, alignment umum
dari facet, korpus vertebra posterior dan jarak
interspinosus, adalah hal spesifik yang diamati pada
foto.2
1.1. Vertebra Servikalis
Harus dilakukan pemeriksaan foto lateral vertebra
servikal pada seluruh kasus yang dicurigai
mengalami cedera servikal, setelah identifikasi dan
kontrol gangguan yang mengancam jiwa. Bila
ketujuh vertebra servikal tidak tampak dengan
pemeriksaan foto lateral maka perlu dilakukan
swimmers view untuk melihat vertebra servikal
bawah dan torakal atas. Untuk menilai vertebra
servikal secara adekuat terutama pada penderita
dengan keluhan nyeri di servikal atas, atau pada
pasien yang dicurigai adanya cedera pada C1 dan
C2, pemeriksaan foto rontgen buka mulut (open
mouth odontoid view) untuk processus odontoid
dan artikulasi antara C1 dan C2 harus dilakukan.
Foto servikal AP membantu mengidentifikasi
adanya dislokasi facet unilateral dimana tidak
tampak pada foto lateral. Kombinasi anatara foto
lateral dan foto AP dan buka mulut dapat
meningkatkan sensitivitas untuk identifikasi fraktur
sebesar 92 %.2,3

1.2. Swimmers View
Foto ini membantu untuk visualisasi
cervicothoraxic junction tetapi sulit untuk
interpretasi dan dapat memperlihatkan hanya gross
malalignment.

1.3. Oblique dan Pillar View’s
Foto ini digunakan untuk melihat facet dan massa
lateral, dan dapat dilakukan dengan pergerakan
yang sangat minimal dari pasien. Namun kadangkadang
jika foto rutin negatif dan dicurigai ada
trauma ligamen pada vertebra servikal, foto fleksi
dan ekstensi diindikasikan. Prosedur ini harus
dilakukan secara aktif pada pasien yang sadar dan
dengan supervisi medis.

2. Tomografi
Prosedur ini membantu menunjukkan secara detail
dan menbantu untuk menunjukkan area yang sulit
(contoh cervicothoraxic junction). Prosedur ini
harus selalu dikerjakan dalam dua plana (AP dan
lateral) dan dibutuhkan untuk memiringkan
pasien.2,3

3. CT (Computed Tomografi)
CT adalah suatu prosedur yang dangat berguna,
membutuhkan sedikit manipulasi pada transfer
pasien, yang dapat dikerjakan pada papan spine
spine board atau pemindah pasien patient
mobilizer. Secara rutin rekonstruksi koronal dan
sagital dikerjakan.2,3

4. Mielografi
Mielografi diindikasikan hanya pada keadaan
berikut :
1. Adanya trauma saraf yang tidak dapat
dijelaskan berdasarkan foto rontgen maupun
CT
2. Kehilangan fungsi neurologik secara progresif
dimana tidak ada pendesakan pada kanal saraf,
menunjukkan adanya iskhemia.
3. Adanya kebutuhan untuk mengetahui apakah
ada kemungkinan defek dorsal atau avulsi akar
saraf.

5. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Prosedur ini memberikan pencitraan yang lebih
jelas pada trauma akut medulla spinalis dan juga
pada perubahan lanjut, seperti timbulnya traumatic
syringomyelia. Rizzollo dkk belakangan ini
menekankan kegunaan prosedur ini pada pasien
yang tidak sadar dan tidak kooperatif. 2,3

Klasifikasi Tingkat Keparahan Cedera Medula
Spinalis
Beberapa klnisi telah sejak lama berusaha mencoba
mengklasifikasikan tingkat keparahan cedera medulla
spinalis, salah satunya oleh Stokes Manville
sebelum perang dunia ke-2, yang kemudian
dipopulerkan oleh Frankle pada tahun 1970 an,
yang mengklasifikasikan pasien menjadi 5 kategori:
A (no function) ; B (Sensory only) ; C (Some
sensory and motor preservation) ; D (Usefull motor
function) ; E (Normal). 7
ASIA (American Spinal Injury Association) kemudian
membuat klasifikasi yang mirip dengan klasifikasi
Frankle, namun dengan beberapa modifikasi.7


































Pengelolaan

1. Prahospital
Pasien dengan trauma multiple dan pasien dengan
trauma medulla spinalis. Khususnya trauma
medulla spinalis yang diikuti dengan kehilangan
fungsi neurologik, harus ditangani pusat kesehatan
tersier level 1. Jika pasien secara fisiologis stabil
dan pasien dapat ditransport.2,3,5

2. Prioritas
Adanya trauma medulla spinalis, walaupun serius
dan beresiko untuk timbulnya disabilitas dikemudian
hari, tidak merubah prioritas yaitu memastikan
jalan nafas terjaga clear, ventilasi yang adekuat dan
sirkulasi yang adekuat. 2,3,5,6

3. Strategi Neuroprotektif
3.1. Spinal Alignment
Penelitian menunjukkan bahwa pergeseran segment
tulang yang cedera memperburuk trauma pada
medula spinalis. Jadi strategi neuroprotektif yang
penting adalah mengilangkan kompresi pada
medula spinalis, mencegah iskemia dan mencegah
perburukan lebih lanjut dengan melakukan imobilisasi
tulang belakang yang efektif. Kegagalan melakukan
imobilisasi dapat mengakibatkan kehilangan
fungsi neurologik bahkan peningkatan level cedera
neurologis.2,3,9

3.2. Surgical reduction
Untuk trauma/dislokasi yang tidak dapat lakukan
reduksi dengan traksi. Decompresi bedah sebelum 2
jam pasca cedera dapat meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.2,3,9

3.3. Terapi Fisiologis
Pendinginan tampaknya efektif dalam penanganan
cedera medula spinalis terutama untuk mencegah
secondary spinal cord injury akibat hipertermia.
Beberapa menganjurkan hipertensi sebagai terapi
untuk meningkatkan perfusi setelah trauma.
Larutan yang mengandung glukosa harus dihindarkan
karena dapat meningkatkan kadar glukosa
darah dan memperburuk luaran neurologik.2,3,9

3.4. Terapi Farmakologik
Pemberian kortikosteroid segera setelah trauma
tampaknya menjadi standar penanganan. Penelitian
menunjukkan kortikosteroid dapat menstabilisasi
struktur membran dan menjaga blood-spinal cord
barrier, meningkatkan spinal cord blood flow,
mencegah konsentrasi elektrolit pada tempat
trauma, menghambat pelepasan endorphin, membuang
radikal bebas serta membatasi respon
inflamasi.2,3,9
Manitol 0,25-1g/Kg dapat digunakan untuk mengatasi
edema pada medula spinalis. Hipertonik saline
dapat meningkatkan deliveri metil-prednisolon dan
mencegah imunosupresi.

4. Imobilisasi
Perlu perhatian khusus dalam melakukan imobilisasi
bagi penderita yang gelisah dan agitasi. Keadaan
ini disebabkan karena nyeri, bingung yang
berhubungan dengan hipoksia atau hipotensi,
alkohol atau obat-obatan atau kelainan kepribadian.
Dapat diberikan sedatif jika diperlukan, bahkan
obat pelumpuh otot, dengan catatan perlu proteksi
dan kontrol airway serta ventilasi. Pengunaan
sedatif atau pelumpuh otot memerlukan pertimbangan
klinis yang tepat, dianjurkan untuk
menggunakan obat dengan masa kerja pendek, serta
reversibel.
Perfusi yang adekuat dengan oksigenasi darah yang
baik, dapat mengurangi trauma medulla spinalis
dan karenanya suplementasi oksigen pada trauma
medulla spinalis diberikan dengan sungkup muka
untuk menjaga PO2 arterial paling tidak 100
mmHg. Pengukuran yang lain yang perlu diperhatikan
adalah menjaga tekanan darah sistolik paling
tidak 100 mmHg. Hal lain yang harus diperhatikan
pada unit gawat darurat adalah pemasangan kateter
intravena, nasogastrik tube dan folley kateter. 2,3,5,6,9

5. Cairan Intravena
Cairan intravena dibatasi penggunaannya hanya
untuk pemeliharaan cairan saja, kecuali bila ada
syok. Sebagai akibat hilangnya tonus simpatis
jantung, penderita yang mengalami kuadriplegi
tidak akan mengalami takikardi bahkan menjadi
bradikardi. Penderita yang mengalami syok
hipovolemik biasanya takikardi, sedangkan yang
mengalami syok neurogenik akan mengalami
bradikardi. Bila tekanan darah tidak membaik
setelah pemberian cairan, indikasi penggunaan
vasopressor dapat dipertimbangkan. Penggunaan
kateter Schwann Ganz akan membantu penderita
cedera medulla spinalis yang keadaan volume
cairannya tidak jelas. Kateter urine dipasang untuk
monitor hasil urine dan mencegah terjadinya
distensi kandung kencing. Pipa nasogastrik
dipasang untuk mengosongkan isi lambung serta
menurunkan resiko terjadinya aspirasi.6,9

6. Transfer
Penderita fraktur yang tidak stabil atau tercatat
mengalami defisit neurologis harus ditransfer ke
perawatan definitif. Harus dilakukan stabilisasi
keadaan penderita dan dilakukan fiksasi dengan
menggunakan bidai, backboard atau kolar servikal
semirigid. Perlu diingat trauma servikal letak tinggi
akan menyebabkan gangguan fungsi respirasi
secara total atau parsial. Bila pernafasan tidak
adekuat, maka perlu dilakukan intubasi sebelum
transfer penderita.3,5,9

Pengelolaan Komplikasi Trauma
Medula Spinalis
1. Syok Neurogenik
Pasien dengan syok neurogenik, khususnya pasien
dengan trauma diatas level T6, akan mengalami
hipotensi dan bradikardi atau kombinasi keduanya
dari (1) hilangnya thoracic sympathetic outflow,
vasodilatasi dan pengumpulan darah dan (2) relatif
predominan dari stimulasi vagal pada jantung. Jika
tidak ada hipovolemia yang menyertai, pasien
diberikan infus kristaloid pemeliharaan. Jika perfusi
jaringan tidak adekuat dan atau respon terhhadap
infus tidak memuaskan, pasien harus diperiksa
terhadap kemungkinan adanya perdarahan, yang
tersembunyi. Kateter sentral diindikasikan dan
monitoring MAP digunakan untuk menilai
resusitasi cairan. Pemberian kristaloid secara
ekstrim untuk memelihara tekanan darah harus
dihindarkan dan koloid diberikan untuk ekspansi
volume dan dapat diulang. Dalam keadaan tekanan
perfusi yang tetap rendah, namun resusitasi cairan
yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian
vasopressor dosis rendah.2,5,6,9

2. Respiratorik
Komplikasi respiratori setelah trauma pada vertebra
servikalis terjadi pada 60 % pasien. Salah satu
penyebab utamanya adalah trauma medulla spinalis
yang parah. Komplikasi respiratorik sangat
mungkin terjadi pada trauma medulla spinalis
servikalis dimana pasien kehilangan fungsi
interkostal dan fungsi muskulus abdominal yang
diperlukan untuk menimbulkan reflek batuk yang
kuat. Nervus phrenikus terpengauh pada lesi diatas
C5. Pada lesi dibawah C5 dengan fungsi diafragma
dan muskulus assesorius dan pada keadaan dimana
tidak terdapat trauma paru-paru atau penyakit yang
mendasari, sebagian besar pasien dapat melakukan
ventilasi dengan baik. Terdapat suatu tendensi,
walaupun dengan penanganan yang baik, terjadi
perburukan fungsi ventilasi pada hari ketiga atau
keempat karena kelelahan dan retensi secret,
intubasi dan ventilasi segera dibutuhkan. Selama
pasien diventilasi, posisi vertebra servikal dapat
dipertahankan dengan traksi, memberikan
kesempatan terapi pada thorak. Jika respirasi telah
distabilisasi dan dapat dilakukan weaning, tidak
menguntungkan jika melakukan immobilisasi
vertebra servikal dengan halo vest. Halo vest
membatasi akses pada dada dan meningkatkan
kekakuan dinding dada. Namun posisi tegak dan
semitegak membantu ekskursi diafragma dan
meningkatkan FRC.2,5,6,9

3. Kardiak
Trauma medulla spinalis akut biasanya berhubungan
dengan oedem pulmonum. Biasanya
segera muncul, mungkin terjadi karena simpatetik
outflow yang massif, meningkatkan afterload dan
merupakan predisposisi terhadap disritmia. Tanda
yang menetap pada trauma medulla spinalis akut
diatas level T6 adalah hipotensi dan bradikardi,
walaupun setelah pemberian cairan yang cukup dan
koloid untuk mengisi kapasitansi vena. Masalah ini
dapat respon dengan pemberian atropin (0,2-0,4
mg); jika hipotensi hipotensi masih timbul,
vasopresor mungkin diperlukan.2,5,6,9

Pengelolaan Anestesi Intraoperatif

Anestesi umum adalah teknik pilihan untuk pasien
dengan trauma multipel. Anestesi regional mungkin
dapat digunakan karena minimal manipulasi pada
fungsi kardiopulmonal pasien dan tidak ada
manipulasi pada jalan nafas. Namun pada pasien
dengan trauma serius terdapat keuntungan pada
penggunaan intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik dan juga karena kurangnya kooperasi
pasien saat terlentang di meja operasi pada operasi
yang lama. Blokade simpatis pada spinal dan
epidural anestesia mengganggu kompensasi
homeostatik pada perdarahan. Karenanya, anestesi
regional berguna pada trauma ekstremitas yang
terisolasi, sebagai contoh blok pleksus brakhialis
untuk fraktur ekstremitas atas.1,2,8,9

Anestesi umum dapat dilaksanakan secara aman
pada pasien dengan trauma multipel dengan
memilih obat yang mendepresi kardiovaskuler
secara minimal dan hipertensi intrakranial yang
minimal. Dosis kecil obat dan obat yang bersifat
lipofilik yang besar seperti thiopental, etomidate
dan sufentanil dapat dititrasi untuk mendapatkan
efek anestesi yang diinginkan tanpa menimbulkan
hipotensi yang hebat. Walaupun data
farmakokinetik selama syok hemoragik sangat
terbatas, secara klinis pasien tampaknya dapat
mencapai efek obat yang diinginkan dari dosis kecil
obat yang disuntikkan. Reduksi volume darah
mungkin menyebabkan peningkatan konsentrasi
obat pada tempat kerjanya di otak, dan reduksi
aliran darah hepar dapat memperpanjang klirens
obat. Namun dosis normal pelumpuh otot,
dibutuhkan untuk mencapai paralisis cepat, kondisi
yang diperlukan untuk intubasi endotrakheal.1,8,9

Cedera otak sering menyertai, dengan peningkatan
tekanan intrakranial jika terdapat perdarahan
intrakranial atau edema. Tekanan intrakranial dikontrol
dengan kombinasi restriksi cairan (kecuali
bila ada syok hipovolemik), diuretik (manitol 0,5 gr
/KgBB), barbiturat dan deliberate hypocapnea
(PaCO2 26-30 mmHg). Selanjutnya intubasi endotrakeal
dibutuhkan untuk mencegah aspirasi. Hipertensi
dan takikardi selama intubasi dapat dikurangi
dengan lidokain atau fentanil intravena. Intubasi
sadar awake intubation dapat mencetuskan
peningkatan tekanan intrakranial.1,8,9

Obat Anestesi yang Direkomendasikan

1. Obat Pelumpuh Otot

Suxamethonium dapat dipilih karena onset yang
cepat dan eleminasi yang cepat pula. Efek terhadap
tekanan intravaskuler dan intrakranial tidak signifikan.
Harus dihindarkan jika ada denervasi otot
yang signifikan untuk lebih dari 2 hari dan jika ada
luka bakar. Vekuronium berguna karena memiliki
efek samping yang lebih kecil. Vekuronium memiliki
onset yang cepat jika digunakan pada dosis
lebih dari 0,25 mg / KgBB.1,8,9

2. Anestetik dan Amnesik

Midazolam dapat menyebabkan amnesia yang baik.
Tiopenton dapat bekerja dengan baik namun harus
diberikan dalam dosis kecil karena efek vasodilatasi
perifer dan depresi miokardium. Ketamin
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial,
karenanya dikontraindikasikan. N2O mendepresi
miokardium dan mengurangi ketersediaan pasokan
oksigen. Jangan digunakan jika terdapat
pneumotorak, pneumocepalus atau kontusio paru.
Propofol tidak memiliki keuntungan yang
signifikan dibandingkan tiopenton. Halotan dan
isofluran merupakan agen yang baik, namun tidak
dapat diberikan sampai volume darah cukup.
Sevofluran dapat menjadi pilihan.1,8,9

3. Narkotik

Fentanil ditoleransi dengan baik walaupun dapat
menyebabkan vasodilatasi. Sufentanil dan alfentanil
tidak memiliki keuntungan khusus. Morphin dapat
menyebabkan hipotensi.1,8,9

IV. Simpulan
Asessmen awal terhadap pasien dengan trauma
multiple khususnya dengan trauma tulang leher
adalah tetap penanganan airway, breathing, dan
circulation. Resusitasi kemudian dilakukan secara
simultan. Fraktur tulang leher harus selalu dianggap
ada pada trauma, sampai dibuktikan tidak ada
dengan pemeriksaan radiologi. Ekstensi kepala dan
traksi aksial yang berlebihan harus dihindarkan, dan
imobilisasi manual dari leher dan kepala oleh asisten
harus dilakukan untuk stabilisasi tulang leher
selama dilakukan intubasi endotrakheal. Cedera
kepala biasanya selalu menyertai pada trauma yang
menyebabkan fraktur tulang leher. Harus diperhatikan
komplikasi yang biasanya menyertai pada
fraktur tulang leher, seperti syok neurogenik,
trauma medulla spinalis dan komplikasi kardiak.
Prinsip penanganan anestesi dimulai dari preoperatif,
durante dan post operatif. Penanganan
bantuan hidup dasar, pemilihan agen anestesi untuk
operatif dan stabilisasi post operatif.

Daftar Pustaka
1. John K, Christopher MG. Anesthesia for
Trauma. Dalam: Miller RD, eds. Anesthesia.
5th ed. USA: Churchil Livingstone; 2000, 2157
- 72.
2. Johnson GE. Spine Injury. Dalam: Hall JB,
Schimdt GA, Wood LH. eds. Principles of
Critical Care. 2nd ed. USA: McGraw-Hill;
1998, 1375 – 85.
3. Komisi Trauma IKABI. Cedera Tulang
Belakang dan Medula Spinalis. Dalam:
Advance Trauma Life Support Program Untuk
Dokter (terjemahan). Edisi ke-6. American
College of Surgeons; 1997, 237-66.
4. Chris AL Lycette CA, Doberstein C, Rodts GE
Jr, Mc Bride DQ et all. Cervical Spinal Cord
Injury. Dalam: Frederick SB, Sue DY. eds.
Current Critical Care Diagnosis and Treatment.
2nd ed. USA: McGraw-Hill; 2002 , 741-47.
5. Riwanto, Soenarjo. Penanganan Penderita
Gawat Darurat. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2000 , 10-46.
6. Warren RL. Special Considerations in Trauma
Patients. Dalam: Hurford WE, Bigatelo LM,
Haspel KL, Hess DR, Warren RL et al, eds.
Critical Care Handbook of the Massachusets
General Hospital. 3rd ed. USA : Lipincott
Williams & Wilkins; 2000, 569-80.
7. Bainton C. Anesthesia for Trauma and
Emergencies. Dalam: Healy TE, Cohen PJ.
eds. A Practice of Anesthesia. 6th ed. London :
Little Brown and C;, 1995, 1005-20.
8. Young W. Spinal Cord Injury Levels &
Classification. Rutgers University, Piscataway;
2002.
9. Stier GR, Giffin JP, Cole DJ, Onestis, Fried
E.et al. Spinal Cord: Injury and Procedures.
Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook
of Neuroanesthesia. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007, 216-55

0 komentar:

Posting Komentar