konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Minggu, 05 Maret 2017

Peningkatan Tekanan Intrakranial Pada Anak

Peningkatan Tekanan Intrakranial

Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja


Pendahuluan
Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dapat disebabkan berbagai etiologi, yaitu edema serebri akibat trauma kepala, hipoksia-iskemia, infeksi, gangguan metabolik, hidrosefalus, dan lesi desak ruang. Jika tidak dikenali dan tidak ditata laksana secara dini dan tepat, peningkatan TIK dapat mengakibatkan cedera neurologis ireversibel bahkan mortalitas.


Patofisiologi
Tekanan intrakranial (TIK) merupakan jumlah total tekanan dari otak, darah dan cairan serebrospinal dalam rongga intrakranial. Doktrin Monroe-Kellie menyatakan rongga kranium adalah ruang tetap yang terdiri atas
tiga komponen yaitu darah, otak, dan cairan serebrospinal (CSS). Darah meliputi 10% volume total rongga kranium, CSS sebesar 10%, dan otak sebesar 80%. Cairan serebrospinal memiliki 70% kapasitas buffer intrakranial. Saat terjadi peningkatan satu atau lebih dari komponen tersebut maka komponen lain akan turun untuk menjaga volume intrakranial tetap sama. Darah dan CSS merupakan komponen yang dapat berkompensasi. Saat  terjadi edema otak karena sebab tertentu, CSS akan berpindah dari ventrikel dan rongga subarakhnoid serebral ke rongga subarakhnoid spinal melalui foramen magnum. Selanjutnya terjadi pengurangan produksi CSS atau terjadi peningkatan absorpsi CSS, sehingga Peningkatan Tekanan Intrakranial Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja volume total CSS berkurang. Darah juga ikut berkompensasi dengan mengalihkan darah vena ke sinus venosus dura. Jika terdapat massa intrakranial (misalnya tumor otak), otak dan volume arteri akan tetap statis, sedangkan CSS dan darah vena akan mengalami penurunan volume sampai komponen-komponen tersebut tidak mampu mengkompensasi lagi, sehingga akan terjadi peningkatan TIK (Gambar 6.1).
Bayi dan anak dengan ubun-ubun dan sutura yang masih membuka (biasanya usia <18 bulan) dapat mengkompensasi perubahan komposisi komponen intrakranial yang terjadi secara perlahan dalam jangka waktu lama (perubahan kronik). Namun, kelompok usia ini tetap rentan terhadap peningkatan TIK akut. Pemahaman terhadap doktrin Monroe-Kellie penting bagi tata laksana peningkatan TIK pada anak.


Konsep penting lain dalam dinamika intrakranial meliputi autoregulasi, komplians, aliran darah otak, kecepatan metabolisme serebral dan tekanan perfusi serebral. Autoregulasi adalah kemampuan mempertahankan aliran darah otak (cerebral blood flow, CBF) dengan vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah otak meskipun terdapat fluktuasi tekanan darah sistemik. Jika autoregulasi terganggu, maka aliran darah otak akan tergantung pada perubahan tekanan darah sistemik. Komplians menunjukkan perubahan tekanan akibat perubahan volume, merupakan indikator toleransi otak terhadap peningkatan TIK. Tiap pasien memiliki derajat komplians yang berbeda walaupun mengalami derajat kerusakan yang sama. Faktor-faktor yang berpengaruh padakondisi ini masih belum diketahui. Saat komplians terganggu, maka terjadi peningkatan dramatis pada kurva tekanan/volume yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK secara cepat.



Pada otak tanpa kerusakan, aliran darah otak diatur untuk memenuhi kebutuhan otak akan oksigen dan substrat. Secara fisiologis, faktor yang berpengaruh pada aliran darah otak adalah tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2), oksigenasi arteri, pH, tekanan perfusi otak, dan laju metabolisme otak. Tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) berkaitan secara langsung dengan aliran darah otak, dan merupakan mediator kimia paling poten dari aliran darah otak. Peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi yang akan meningkatkan aliran darah otak dan sangat berpotensi meningkatkan TIK. Kondisi asidosis dan hipoksemia juga dapat meningkatkan aliran darah otak dengan mekanisme vasodilatasi. Aliran darah otak pada kondisi kebutuhan jaringan meningkat akan menyebabkan hiperemia. Aliran darah otak pada dewasa berkisar 50–70 mL/100 g/menit, sedangkan pada anak sehat dapat mencapai 108 mL/100 g/menit. Aliran darah otak <20 mL/100 g/menit menunjukkan adanya iskemia otak dan berkaitan dengan luaran yang buruk pada anak dengan trauma kepala.


Kejang dan demam akan meningkatkan aliran darah otak dan laju metabolisme otak. Prosedur untuk menurunkan laju metabolisme otak seperti pemberian barbiturat dan hipotermia juga akan menurunkan aliran darah otak. Metabolisme otak bergantung pada glukosa untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh, dengan adenosin trifosfat (ATP) dan siklus Krebs untuk mempertahankan metabolisme aerob. Saat terjadi hipoksia maka terjadi metabolisme anaerob yang menghasilkan laktat dan piruvat serta menurunkan produksi ATP dan pasokan energi untuk metabolisme tubuh.

Tekanan perfusi otak atau cerebral perfusion pressure (CPP) merupakan tekanan perfusi pada sel dan merupakan indikator penting aliran darah otak. Tekanan perfusi yang cukup akan mencegah kerusakan akibat iskemia otak sekunder. Tekanan perfusi otak didapat dari pengukuran tidak langsung aliran darah otak dan dihitung dengan mengukur perbedaan antara mean arterial pressure (MAP) dengan intracranial pressure (ICP), dengan persamaan berikut: CPP = MAP-ICP. Belum terdapat panduan nilai normal CPP untuk anak.
Namun, dari persamaan tersebut, nilai minimal CPP yang diperlukan untuk mencegah iskemia adalah sebagai berikut: dewasa, CPP >70mmHg; anak, CPP >50–60 mmHg; bayi/balita, CPP >40–50 mmHg. Penelitian menyatakan CPP <40 mmHg merupakan prediktor penting mortalitas pada anak dengan kerusakan otak akibat trauma.



Rentang normal TIK bervariasi berdasarkan usia (Tabel 6.1). Hipertensi intrakranial dinyatakan sebagai peningkatan TIK >20 mmHg selama lebih dari 5 menit.Ambang nilai yang lebih rendah dapat digunakan pada bayi dan anak kecil. Ambang nilai untuk memulai terapi pada hipertensi intrakranial bervariasi, tergantung pada etiologi. Penggunaan batas atas nilai normal untuk memulai terapi masih diperdebatkan.



Etiologi
Mekanisme peningkatan TIK dapat disebabkan peningkatan massa jaringan otak, volume darah, atau cairan serebrospinal (Tabel 6.2). Satu atau lebih faktor tersebut dapat meningkatkan tekanan intrakranial secara tunggal atau simultan. Peningkatan TIK dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu edema serebri (akibat trauma kepala, kondisi hipoksik-iskemik, infark serebri, infeksi (meningitis, ensefalitis), ensefalopatimetabolik, hidrosefalus, dan proses desak ruang (tumor, perdarahan intraparenkimal karena ruptur malformasi arteriovena atau aneurisma).
Keterlambatan deteksi dini dan penanganan peningkatan TIK akan mengakibatkan kerusakan neurologis yang ireversibel.

Tabel 6.1. Berbagai etiologi peningkatan TIK


Tabel 6.2. Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial




Gejala klinis
Pada peningkatan TIK dapat dijumpai sakit kepala dengan derajat dan durasi yang bervariasi, muntah, letargi, meningismus, disorientasi, disfungsi neurologis fokal, kejang, dan koma. Tanda awal pada bayi dan anak usia muda dapat berupa ubun-ubun besar membonjol dan refleks pupil yang lemah. Pada peningkatan TIK yang berat dan lama dapat terjadi pembesaran pupil unilateral, kelumpuhan saraf kranial (III, IV, VI), edema papil, dan trias Cushing (hipertensi, bradikardi, dan perubahan pola napas). Kondisi ini menunjukkan tanda herniasi awal atau lanjut. Trias Cushing terjadi pada kondisi iskemia serebral yang menyebabkan vasokonstriksi perifer sehingga mengakibatkan tekanan darah sistolik meningkat untuk mempertahankan perfusi otak. Baroreseptor kardiak akan merespons kondisi ini dengan merangsang respons vagal yang bermanifestasi sebagai bradikardi. Pola napas abnormal merupakan komponen terakhir dari trias Cushing, yang terjadi karena kompresi batang otak. Sangatlah penting dalam mengenali gejala awal peningkatan TIK karena trias Cushing merupakan gejala yang timbul amat perlahan pada anak dengan cedera neurologis dan merupakan suatu petunjuk adanya herniasi.


Tata laksana
Tujuan utama tatalaksana peningkatan TIK adalah untuk mencegah dan meminimalkan kerusakan sekunder otak, tanpa memandang etiologi. Terminologi kerusakan primer dan sekunder umumnya digunakan pada kasus cedera kepala traumatik, namun istilah ini juga dapat diterapkan pada anak dengan ensefalopati metabolik, lesi hipoksik-iskemik, lesi otak nontraumatik, infeksi otak, dan perdarahan intrakranial. Kerusakan primer menunjukkan kejadian awal tanpa memandang mekanisme kerusakan, sedang kerusakan sekunder menunjukkan proses yang berlangsung dalam hitungan jam sampai hari setelah kerusakan awal dapat melalui intervensi terhadap faktor-faktor sesuai doktrin Monroe-Kellie (Tabel 6.3), yaitu dengan menurunkan volume otak, menurunkan volume cairan serebrospinal, menurunkan laju metabolisme otak, dan/atau menurunkan aliran darah otak. Tujuan intervensi tersebut adalah untuk mempertahankan tekanan perfusi otak dan TIK sesuai usia. Tata laksana peningkatan TIK berdasarkan algoritma pendekatan peningkatanTIK pada anak dengan kerusakan neurologis dapat dilihat pada Gambar 6.3.


Airway, Breathing, Circulation
Manajemen awal pada anak dengan kecurigaan peningkatan TIK adalah penilaian patensi jalan napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi (circulation), atau ABC. Intubasi harus dipertimbangkan pada kondisi: kesulitan mempertahankan patensi jalan napas, GCS <8, hasil CT scan menunjukkan edema serebri
difus, kerusakan neurologis dengan resiko dekompensasi, ketidakstabilan dinding dada, pola napas abnormal, dan obstruksi jalan napas atas. Intubasi harus dilakukan dengan pemberian medikasi untuk mencegah peningkatan TIK selama prosedur. Medikasi yang dianjurkan adalah tiopenthal, lidokain, dan short-acting nondepolarizing neuromuscular blockage agent (misal vekuronium, atrakurium).


Kecukupan oksigenasi harus dijaga untuk mencegah sekuele dari kerusakan sekunder. Pertahankan tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) >60 mmHg, saturasi oksigen (SpO2) >90%, dan positive end expiratory pressure (PEEP) 5 cmH2O. Tekanan darah sesuai umur harus dipertahankan untuk menjamin kecukupan tekanan perfusi otak dan mencegah iskemia berkelanjutan. Pencegahan hipotensi juga harus dilakukan karena berkaitan dengan peningkatan mortalitas pada cedera otak traumatik. Hipotensi pada anak didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dibawah persentil 50 sesuai usia atau jika didapatkan klinis syok. Median (persentil 50) tekanan darah sistolik pada anak >1 tahun dapat dihitung dengan rumus: 90 + (2 x usia dalam tahun). Tanda lain penurunan perfusi adalah takikardia, penurunan produksi urin (<1 mL/kg/jam), nadi lemah atau tak teraba, pemanjangan waktu pengisian kapiler >2 detik, dan penurunan kesadaran. Pada cedera neurologis dengan hipotensi, resusitasi cairan tetap harus diberikan sesuai dengan tata laksana syok. Tidak ada indikasi untuk melakukan restriksi cairan. Pemberian vasopressor dapat dilakukan pada kondisi hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat.

Head positioning
Kepala pasien diposisikan pada garis tengah sumbu tubuh untuk menjaga drainase vena jugularis dan kepala dielevasikan 15-300. Metode ini sangat efektif untuk menurunkan tekanan intrakranial dan mengoptimalkan tekanan perfusi otak. Elevasi kepala di atas 300 atau menurunkan kepala dibawah 150 berkaitan dengan peningkatan dan atau penurunan tekanan perfusi otak.


Drainase serebrospinal
Drainase cairan serebrospinal akan menyebabkan penurunan TIK yang cepat namun transien. Drainase ini dapat dilakukan secara kontinu ataupun intermiten. Metode paling optimal untuk memonitor TIK dan drainase cairan serebrospinal adalah melalui kateter ventrikulostomi. Penelitian tentang efek metode drainase cairan serebrospinal terhadap efek TIK, tekanan perfusi otak, aliran darah otak, serta laju metabolisme otak masih sangat terbatas. Pada kondisi hipertensi intrakranial yang refrakter, drainase lumbal dapat dipertimbangkan jika sisterna basalis terbuka dan tidak ada tanda midline shift, atau tidak ada massa yang nyata pada hasil pencitraan neurologis.


Terapi osmotik
Manitol merupakan agen osmotik yang telah digunakan puluhan tahun untuk mengatasi hipertensi intrakranial. Mekanisme kerja manitol ada dua, yaitu (1) menginduksi diuresis osmotik, dengan cara menghasilkan gradien osmosis sehingga cairan dari jaringan otak tertarik ke rongga vaskular, kemudian diekskresikan melalui ginjal, dan (2) efek reologis, yaitu menurunkan viskositas darah dan hematokrit serta meningkatkan aliran darah otak dan pasokan oksigen otak. Efek reologis langsung bekerja menurunkan TIK dalam hitungan menit setelah pemberian manitol. Efek diuresis osmotik bekerja lebih lambat, yaitu 15-30 menit setelah pemberian manitol, dan bertahan sekitar 6-8 jam, sehingga manitol diberikan dengan frekuensi tiap 4-6 jam dengan dosis 0,5-1 gram/kgBB/kali.




Pemberian cairan hipertonis dapat menurunkan TIK dan memperbaiki luaran pada anak dengan cedera kepala traumatik. Cairan hipertonis dapat menurunkan TIK dan volume darah otak dengan menciptakan gradien osmosis dalam otak, disamping tetap dapat mengisi volume intravaskular. Pemberian cairan hipertonis 10 mL/kg bolus mampu memperbaiki tingkat kesadaran dan skor Skala Koma Glasgow. Pemberian secara kontinu yang dianjurkan dimulai dari 0,1 sampai 1,0 mL/kg/jam. Pemantauan kadar natrium serum dan status neurologis perlu dilakukan secara ketat, mengingat risiko terjadinya osmotic demyelination syndrome (central pontin myelinosis) akibat peningkatan kadar natrium serum yang cepat.

Hiperventilasi
Hiperventilasi dianjurkan dilakukan sebagai intervensi awal peningkatan TIK akut yang bermakna. Hiperventilasi tidak dianjurkan sebagai terapi profilaksis karena memiliki potensi memperburuk iskemia serebral. Lebih lanjut, hiperventilasi dapat menurunkan kapasitas buffer bikarbonat pada jaringan interstisial otak, yang menurunkan kemampuan vasokonstriksi.
Normalnya, alkalosis menyebabkan konstriksi arteriol, namun dengan hilangnya kemampuan buffer maka vasokonstriksi yang dapat menurunkan aliran darah otak akan terganggu. Hiperventilasi sedang (PaCO2 30-35 mmHg) dapat diterapkan pada peningkatan TIK yang berkepanjangan meskipun sudah dilakukan drainase cairan serebrospinal, sedasi dan analgesia, head positioning, dan terapi osmolar. Hiperventilasi yang bermakna (<30 mmHg) dilakukan pada penderita dengan peningkatan TIK refrakter yang tidak berespons terhadap terapi. Hiperventilasi intermiten dilakukan pada kondisi peningkatan TIK akut atau bila terdapat tanda awal herniasi.


Regulasi temperatur
Mempertahankan temperatur pada rentang normal dapat mencegah komplikasi akibat hipotermia dan hipertemia. Anak dengan cedera neurologis dapat mengalami fluktuasi suhu tubuh karena infeksi, sepsis, perdarahan intrakranial, dan gangguan hipotalamus. Peningkatan temperatur inti >37,50C berhubungan dengan terjadinya peningkatan TIK dan kenaikan kebutuhan oksigen otak. Pada penelitian dengan hewan coba, hipotermia dikatakan memiliki efek neuroprotektif dengan menurunkan metabolisme serebral, pelepasan glutamat ekstraselular, mobilisasi kalsium, produksi radikal bebas dan sintesis nitrit oksida. Namun penelitian yang lain menyebutkan bahwa hipotermia (35-35,50C) berpotensi meningkatkan kejadian pneumonia, kerusakan kulit, ketidakseimbangan elektrolit, hipotensi, menggigil, dan koagulopati. Intervensi pengaturan suhu pada anak dengan peningkatan TIK dianjurkan dalam rentang normotermia. Hipotermia sedang dianjurkan pada anak dengan peningkatan TIK refrakter yang tidak berespons terhadap terapi. Penghentian terapi hipotermia harus dilakukan perlahan untuk mencegah komplikasi seperti gangguan elektrolit, perburukan edema serebri, asidosis, dan hipotensi.


Sedasi, analgesia, dan blok neuromuskular
Anak dengan cedera otak akut yang mendapat ventilasi mekanik sebaiknya diberikan sedasi dan analgesia yang cukup untuk mencegah nyeri dan kecemasan. Agen yang sering digunakan meliputi opiod, benzodiazepin, dan barbiturat. Pemberian agen blokade neuromuskular dapat membantu mengontrol PaCO2, mencegah menggigil, dan gerakan pada penderita dengan ventilasi mekanik, sehingga dapat mencegah peningkatan TIK.


Manajemen dan pencegahan kejang
Anak dengan cedera kepala akut berisiko lebih besar mengalami kejang dibandingkan orang dewasa, dikarenakan rendahnya ambang kejang pada anak. Kejang pada peningkatan TIK harus segera diatasi, karena kejang akan meningkatkan laju metabolisme otak, aliran darah otak, dan volume darah otak, yang selanjutnya akan memperberat peningkatan TIK. Kejang pada kondisi ini dapat diatasi dengan pemberian golongan benzodiazepin (misalnya lorazepam) atau fenitoin, dan dilanjutkan dengan obat antiepilepsi dosis rumatan selama minimal 2 minggu. Pemberian antiepilepsi pada anak direkomendasikan dalam jangka pendek, kecuali kondisi klinis dan etiologi kejang pada penderita menunjukkan perlunya pemberian obat antiepilepsi dalam jangka waktu panjang.


Terapi barbiturat
Pemberian barbiturat dosis tinggi dilakukan pada hipertensi intrakranial refrakter yang tidak teratasi dengan intervensi yang telah disebutkan diatas. Barbiturat dapat menurunkan TIK dengan cara menurunkan laju metabolisme otak, sehingga mengurangi pemakaian glukosa dan kebutuhan oksigen. Penelitian mengenai efektifitas barbiturat pada peningkatan TIK intraktabel di bidang pediatrik masih terbatas, namun beberapa penelitian menunjukkan barbiturat memperbaiki luaran penderita. Barbiturat dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik berat, sehingga penggunaannya harus diawasi dengan ketat, terutama status hemodinamik, tekanan vena sentral, dan status oksigenasi.


Pembedahan
Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan yaitu evakuasi massa akut (tumor otak, hematoma epidural) dan pemasangan monitor TIK dengan ventrikulostomi. Kraniektomi dekompresif untuk meningkatkan komplians intrakranial penderita dengan hipertensi intrakranial refrakter.

Steroid
Penggunaan kortikosteroid diindikasikan untuk mengurangi pembengkakan dan stabilisasi membran sel pada kasus peningkatan TIK karena lesi massa (tumor otak, abses), inflamasi, dan infeksi. Steroid tidak dianjurkan pada peningkatan TIK akibat trauma kepala.


Cairan, elektrolit, dan nutrisi
Tujuan terapi cairan adalah mempertahankan penderita dalam kondisi euvolemia, normoglikemia, dan mencegah hiponatremia. Pemberian dektrosa parenteral dihindari pada 48 jam setelah kerusakan neurologis karena kemungkinan terjadinya asidosis laktat, kecuali penderita mengalami hipoglikemia. Makanan enteral mulai diberikan dalam 72 jam setelah cedera. Selama tidak ada kontraindikasi, nutrisi diberikan secara enteral, karena diyakini dapat menurunkan lama rawat inap di ruang intensif dan mencegah komplikasi.


Anak yang mengalami hipertensi intrakranial sebaiknya mendapat cairan sesuai kebutuhan rumatan, kecuali ada indikasi pemberian cairan bolus pada kondisi hipotensi, hipovolemia, dan penurunan produksi urin. Cairan rumatan sebaiknya berupa salin normal dengan penambahan kalium klorida berdasarkan berat badan. Cairan yang diberikan hendaknya bersifat isotonis atau hipertonis. Penggunaan cairan hipotonis sebaiknya dihindarkan.
Hiponatremia harus dicegah karena akan memperparah peningkatan TIK. Jika terjadi hiponatremia, lakukan koreksi secara perlahan untuk mencegah pontine myelinosis.

Perawatan
Pemberian lidokain sebelum tindakan suctioning dianjurkan untuk mengurangi peningkatan TIK akibat tindakan. Pemberian analgesia dan sedasi yang adekuat diperlukan sebelum tindakan atau prosedur yang dapat menyebabkan nyeri, kecemasan, atau peningkatan TIK. Kondisi ruangan yang tenang dapat mengurangi stimulus visual dan auditori pada penderita. Memberi kesempatan untuk dukungan keluarga pada pasien dengan peningkatan TIK sangatlah penting, namun tetap dengan memperhatikan tanda vital pasien.


Mutiara bernas
• Tujuan tatalaksana peningkatan TIK adalah untuk mencegah dan meminimalkan kerusakan sekunder
• Tata laksana awal peningkatan TIK meliputi penanganan jalan napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi (circulation)
• Pertahankan PaO2 >60 mmHg dan SpO2 >90% untuk menjaga kecukupan oksigenasi
• Pertahankan kecukupan perfusi sistemik untuk mencegah hipotensi dan hipoksia
• Pertahankan nilai TIK dan tekanan perfusi otak sesuai usia
• Drainase cairan serebrospinal jika ada indikasi
• Posisikan kepala pada garis tengah sumbu tubuh dan elevasi kepala 15-300
• Hiperventilasi hanya dilakukan untuk peningkatan TIK akut atau bila terdapat tanda awal herniasi
• Pertahankan normotermia
• Manitol diberikan bila TIK > 20 mmHg, pertahankan osmolalitas serum <320 mOsm/L
• Pertahankan euvolemia
• Monitor elektrolit, cegah hiponatremia
• Monitor glukosa, cegah hipoglikemia atau hiperglikemia
• Pemberian lidokain sebelum tindakan suctioning
• Pemberian sedasi dan analgesia yang adekuat, pertimbangkan blokade neuromuskular
• Monitor aktivitas kejang, berikan antiepilepsi jika ada indikasi
• Mulai pemberian nutrisi enteral setelah 72 jam
• Minimalisir stimulus visual dan auditori

sumber tulisan ini :  disalin langsung dari
BUKU AJAR PEDIATRI GAWAT DARURAT  IDAI 2011

Kepustakaan
1. Abend NS, Kessler SK, Helfaer MA, Licht
DJ. Evaluation of the comatose child. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of
pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 847-61.
2. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. 2002;73(Supp):i23–7.
3. Keenan HT, Nocera M, Bratton SL. Frequency
of intracranial pressure monitoring in infants
and young toddlers with traumatic brain injury.
Pediatr Crit Care Med. 2005; 6: 537–41.
4. Larsen GY, Goldstein B. Increased intracranial
pressure. Pediatr Rev. 1999;20:234-9.
5. Marcoux KK. Management of increased
intracranial pressure in the critically ill child
with an acute neurological injury. AACN Clin
Issues. 2005; 2: 212–31.
6. Nelson DS. Coma and altered level of
consciousness. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S,
penyunting. Textbooks of pediatric emergency
medicine. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010. h. 177-87
7. Nortje J, Gupta AK. The role of tissue oxygen
monitoring in patients with acute brain injury.
Br J Anaesth. 2006;97:95–106.
8. Ranjit S. Management of a comatose patient with
intracranial hypertension: current concepts.
Indian J Pediatr. 2006;43:409-15.
9. Sharma A. Raised intracranial pressure and its
management. JK Science. 1999;1:13-21.
10. White H, Venkatesh B. Cerebral perfusion
pressure in neurotrauma: a review. Anesth
Analg. 2008;107:979–88.

0 komentar:

Posting Komentar