konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Rabu, 29 Maret 2017

Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut

Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut

Silmi Adriman*), Nazarudin Umar**), Marsudi Rasman***)
*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala-RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP. H. Adam Malik Medan, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Data epidemiologi terus menunjukkan peningkatan populasi penduduk berusia lanjut dan berdampak pada peningkatan permintaan layanan kesehatan, termasuk kebutuhan untuk menjalani prosedur pembedahan karena berbagai sebab. Salah satu penyebabnya adalah cedera otak traumatik (COT), termasuk di dalamnya perdarahan epidural, subdural dan intraserebral (epidural, subdural, intracerebral hemorrhage/EDH, SDH, ICH). Pada pasien berusia lanjut, COT bertanggung jawab terhadap lebih dari 80.000 kasus dengan tiga-perempat diantaranya harus menjalani rawat inap setiap tahunnya. Perencanaan penatalaksanaan perioperatif membutuhkan pertimbangkan beberapa hal untuk mencapai tingkat anestesi dan analgesi yang optimal pada pasien berusia lanjut. Seorang laki-laki, 65 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran pasca kecelakaan bermotor. Setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 18 kali/menit, tekanan darah 140/80 mmHg, laju nadi 88 kali/menit. Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi EDH dan kraniektomi evakuasi SDH dan ICH dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi serta geriatri anestesi selama tindakan bedah berlangsung.
Kata kunci: geriatri, cedera otak traumatik, penatalaksanaan perioperatif

Perioperative Management of Traumatic Brain Injury in Elderly Surgical Patients
Abstract
Current epidemiological data showed an increasing number of elderly population, whereas in accordance with an increased demand for health care service, including surgical treatments for elderly. Traumatic brain injury (TBI), such as epidural hemorrhage (EDH), subdural hemorrhage (SDH) and intracerebral hemorrhage (ICH) are among the demanded surgery in elderly. In elderly population, TBI is responsible for more than 80.000 emergency department cases each year; with approximately three-quarters of these cases require further hospitalization. Perioperative management planning requires some considerationsin order to achieve the optimal level of anesthesia and analgesia in the elderly patients. A 65 years old male patient was admitted to the hospital with decreased level of consciousness after motor vehicle traffic injury. During resuscitation, airway was clear, respiratory rate was 18 x/min, blood pressure was 140/80 mmHg, heart rate was 88 x/min. Patient directly underwent an emergency craniotomy evacuation of EDH, SDH and ICH under general anesthesia with continue and comprehensive care of neuroanesthesia and geriatric anesthesia principles.
Key words: Geriatry, traumatic brain injury, perioperative management


sumber tulisan :
di salin ulang dari :

JNI 2015; 4 (2): 104–11































I. Pendahuluan
Populasi penduduk berusia lanjut (geriatri, berumur 65 tahun dan lebih) di dunia mencapai laju kenaikan yang sangat luar biasa. Sebagian besar berhubungan dengan penurunan laju kelahiran dan peningkatan angka harapan hidup.
Saat ini, sekitar 14% dari penduduk Amerika Serikat (AS) telah berumur 65 tahun atau lebih, bahkan pada tahun 2020 diperkirakan meningkat menjadi 20% atau sekitar 60.000.000 orang. Hal ini akan berdampak pada peningkatan permintaan layanan kesehatan dan perawatan, termasuk kebutuhan untuk menjalani prosedur pembedahan (operasi) karena berbagai sebab.1

Pasien berusia lanjut diketahui empat kali lipat lebih sering menjalani tindakan operasi dibandingkan dengan pasien berusia muda.2 Salah satu penyebabnya adalah cedera otak traumatik (COT). Pada pasien berusia lanjut, COT bertanggung jawab terhadap lebih dari 80.000 kunjungan ke Unit Gawat Darurat (UGD) setiap tahunnya dan sekitar tiga-perempatnya harus mendapatkan perawatan rawat inap. Jatuh menjadi penyebab utama terjadinya COT (51%) dan kecelakaan bermotor (baik sebagai pejalan kaki atau pengguna/penumpang kendaraan) sebagai penyebab kedua terbanyak (9%).3,4

Penuaan menyebabkan penurunan kapasitas fisiologik berbagai sistem organ dan kemampuan untuk memelihara atau mengembalikan homeostasis, serta beradaptasi terhadap suatu stres, termasuk stres metabolik terkait tindakan operasi. Penuaan juga diikuti dengan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik berbagai obat-obatan di dalam tubuh, termasuk penggunaan obat-obatan anestesi selama tindakan pembedahan dilakukan.5,6 
Perencanaan penatalaksanaan perioperatif, termasuk teknik anestesi yang digunakan, membutuhkan beberapa pertimbangan khusus. Diantaranya adalah usia pasien, prosedur bedah yang akan dilaksanakan dan berbagai komorbiditas yang sedang diderita pasien.6 Prinsip perubahan farmakodinamik terkait penuaan dihubungkan dengan pengurangan kebutuhan dosis anestesi yang digunakan, hal ini disebabkan karena meningkatnya sensitivitas obat-obatan pada pasien usia lanjut. Pemberian titrasi obat-obat anestesi yang hati-hati dapat membantu mencegah terjadinya efek samping dan perpanjangan durasi obat; obat dengan kerja singkat (short acting agent) seperti propofol, desfluran, remifentanyl dan suksinilkolin diketahui sangat baik digunakan pada pasien usia lanjut.7

II. Kasus
Anamnesa
Seorang laki-laki berusia 65 tahun datang dengan
penurunan kesadaran sejak 4 jam sebelum masuk
rumah sakit. Pasien mengalami kecelakaan
bermotor, jatuh dari motor dengan posisi kepala
jatuh dan terbentur terlebih dahulu ke aspal.
Pasien diketahui tidak menggunakan helm saat
berkendara dan langsung tidak sadarkan diri.
Pada pasien terdapat perdarahan dari telinga
dan hidung, muntah (+), kejang (–). Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit yang lain.

Pemeriksaan Fisik
Status neurologis GCS E2M5V3 (10), pupil
isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+). Pada
pemeriksaan didapatkan tekanan darah 140/80
mmHg, laju nadi 88 kali/menit, suhu tubuh 36,2
°C, laju napas 18 kali/menit spontan. Jalan napas
bebas, suara napas vesikuler, tidak didapatkan
ronki maupun wheezing, diberikan simple mask
non breathing 10 liter/menit, didapatkan SpO2 99–
100%. Suara jantung normal, tidak ada murmur.
Pada pemeriksaan abdomen tidak ditemukan
kelainan, pada pemeriksaan ekstremitas tidak
ditemukan edema, tidak ditemukan hemiparese.

Pemeriksaan Penunjang
Darah: Hb 12,8 g/dl, Ht 31,2%, leukosit 21 x 103 /
ul, trombosit 202 x 103 /ul, Natrium 136 mmol/L,
Kalium 3,7 mmol/L, Klorida 100 mmol/L,
kadar gula darah sewaktu 135 mg/dl.
Foto thoraks: jantung dan paru dalam batas normal.
CT scan kepala: tampak adanya pembengkakkan
jaringan lunak di daerah temporoparietal sinistra,
parietal dextra. Sulkus dan gyrus kompresi.
Ventrikel kompresi. Sisterna masih terbuka.
Tampak lesi hiperdens pada temporal base kiri
parenkim otak, tampak gambaran hiperdens berbentuk biconvex pada temporoparietal
sinistra dan tampak lesi hiperdens berbentuk
biconcave pada region parietal dextra, tidak
terdapat pergeseran midline shift. Kesan
ICH a.r. temporal base sinistra + SDH a.r.
parietal sinistra + EDH parietal dextra.



Gambar 1. CT-Scan Kepala

Pengelolaan Anestesi
Pasien disiapkan untuk tindakan kraniotomi dan
kraniektomi evakuasi cyto. Selama persiapan,
pasien diposisikan dalam posisi supinasi dengan
kepala head up 30° netral, oksigenasi dengan
simple mask non rebreathing (SMNR) 8–10 liter/
menit, manitol 200 cc drip, rencana pascaoperasi
perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive
Care Unit/ ICU). Pemeriksaan fisik kembali
dilakukan sebelum tindakan operasi. Kondisi
pasien masih sama seperti awal masuk, dengan
tanda-tanda vital stabil dan hemodinamik stabil.


Di kamar operasi, pasien diposisikan dalam
posisi supinasi dengan kepala head up 15–30°
netral. Pasien dipasang alat-alat monitor noninvasif
(tekanan darah, denyut jantung, EKG,
SaO2) dan kateter urine. Oksigenasi 6 liter/menit
dengan sungkup selama 3 menit, hemodinamik
pre-induksi tekanan darah 140/80 mmHg,
laju jantung 80x/menit, laju napas 20 x/menit,
SpO2 100%. Pasien diinduksi dengan 50
mcg fentanyl intravena perlahan selama 2 menit
dan 70 mg propofol. Untuk fasilitasi intubasi diberikan 6 mg vecuronium dan 1,5 mg/kgBB
lidokain. Pasien diintubasi dengan menggunakan
laringoskop Macintosh dengan pipa endotrakheal
non-kinking ukuran 7,0. Mata diberi salep
dan ditutup dengan plester kertas 3 lapis.

Rumatan anestesi dengan sevoflurane 1,5–2
vol%, O2/udara: 1L/1L, vecuronium 4 mg/jam
dengan menggunakan syringe pump dengan
ventilasi kendali mode volume control (VC), tidal
volume (TV) 400 ml, laju napas 14 kali/menit.
Dipasang kateter vena sentral (central vein
catheter/CVC) di vena subklavia kanan dan
dihubungkan dengan transfusi set serta cairan
NaCl 0,9%. Setelah dilakukan dreeping dan
sebelum dilakukan insisi kulit, ditambahkan
fentanyl 1 mcg/kgBB. Untuk mengurangi
perdarahan diberikan asam traneksamat 500 mg
iv. Analgetik selama tindakan diberikan tramadol
100 mg iv. Manitol 150 cc diberikan selama 15
menit dan furosemid 20 mg iv sebelum tulang
kepala dibuka. Tulang tengkorak dibuka,
tampak duramater tegang kebiruan. Kemudian
duramater dibuka, tampak slack brain dan otak
tampak berdenyut. Ditemukan SDH 30 cc, ICH
15 cc dan EDH 25 cc. Sumber perdarahan berasal
dari laserasi pembuluh darah korteks dan arteri
meningia media.

Operasi berlangsung selama 3 jam dengan
jumlah pendarahan 500 cc dan diuresis 1300 cc.
Pemberian cairan intraoperatif menggunakan Ringerfundin sebanyak 1000 cc, NaCl 0,9% 500
cc dan koloid 500 cc. Diberikan ondansetron 8
mg iv 30 menit sebelum tindakan selesai. Selama
operasi hemodinamik relatif stabil.Tanda-tanda
vital selama operasi dapat dilihat pada grafik 1
dan 2.


Grafik 1.Pemantauan Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik selama Operasi.



Grafik 2. Pemantauan Laju Nadi selama Operasi


Pengeloaan Pascabedah
Pascabedah, pasien dirawat di ICU dan masih
terintubasi. Pasien dirawat dalam kontrol
ventilator selama 24 jam. Pemeriksaan
laboratorium pascaoperasi didapatkan Hb 10,8 g/
dl, Ht 31,8%, leukosit 16,3 x 103 /ul, trombosit
213 x 103/ul, natrium 138 mmol/L, kalium 3,5
mmol/L, klorida 105 mmol/L, kadar gula darah
sewaktu 136 mg/dl. Setelah 24 jam, pernapasan
pasien mulai spontan, dilakukan weaning
bertahap hingga pernapasan cukup adekuat serta
GCS E4M6V5, pasien diekstubasi. Pada hari ke-4
pasien dipindahkan ke High Care Unit (HCU).
Hari ke-8 pascaoperasi hemodinamik pasien
stabil, pasien dipindahkan ke ruang perawatan.
Pasien dipulangkan pada hari ke-12 dengan
keluhan kesulitan berbicara.

III. Pembahasan
Cedera otak traumatik yang disajikan dalam
laporan ini merupakan salah satu penyebab utama
kematian dan penyebab disabilitas seumur hidup
bagi penderita yang bertahan hidup di seluruh
dunia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
angka kejadian COT terus meningkat terkait
dengan peningkatan penggunaan kendaraan
bermotor, khususnya pada negara miskin dan
berkembang. Meskipun tidak diketahui angka
kejadian yang pasti, Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) memperkirakan sekitar
1,7 juta orang mengalami COT setiap tahunnya,
1,4 juta orang dirawat di Unit Gawat Darurat
(UGD), 275 ribu orang harus dirawat inap dan 52
ribu orang di antaranya mengalami kematian.8,9

Perdarahan intrakranial menjadi konsekuensi
umum dan serius akibat COT. Frekuensi perdarahan intrakranial bervariasi sesuai dengan
tingkat keparahan COT, usia, ada atau tidaknya
fraktur tulang tengkorak dan anatomi tempat
cedera (frontal, temporo-parietal, oksipital).
Berdasarkan lokasi perdarahan, perdarahan
intrakranial diklasifikasikan menjadi tiga jenis;
perdarahan epidural (epidural hemorrhage/EDH),
perdarahan subdural (subdural hemorrhage/
SDH) dan perdarahan intraserebral (intracerebral
hemorrhage/ ICH).10

Tabel 1. Perubahan Fisiologik terkait Proses Menua dan Dampaknya pada Penatalaksanaan Perioperatif.12


Perdarahan epidural adalah perdarahan yang
terletak antara duramater dan tulang tengkorak,
sering terjadi sebagai akibat kerusakan dari
tengkorak itu sendiri. Fraktur tulang tengkorak
dapat merobek pembuluh darah meningen yang
mengakibatkan timbulnya hematoma. Perdarahan
yang terjadi biasanya berasal dari arteri sehingga keadaan neurologi dapat dengan cepat memburuk.
Subdural hemorrhage adalah perdarahan yang
terjadi di antara lapisan duramater dan arachnoid,
terjadi sebagai hasil dari trauma aselerasideselarasi
terhadap otak yang mengakibatkan
regangan dan kerusakan vena parasagital.
Gejalanya mungkin timbul lebih lambat
dibandingkan dengan EDH, tapi mortalitasnya
lebih tinggi karena dilandasi dengan kerusakan
jaringan otak. Intracerebral hemorrhage adalah
perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
akibat robeknya pembuluh darah yang ada dalam
jaringan otak. Angka kejadiannya lebih kecil
jika dibandingkan EDH dan SDH. Umumnya
lesi parenkim yang kecil tidak memerlukan
tindakan pembedahan. Tapi, jika lesinya besar,
efek massa yang besar akan menyebabkan cedera
otak sekunder dan beresiko untuk memperburuk
status neurologis dan bahkan dapat menyebabkan
kematian. Tindakan pembedahan dilakukan jika
volume lebih dari 30 cc, ketebalan lebih dari 15
mm dan terjadi pergeseran garis tengah lebih dari
5 mm.10,11 Pasien usia lanjut yang mengalami
COT, mekanisme trauma dan prognosis memiliki
perbedaan yang cukup signifikan dengan pasien
yang berusia lebih muda. Beberapa penelitian
mungkin menyebutkan adanya penurunan angka
kejadian COT secara keseluruhan berdasarkan
pada penurunan angka kecelakaan bermotor, tapi
tidak pada pasien usia lanjut. Jatuh, yang menjadi
penyebab utama mekanisme terjadinya COT
pada pasien usia lanjut, masih terus terjadi.4


Identifikasi faktor reversibel yang berkaitan
dengan morbiditas perioperatif pada pasien berusia
lanjut yang menjalani tindakan pembedahan
merupakan hal yang sangat penting. Sebagai
bahan pertimbangan untuk melakukan upaya
tersebut, perlu dipahami berbagai perubahan
fisiologik terkait dengan proses penuaan yang
berdampak pada pengelolaan perioperatif pada
pasien berusia lanjut (Tabel 1).12

Penatalaksanaan perioperatif pasien usia lanjut
sangat kompleks. Hal ini disebabkan karena
penuaan yang terjadi menyebabkan perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik obatobatan
di dalam tubuh. Sehingga penggunaan
obat-obat anestesi menjadi lebih menantang
dan persiapan sebelum dan setelah operasi
menjadi lebih penting.13 Penurunan massa otot
yang progresif dan peningkatan kadar lemak
menyebabkan penurunan cairan total tubuh.
Penurunan volume distribusi obat yang dapat larut
dalam air (water-soluble) akan menyebabkan
konsentrasinya dalam plasma meningkat;
sebaliknya meningkatnya volume distribusi obat
yang dapat larut dalam lipid (lipid-soluble) akan
menyebabkan konsentrasi dalam plasma menjadi
sedikit. Perubahan-perubahan volume distribusi
ini akan mempengaruhi waktu paruh. Jika
obat dengan volume distribusinya bertambah,
waktu paruh akan memanjang, kecuali rata-rata
keluaran (rate of clearance) juga meningkat.
Tetapi, karena fungsi ginjal dan hati menurun
sesuai dengan usia, penurunan rate of clearance
akan memperpanjang durasi kerja obat.14, 15

Prinsip perubahan farmakodinamik terkait
penuaan dihubungkan dengan pengurangan
kebutuhan dosis anestesi yang digunakan, hal
ini disebabkan karena meningkatnya sensitivitas
obat-obatan pada pasien usia lanjut. Pemberian
titrasi obat-obat anestesi yang hati-hati dapat
membantu mencegah terjadinya efek samping
dan perpanjangan durasi obat; obat dengan kerja
singkat (short acting agent) seperti propofol,
desfluran, remifentanyl dan suksinilkolin
diketahui sangat baik digunakan pada pasien usia
lanjut.7

Kasus ini menggunaan kombinasi propofol dan
fentanyl sebagai induksi. Propofol diketahui telah
lama menjadi obat pilihan kraniotomi. Secara
signifikan, propofol akan menurunkan aliran
darah otak dan tekanan intrakranial, menurunkan
metabolisme otak dan meningkatkan tekanan
perfusi serebral pasien. Propofol juga diketahui
memiliki efek neuroprotektif.15,16 Pemberian
propofol yang dikombinasikan dengan fentanyl
dapat mengurangi respon stres selama intubasi
dan mempercepat proses pemulihan setelah
tindakan pembedahan selesai dilakukan.17 Selain
itu, keduanya termasuk ke dalam kelompok
obat-obatan dengan kerja singkat yang diketahui
cukup ideal digunakan untuk induksi pada pasien
usia lanjut.14 Vecuronium digunakan sebagai
obat pelumpuh otot pada kasus ini. Vecuronium
termasuk ke dalam kategori obat pelumpuh
otot non-depolarisasi yang dapat membantu
memperbaiki kondisi pasien usia lanjut selama tindakan pembedahan. Vecuronium diketahui
dapat mencegah terjadinya edema serebral
dengan tidak meningkatkan aliran darah otak
sehingga baik digunakan untuk pasien yang
menjalani pembedahan intrakranial. Penggunaan
vecuronium pada pasien usia lanjut tetap harus
dititrasi. Hal ini disebabkan karena penurunan
ekspresi hepar dari kehilangan massa hepar
akan memperpanjang eliminasi waktu paruh
dan durasi dari kerja vecuronium.14,15Anestetika
inhalasi yang digunakan pada kasus ini adalah
sevoflurane. Sevoflurane dipilih karena memiliki
kelarutan dalam darah yang cepat (0,63)
serta eliminasi yang cepat. Sevoflurane selain
diketahui memiliki efek vasodiltasi pembuluh
darah yang paling rendah jika dibandingkan
dengan anestesi inhalasi lainnya, juga memiliki
efek neuroprotektif berupa antinekrotik dan
antiapoptosis.

Sevoflurane merupakan anestesi volatil, sehingga
pemulihan dari pengaruh anestesi mungkin
jadi lebih lama. Hal ini disebabkan karena
terjadi peningkatan volume distribusi (karena
peningkatan body fat), penurunan fungsi hati dan
penurunan pertukaran udara di dalam paru.14, 15,
17 Pascabedah, tindakan-tindakan umum seperti
perpindahan posisi pasien, suctioning, fisioterapi
dan usaha pencegahan infeksi tetap dilakukan
untuk mengurangi resiko dan komplikasi yang
dapat memperburuk keadaan pasien.11

IV. Simpulan
Telah dilakukan penatalaksanaan anestesi untuk
pembedahan kraniotomi evakuasi EDH dan
kraniektomi evakuasi ICH dan SDH pada pasien
laki-laki berusia 65 tahun. Tindakan pembedahan
telah berhasil dilakukan dengan anestesi umum
dengan memfokuskan pada prinsip-prinsip yang
berlaku untuk pasien usia lanjut dan sesuai
dengan prinsip neuroanestesia.


Daftar Pustaka
1. Silverstein JH. The practice of geriatric
anesthesia. Dalam: Silverstein JH, Rooke
GA, McLeskey CH, editors. Geriatric
Anesthesiology. 2nd ed. USA: Springer.
2008, 3–14.
2. Bettelli G. Anesthesia for elderly outpatient:
preoperative assessment and evaluation,
anesthetic technique and postoperative
pain management. Current Opinion in
Anesthesiology. 2010; 23: 726–31.
3. Thompson HJ, McCormick WC, Kagan
SH. Traumatic brain injury in older
adults: epidemiology, outcomes and future
implications. J Am Geriatri Soc. 2006;
54(10): 1590–95.
4. Susman M, Dirusso SM, Sullivan T, Risucci
D, Nealon P, Cuff S, et al. Traumatic brain
injury in the elderly: increased mortality
and worse functional outcome at discharge
despite lower injury severity. Journal of
Trauma. 2002; 53: 219–24.
5. Muravchick S. Theories of aging. Dalam:
Silverstein JH, Rooke GA, McLeskey CH,
eds. Geriatric Anesthesiology. 2nd ed. USA:
Springer. 2008, 29–37.
6. Kanonidou Z, Karystianou G. Anesthesia for
elderly. Hippokratia. 2007; 11(4): 175–77.
7. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson
CP. Geriatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology. New York: McGraw Hill;
2002, 875–81.
8. Saatman KE, Duhaime AC, Bullock R, Maas
AIR, Valadka A, Manley GT. Classification of
traumatic brain injury for targeted therapies.
Journal of Neurotrauma. 2008; 25: 719–38.
9. Roozenbeek B, Mass AIR, Menon DK.
Changing patterns in the epidemiology of
traumatic brain injury. Nat Rev Neurol. 2013;
9: 231–36.
10. Perel P, Roberts I, Bouamra O, Woodford
M, Mooney J, Lecky F. Intracranial bleeding
in patients with traumatic brain injury: a
prognostic study. BMC Emergency Medicine.
2009; 9(15): 1–8.

11. Saleh SC. Sinopsis Neuroanestesi Klinik.
Surabaya: Zifatama Publisher; 2014, 147–62.
12. Reuben DB, Rosen S. Principles of geriatric
assessment. Dalam: Halter J, Ouslander JG,
Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana
S, editors. Hazzard’s Geriatric Medicine and
Gerontology. 6th ed. New York: McGraw
Hill; 2009, 141–52.
13. Silverstein JH, Rooke GA. Anesthesia.
Dalam: Halter J, Ouslander JG, Tinetti
ME, Studenski S, High KP, Asthana S,
eds. Hazzard’s Geriatric Medicine and
Gerontology. 6th ed. New York: McGraw
Hill; 2009. 417–29.
14. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Edisi ke-
2. Bandung: Saga Olah Citra; 2008, 1–74.
15. Sakabe T, Matsumoto M. Effects of anesthetic
agents and other drugs on cerebral blood flow,
metabolism and intracranial pressure. Dalam:
Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th
ed; 2010, 78–90.
16. Bajwa SJS, Bajwa SK, Kaur J. Comparison
of two drug combinations in total intravenous
anesthesia: propofol-ketamine and propofolfentanyl.
Saudi J Anaesth. 2010; 4(2): 72–79.
17. Adamezyk S, Robin E, Simerabet M, Kipnis
E, Tavernier B, Vallet B, et al. Sevoflurane
pre- and post-conditioning protect the brain
via the mitochondrial KATP channel. Br J
Anaesth. 2010; 104(2): 191–200.



0 komentar:

Posting Komentar