konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Minggu, 05 Maret 2017

Kejang Pada Anak

Kejang


Setyabudhy, Irawan Mangunatmaja

Kejang adalah kedaruratan neurologis yang sering dijumpai pada praktik sehari-hari. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun minimal pernah mengalami satu kali kejang. Sebanyak 21% kejang pada anak terjadi pada satu tahun pertama kehidupan, sedangkan 64% dalam lima tahun pertama.
Kejang dapat sederhana, berhenti sendiri, memerlukan pengobatan lanjutan, merupakan gejala awal suatu penyakit berat atau menjadi status epileptikus. Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan bahwa anak memang kejang. Tata laksana kejang meliputi stabilisasi pasien, identifikasi etiologi, terapi sesuai dengan etiologi, dan pemantauan secara berkesinambungan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai kejang sederhana hingga status epileptikus.

Definisi
Kejang adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik di neuron. Kejang dapat disertai oleh gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan atau otonom. Kejang dapat dibagi atas kejang fokal dan kejang umum. Kejang fokal berasal dari fokus lokal di otak, dapat melibatkan sistem motorik, sensorik maupun psikomotor. Kejang umum melibatkan kedua hemisfer, dapat berupa kejang non-konvulsif (absans) dan konvulsif.


Pato fisiologi
Patofisiologi kejang pada tingkat selular berhubungan dengan terjadinya paroxysmal depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi potensial pascasinaps yang berlangsung lama (50 ms). Paroxysmal depolarization shift merangsang lepas muatan listrik yang berlebihan pada neuron otak dan merangsang sel neuron lain untuk
melepaskan muatan listrik secara bersama-sama sehingga timbul hipereksitabilitas neuron otak.

Paroxysmal depolarization shift diduga disebabkan oleh kemampuan membran sel melepaskan muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya inhibisi oleh neurotransmiter asam gama amino butirat (GABA), atau meningkatnya eksitasi sinaptik oleh neurotransmiter glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang.

Pada pasien dengan epilepsi fokal, terdapat sekelompok sel neuron yang bertindak sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik disebut sebagai fokus epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel di sekitarnya untuk melepaskan muatan listriknya. Keadaan ini merupakan transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal pada elektroensefalografi. Manifestasi klinis bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi. Pasien epilepsi umum pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada struktur korteks. Terdapat penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan inhibisi (gelombang ombak) pada kedua hemisfer otak melalui jaras kortikoretikular dan talamokortikal. Statusepileptikus terjadi akibat proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus yang diikuti oleh proses inhibisi yang tidak sempurna.


Kriteria kejang
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan akan lebih mudah bila serangan kejang tersebut terjadi di hadapan kita. Pada awal penanganan, sangatlah penting membedakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang menyerupai kejang. Perbedaan di antara keduanya dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Perlu diingat bahwa pada pasien epilepsi dapat terjadi serangan yang menyerupai kejang, seperti aritmia, sinkop atau distonia. Oleh karenanya, deskripsi akurat dari serangan saat itu sangat penting.


Klasifikasi
Jenis kejang dapat ditentukan berdasarkan deskripsi serangan yang akurat. Penentuan jenis kejang ini sangatlah penting untuk menentukan jenis terapi yang akan diberikan. Pemilihan obat anti kejang/obat anti epilepsi (OAE) jangkapanjang sangat dipengaruhi oleh jenis kejang pasien. Ada obat diindikasikan untuk jenis kejang tertentu, misalnya karbamazepin untuk jenis kejang fokal atau asam valproat untuk kejang tipe absans. Pemilihan OAE yang salah dapat memperberat jenis kejang tertentu, misalnya penggunaan karbamazepin dan fenitoin dapat memperberat kejang umum idiopatik seperti kejang absans, atonik, dan mioklonik.

Saat ini klasifikasi kejang yang digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizures tahun1981 (Tabel 5.2). Jenis kejang harus ditentukan setiap kali pasien mengalami serangan. Tidak jarang ditemukan bahwa jenis kejang saat ini berbeda dengan sebelumnya. Semakin banyak jenis serangan kejang yang dialami pasien, semakin sulit penanganan kejang dan pemilihan obat anti kejang.


Etiologi
Penentuan etiologi kejang berperan penting dalam tata laksana kejang selanjutnya. Keadaan ini sangat penting terutama pada kejang yang sulit diatasi atau kejang berulang. Etiologi kejang pada seorang pasien dapat lebih dari satu. Etiologi kejang yang tersering pada anak dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Anamnesis dan pemeriksaan fisis Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih pemeriksaan penunjang yang terarah dan tata laksana selanjutnya. Aloanamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, dilanjutkan dengan pertanyaan terarah untuk mencari kemungkinan faktor pencetus atau penyebab kejang. Anamnesis diarahkan pada riwayat kejang sebelumnya, kondisi medisyang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala infeksi, gangguan neurologis baik umum maupun fokal, serta nyeri atau cedera akibat kejang.

Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai tanda vital, mencari tanda trauma akut kepala, dan ada tidaknya kelainan sistemik. Pemeriksaan ditujukan mencari cedera yang terjadi mendahului atau selama kejang, adanya penyakit sistemik, paparan zat toksik, infeksi, dan kelainan neurologis fokal. Bila dijumpai kelainan fokal, misalnya paralisis Todd’s, harus dicurigai adanya lesi intrakranial. Bila terjadi penurunan kesadaran perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor penyebab. Edema papil yang disertai tanda rangsang meningeal menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial akibat infeksi susunan saraf pusat.

Pemeriksaan penunjang
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan pencitraan neurologis.
Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang ini ditentukan sesuai dengan kebutuhan.


a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang berguna untuk mencari etiologi dan komplikasi akibat kejang lama. Jenis pemeriksaan yang dilakukan bergantung pada kondisi klinis pasien. Pemeriksaan yang  dianjurkan pada pasien dengan kejang lama adalah kadar glukosa darah, elektrolit, darah perifer lengkap, dan masa protrombin. Pemeriksaan laboratorium tersebut bukan pemeriksaan rutin pada kejang demam.
Jika dicurigai adanya meningitis bakterialis perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah dan kultur cairan serebrospinal. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks dilakukan pada kasus dengan kecurigaan ensefalitis.

b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai penurunan kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah putih, atau pada kasus yang tidak didapatkan faktor pencetus yang jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48
atau 72 jam setelah pungsi lumbal yang pertama untuk memastikan adanya infeksi susunan saraf pusat. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan peningkatan tekanan intrakranial, dianjurkan melakukan pemeriksaan CT Scan kepala terlebih dahulu untuk mencegah risiko terjadinya herniasi.

The American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa pemeriksaan pungsi lumbal sangat  dianjurkan pada serangan kejang pertama disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan karena manifestasi klinis meningitis tidak jelas atau bahkan tidak ada. Pada anak usia 12-18 bulan dianjurkan melakukan pungsi lumbal, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan pungsi lumbal dilakukan bila terdapat kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis).

c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang epileptiform. Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan, khususnya interiktal EEG. Beberapa anak tanpa kejang secara klinis ternyata memperlihatkan gambaran EEG epileptiform, sedangkan anak lain dengan epilepsi berat mempunyai gambaran interiktal EEG yang normal. Sensitivitas EEG interiktal bervariasi. Hanya sindrom epilepsi saja yang menunjukkan kelainan EEG yang khas. Abnormalitas EEG berhubungan dengan manifestasi klinis kejang, dapat berupa gelombang paku, tajam dengan/atau tanpa gelombang lambat. Kelainan dapat bersifat
umum, multifokal, atau fokal pada daerah temporal maupun frontal. Pemeriksaan EEG segera dalam 24-48
jam setelah kejang atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya klinis. Gambaran EEG yang normal atau memperlihatkan kelainan minimal menunjukkan kemungkinan pasien terbebas dari kejang setelah obat antiepilepsi dihentikan

d. Pencitraan neurologis
Foto polos kepala memiliki nilai diagnostik kecil meskipun dapat menunjukkan adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan jaringan otak pada trauma kepala dideteksi dengan CT scan kepala. Kelainan gambaran CT scan kepala dapat ditemukan pada pasien kejang dengan riwayat trauma kepala, pemeriksaan neurologis yang abnormal, perubahan pola kejang, kejang berulang, riwayat menderita penyakit susunan saraf pusat, kejang fokal, dan riwayat keganasan.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih superior dibandingkan CT scan dalam mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil di daerah temporal atau daerah yang tertutup struktur tulang misalnya daerah serebelum ataubatang otak. MRI dipertimbangkan pada anak dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsi lobus
temporalis, perkembangan terlambat tanpa adanya kelainan pada CT scan, dan adanya lesi ekuivokal pada CT scan.

Tata laksana
Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5 menit. Bila kejang tidak berhenti dalam 5 menit, maka kejang cenderung berlangsung lama. Status epileptikus (SE) adalah kejang lama lebih dari 30 menit atau kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara kejang. Terdapat dua jenis status epileptikus, yaitu SE konvulsif (parsial/fokal motorik dan tonik klonik umum) dan SE non-konvulsif (absans dan parsial kompleks).

Status epileptikus konvulsif pada anak merupakan kegawatan yang mengancam jiwa dengan risiko terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini tergantung pada penyebab dan lamanya kejang. Makin lama kejang berlangsung, makin sulit untuk menghentikannya. Tujuan tata laksana kejang tonik klonik umum lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus.

Langkah-langkah penanganan kejang terbagi atas tata laksana fase akut dan fase meliputi:
a. Fase akut: penghentian kejang

 0-5 menit :
−− Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik.
−− Monitor tanda vital, berikan oksigen, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan.
−− Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan neurologis secara cepat.
−− Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal, dan infeksi.


5-10 menit
−− Pemasangan akses intravena.
−− Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah perifer lengkap, glukosa, dan elektrolit.
−− Pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara intravena (kecepatan 5 mg/ menit), atau dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kgBB (untuk berat badan <10 kg diberikan 5 mg, bila berat badan >10 kg diberikan 10 mg, dosis maksimal 10 mg/kali).
−− Atau dapat diberikan lorazepam 0,05- 0,1 mg/kgBB intravena (maksimum 4 mg). Alternatif lain adalah midazolam 0,05–0,1 mg/kgBB intravena. Pemberian diazepam intravena atau rektal dapat diulang 1-2 kali setelah 5-10 menit, lorazepam 0,1mg/kgBB dapat diulang sekali setelah 10 menit .
−− Jika didapatkan hipoglikemia, berikan cairan dekstrosa 25% 2 ml/kgBB.


10-15 menit
−− Cenderung menjadi status konvulsivus.
−− Berikan fenitoin 15-20 mg/kgBB intravena diencerkan dengan NaCl 0,9% diberikan dengan kecepatan 25-50 mg/menit.
−− Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5-10 mg/kgBB, sampai maksimum dosis 30 mg/kgBB.


Lebih dari 30 menit
−− Pemberian antikonvulsan masa kerja panjang (long acting).
−− Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena bolus perlahan–lahan dengan kecepatan 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kgBB dengan interval 10-15 menit.
−− Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan meliputi analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Koreksi kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi pernapasan.
−− Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke Unit Perawatan Intensif. Berikan fenobarbital 5-8 mg/kgBB secara bolus intravena, diikuti rumatan fenobarbital drip dengan dosis 3–5 mg/kgBB/jam (Diagram 5.1).



Penanganan pasien dengan status konvulsivus/epileptikus tidak hanya bertujuan untuk menghentikan kejang, tetapi juga mencegah terjadinya komplikasi sistemik yang timbul pasca status konvulsivus. Pengenalan dini, intervensi yang adekuat, dan pencegahan komplikasi penting untuk prognosis pasien.

Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia terjadi akibat gangguan ventilasi, sekresi air liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan, serta peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia mengakibatkan asidosis, yang selanjutnya menyebabkan penurunan fungsi ventrikel jantung, penurunan curah jantung, hipotensi, dan mengganggu fungsi sel dan neuron.

Pada SE terjadi pengeluaran katekolamin dan perangsangan saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan vena sentral. Edema otak terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, atau hipotensi. Pada kejang yang tidak dapat teratasi, dapat terjadi hiperpireksia sehingga dapat terjadi mioglobinuria dan peningkatan kreatin fosfokinase akibat rabdomiolisis. Beberapa macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi status konvulsivus dapat dilihat pada Tabel 5.4.


Tabel 5.4. Obat obat yang sering digunakan dalam penghentian kejang

Pengobatan jangka panjang
Pengobatan pada pasien yang mengalami kejang simptomatik akut ditujukan pada faktor penyebab. Apabila faktor penyebab dapat segera diobati, maka tidak diperlukan pemberian obat anti epilepsi jangka panjang. Risiko berulangnya kejang terjadi dalam satu tahun pertama, khususnya dalam tiga bulan pertama. Bila selama tiga bulan pertama tanpa pengobatan tidak didapatkan kejang, maka pasien tidak memerlukan pengobatan jangka panjang.


Pengobatan selalu dimulai dengan satu jenis obat (monoterapi). Dosis dinaikkan dengan titrasi sampai tercapai konsentrasi terapeutik serum atau dosis terapeutik. Jika dengan dosis maksimal kejang masih tidak
terkontrol, pertimbangkan kombinasi terapi dengan OAE lainnya. Jika kejang terkontrol, pertimbangkan penurunan dosis OAE yang pertama kali diberikan. Tidak ada satu jenis OAE yang merupakan pilihan utama untuk semua jenis epilepsi. Beberapa OAE lebih efektif untuk jenis kejang tertentu atau sindrom tertentu. Saat ini pengobatan jangka panjang yang dianjurkan adalah selama dua atau tiga tahun setelah kejang yang terakhir.


Gambar 5.1. Algoritme penanganan kejang akut dan status konvulsif




sumber tulisan ini :  disalin langsung dari
BUKU AJAR PEDIATRI GAWAT DARURAT  IDAI 2011

Kepustakaan
1. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child. 2000;83:415-19.
2. Bradford JC, Kyriakedes CG. Evidence based emergency medicine: Evaluation and diagnostic testing evaluation of the patient with seizures: an evidence based approach. Em Med Clin North Am. 1999;17:203-20.
3. Camfield PC, Camfield CC. Advances in the diagnosis and management of pediatric seizure disorders in the twentieth century. J Pediatr. 2000;136:847-9.
4. Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia. 1981;22:489-501.
5. Duffner PK, Baumann RJ. A synopsis of the American Academy of Pediatrics’ practice parameters on the evaluation and treatment of children with febrile seizures. Pediatr Rev. 1999;20:285-9.
6. Fisch BJ. EEG primer basic principles of digital and analog EEG. Edisi ke-3. Amsterdam: Elsevier; 1999. h.245-59.
7. Glaze DG. Status epilepticus. Dalam: McMillan JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, penyunting. Oski’s pediatrics. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h.1947-9.
8. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am. 2001;48:683- 94.
9. Lowenstein DH, Alldredge BK. Status epilepticus. N Engl J Med. 1998;338:970-6.
10. MCabee GN, Wark JE. A practical approach to uncomplicated seizures in children. Am Fam Physician 2000;62:1109-10.
11. Najm I, Ying Z, Janigro D. Mechanisms of epileptogenesis. Neurol Clin North Am. 2001;19:237-50.
12. Pellock JM. Treatment of seizures and epilepsy in children and adolescents. Neurology. 1998;51:S8-14.
13. Roth HI, Drislane FW. Seizures. Neurol Clin.1998;16:257-84.
14. Sabo-Graham T, Seay AR. Management of status epilepticus in children. Pediatr Rev. 1998;19:306-12.
15. Schweich PJ, Zempsky WT. Selected topics in emergency medicine. Dalam: McMillan JA, DeAngelis CD, Feigen RD, Warshaw JB, penyunting. Oski’s pediatrics. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h.566-89.
16. Smith DF, Appleton RE, MacKenzie JM, Chadwick DW. An atlas of epilepsy. Edisi ke-1. New York: The Parthenon Publising Group; 1998. h.15-23.
17. Westbrook GL. Seizures and epilepsy. Dalam: Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, penyunting.
Principles of neural science. New York: McGraw- Hill; 2000. h. 940-35.

0 komentar:

Posting Komentar