konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Rabu, 08 Maret 2017

BAKTERI PENYEBAB SEPSIS NEONATORUM DAN POLA KEPEKAANNYA TERHADAP ANTIBIOTIKA

BAKTERI PENYEBAB SEPSIS NEONATORUM DAN POLA KEPEKAANNYA TERHADAP ANTIBIOTIKA


Ety Apriliana1), Prambudi Rukmono2), Devi Nurlia Erdian3), Fira Tania4
1)Bagian Mikrobiologi FK Unila,
2) Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unila,
3)Pendidikan Dokter FK Unila
Jl Sumantri Brojonegoro No 1 Gedung Meneng Bandar Lampung, 35145


ABSTRACT
Septicemia in neonates refers to generalized bacterial infection documented by positive
blood culture in the fist four weeks of life and is one of the four leading causes of
neonatal mortality and morbidity. It might be possible to reduce these factors by early
diagnosis and proper management. Aim: To isolate and identify the bacterial etiologic
agents responsible for neonatal sepsis and to determine the susceptibility pattern of
isolate in Abdoel Moeloek Hospital Bandar Lampung. Materials And Methods: Twenty
four blood samples were collected and processed from patients clinically suspected
septicemia in neonates accordance with standard protocols. The antibiotic susceptibility
of the isolates was done by Kirby-Bauer’s disc diffusion method. Results: Blood culture
reports was positive in.79% cases. Gram-negative septicemia was encountered in 62%
of the culture-postive cases. Klebsiella and Pseudomonas species were the predominant
pathogens. Maximum resistance among organisms was seen in Penicillin (94,7%).
Imipenem were found to be good alternatif drugs. Conclusion: Gram-negative organism
(Klebsiella and Pseudomonas sp) are the leading cause of neonatal sepsis in this study
and most of them resistent to multiple antibiotics.
Keywords : Antimicrobial resistance, antibiotics, neonatal septicemia


PENDAHULUAN
Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di bidang
pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health Organization
(WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka mortalitas
neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per 1000 kelahiran
hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang (Depkes, 2007).
Dimana angka kejadian sepsis neonatorum di negara berkembang cukup tinggi (1,8–
18/1000 kelahiran hidup), sedangkan di negara maju (1–5/1000 kelahiran). (Gerdes,
2005). Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000

kelahiran hidup (Depkes, 2007).

Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2002
bahwa angka kelahiran bayi di Indonesia diperkirakan mencapai 4,6 juta jiwa per tahun,
dengan angka kematian bayi (Infant Mortality Rate) sebesar 48/1000 kelahiran hidup.
Di RSUP Dr. Kariadi Semarang angka kejadian infeksi pada neonatus pada tahun 2004
adalah sebesar 33,1% dengan angka kematian 20,3%, di RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta tahun 2005 sekitar 13,68% terjadi infeksi dari seluruh kelahiran hidupdengan
angka kematian mencapai 14,18% (Rohsiswatmo, 2004). Sedangkan di RSUD dr H
Abdul Moeloek Lampung, angka kejadian infeksi pada tahun 2009 adalah sebesar
30,1% dengan angka kematian 40%.
Pemeriksaan kultur merupakan baku emas dalam penegakan diagnosis pasti
sepsis neonatorum. Penderita yang diduga sepsis harus dilakukan kultur, dengan
spesimen dapat berupa darah, urin, atau cairan serebrospinal. Sepsis merupakan keadaan
kedaruratan dimana keterlambatan pengobatan dapat menyebabkan kematian. Sehingga
kultur harus dilanjutkan dengan uji sensitivitas antibiotika sehingga terapi antibiotika
yang diberikan tepat sesuai dengan pola kepekaan antibiotik pada bakteri penyebab
sepsis pada penderita. Penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk,
mengingat semakin tingginya tingkat resistensi dan toksisitasnya. Selain itu, perawatan
di Rumah Sakit menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan
risiko infeksi nosokomial (Depkes, 2007).


METODE
Sampel darah vena perifer berasal dari penderita dengan diagnosis klinis sepsis
neonatorum di Unit Perinatologi Rumah Sakit Abdul Muluk Bandar Lampung pada
bulan November-Desember 2011. Diagnosis klinis sepsis neonatorum dilakukan oleh
dokter spesialis anak. Penderita sepsis neonatorum dengan kelainan kongenital berat
tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Dua mililiter darah vena diambil secara
aseptik dari fossa cubiti anterior dan kemudian diinokulasi pada media kultur bakteri.
Identifikasi bakteri dilakukan berdasarkan serangkaian pemeriksaan, meliputi
kultur pada media spesifik untuk mengisolasi bakteri penyebab, dilanjutkan dengan
pewarnaan Gram dan uji biokimia (uji gula-gula, TSI, SIM, Simon’s Citrate, katalase,
koagulase, DNA-ase). Pola kepekaan terhadap antibiotika diketahui dengan
pemeriksaan uji sensitivitas antibiotika dengan metode difusi cakram Kirby Bauer. Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan kultur bakteri pada media agar Muller
Hinton. Disc antibiotik yang digunakan terdiri dari penisilin, ampisilin, sefotaksim,
gentamisin, amikasin, seftazidim, vankomisin, dan imipenem. Interpretasi hasil uji
sensitivitas dibandingkan dengan standar zona hambat antibiotik dari Clinical
Laboratory Standards Institute (CLSI) tahun 2010. Hasil pengukuran diameter zona
hambat diinterpretasikan dalam Resisten (R), Intermediet (I) dan Sensitif (S). Setiap
antibiotik memiliki karakteristik yang berbeda dan efek yang berbeda pula terhadap
bakteri. Hal ini pula yang menyebabkan diameter zona hambat yang dihasilkan pada
bakteri berbeda.

HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Penderita
Setelah dilakukan penelitian di Rumah Sakit Abdul Moeloek di Unit Perinatologi
pada bulan November-Desember 2011, didapatkan 24 sampel yang terdiri atas pasien
laki-laki 62% dan pasien perempuan 38%, dengan rentang usia 1-4 hari sebanyak 21%
dan di atas usia 4 hari sebesar 79%.
2. Identifikasi Bakteri
Setelah dilakukan kultur pada 24 sampel penderita didapatkan hasil 5 (21%) sampel
steril, 4 (17%) isolat bakteri Gram positif, dan 15 (62%) isolat bakteri Gram negatif.
Berdasarkan hasil kultur, pewarnaan Gram dan uji biokimia didapatkan spesies bakteri
seperti pada Tabel 1, dengan spesie terbanyak adalah Pseudomonas sp. (25%), dan
Klebsiella sp. (25%).
Tabel 1. Hasil Identifikasi Isolat Bakteri Penyebab Sepsis Neonatorum di Unit
Perinatologi RSAM berdasarkan Kultur dan Uji Biokimia



3. Pola Resistensi Isolat Bakteri Terhadap Antibiotik
Seluruh isolat yang didapatkan dari penderita sepsis neonatorum dilakukan uji
sensitivitas terhadap antibiotik. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik lini pertama
dan lini kedua pada penatalaksanaan sepsis neonatorum. Hasil pemeriksaan dapat dilihat
pada Tabel 2, dimana pola resistensi terhadap antibiotika pada satu siolat bakteri
berbeda dengan isolat lainnya.
Sedangkan apabila pola resistensi terhadap antibiotika dilihat dari jenis
antibiotikanya, maka hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1, dimana antibiotika penisilin
memperlihatkan angka resistensi tertinggi, dimana hampir semua bakteri (94,7%)
resisten terhadap Penisilin sedangkan Imipenem memiliki sensitivitas paling tinggi
(73,7%).
Tabel 2. Hasil Uji Sensitivitas Terhadap Antibiotik Pada Bakteri Penyebab Sepsis

Neonatorum di Unit Perinatologi RSAM.



PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti, didapatkan 21% neonatus yang
usianya berkisar antara 1-4 hari dan 79% neonatus yang berusia di atas 4 hari. Usia
neonatus pada kasus sepsis neonatorum dapat memberikan informasi mengenai
kemungkinan asal mikroorganisme penyebab. Pada neonatus di bawah 4 tahun,
penyebab umumnya berasal dari bakteri yang terdapat di jalan lahir dan bakteri yang
menginfeksi ibu selama kehamilan. Selain itu, ada beberapa faktor resiko yang dapat
mempengaruhi kejadian sepsis pada neonatus dengan usia di bawah 4 hari, antara lain
usia kandungan, berat lahir bayi, apgar score, asfiksia, ketuban pecah dini lebih dari 12
jam, dan kelahiran prematur (Nasution, 2008).
Usia kandungan, terutama kurang dari 37 minggu, mempengaruhi kejadian
sepsis dikarenakan bahwa transpor pasif imunoglobulin dimulai pada usia gestasi 8-12
minggu melewati plasenta, masuk sirkulasi fetal pada usia kehamilan 30-40 minggu,
sehingga bayi yang lahir pada usia gestasi < 37 minggu (preterm) mempunyai
kekebalan tubuh yang masih imatur dalam melawan infeksi sehingga mudah terjadi
infeksi atau sepsis (Latif, 2003). Sedangkan pada bayi dengan berat lahir rendah
mempunyai aktivitas sistem komplemen, monosit-makrofag, aktivitas kemotaksis
bakterisid dan presentasi antigen oleh sel sebagai respon inflamasi jaringan masih
belum sempurna, sehingga mempunyai risiko tinggi untuk terinfeksi (Nasution, 2008).
Pada sepsis neonatorum awitan lambat (usia neonatus lebih dari 4 hari), bakteri
penyebab biasanya berasal dari lingkungan luar atau rumah sakit. Selain itu, kurangnya
kepatuhan tenaga medis dalam mencuci tangan sebelum dan sesudah memeriksa bayi,
lokasi tempat mencuci tangan terlalu jauh dari posisi tempat tidur bayi, kapasitas pasien
rawat inap yang terlalu banyak, jumlah tenaga medis yang banyak dan sering masuk
keluar ruang perawatan neonatus risiko tinggi (Nasution, 2008), penggunaan alat dan
tindakan invasif seperti pemberian nutrisi parenteral, pemasangan kateter perkutaneus,
atau pemasangan ventilasi mekanik dapat menyebabkan transmisi bakteri terutama ke
neonatus yang rentang terinfeksi (Távora, 2008).
Pada penelitian ini didapatkan bakteri Gram negatif lebih banyak didapatkan
pada penderita sepsis neonatorum, dimana Pseudomonas sp dan Klebsiella sp
merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai penyebab sepsis neonatorum.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kayange (2010) yang mendapatkan Klebsiella sp sebagai penyebab terbanyak sepsis neonatorum. Penelitian
yang dilakukan oleh Altayeb (2011) juga mendapatkan Klebsiella sp, Enterobacter sp
dan Escherichia coli sebagai bakteri Gram negatif penyebab sepsis neonatorum.
Klebsiella sp merupakan bakteri Gram negatif yang dapat menyebabkan
berbagai infeksi di rumah sakit, seperti pneumonia, sepsis, infeksi luka operasi dan juga
meningitis. Klebsiella sp umumnya ditemukan di saluran pernafasan dan juga feses
manusia. Di termpat pelayanan kesehatan, Klebsiella sp dapat menginfeksi pasien yang
sedang mendapatkan perawatan, terutama pasien yang menggunakan alat-alat seperti
ventilator dan selang infus (Brooks, 2007).
Pseudomonas sp merupakan salah satu bakteri pathogen nosokomial dan dapat
tumbuh subur pada lingkungan yang basah. Pseudomonas sp sering dijumpai pada
daerah lembab di kulit dan dapat membentuk koloni pada saluran pernafasan bagian atas
pada pasien yang dirawat di rumah sakit, juga pada alat-alat yang sering digunakan di
rumah sakit seperti kateter ataupun selang infus. Neonatus sangat rentan terhadap
infeksi, sehingga mudah untuk tertular melalui alat-alat tersebut (Brooks, 2007).
Pola resistensi beberapa antibiotika yang digunakan pada penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 1. Pada Gambar 1 dapat terlihat bahwa antibiotika
yang memiliki sensitivitas paling tinggi yaitu imipenem, dimana 73,7% isolat sensitif
terhadap imipenem. Sedangkan antibiotika dengan angka resistensi paling tinggi adalah
penisilin, dimana 94,7% isolat resisten terhadap penisilin. Pola resistensi antibiotik
golongan beta laktam seperti ampisilin 84,2%, seftazidim 68,2%, dan sefotaksim 52,6%.
Sedangkan untuk golongan non beta laktam seperti vankomisin memiliki pola resistensi
sebesar 78,9%. Untuk golongan aminoglikosida seperti gentamisin dengan pola
resistensi sebesar 68,4% dan amikasin 52,6%.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, imipenem merupakan antibiotik yang
paling sensitif yaitu sebesar 26,3% dalam mengeliminasi bakteri penyebab sepsis
neonatorum di bagian Perinatologi RSAM. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Isaacs pada tahun 2005, bahwa resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul kirakira
sekitar 20%. Imipenem masih termasuk antibiotik golongan beta laktam dari grup
karbapenem dan merupakan satu-satunya obat grup karbapenem yang tersedia saat ini.
Imipenem merupakan antibiotik beta laktam berspektrum paling luas yang ada saat ini
(Mycek et al, 2001). Tidak hanya itu, Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) yang merupakan enzim yang dapat menghidrolisis penisilin, sefalosforin generasi I, II,
III dan aztreonam, tetapi tidak terjadi pada imipenem (Winarto, 2009 dan Emily 2005).
Sehingga tidak heran apabila antibiotik ini memiliki sensitivitas tinggi terhadap bakteri
Gram negatif maupun Gram positif.



Meskipun pola resistensi pada imipenem rendah, data tersebut membuktikan
bahwa saat ini sudah mulai terjadi penurunan kepekaan pada antibiotik golongan
karbapenem. Hal ini dapat dilihat di negara berkembang, yang melaporkan bahwa
multiresisten yang terjadi pada bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama
Klebsiella sp. dan Enterobacter sp. Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp.
(termasuk terhadap karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan
berbagai angka prevalensi di tiap negara (Deorari, 2005). Munculnya starain resisten
terhadap imipenem berkaitan dengan penggunaanya yang berlebihan. Sebenarnya
karbapenem tidak boleh digunakan secara luas. Karbapenem digunakan dilaboratorium
untuk menginduksi organisme pembawa gen beta laktamase yang terekspresi agar
mengekspresikan gen dan memproduksi beta laktamase. Jadi penggunaan imipenem
dan meropenem secara berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi
beta laktamase (Isaacs, 2000).

Antibiotik penisilin dari golongan beta laktam merupakan antibiotik dengan
tingkat resistensi paling tinggi yaitu sebesar 94,7%. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Utami pada tahun 2010 di bagian Bedah RSAM pada luka post
operasi, dilaporkan kepekaan pada penisilin mencapai 92,5%. Di bagian Perinatologi
RSAM sendiri, penisilin sudah tidak digunakan lagi karena resistensinya yang sangat
tinggi terhadap bakteri. Namun untuk mengatasi resistensi pada penisilin, dalam
penggunaanya pada pasien sepsis penisilin dikombinasi dengan aminoglikosida
umumnya terbukti efektif terhadap organisme penyebab (Rodrigo, 2002).
Didapatkannya resistensi terhadap berbagai antibiotik pada isolat penderita
sepsis mengindikasikan diperlukannya pemeriksaan kultur secara rutin pada penderita
sepsis neonatorum dan harus dilanjutkan dengan uji sensitivitas terhadap antibiotik
sehingga terapi antibiotik yang diberikan tepat.

DAFTAR PUSTAKA
Aletayeb SMH, Khosravi AD, Dehdastian M, Kompani F, Mortazavi SM, Aramesh
MR. 2011. Identification pf bacterial agents and antimicrobial susceptibility of
neonatal sepsis: A 54-month study in a tertiary hospital. African Journal of
Microbiology Research. Vol 5(5) pp. 528-531
Andini, Sari. 2010. Pola Resistensi Isolat Bakteri Pada Luka Post Operasi Seksio
Sesarea di Bagian Obstetri Ginekologi RSUD dr. H Abdul Moeloek di Bandar
Lampung (skripsi). Bandar Lampung : FK Unila
Brooks GF. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. EGC,
Jakarta.
Deorari A. 2005. Neonatal Sepsis Update. Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, Alam
A, penyunting. Proceedings book 13th National Congress of Child Health
KONIKA XIII, Bandung : Hasan Sadikin General Hospital ;.h.61-9.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Penatalaksanaan Sepsis
Neonatorum. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Emily P. Hyle, Adam D. Lipworth, Theoklis E. Zaotis, Nachamkin. Irvin, Neil O.
Fishman, Warren B. Bilker, et al. 2005. Risk Factor for Increasing Multidrug
Resistance among Extended-Spectrum β-Lactamase-producing Escherichia coli and
Klebsiella Species. Chicago Journal.
Isaacs D. 2000. Rationing antibiotics use in neonatal units. Arch Dis Child Fetal
Neonatal Ed 2000; 82: F1-2.
Mycek, Mary J., Richard A Harvey., Pamela C Champe. 2001. Farmakologi Ulasan
Bergambar Edisi 2. Widya Medika, Jakarta. hlm. 475.



0 komentar:

Posting Komentar