konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Minggu, 05 Maret 2017

Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana Penurunan Kesadaran pada Anak

Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana Penurunan Kesadaran pada Anak

Setyabudhy, Irawan Mangunatmadja, Saptadi Yuliarto


Penurunan kesadaran pada anak merupakan kedaruratan yang dapat mengancam jiwa sehingga membutuhkan diagnosis dan tata laksana secara cepat dan tepat. Untuk memberikan tata laksana yang adekuat dibutuhkan pengetahuan yang baik mengenai manifestasi klinis, pemeriksaan fisis neurologis, dan kemungkinan penyebab. Pemeriksaan penunjang membantu menegakkan diagnosis pasti penyebab penurunan kesadaran sehingga dapat dilakukan tata laksana spesifik berdasarkan etiologi. Tujuan utama tata laksana penurunan kesadaran adalah mencegah kerusakan otak lebih lanjut.


Definisi
Kesadaran memerlukan fungsi normal dari kedua hemisfer otak dan ascending reticular activating system (ARAS) mulai dari midpons sampai hipotalamus anterior. Sadar (fully allert) adalah keadaan bangun (wakefulness) dan tanggap (awareness) terhadap diri sendiri dan lingkungan. Korteks, saraf otonom, dan stimulus dari batang otak bertanggung jawab terhadap keadaan bangun dan tanggap. Pada keadaan ini anak dapat melakukan aktivitas kompleks yang sesuai dengan usianya dan dapat berorientasi baik terhadap orang lain, tempat, waktu, dan situasi.

Tingkat kesadaran dapat dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif. Tingkat kesadaran secara kualitatif dibagi atas sadar, Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana Penurunan Kesadaran pada Anak Setyabudhy, Irawan Mangunatmadja, Saptadi Yuliarto obstudansi, letargi, stupor, dan koma (Tabel 4.1). Skala Koma Glasgow digunakan sebagai parameter untuk menilai tingkat kesadaran secara kuantitatif. Sadar (kompos mentis) adalah keadaan tanggap terhadap lingkungan dan diri sendiri di lingkungan tersebut baik saat ada atau tidak ada rangsangan. Obtundasi (apatis) adalah penurunan kesadaran ringan yang ditandai dengan berkurangnya perhatian terhadap lingkungan sekitar dan reaksi yang lambat terhadap rangsangan. Pada kondisi ini, komunikasi masih dapat dilangsungkan sebagian. Pada keadaan letargi (somnolen), pasien tampak mengantuk atau tidur, akan tetapi masih dapat dibangunkan dengan rangsangan suara atau nyeri. Saat sadar pasien dapat berkomunikasi dengan pemeriksa kemudian tertidur kembali.
Stupor (sopor) adalah gangguan kesadaran yang menyerupai tidur dalam dan hanya dapat dibangunkan sebagian dengan rangsang nyeri yang kuat. Komunikasi tidak ada atau minimal.

Derajat kesadaran terbaik tetap tidak normal dan tanpa rangsangan kesadaran kembali sepertisebelumnya. Koma adalah gangguan kesadaran yang berat, pasien tampak tidur dalam tanpa dapat dibangunkan dan tidak bereaksi terhadap berbagai rangsangan, baik taktil, verbal, visual, maupun rangsangan lainnya.

























Evaluasi Diagnosis
Riwayat klinis
Pada saat awal, pemeriksaan dan penanganan kedaruratan yang meliputi jalan napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi darah (circulation) harus dilakukan secara cepat dan cermat. Simultan dengan  penanganan ini, dapat digali riwayat klinis yang penting untuk penanganan pasien. Setelah pasien stabil dapat
ditanyakan riwayat klinis pasien secara lebih detil. Riwayat klinis sangat penting untuk mencari etiologi penurunan kesadaran. Riwayat trauma, penyakit sebelumnya, atau obat-obatan yang dikonsumsi dapat ditanyakan bila dicurigai adanya intoksikasi obat. Penyakit jantung atau neurovaskular perlu dipertimbangkan
sebagai penyebab penurunan kesadaran akut, sedangkan pada penurunan kesadaran subakut perlu dipertimbangkan kemungkinan adanya kelainan metabolik. Riwayat kesehatan, gangguan neurologis sebelumnya, riwayat tinja berdarah, muntah, atau riwayat yang tidak sesuai dengan cedera yang terlihat (kekerasan pada anak) juga perlu dievaluasi.

Pemeriksaan fisis
Pada prinsipnya, pemeriksaan fisis umum tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan neurologis dan dapat dikerjakan secara simultan. Pemeriksaan fisis umum dan neurologis meliputi:
Jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABCs management) sebagai tindakan resusitasi awal
1. Pola napas
2. Derajat kesadaran
3. Pemeriksaan saraf kranialis
4. Pemeriksaan motorik, meliputi postur, aktivitas motorik spontan, dan respons terhadap rangsang
5. Pemeriksaan sistemik lainnya yang dilakukan secara sistematik






Penilaian derajat kesadaran dengan Skala Koma Glasgow

Penentuan tingkat kesadaran agar mudah dinilai secara obyektif ditentukan dengan skala numerik. Skala Koma Glasgow yang asli sebenarnya ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan sebagian bergantung pada respons verbal sehingga kurang sesuai bila diterapkan pada bayi dan anak kecil. Oleh
karena itu diajukan beberapa modifikasi untuk anak. Penilaian dilakukan dengan penilaian numerik terhadap respons terbaik buka mata, fungsi motorik, dan respons lisan atau verbal.
Skala berkisar antara 3–15, disebut gangguan kesadaran ringan jika nilai skala sebesar 12–14, gangguan kesadaran sedang jika nilai skala 9-11, dan koma jika ≤8 (Tabel 4.2).

Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital yang meliputi laju dan irama nadi/denyut jantung, laju dan pola napas, suhu, serta tekanan darah sangat membantu untuk menentukan penyebab penurunan kesadaran. Beberapa penyebab yang perlu dipikirkan berdasarkan kelainan tanda vital dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Pola napas
Pola napas normal membutuhkan interaksi normal antara batang otak dan korteks serebri. Batang otak berperan dalam mengatur keinginan napas (drive), sedangkan korteks berperan dalam mengatur pola napas. Kontrol metabolik, oksigenasi, dan keseimbangan asam basa dikontrol dengan menurunkan pusat batang otak antara medula dan midpons.
Gangguan metabolik dan hipoksia dapat diatasi dengan perubahan pola pernapasan, sehingga pola napas yang abnormal mencerminkan gangguan neurologis yang berat. Penentuan lokasi kelainan berdasarkan pola napas tidak selalu pasti. Penting bagi klinisi untuk mengenal kelainan pola napas sehingga mampu memperkirakan derajat kerusakan yang terjadi.
Karakteristik pola napas dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.1.



Ukuran dan reaktivitas pupil serta gerak bola mata


Reaksi pupil (konstriksi dan dilatasi) diatur oleh sistem saraf simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis). Serabut simpatis berasal dari hipotalamus, sedangkan serabut parasimpatis berasal dari midbrain.
Ensefalopati metabolik, intoksikasi glutamat atau barbiturat, dan lesi di daerah diensefalon menyebabkan pupil mengecil (konstriksi) tapi tetap memberikan respons terhadap cahaya. Lesi di midbrain mempengaruhi
serabut simpatis dan parasimpatis sehingga pupil terfiksasi di tengah dan terjadi konstriksi pupil yang tidak reaktif. Keterlibatan saraf otak III menyebabkan dilatasi pupil yang terfiksasi. Pin point pupil ditemukan akibat lesi di daerah pontin (Gambar 4.2).

Kelumpuhan asimetri lebih sering ditemukan bila penurunan kesadaran disebabkan kelainan struktural. Jaras yang mengatur gerakan bola mata melalui fasikulus longitudinal medialis, yang berhubungan dengan saraf otak
III, IV, dan VI di batang otak. Penjelasan di atas dapat lebih dipahami dengan mempelajari jaras gerakan mata ke satu arah seperti yang terlihat pada Gambar 4.3.

Jaras dari korteks frontal kanan menurun, melewati garis tengah, bersinaps di paramedian pontin reticular formation (PPRF) kiri. Serabutnya merangsang saraf otak VI kiri (mata kanan bergerak ke lateral kiri). Kemudian sinyal bergerak ke atas melalui medial longitudinal Gerakan bola mata abnormal pada  pasiendengan penurunan kesadaran yang disebabkan oleh gangguan anatomis yang lokasinya sama dengan bagian kaudal ARAS. Beberapa keadaan yang menyebabkan gangguan refleks pupil dan gerakan bola mata dapat dilihat pada Tabel 4.5.



Refleks bola mata pada pasien dengan penurunan kesadaran dinilai dengan Doll’s eye movement (DEM) dan dengan tes kalori (Gambar 4.4). Doll’s eye movement dikatakan baik bila bola mata bergerak berlawanan dengan arah gerakan kepala. Hal ini berarti batang otak dalam kondisi baik. Pada tes kalori, air es dialirkan pada membran timpani yang intak, jika batang otak baik maka mata akan bergerak ke arah telinga yang dirangsang.






Respons Motorik
Fungsi motorik dapat memberikan informasi tentang lokasi lesi. Hemiparesis yang disertai refleks otot yang abnormal memperlihatkan lokasi lesi kontralateral jaras kortikospinal. Fenomena kortikal akibat kerusakan pada atau di atas nukleus tertentu pada batang otak dapat menyebabkan:
• Dekortikasi atau posisi fleksi (lengan fleksi dan tertarik ke atas dada) disebabkan oleh kerusakan serebral hemisfer bilateral (kortikal atau sub-kortikal) atau depresi toksik-metabolik fungsi otak dengan fungsi batang otak yang masih baik.
• Deserebrasi atau posisi ekstensi (lengan ekstensi dan rotasi interna) menunjukkan lesi destruktif otak tengah dan pons bagian atas. Ditemukan pula pada kelainan metabolik berat seperti ensefalopati hepatik dan ensefalopati hipoksik anoksik.

Manifestasi klinis berdasarkan tingkat gangguan
Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar manifestasi klinis neurologis berdasarkan tingkat gangguan pada susunan saraf pusat dapat dilihat pada Tabel 4.6. Evaluasi diagnosis tingkat gangguan kesadaran perlu ditentukan dengan menilai respons motorik, besar dan reaksi pupil, gerak bola mata, dan pola pernapasan. Dengan memantau tingkat gangguan kesadaran secara berkala dapat ditentukan prognosis pasien.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penujang dilakukan untuk membantu mencari penyebab penurunan kesadaran. Umumnya pemeriksaan darah yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap, elektrolit termasuk kalsium dan
magnesium, glukosa, pemeriksaan fungsi hati, faktor koagulasi, dan uji tapis toksikologi.

antikonvulsan, kadar laktat, kreatinin kinase, fungsi tiroid, dan fungsi adrenal dilakukan atas indikasi. Pemeriksaan elektrokardiografi dan foto toraks dilakukan jika dicurigai adanya kelainan jantung atau paru.
Pungsi lumbal harus dilakukan bila terdapat dugaan infeksi susunan saraf pusat. Pada kasus tertentu, diperlukan pemeriksaan CT scan kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal. Pada pasien infeksi susunan saraf pusat dengan ubunubun yang telah menutup, terkadang tekanan intrakranial yang meningkat perlu diturunkan
lebih dahulu sebelum melakukan pungsi lumbal.
CT scan kepala dipilih bila dicurigai terdapat trauma kepala dengan komplikasi perdarahan intrakranial, tumor atau massa di daerah supratentorial. Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala dipilih bila dicurigai
adanya kelainan di daerah serebelum, batang otak atau medula spinalis. Kelainan pada substansia grisea, lesi demielinisasi, iskemia, kelainan akibat gangguan metabolik atau ensefalitis lebih jelas terlihat dengan MRI.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) digunakan untuk mendiagnosis kejang elektrik. Pola EEG tertentu, seperti gelombang epileptiform pada daerah temporal yang berlangsung periodik menguatkan diagnosis
ensefalitis herpes simpleks. Selain itu EEG bermanfaat dalam penilaian berkala pasien status epileptikus, koma persisten atau pasien yang dilumpuhkan.


Penyebab
Berdasarkan pemeriksaan fisis, neurologis, dan pemeriksaan penunjang, dapat dibuat diagnosis banding kemungkinan penyebab penurunan kesadaran. Penyebab penurunan kesadaran pada anak secara garis besar dibagi atas (Tabel 4.7):
• Infeksi atau inflamasi
• Kelainan struktur otak
• Metabolik, nutrisi, atau toksin

Tata laksana
Pendekatan tata laksana penurunan kesadaran pada anak dapat dilakukan dengan mengikuti algoritme pada Gambar 4.5. Tata laksana awal penurunan kesadaran bertujuan untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.
Prinsip utama adalah mempertahankan jalan napas yang adekuat dan mempertahankan fungsi kardiovaskular. Anak dengan penyebab koma yang belum jelas penyebabnya harus dilakukan pemeriksaan gula darah atau langsung diberikan cairan dekstrosa 25% sebanyak 1-4 mL/kgBB, kemudian dievaluasi responsnya.
Bila didapatkan perbaikan dramatis, maka selanjutnya diberikan infus dekstrosa 10%. Pada kesadaran yang tidak pulih setelah pemberian infus dekstrosa, maka hipoglikemia sebagai penyebab dapat disingkirkan.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat terjadi akibat adanya gangguan struktur, infeksi, metabolik atau toksisitas. CT scan kepala harus dilakukan pada setiap anak dengan penurunan kesadaran akibat trauma kepala tertutup atau penyebab yang tidak dapat ditentukan dengan pasti. Peningkatan tekanan intrakranial
diturunkan dengan pemberian manitol 20% intravena per drip dengan dosis 0,5-1,0 gram/ kgBB selama 30 menit setiap 6–8 jam. Nalokson diberikan bila dicurigai adanya overdosis narkotika.

Kejang dan status epileptikus harus diatasi. Perlu dipertimbangkan adanya kejang walaupun tidak bermanifestasi secara klinis (status epileptikus non-konvulsif subklinis) sehingga ketersediaan EEG sangat penting untuk pemantauan pasien penurunan kesadaran. Bila dicurigai adanya infeksi susunan saraf pusat,
harus dilakukan pungsi lumbal dan diberikan antibiotik atau antivirus yang sesuai.
Gangguan keseimbangan cairan-elektrolit dan keseimbangan asam basa harus dikoreksi. Hiponatremia, hipernatremia, hipokalsemia, atau hipomagnesemia yang menyertai penyakit sistemik jauh lebih sering menyebabkan koma. Asidosis atau alkalosis, baik metabolik maupun respiratorik juga harus dikoreksi.
Suhu tubuh normal baik untuk pemulihan dan pencegahan asidosis. Antipiretik yang sesuai harus diberikan untuk menurunkan demam.
Agitasi dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menyulitkan bantuan ventilasi mekanik sehingga dapat dipertimbangkan pemberian sedatif walaupun mungkin akan menyulitkan evaluasi neurologik berkala. Pemantauan harus dilakukan secara berkala dan berkesinambungan, meliputi pola pernapasan, ukuran pupil dan reaksi terhadap rangsangan, motilitas okular, dan respons motorik terhadap rangsangan.



Kesimpulan
Penurunan kesadaran dan koma pada anak merupakan suatu kedaruratan medik yang membutuhkan intervensi cepat dan terencana. Prinsip pendekatan diagnostik penurunan kesadaran pada anak dimulai dengan evaluasi tingkat gangguan kesadaran berdasarkan besar dan reaksi pupil, gerak bola mata, pola napas, dan respons motorik. Tata laksana awal pada penurunan kesadaran adalah sama. Evaluasi
riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang khusus merupakan langkah selanjutnya dalam menentukan tata laksana khusus berdasarkan etiologi.
Pemantauan berkala dapat menentukan prognosis pasien selanjutnya.




sumber tulisan ini :  disalin langsung dari
BUKU AJAR PEDIATRI GAWAT DARURAT  IDAI 2011


Kepustakaan
1. Abend NS, Kessler SK, Helfaer MA, Licht DJ. Evaluation of the comatose child. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of pediatric intensive care. Edisi ke 4. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2008. h. 846-61.
2. Bleck TP. Level of consciousness and attention. Dalam: Goetz CG, penyunting. Textbook of clinical neurology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders; 2003. h. 3-18.
3. Cohen BH, Andresfky JC. Altered states of consciousness. Dalam: Maria BL, penyunting. Current management in child neurology. Edisi ke-3. Hamilton: BC Decker Inc.;2005. h. 551-62.
4. Fenichel GM. Clinical pediatric neurology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. h. 47-75.
5. Hadjiloizou SM, Riviello JJ. Coma and other states of altered awareness in children. Dalam:
David RB, Bodensteiner JR, Mandelbaum DE, Olson B, penyunting. Clinical pediatric neurology. Edisi ke-3. New York: DemosMedical; 2009. h. 495-506.
6. Huang LH. Coma and altered mental status. Dalam: Kirpalani H, Huang LH, penyunting. Manual of pediatric intensive care. Ontario: People’s medical publishing house; 2009. h. 345- 51.
7. King D, Avner JR. Altered mental status. Clin Ped Emerg Med. 2003;4:171-8.
8. Myer EC, Watenberg N. Coma in infants and children. Dalam: Berg BO, penyunting. Principles of child neurology. New York: Mc Graw-Hill; 1996. h. 303-15.
9. Nelson DS. Coma and altered level of consciousness. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric emergency medicine. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2010. h. 176-86.
10. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victor’s, Principles of neurology. Edisi ke-9. New York: McGraw Hill; 2009. h.339-61.
11. Steven RD, Bhardwaj A. Approach to the comatose patient. Crit Care Med. 2006;34:31-41.
12. Taylor DA, Ashwal S. Impairment of consciousness and coma. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology: principles & practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. h. 1378-400.
13. Ziai WC, Mirski MA. Evaluation and management of the unconscious patient. Dalam: Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC, penyunting. Current therapy in neurologic disease. Edisi ke 6. St Louis: Mosby; 2002. h. 1-8.

0 komentar:

Posting Komentar