konsensus PNPK buku ajar Pedoman SPM

Minggu, 05 Maret 2017

Pemantauan Susunan Saraf Pusat di Pediatric Intensive Care Unit

Pemantauan Susunan Saraf Pusat di Pediatric Intensive Care Unit


Setyabudhy, Saptadi Yuliarto


Pemantauan susunan saraf pusat (SSP) penting dilakukan pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) yang mengalami atau berisiko mengalami gangguan neurologi untuk mendeteksi secara dini terjadinya
hipoksia/iskemia SSP. Pemantauan SSP yang ideal harus dapat mendeteksi setiap perubahan status neurologis sebelum terjadi kerusakan SSP yang ireversibel. Tekanan intrakranial (TIK) dan evoked potentials (EP) adalah parameter yang berkorelasi baik dengan fungsi serebral dan telah digunakan secara luas. Tata laksana pasien dengan gangguan neurologi akut didasarkan pada patofisiologi dari perfusi serebral, oksigenasi serebral, dan fungsi serebral.


Tujuan utama pemantauan SSP pada pasien dengan kondisi neurologis kritis adalah:
(1) deteksi dini perburukan neurologis sebelum terjadinya kerusakan SSP yang ireversibel; 
(2) memberikan tata laksana secara individual; 
(3) pemantauan respons terapi; 
(4) menghindari kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki; dan 
(5) meningkatkan luaran neurologis pada pasien yang sembuh dari cedera neurologi akut. Pencitraan neurologis (CTScan, MRI) berperan penting dalam tata laksana pasien, namun pemeriksaan ini mengharuskan pasien meninggalkan ruang perawatan intensif. Pemantauan SSP dapat membantu membuat keputusan akan perlu tidaknya dilakukan pencitraan neurologis. Saat ini tersedia berbagai modalitas untuk memantau fungsi SSP di ruang perawatan intensif, baik yang invasif maupun noninvasif. Pada bahasan ini, akan dibahas beberapa teknik pemantauan SSP yang umum digunakan.

Beberapa moda litas pemantauan neuro logis di PICU
Elektroensefalogram (EEG)
Elektroensefalogram merekam aktivitas otak berupa sinyal elektrik melalui kulit kepala. Sinyal elektrik yang terekam dalam EEG tersebut berasal dari neuron-neuron otak terutama yang terletak pada korteks, sehingga
EEG mencerminkan gambaran topografi korteks. EEG sangat sensitif sebagai indikator disfungsi serebral dan berkaitan dengan metabolisme serebral. Terdapat 4 manfaat EEG untuk perawatan di PICU yaitu: (1) membantu menegakkan diagnosis; (2) panduan terapi; (3) pemantauan kondisi susunan saraf pusat; dan (4) memperkirakan prognosis.


Sebagai alat bantu diagnostik, EEG berperan terutama pada pasien yang mengalami ensefalopati atau koma. EEG dapat membedakan antara koma yang sesungguhnya, koma psikogenik, atau kondisi yang menyerupai
koma akibat locked-in syndrome. Pada dua kondisi terakhir, EEG akan menunjukkan pola normal awake pattern. EEG juga bermanfaat dalam menentukan keparahan dan penyebab ensefalopati toksik-metabolik. Pola-pola tertentu dalam EEG mengindikasikan etiologi spesifik. Pola excessive fast activity merupakan gambaran yang sering disebabkan overdosis obat sedatifhipnosis, sedangkan gelombang trifasik dapat ditemukan pada disfungsi hepatik, gagal ginjal, dan anoksia. Ensefalitis herpes simpleks (EHS) memiliki gambaran EEG yang khas yaitu periodicsharp waves pada lobus temporalis, sehingga dapat membantu menegakkan diagnosis pada awal perjalanan penyakit. Pemeriksaan EEG harus segera dilakukan pada pasien yang diduga menderita EHS. Pemeriksaan EEG juga sangat bermanfaat untuk mendeteksi status epileptikus non-konvulsif, terutama apabila penyebabnya tidak jelas dan tidak ada tanda klinis yang menunjukkan aktivitas kejang. Pemantauan EEG dapat membantu menghindari under treatment dan over treatment pada status epileptikus.
Under treatment dapat menyebabkan asidosis metabolik, rabdomiolisis dan kematian neuron, sedangkan over treatment lebih sering terjadi dan dapat mengakibatkan gagal nafas iatrogenik dan kolaps kardiovaskular. Seringkali pasien yang sakit kritis menunjukkan gerakan involunter yang menyerupai kejang, seperti tremor, mioklonus, spasme dan posturing. Pemeriksaan EEG membantu membedakan gerakan-gerakan tersebut dengan status epileptikus.


Pemantauan terhadap fungsi kardiovaskular dan respirasi di ICU dilakukan secara ketat menggunakan berbagai kateter, transduser, dan monitor digital. Tujuannya adalah untuk meningkatkan deteksi dini terhadap terjadinya perburukan kondisi. Namun, pemantauan SSP hanya dilakukan secara berkala dan subyektif, yang umumnya dikerjakan oleh perawat. Hal ini seringkali tidak cukup akurat dan cepat. Sebagai contoh, apabila telah ditemukan dilatasi pupil unilateral maka upaya intervensi sudah terlambat. Kesulitan pemantauan klinis diperberat pada pasien yang mendapatkan sedasi atau mengalami paralisisis neuromuskular.

Elektroensefalogram sangat bermanfaat dalam memonitor SSP pada pasien yang secara klinis sulit dinilai dan memiliki kemampuan mendeteksi cedera SSP pada stadium dini. Pemeriksaan EEG sensitif untuk mendeteksi iskemia dan hipoksia, dapat mendeteksi disfungsi neuron pada tahap yang reversibel, sekaligus menentukan lokasi jejas SSP. Kematian sel terjadi bila aliran darah serebral (cerebral blood flow, CBF) turun di bawah 12 mL/100g/min, sedangkan EEG telah menunjukkan abnormalitas bila CBF turun menjadi 20-25 mL/100 g/menit. Kemampuan EEG mendeteksi penurunan CBF sebelum terjadi kematian sel sangat bermanfaat pada tindakan tertentu, misalnya operasi bedah jantung dan karotis.
Pada keadaan tersebut, EEG dapat memberikan peringatan kepada dokter bedah atau anestesi akan terjadinya perubahan perfusi serebral. Penggunaan serupa dapat diterapkan pada pasien yang dirawat di ICU dengan kondisi iskemia intrakranial atau perdarahan intrakranial dimana CBF rentan mengalami gangguan.


Penggunaan EEG kontinu 24 jam atau video-EEG monitoring semakin banyak dipertimbangkan di ICU untuk berbagai indikasi klinis, misalnya untuk pemantauan status epileptikus (SE) dan koma akibat pemberian terapi (therapeutically induced coma) pada pasien SE refrakter dan cedera otak akibat trauma. Demikian juga telah terbukti bahwa EEG kontinu 24 jam sangat bermanfaat dalam pemantauan terhadap pasien yang berisiko mengalami kejang subklinis, SE nonkonvulsif persisten, ensefalopati metabolik, dan kondisi neurologis yang membatasi kemampuan pasien untuk memberikan respon (misalnya trauma batang otak, sindrom neuropati perifer berat).


Pemeriksaan EEG kontinu 24 jam dengan rekaman video lebih bermanfaat dibandingkan pemeriksaan EEG rutin. Prognosis pasien yang menderita ensefalopati hipoksik iskemik juga dapat diperkirakan dengan pemeriksaan tersebut. Pemantauan EEG kontinu 24 jam atau serial dapat pula digunakan untuk konfirmasi kematian otak.

Tekanan Intrakranial (TIK)
Peningkatan TIK merupakan penyebab kematian terbanyak pada kasus bedah saraf dan trauma kepala berat. Peningkatan TIK yang menyertai cedera otak akibat trauma biasanya diikuti dengan cedera sekunder akibat penurunan perfusi serebral. Intervensi yang ditujukan untuk mengendalikan kenaikan tekanan intrakranialmenghasilkan perbaikan luaran neurologis dan peningkatan angka kesintasan. Tujuan utama pemantauan dan manajemen peningkatan TIK adalah mencegah cedera iskemia. Walaupun beberapa ahli masih belum sependapat mengenai manfaat memasang alat pemantauan TIK yang invasif, laporan berbasis bukti terkini menyebutkan bahwa pada anak dengan cedera otak akibat trauma pemasangan alat pemantauan TIK sangat dianjurkan karena bermanfaat dalam menentukan terapi dan mempengaruhi luaran.

Metode pemantauan TIK yang paling banyak dipakai saat ini menggunakan kateter intraventrikel atau intraparenkim. Kateter intraventrikel lebih sering dipakai, merupakan metode yang lebih langsung dibandingkan kateter intraparenkim, dan memberikan hasil yang lebih akurat. Selain itu, pemasangan kateter intraventrikel juga memungkinkan untuk mengeluarkan sejumlah cairan serebrospinal (CSS) untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memasukkan sejumlah larutan garam fisiologis guna menentukan hubungan tekanan-volume dari otak, yang bertujuan untuk memperkirakan komplians serebral. Risiko pemasangan kateter intraventrikel adalah terjadinya infeksi sehingga harus dilepas segera setelah kondisi memungkinkan.

Saturasi oksigen bulbus vena jugularis
(jugular venous bulb oxygen saturation)
Saturasi oksigen bulbus vena jugularis (SjvO2) merupakan saturasi oksigen darah di bulbus vena jugularis yang terletak di basis cranii. Pemasangan kateter SjvO2 memungkinkan pemantauan SjvO2 secara kontinu. Saturasi normal berkisar antara 60-80%. Konsep fisiologis dari pengukuran ini adalah bahwa perbedaan antara saturasi SjvO2 dan saturasi darah arteri (SaO2) merupakan parameter tidak langsung dari aliran darah otak secara global. Ketika tekanan perfusi serebral dan aliran darah otak menurun, otak harus mengekstraksi oksigen dalam jumlah yang sama dari volume darah yang lebih sedikit, sehingga menyebabkanSjvO2 turun. Secara umum, nilai SjvO2 <50% merupakan indikator iskemia serebral.

Abnormalitas yang meningkatkan konsumsi oksigen (misalnya: demam, kejang) atau yang menyebabkan penurunan hantaran oksigen (misalnya: peningkatan TIK, hipotensi, hipoksemia, hipokapnia, anemia) dapat
menurunkan SjvO2. Cedera sekunder yang terjadi pada pasien dengan gangguan neurologi dapat dideteksi dini dengan monitoring SjvO2. Kesalahan teknis dapat disebabkan perubahan posisi kepala atau posisi kateter yang tidak tepat. Perbedaan substansial antara bulbus kanan dan kiri juga dapat diukur. Akurasi pengukuran SjvO2 tergantung pada kalibrasi in vivo. Pengukuran SjvO2 dapat mengetahui adekuat atau tidaknya CPP dan CBF tetapi tidak dapat menggambarkan iskemia regional.

Transcranial doppler
Transcranial doppler (TCD) merupakan alat ukur CBF regional yang invasif, portabel dan reliabel. Probe ultrasound dipasang secara multidireksi dapat menggambarkan TCD simultan dari arteri serebri media dan atau arteri serebri posterior. Arteri serebri media adalah yang paling banyak dipelajari pada anak. Pemeriksaan TCD terhadap arteri serebri media digunakan pada manajemen pascaoperasi bedah jantung anak, trauma kepala berat, ruptur malformasi arteri-vena, status epileptikus dan hidrosefalus akut. Keterbatasan teknik TCD diantaranya adalah kesulitan menentukan letak probe ultrasound karena harus membuat lubang pada tulang kepala, hanya dapat memberikan gambaran dari pembuluh  darah berukuran sedang hingga besar, variasi pengukuran pada setiap pemeriksaan, dan hanya mengukur secara aktual kecepatan aliran CBF.


Laser-doppler flowmetry
Laser-Doppler flowmetry (LDF) mengukur kecepatan pergantian sinar laser yang direfleksikan oleh eritrosit untuk mengkalkulasi laju CBF pada area tertentu di korteks serebri. Laser-doppler flowmetry mengukur laju aliran darah dari pembuluh darah mikro dari sejumlah kecil jaringan otak dengan cara menempatkan serabut optik yang dapat memancarkan sinar laser pada parenkim otak. Keterbatasan teknik
ini adalah reliabilitas pengukuran, artefak akibat gerakan pasien, laju aliran yang tidak akurat bila serabut optik diletakkan di dekat pembuluh darah besar, dan penurunan sinyal LDF jika nilai hematokrit rendah.

Mikrodialisis
Kateter mikrodialisis dimasukkan ke dalam jaringan otak dan dihubungkan dengan pompa mikrodialisis yang memompa cairan dialisis ke dalam otak. Cairan dialisis ini akan berdifusi dengan cairan ekstraselular otak melalui membran dialisis. Sampel cairan dikumpulkan setiap jam dan dianalisis dengan alat mikrodialisis khusus. Perubahan kadar glukosa, laktat, piruvat dan berbagai asam amino dalam cairan interstisial otak dapat diukur dengan metode ini. Kadar laktat dan glutamat ekstraseluler dilaporkan meningkat pada kondisi
desaturasi vena jugularis. Kateter untuk anak saat ini telah tersedia, tetapi pengalaman klinis pada anak masih terbatas. Penelitian pada anak dengan cedera otak akibat trauma menunjukkan bahwa rasio glutamin dibandingkan glutamat ekstraseluler memiliki nilai prognostik dan berhubungan dengan luaran klinis.



Mutiara bernas
• Elektroensefalogram sangat sensitif sebagai indikator disfungsi serebral. Pemantauan EEG kontinu 24 jam dengan video bermanfaat untuk mendeteksi dini hipoksia/iskemia serebral.
• Pemantauan tekanan intrakranial dapat dilakukan menggunakan kateter intraventrikel/intraparenkim dan dianjurkan pada pasien dengan cedera otak akibat trauma.
• Saturasi oksigen bulbus vena jugularis (SjvO2) merupakan parameter tidak langsung aliran darah serebral secara global. Nilai SjvO2 <50% merupakan indikator iskemia serebral
• Transcranial doppler dan Laser-doppler flowmetry digunakan untuk mengukur aliran darah serebral
• Mikrodialisis digunakan untuk mengukur perubahan kadar glukosa, laktat, piruvat, dan berbagai asam amino dalam cairan ekstraselular otak. Perubahan kadar asam amino tertentu berkaitan dengan disfungsi SSP dan luaran klinis

sumber tulisan ini :  disalin langsung dari
BUKU AJAR PEDIATRI GAWAT DARURAT  IDAI 2011



Kepustakaan
1. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, Chesnut RM, du Coudray HEM, Goldstein B, dkk.
Guidelines for the acute medical management of severe traumatic brain injury in infants, children, and adolescents. Chapter 6. Threshold for treatment of intracranial hypertension. Pediatr Crit Care Med 2003;4(Supp):S25-7.
2. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, Chesnut RM, du Coudray HEM, Goldstein B, dkk.
Guidelines for the acute medical management of severe traumatic brain injury in infants, children, and adolescents. Chapter 7. Intracranial pressure monitoring technology. Pediatr Crit Care Med. 2003;4(Supp):S28-30.
3. Adelson PD, Bratton SL, Carney NA, Chesnut RM, du Coudray HEM, Goldstein B, dkk.
Guidelines for the acute medical management of severe traumatic brain injury in infants, children, and adolescents. Chapter 8. Cerebral perfusion pressure. Pediatr Crit Care Med. 2003;4(Supp):S31-3.
4. Goldstein B, Aboy M, Graham A. Neurologic monitoring. Dalam: Nichols DG, penyunting. Roger’s textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 862-71.
5. Gorelick MH, Blackwell CD. Neurologic
Emergencies. Dalam: Fleisher; GR, Ludwig S,
penyunting. Text book of pediatric emergency
medicine. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010. h. 1012-23.
6. Haitsma I, Maas A. Advanced monitoring in the
intensive care unit: Brain tissue oxygen tension.
Curr Opin Crit Care. 2002;8:115-20.
7. Humphries RM, Bricking KD, Huhn TM.
Pediatric emergencies. Dalam: Keith C, Stone,
penyunting. Current emergency diagnosis and
treatment. Edisi ke-5. Philadelphia: McGraw
Hill; 2003.
8. Kirkpatrick P, Smielewski P, Czosnyka M.
Continuous monitoring of cortical perfusion by
laser Doppler flowmetry in ventilated patients
with head injury. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
1994;57:1382-8
9. Nigro MA. Seizures and status epilepticus
in children. Dalam: Tintinalli JE, Kelen
GD, penyunting. Emergency medicine: a
comprehensive study guide. Edisi ke-6.
Philadelphia: McGraw-Hill; 2003.
10. Packer RJ, Bruce DA. Neurologic Emergencies.
Dalam: Slonim AD, Pollack MM, penyunting.
Pediatric Critical Care Medicine. Edisi ke-1.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. h. 768-72.
11. Procaccio F, Polo A, Lanteri P. Electrophysiologic
monitoring in neurointensive care. Curr Opin
Crit Care. 2001;7:74-80.
12. Scheuer M. Continuous EEG monitoring in the
intensive care unit. Epilepsia. 2002;43 :114-27.

0 komentar:

Posting Komentar